SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Fisip UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
IKE PRATIWI
NPM. 0643010104
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SBY-Boediono Di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)
Disusun Oleh :
IKE PRATIWI
NPM. 0643010104
Telah Disetujui Untuk Mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed
NPT. 3 7305 99 0170 1
Mengetahui,
DEKAN
Dra. Ec. Hj. Suparwati, M. Si
IKE PRATIWI
0643010104
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur
Pada tanggal 11 Juni 2010
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Tim Penguji
Ketua :
1.
Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed Ir. Didiek Tranggono, M. Si
NPT. 3 7305 99 0170 1
NIP. 19 581225 199001 1001
Sekretaris :
2.
Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed
NPT. 3 7305 99 0170 1
Anggota :
3.
Dra. Diana Amelia, M. Si
NIP. 19630907 199103 2001
Mengetahui,
DEKAN
yang Maha Pengasih dan Penyayang sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Pembingkaian Berita Seratus Hari Kinerja
SBY-Boediono” (Studi
Analisis Framing Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
Bpk. Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti,
sehingga peneliti bias menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Serta peneliti
juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1.
Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan FISIP UPN “Veteran” Jawa
Timur
2.
Bpk Juwito, S.Sos, Msi Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN
“Veteran” Jatim
3.
Kedua Orang Tua peneliti, yaitu Bpk. Imam Machmud dan Ibu Pranti yang
telah membantu baik secara materiil dan doa, adik peneliti yaitu Inggit Pradita
yang memberikan support.
4.
Teman sekaligus sahabat-sahabat saya, yaitu : Niken Rizki Oktasyah, Citra
Eka Pravitrian, Fadilla Dwi Anggia, dan Bagus Dwi Irawan (Skripsi ini gk
6.
Buat semua yang gak bisa di sebut satu persatu, trima kasih.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Surabaya, 26 Mei 2010
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
ABSTRAKSI
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ...
1
1.2. Rumusan Masalah ...
13
1.3.
Tujuan
Penelitian ...
13
1.4. Kegunaan Penelitian ...
13
1.4.1. Kegunaan Teoritis ...
13
1.4.2. Kegunaan Praktis ...
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 15
2.1. Landasan Teori ...
15
2.1.1. Media Massa dan Konstruksi Realitas ...
15
2.1.2. Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas ...
17
2.1.3. Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas...
18
2.2. Kerangka Berfikir ...
30
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1.
Metode
Penelitian ...
32
3.1.1 Definisi Operasional...
32
3.2. Subyek dan Obyek Penelitian...
36
3.3. Unit Analisis ...
36
3.4.
Korpus ...
36
3.5. Teknik Pengumpulan Data ...
37
3.6. Teknik Analisis Data ...
38
3.7. Langkah-langkah Framing...
39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ...
40
4.1.1. Profil Jawa Pos ...
40
4.1.2. Kebijakan Redaksional ...
47
4.2. Gambaran Umum Kompas ...
53
4.2.1. Profil Kompas ...
53
4.2.2. Kebijakan Redaksional ...
56
4.3.1.3. Berita 29 Januari 2010 ...
74
4.3.2.
Kompas
...
80
4.3.2.1. Berita 27 Januari 2010 ...
81
4.3.2.2. Berita 28 Januari 2010 ...
87
4.3.2.3. Berita 29 Januari 2010 ...
92
4.3.3. Bingkai Umum ...
99
4.3.3.1. Frame Umum Perbandingan Jawa Pos dan Kompas ...
99
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
5.1
Kesimpulan
...
103
5.2.
Saran
...
104
DAFTAR PUSTAKA
4.1. Tabel 4.1 ...
50
4.2. Tabel 4.2 ...
51
4.3. Tabel 4.3 ...
52
4.4. Tabel 4.4 ...
59
4.1. Frame Berita Jawa Pos 27 Januari 2010 ...
66
4.2. Frame Berita Jawa Pos 28 Januari 2010 ...
73
4.3. Frame Berita Jawa Pos 29 Januari 2010 ...
79
4.4. Frame Berita Kompas 27 Januari 2010 ...
86
4.5. Frame Berita Kompas 28 Januari 2010 ...
92
4.6. Frame Berita Kompas 29 Januari 2010 ...
98
3. Program 100 Hari Hanya Sekadar Pencitraan ... 109
4. Program 100 Hari Kabinet Dikritik ... 110
5. Masyarakat Jangan Dirugikan ... 111
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembingkaian berita Seratus Hari
Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar Jawa Pos dan Kompas.
Teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu : Media Massa dan
Konstruksi Realitas, Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas, Wartawan Sebagai Agen
Konstruksi Realitas, dan Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktivis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif,
yang menggunakan analisis framing dari Gamson dan Modigliani. Korpus dari
pemberitaan tersebut yaitu : berita-berita yang membahas tentang Seratus Hari Kinerja
Presiden SBY-Boediono pada surat kabar Jawa Pos dan Kompas, 27-29 Januari 2010.
Hasil penelitian dari Jawa Pos yaitu pemerintahan 100 hari SBY-Boediono dinilai
belum berhasil memberikan terobosan dan fondasi yang kuat untuk melangkah lima
tahun ke depan. Sedangkan pada Kompas diperoleh hasil penelitian yaitu sejumlah
aktivis lembaga swadaya masyarakat mengkritik program 100 hari Kabinet Indonesia
Bersatu II.
Kata Kunci : Pembingkaian Berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono, Jawa
Pos, Kompas.
ABSTRACT
Ike Pratiwi. News Framing Hundred-Day Performance SBY-Boediono President
(News Framing Analysis Studies Performance One Hundred Days of SBY-Boediono
President Newspapers Java Post and Kompas). Thesis.
This study aims to identify news framing Hundred-Day Performance SBY-
Boediono president in the newspaper Jawa Pos and Kompas.
The theories used by researchers in this study are: Mass Media and the
Construction of Reality, News For The Construction of Reality, Reality Construction
Agent For Journalists and Framing Analysis Including Constructivist Paradigm.
The methods used in this research study is a qualitative research method, which
uses a framing analysis of Gamson and Modigliani. The corpus of such news is: the news
that discusses the Hundred-Day Performance SBY-Boediono president in a daily
newspaper Jawa Pos and Kompas January, 27 until 29, 2010.
The results obtained from Jawa Pos, the Goverment 100-days SBY -Boediono
assessed yet succeeded in giving a breakthrough and a strong foundation to move forward
five years. While in the Kompass of the research project the following non-governmental
organization activists criticized the 100-days program of United Indonesia Cabinet II.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara menganut azas demokrasi, artinya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bentuk pemerintahan ini adalah bentuk pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan dalam suatu pemerintahan.
Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi ini tentunya tidak lepas dari banyak kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah, salah satunya adalah permasalahan dalam politik. Permasalahan politik dalam pemerintahan ini bukan hal yang istimewa tetapi sudah menjadi hal yang biasa, apalagi dampak yang ditimbulkan oleh permasalahan politik ini langsung kepada rakyat. Permasalahan politik yang sering muncul dalam pemerintahan dan kancah politik misalnya : pertikaian antar partai politik, adanya kubu-kubu yang memprovokasi atau memicu adanya permasalahan politik, dan lain-lain.
jabatan SBY berakhir, sampailah rakyat Indonesia pada PEMILU tahun 2009. pada periode I pemerintahan SBY, rakyat Indonesia merasa puas sehingga pada PEMILU tahun 2009, SBY terpilih lagi menjadi presiden dengan wakilnya yang baru yaitu Boediono.
Terpilihnya SBY pada periode ke II ini, rakyat menaruh harapan yang besar agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi dari segi apapun. Pada periode I pemerintahan SBY, hampir semua masalah dalam kancah politik mampu diselesaikan. Misalnya adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengungkap secara gamblang adanya pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pemerintahan. Beberapa kasus yang berhsil diungkap oleh KPK adalah kasus Al Amin Nasution terkait kasus korupsi di Kalimantan, Artalyta Suryani terkait kasus penyuapan Jaksa Urip, Anggodo dengan kasus korupsi, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan negara Indonesia yang menganut sistem reformasi pada pemerintahan, reformasi memiliki ciri-ciri bebas KKN, bebas penindasan terhadap rakyat kecil, bebas korupsi, dan lain-lain.
politik di gedung DPR, dimana pansus Century dengan gigihnya telah memeriksa tokoh besar negeri ini Wapres Boediono dan Menku Sri Mulyani. Kemudian yang menarik, mantan wapres Jusuf Kalla juga dimintai keterangan. Selanjutnya beberapa mantan pejabat BI, juga diperiksa, termasuk besan presiden, Aulia Pohan. Tidak ketinggalan Mantan Kepala Bagian Reserse dan Kriminal POLRI Komisaris Jendral Susno Duadji juga dimintai keterangan.
Berita-berita mengenai kinerja Presiden yang ke seratus hari akhir-akhir ini mewarnai media massa. Berita ini paling banyak dibahas dan muncul di media massa. Bahkan beberapa hari menjelang peringatan kinerja Presiden yang ke seratus hari diwarnai ricuh demo dari masyarakat. Banyak pro dan kontra yang mewarnai kinerja Presiden yang ke seratus hari. Dalam hal ini permasalahan yang ramai dibicarakan adalah kasus Bank Century yang beberapa bulan lalu meyeruak di media massa. Disebut-sebut Presiden SBY terlibat dalam kasus ini dengan menerima kucuran dana setiap bulannya. Apalagi dalam kasus ini Boediono dan menteri keuangan Sri Mulyani dituding terlibat dalam masalah ini. Kedua petinggi itu bertanggung jawab atas keputusan bail out Bank century sebesar Rp. 6,7 triliun yang kini dalam perdebatan antara benar dan salah. (Jawa pos, 28 Januari 2010 : 4).
ini tidak hanya terjadi di Ibu kota saja, melainkan terjadi di kota lain seperti Surabaya.
Dalam peringatan ke seratus hari kinerja Presiden, SBY memaparkan bahwa ia legowo dengan semua kritik yang ditujukan kepadanya. Sejatinya, waktu seratus hari terlalu singkat untuk memberikan penilaian terhadap kinerja Presiden dan wakil presiden, apalagi sampai memberikan vonis gagal. Masih banyak persoalan yang mendasar yang belum bisa dipakai sebagai pijakan. Misalnya dalam hal hukum, HAM, belum lagi soal pro dan kontra unas (ujian nasional), terlebih lagi kasus Century yang menyita perhatian publik. Dalam permasalahan ini tentunya tidak luput dari pandangan media, apalagi berita tentang momentum seratus hari kinerja presiden.
Sikap netral yang harusnya ditunjukkan oleh media massa kini menjadi pudar karena adanya prasangka atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan membandingkan beberapa pemberitaan di media, sangat mungkin akan menemukan kesimpulan yang setara bahwa tidak mungkin media apapun dan manapun dapat lepas dari bias-bias yang berkaitan dengan politik, ekonomi, ideologi, sosial dan budaya sekalipun.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa setiap pemberitaan tidak luput dari pandangan media, artinya media berperan aktif dalam setiap berita atau peristiwa yang terjadi di negara Indonesia. Media massa adalah salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia akan informasi. Media massa terbagi menjadi dua bagian, yaitu media cetak, media elektronik. Informasi yang disajikan oleh media massa merupakan suatu kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia, sehingga antara manusia dan media massa keduanya saling membutuhkan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Manusia membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, sedangkan media massa membutuhkan manusia untuk mendapatkan informasi dan mengkonsumsi berita-berita yang disajikan oleh media massa tersebut.
Media massa adalah sebuah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya, media massa memiliki peran :
informasi yang terbuka, jujur, dan benar yang disampaikan oleh media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi dan terbuka dengan informasi. Ketiga, media massa sebagai media hiburan. Sebagai agen perubahan, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan dan memfilter adanya budaya-budaya yang tidak sesuai dengan masyarakat”. (Bungin, 2007 : 85-86).
Media massa tidak hanya menyajikan informasi, tetapi dengan informasi itu media bias mempengaruhi khalayak. Media massa menjadi hal penting untuk menentukan suatu bangsa dalam waktu ke depan, karena media juga bukan sekedar institusi bisnis tempat orang mencari pekerjaan dan keuntungan, tetapi media massa juga merupakan institusi sosial sekaligus politik yang menyentuh pikiran masyarakat luas, yang prosesnya potensial mempengaruhi apa yang terjadi masyarakat di masa yang akan datang, baik dalam proses politik, sosial dan ekonomi.
Media bukan saluran bebas, media juga berlaku sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Sehingga ada penonjolan aspek-aspek tertentu dari peristiwa yang sama akan tetapi berbeda. Analisis framing merupakan pisau bedah analisis yang paling sesuai untuk fenomena tersebut.
Framing berkaitan dengan opini publik, mengapa? Karena isu tertentu ketika dikemas dengan bingkai tertentu bias mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana agar khalayak memiliki pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu khalayak bias digerakkan, semua itu membutuhkan frame-frame : bagaimana berita itu dikemas, bagaimana peristiwa itu dipahami dan bagaimana pula kejadian didefinisikan dan dimaknai. (Eriyanto, 2005 : 142-143).
disebabkan adanya perbedaan suatu kebijakan redaksi serta perbedaan visi dan misi dari masing-masing media.
Pada surat kabar harian Jawa Pos 28 Januari 2010, ditulis berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di halaman 2 dengan judul “Pupularitas SBY Turun, Demokrat Cemas”. Pada edisi ini harian Jawa Pos memberitakan tentang turunnya populatitas SBY dapat menyebabkan dampak yang signifikan terhadap Partai Demokrat.
Surat kabar harian Jawa Pos juga mengutip beberapa pendapat dari beberapa nara sumber yang terkait, antara lain : Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi dan Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Haryono Isman. Sedangkan pada surat kabar harian Kompas, 28 Januari 2010, ditulis pada head line halaman 3 yaitu “Kepuasan Atas Kinerja Pemerintahan Turun (Kelompok Menengah yang Paling Tidak Puas)”. Pada lead tertulis :
“Kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan SBY turun dibandingkan saat pemilu lalu hingga kisaran 70%. Penurunan kepuasan masyarakat itu terlihat dari survey yang dilakukan Litbang Kompas, Lembaga Survei Indonesia, dan Indobarometer”. Beberapa nara sumber yang memberi pendapat tentang berita ini antara lain : Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardi, Juru Bicara Kepresidenan julian Aldrin Pasha, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Haryono Isman, dan Fungsionaris Partai Golkar Jeffrie Geovanie.
terhadap pemberitaan ini. Oleh karena itu wacana yang dimunculkan cenderung kontroversional dan kontradiktif. Setiap media ingin memberikan informasi dengan penyajian yang betul-betul dapat memuaskan khalayaknya.
Hal ini berkaitan erat dengan cara wartawan dalam mencari berita dan menyajikan setiap peristiwa yang akan dijadikan berita. Setiap wartawan mempunyai perspektif berbeda dalam memaknai sebuah isu dan perspektif ini dapat mempengaruhi wartawan dalam melakukan konstruksi terhadap sebuah realitas.
Dari pemaparan tersebut di atas dapat kita lihat bagaimana media menyikapi dan memiliki tujuan dalam melihat suatu peristiwa, tentunya penglihatan itu tidak lepas dari perspektif yang dibangun dalam membuat berita. Begitu pula dalam pemberitaan tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono yang menimbulkan banyak polemik di masyarakat. Dampak dari polemik tersebut adalah penilaian masyarakat dalam seratus hari kinerja pemerintahan tersebut. Kejadian ini dimaknai oleh media massa, termasuk surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.
surat kabar sendiri. Setelah sukses dengan Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus, pada akhir tahun 1970-an omzet Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos, ia merasa tidak mampu lagi mengurus bisnisnya. Sedangkan ketiga anak The Chung Shen lebih memilih tinggal di London, Inggris. (www.jawapos.com, Minggu, 31 Januari 2010).
Kini Jawa Pos telah berkembang menjadi surat kabar dengan oplah lebih dari 300.000 eksemplar. Sekarang dengan nama Jawa Pos News Network (JPPNN), Jawa Pos menjelma menjadi jaringan surat kabar terluas di Indonesia. JPNN kini memiliki lebih dari 80 surat kabar dan majalah serta 40 jaringan percetakan di seluruh Indonesia. Pengertiannya surat kabar yang memiliki slogan “Selalu Ada Yang Baru” ini adalah dalam hal pemberitaannya, Jawa Pos selalu berusaha untuk dekat dengan semua kalangan dan berita yang disajikan selalu aktual. Pluralitas itulah yang coba ditonjolkan Jawa Pos, menjangkau pembacanya yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
Group mendominasi industri penerbitan. (Send dan Hill, 2001 : 68-69). Harian Kompas memiliki visi manusia dan kemanusiaan, sehingga harian ini berusaha untuk senantiasa peka akan nasib manusia dan berpegang pada ungkapan klasik dalam jurnalistik, yaitu menghibur yang papan dan mengingatkan yang mapan. (Oetama, 2001 : 147).
Pada penelitian ini penulis membingkai pemberitaan dari dua media cetak, yaitu Jawa Pos dan Kompas. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-infornasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Framing juga menekankan pada penonjolan teks komunikasi, sehingga membuat informasi yang disajikan menjadi lebih menarik dan mudah diingat oleh masyarakat. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, atau lebih diingat oleh khalayak. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. (Eriyanto, 2005 : 186-187).
Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang diberikan oleh media. Fakta ditampilkan apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi makna yang spesifik. Dalam hal ini biasanya media menyeleksisumber berita, memanipulasi pernyataannya dan mengedepankan perspektif tertentu, sehingga suatu interpretasi menjadi lebih mencolok (noticeable) dari pada interpretasi yang lain. (Entman, 1993 : 32-53).
Selain itu analisis framing juga merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain) yang dilakukan oleh media. Pembingkaian tersebut merupakan konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan makna dan cara tertentu. Framing digunakan untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai dengan kepentingan media. Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak. (Kriyantono, 2006 : 252).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimana surat kabar Jawa Pos dan Kompas dalam membingkai berita tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono?”
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan “Untuk mengetahui pembingkaian berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar Jawa Pos dan Kompas”.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
Untuk menambah kajian dalam bidang ilmu komunikasi terutama yang menggunakan metode kualitatif pada umumnya, dan analisis framing pada khususnya. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengetahuan tentang strategi yang digunakan media dalam membingkai suatu realitas.
1.4.2 Kegunaan Praktis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Media Massa dan Konstruksi Realitas
Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu
dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga
realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi
digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung
memarjinkan seseorang atau sekelompok tertentu.
Hal ini terkait dengan visi, misi, serta ideologi yang dipakai oleh
masing-masing media, sehingga kadang kala dari hasil pembingkaian tersebut dapat
diketahui bahwa media lebih berpihak pada siapa (jika yang diberitakan adalah
seseorang, kelompok atau golongan dalam masyarakat, dalam banyak hal
tergantung pada etika, moral dan nilai-nilai tertentu), tidak mungkin dihilangkan
dalam pemberitaan. Hal ini merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan
dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat
pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Media dalam memakai realitas dalam melakukan dua proses. Pertama,
pemilihan fakta berdasarkan pada asumsi bahwa jurnalis tidak mungkin tidak
memandang secara perspektif. Kedua, bagaimana suatu fakta terpilih tersebut
fakta dapat diinterpretasikan dan dipahami oleh media. (Eriyanto, 2001 : 113,
116).
Pendapat Sobur dalam bukunya “Analisis Teks Media”, bahwa
hakekatnya pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas. Isi media merupakan
hasil para pekerja media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang
dipilihnya untuk dijadikan sebuah berita, diantaranya realitas politik dan human
interest. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah
menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media
adalah realitas yang dikonstruksi (construct reality). Pembuatan berita di media
pada dasarnya tidak lebih dari penyusunan realitas-realitas, sehingga membentuk
sebuah “cerita”. Berita adalah realitas yang dikonstruksikan. (Sobur, 2002 : 88).
Gambaran tentang realitas yang “dibentuk” oleh isi media yang nantinya
mendasari respon dan sikap khalyak terhadap berbagai objek sosial. Informasi
yang salah dari media massa, akan memunculkan sikap yang salah juga terhadap
objek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara
akurat dan berkualitas. Kualitas informasi ini yang merupakan tuntutan etnis dan
moral penyajian isi media. Menurut istilah Peter Berger, isi media massa
merupakan konsumsi otak bagi khalayak. Sehingga apa yang ada di media massa
akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. (Jurnal ISKI, 2001 :
11).
Media massa mempunyai peranan sebagai agen sosialis pesan tentang
norma dan nilai. Surat kabar dan tabloid merupakan salah satu bentuk media
umum. Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan
dengan objek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari transaksi
antara wartawan dengan fakta yang dia liput. (Eriyanto, 2002 : 31).
Media cetak merupakan salah satu arena sosial, tempat berbagai kelompok
social masing-masing dengan polotik bahasa yang mereka kembangkan sendiri
berusaha menampilkan definisi situasi atau realitas berdsarkan versi mereka yang
dianggap sahih. (Hidayat dalam Siahaan, 2001 : 88). Berita untuk media massa
cetak surat kabar harus berfungsi mengarahkan, menumbuhkan atau
membangkitkan semangat dan memberikan penerangan. Artinya, berita yang kita
buat harus mampu mengarahkan perhatian pembaca, sehingga mengikuti alur
pemikiran yang tertulis dalam berita tersebut. (Djuroto, 2002 : 49).
Apa yang tersaji dalam berita yang kita baca setiap hari adalah produk dari
pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif
menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.
2.1.2 Berita Sebagai Hasil Konstruksi Realitas
Berita dalam pandangan Fishman bukanlah refleksi atau distorsi dari
realitas yang seakan berada di luar sana. Berita adalah apa yang pemberita buat,
jika berita merefleksikan sesuatu maka refleksi itu adalah praktik pekerja dalam
organisasi yang memproduksi berita. Berita adalah hasil akhir dari proses
kompleks dengan memilah-milah dan menentukan peristiwa dan tema-tema
tertentu dalam satu kategori tertentu. Berita adalah produksi dari institusi social
profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan
dikonstruksi.
Dalam pandangan Tuchman, berita adalah hasil transaksi antara wartawan
dengan sumber, realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang
terjadi dalam dunia nyata, melainkan realsi antara wartawan dengan sumber dan
lingkungan sosial yang mebentuknya. Berita tidak mungkin merupakan cerminan
dan refleksi dari realitas karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas
realitas. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial
dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau
media.
Jadi berita yang kita baca setiap hari pada dasarnya adalah hasil dari
konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Berita bukanlah
representasi dari realitas melainkan konstruksi dan pemaknaan atas realitas.
Pemaknaan seseorang atas sebuah realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain
yang tentunya akan menghasilkan realitas yang berbeda pula. (Eriyanto, 2002 :
21).
2.1.3 Wartawan Sebagai Agen Konstruksi Realitas
Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebenaran dan
menginformasikan ke khalayak seluas mungkin tentang temuan dari fakta-fakta
yang berhasil digalinya, apa adanya, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan subjektif
tertentu, semata-mata dari pembangunan kehidupan dan peradaban manusia yang
hanyalah mengumpulkan fakta yang tampak dipermukaan yang konkret.
Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan
dengan objek yang diliputnya, sehingga merupakan produk dari transaksi antara
wartawan dengan fakta yang diliputnya. (Eriyanto, 2002 : 31). Menurut filsafat
Common Sense Realism, adanya suatu objek tidak tergantung pada diri kita dan
menempati posisi tetentu dalam ruang. Suatu objek mencirikan sebagaimana
orang mempersepsikannya. Sebenarnya, relasi atau realitas empiris dengan fakta
yang dibangun oleh seorang jurnalis sangat tergantung pada kemampuan
mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi sederetan makna. Dengan
demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat dinamis, tergantung pada persepsi
yang dimiliki dan perspektif yang dihadirkan dan tergantung pada pencarian atau
penemuan fakta. (Panuju, 2005 : 27).
Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai
sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian akan dilakukan oleh wartawan
tentunya melalui proses konstruksi. Proses konstruksi atas realitas ini dapat
berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu dan pada bagian tersebut
dapat juga dihilangkan, luput atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan.
(Eriyanto, 2002 : iv). Kata penonjlan didefinisikan sebagai alat untuk membuat
informasi agar lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan. (Siahaan, Purnomo,
Imawan, Jacky, 2001 : 78).
Wartawan sebagai individual, memiliki cara berpikir (frame of thinking)
yang khas atau spesifik dan sangat dipengaruhi oleh acuan yang dipakai dan
menggunakan sudut pandang. Setiap individual juga memiliki konteks dalam
“membingkai” sesuatu sehingga menghasilkan makna yang unik. Konteks yang
dimaksud, misalnya senang atau tidak senang, menganggap bagian tertentu lebih
penting dari pada bagian lain, dapat juga konteks sesuai bidang (sosial, politik,
ekonomi, keamanan, agama, dan lain-lain), juga konteks masa lalu dan masa
depan dan seterusnya. (Panuju, 2005 : 3).
Jadi meskipun mempunyai ukuran tentang “nilai sebuah berita” (news
value), tetapi wartawan juga memiliki keterbatasan visi, kepentingan ideologis,
sudut pandang yang berbeda, bahkan latar belakang budaya dan etnis. Peristiwa
itu baru disebut mempunyai nilai berita, dan karenanya layak diteliti kalau
peristiwa tersebut berhubungan dengan elite atau orang yang terkenal, mempunyai
nilai dramatis, terdapat unsur humor, human interest, dapat memancing
kesedihan, keharuan dan sebagainya. Secara sederhana, semakin besar peristiwa
maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan
dihitung sebagai berita. (Eriyanto, 2005 : 104).
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan informasi, maka
meningkat pula tingkat harga berita. Hipotesis inilah yang melahirkan paradigma
5W + 1H (what, who, when, where, why, how), bahwa berita tidak sekedar apa,
siapa, kapan, melainkan juga mengapa dan bagaimana. “Mengapa” adalah latar
belakang dari suatu peristiwa, sedangkan “bagaimana” adalah deskripsi tentang
jalannya peristiwa. Jadi semakin mendalam penjelasan tentang “why dan how”,
maka semakin tinggi nilai berita, dan tentu saja semakin mahal harga berita
Oleh karena itu, untuk mengetahui mengapa suatu berita cenderung seperti
itu atau mengapa peristiwa tertentu dimaknai dan dipahami dalam pengertian
tertentu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental
wartawan ketika memaknai suatu peristiwa. Menurut Van Djik, analisis kognisi
sosial yang memusatkan pada struktur mental dan proses produksi berita. Analisis
kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan,
ditafsirkan dan ditampilkan dalam suatu model dalam memori.
Menurut Berger dan Luckman, realitas sosial adalah pengetahuan bersifat
keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti : konsep, kesadaran
umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial
direkonstruksikan melalui proses eksternalisasi. Menurut Berger dan Luckman,
konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun syarat dengan
kepentingan-kepentingan.
Realitas yang dimaksud Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas
objektif, realitas simbolik dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas
yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri
individual dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik
merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.
Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses
penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individual melalui
proses internalisasi. (Bungin, 2001 : 13).
Wartawan menggunakan model atau skema pemahaman atas suatu
Model ini dalam taraf tertentu menggambarkan posisi wartawan. Wartawan yang
berada dalam posisi mahasiswa mempunyai pemahaman dan pandangan yang
berbeda dengan wartawan yang telah mempunyai pengalaman. Kedua, model ini
secara spesifik mempunyai opini personal dan emosi yang dibawa tentang
mahasiswa, polisi atau objek lain. Hasil dari penafsiran dan persepsi ini kemudian
dipakai oleh wartawan ketika melihat suatu peristiwa. Tentu saja wartawan
berbeda dalam hal fokus, titik perhatian, dan kemenarikan dibandingkan dengan
wartawan lain yang ditentukan diantaranya untuk perbedaan model yang
dimilikinya. Disinilah model atau prinsip yang dapat digunakan sebagai dasar
dalam memproduksi berita. (Eriyanto, 2002 : 268).
2.1.4 Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktivis
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruktivis, dimana
paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks
berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstriksi. Sehingga
konsentrasi analisisnya adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut
dikonstruksi dengan cara apa dikonstruksi atau dibentuk. Dalam studi komunikasi,
paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna.
Konsep framing daripada konstruksionis dalam literatur sosiologi memperkuat
asumsi mengenai proses kognitif individual, perstrukturan kognitif dan teori proses
pengendalian informasi dalam psikologi. Framing dalam konsep psikologi dilihat
tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu yang lebih besar.
Konsekuaensinya, elemen-elemen yang terseleksi menjadi penting dalam
mempengaruhi penilaian individu atau penarikan kesimpulan. (Siahaan, Purnomo,
Imawan, Jacky, 2001 : 77).
Yang menjadi titik perhatian dalam paradigma konstruktivis adalah bagaimana
masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan
mempertukarkan makna. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan
penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial
dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesan itu dubuat atau diciptakan
oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu
sebagai penerima pesan. (Eriyanto, 2002 : 40).
2.1.5 Analisis Framing
Analisis framing merupakan suatu analisis yang dipakai untuk
mengungkapkan bagaimana seorang wartawan dari semua media tertentu membingkai
atau mengkonstruksi suatu realitas atas kasus tertentu. Analisis framing dipakai untuk
membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini
mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih
bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk menggiring
interpretasi khalayak sesuai perspektifnya.
Selain itu analisis framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana
realitas itu hasil akhirnya adalah bagian tertentu dari realitas yang menonjol dan lebih
dikenal. (Eriyanto, 2002 : 66).
Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun
1955. mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta
menyediakan kategori standar untuk mengapresiasikan realita. Lalu dikembangkan
lagi oleh Goffman pada tahun 1974, ia mengandaikan frame sebagai kepentingan
perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.
Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh para wartawan ketika menyeleksi
isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhinya menentukan
fakta yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak
dibawa kemana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan
mendominasi keberadaan subjek sebagai suatu yang legitimate, objektif, alamiah,
wajar atau tidak terelakkan.
Asumsi dasar dari framing adalah pengalaman sosial dan kecenderungan
psikologis ketika menafsirkan pesan yang dating kepadanya. Individu tidak
dibayangkan sebagai subjek yang pasif tetapi dipandang aktif dan otonom. (Sobur,
2002 : 162-165).
Dalam framing ada empat teori, salah satunya adalah teori William A.
Gamson. Gamson memiliki pandangan bahwa isu atau peristiwa publik adalah bagian
dari konstruksi realitas. Kemasan (package) menentukan bagaimana suatu isu atau
jadi titik perhatian Gamson adalah tentang gerakan sosial (social movement), gerakan
sosial Gamson tidak mau menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan
sosial. Hal inilah yang menimbulkan framing, frame merujuk pada skema pemahaman
individu sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi dan
memberi label peristiwa dalam pemahaman tertentu.
Kekuatan media mempengaruhi situasi konflik, sebab kekuatan media melalui
proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta,
pemilihan sudut pandang (angle), penembahan atau pengurangan foto dan data, media
punya potensi untuk menjadi peredam atau pendorong konflik. Media bias
memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya mengaburkan dan
mengeliminir sebuah peristiwa. (Sobur, 2001 : 171).
2.1.6 Konsep Framing Gamson dan Modigliani
Dalam buku Analisis Framing (Eriyanto, 2002 : 217-219) menjelaskan bahwa
William A. Gamson adalah salah satu ahli yang paling banyak menulis tentang
framing. Dalam pandanagan Gamson, wacana media adalah elemen penting untuk
memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau
peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada data survei
khalayak, tetapi perlu dihubungkan dan dibandingkan dengan bagaimana media
mengemas dan menyajikan suatu isu. Sebab, bagaimana media menyajikan suatu
isu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu.
Gamson adalah seorang sosiolog, jadi titik perhatian Gamson adalah tentang
studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Hal inilah yang menimbulkan
framing, frame merujuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat
menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi dan memberi label peristiwa dalam
pemahaman tertentu.
Dalam suatu peristiwa, frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman dan
petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Dalam pemahaman ini,
frame tentu saja berperan dan menjadi aspek yang menentukan dalam partisipasi
gerakan sosial. Elit membingkai peristiwa sedemikian rupa sehingga khalayak
mempunyai perasaan yang sama. Keberhasilan gerakan atau protes sosial diantaranya
ditentukan oleh sejauh mana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu
isu, musuh bersama dan tujuan bersama.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis William A. Gamson.
Dalam hal ini Gamson dibantu oleh Modigliani, dalam formulasi yang mereka buat,
frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang
tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang
berkaitan dengan suatu wacana. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang
itu sebagai kemasan (package). Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau
gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi
makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Kemasan
(package) adalah rangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa dibicarakan dan
pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang
ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
2.1.7 Perangkat Framing Gamson dan Modigliani
Dalam pandangan Gamson, framing dipahami sebagai seperangkat gagasan
atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ide
sentral ini akan didukung oleh perangkat wacana lain sehingga antara satu bagian
wacana dengan bagian lain saling kohesif.
Ada dua perangkat bagaimana ide sentral ini diterjemahkan dalam teks berita.
Pertama, perangkat framing (framing device). Perangkat ini berhubungan dan
berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita.
Perangkat framing ini ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar dan
metafora. Kedua, perangkat penalaran (reasoning device). Perangkat penalaran
berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari teks tersebut yang merujuk pada
gagasan tertentu. (Eriyanto, 2002 : 226-227).
Framing devices terdiri dari :
1. Methapors (perumpamaan atau pengandaian), secara literal dipahami sebagai cara
memindahkan makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta memakai analogi,
sering berupa kiasan menggunakan “seperti” atau “bak/bagai”.
2. Catchphrases (frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana,
umumnya berupa jargon atau slogan), merupakan istilah, bentukan kata atau frase
guna mendukung politik kekuasaan. Jargon adalah kata atau istilah khas yang
digunakan sebuah kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian diadopsi dalam
konteks ideologi kekuasaan dan masyarakat luas. Slogan yaitu kalimat pendek
yang maknanya mudah diingat dan memberi semangat dan membawa efek
menggerakkan dukungan. (Siahaan, 2001 : 85, 93).
3. Exemplaar (mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian teori, perbandingan yang
memperjelas bingkai). Exemplar adalah menguraikan atau mengemas fakta
tertentu secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih pada satu sisi untuk
dijadikan rujukan. Posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana.
Tujuannya memperoleh pembenaran beroperasinya kukuasaan.
4. Depiction (penggambaran isu yang bersifat konotatif, umumnya berupa kosakata,
lesikon untuk melabeli sesuatu). Depiction sendiri adalah penggambaran fakta
memakai kata, istilah, kalimat bermakna konotatif dan bertendensi khusus agar
pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu.
5. Visual Images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan,
berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang
ingin disampaikan. Visual images gunanya untuk mengekspresikan kesan, seperti
perhatian atau penolakan dengan menggunakan huruf yang dibesarkan/dikecilkan,
Sedangkan reasoning devices terdiri dari :
1. Roots (analisis kausal atau sebab akibat), mengedepankan hubungan yang
melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap sebagai sebab terjadinya hal
yang lain.
2. Appeals to Principle (premis dasar, klaim-klaim moral) adalah upaya memberikan
alasan pembenaran dengan memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim
sebuah kebenaran saat membangun wacana.
3. Consequences adalah efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai.
[image:40.612.117.507.341.519.2]Perangkat Framing William A. Gamson dan Modigliani
Gambar. Perangkat William A. Gamson dan Modigliani Frame
Central organizing idea for making senses of relevants events, suggesting, what is at issues
Framing Devices Reasoning Devices
(perangkat framing) : (perangkat penalaran) :
1. Methapors 1. Roots
2. Catchphrases 2. Appeals to Principle
3. Exemplaar 3. Concequences
2.2 Kerangka Berpikir
Berita tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono pada
28 Januari 2010 memang penuh dengan pro dan kontra. Peristiwa ini mampu menarik
perhatian dan mempengaruhi tingkat kepuasan khalayak terhadap kinerja Presiden.
Berita ini dimuat di berbagai media massa, baik sebelum menjelang momentum
seratus hari maupun setelah momentum seratus hari.
Peristiwa ini tentunya dimuat berbeda oleh media massa, khususnya media
cetak harian Jawa Pos dan Kompas. Kedua media tersebut digunakan peneliti sebagai
subyek penelitian karena kedua harian tersebut merupakan surat kabar nasional,
memiliki reputasi dan kedalaman analisis disertai gaya penulisan yang rapi.
Berita tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono ini
dibingkai secara berbeda oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.
Pembingkaian berita ini menggunakan teori analisis framing Gamson dan Modigliani,
yang membagi dua bagian yaitu pertama, framing devices meliputi : methapors,
catchphrases, exemplars, depiction dan visual images, serta yang kedua reasoning
Di bawah ini adalah kerangka berpikir dalam penelitian ini : Berita Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono Pembingkaian di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas Analisis framing William A. Gamson dan Modigliani Hasil pembingkaian Frame
Central organizing idea for making senses of relevants events, suggesting what is at issues (gugusan ide yang terorganisir dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana)
Framing Devices Reasoning Devices
(perangkat framing) : (perangkat penalaran) :
1. Methapors 1. Roots
(perumpamaan atau pengandaian) (analisis kausal atau sebab akibat)
2. Catchphrases 2. Appeals to Principle
(frase yang menarik, kontras, menonjol (premis dasar, klaim-klaim moral) dalam suatu wacana. Ini umumnya
berupa jargon atau slogan)
3. Exemplaar 3. Concequences
(mengaitkan dengan contoh, (efek atau konsekuensi yang didapat
uraian : bisa teori, perbandingan yang dari bingkai) memperjelas bingkai)
4. Depiction
(penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu)
5. Visual Images
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan teknis analisis framing. Analisis ini mencoba melihat bagaimana media
mengkonstruksi realitas, bagaimana realitas atau peristiwa itu dikonstruksi oleh
media, bagaimanan media membingkai peristiwa tertentu.
Pada penelitian ini akan dijelaskan bagaimana cara media membingkai atau
mengkonstruksi berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono
di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas yang meliputi penyeleksian isu dan
penulisan berita. Penulisan berita ini terdiri dari bagaimana cara wartawan dalam
menyusun fakta dan menekankan fakta.
Dengan menekankan pendekatan kualitatif, penelitian ini akan menganalisis
kalimat demi kalimat, kata demi kata yang ada dalam pemberitaan mengenai m
Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan
Kompas.
3.1.1 Definisi Operasional
“Pemberitaan mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono”. Yang
dimaksud dengan Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono adalah sebuah
momen atau peristiwa dalam rangka memberikan penilaian terhadap seratus hari
Sedangkan yang dimaksud dengan berita-berita di surat kabar harian Jawa Pos
dan Kompas adalah suatu peristiwa atau kejadian yang ditulis sedemikian rupa oleh
wartawan dari kedua harian tersebut untuk dimuat dan disajikan kepada khalayak.
Dalam penelitian ini adalah mengenai berita yang dimuat oleh surat kabar harian Jawa
Pos dan Kompas tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono.
Jadi, pemberitaan tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden
SBY-Boediono adalah berita-berita yang dimuat oleh surat kabar harian Jawa Pos dan
Kompas mengenai penilaian terhadap seratus hari kinerja Presiden pasca pelantikan.
Pada momentum ini ada pro kontra di kalangan elite dan masyarakat umum, hal ini
ditunjukkan dengan adanya demo menyambut momentum ini. Pembingkaian
mengenai Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar
harian Jawa Pos dan Kompas ini akan dianalisis berdasarkan perangkat framing
model Gamson dan Modigliani.
Secara operasional didefinisikan sebagai berikut : Pertama, melihat gagasan
utama dari Jawa Pos dan Kompas, bagaimana kedua media tersebut mengangkat
berita-berita tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono kemudian
membingkainya ke dalam frame tertentu. Kedua, menggunakan analisis teks media,
frame utama yang mengandung smbol-simbol dalam pesannya, kemudian diuraikan
dengan menggunakan perangkat framing (methapors, catchprases, exemplars,
depictions dan visual images) dan perangkat penalaran (roots, appeals to principle
Methapors, yaitu melihat makna dari berita Seratus Hari Kinerja Presiden
SBY-Boediono di surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas, dengan merelasikan fakta
yang berupa kiasan. Atau bisa juga mentransfer kata yang memiliki simbol yang bisa
mewakili keseluruhan. Misalnya, “Pengamat politik Sukardi Rinakit menambahkan,
dalam 100 hari kepemimpinan SBY-Boediono ini, muncul gejala politik bocah-bocah
nakal, baik di civil society maupun di parlemen”. (Jawa Pos, 27 Januari 2010).
Catchprases, yaitu melihat frase atau bentukan kata yang menarik, menonjol
dalam berita Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono dalam Jawa Pos dan
Kompas, yang merujuk pada semangat sosial tertentu guna mendukung praktik
kekuasaan. Umumnya berupa jargon atau slogan, misalnya pada headline Jawa Pos 28
Januari 2010, yaitu “Popularitas SBY Turun, Demokrat Cemas”.
Exemplars, yaitu teori yang memperjelas bingkai, dikaitkan dengan contoh,
perbandingan. Posisinya sebagai rujukan, pelengkap pembenaran. Seperti misalnya
dalam pemberitaan Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di Jawa Pos dan
Kompas, sama-sama menunjukkan adanya prosentase penurunan terhadap kinerja
Presiden, ada pihak yang pro dan kontra menanggapi Seratus Hari Kinerja Presiden,
dan ada pula yang beramai-ramai melaukan demo.
Depictions, yaitu penggambaran fakta yang bersifat konotatif, bertendensi
khusus agar pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu, memunculkan harapan
atau bahkan ketakutan. Misalnya terlihat pada kalimat “Dengan demikian, menteri
bersangkutan bisa menerobos kebekuan birokrasi dan membuat program yang
Visual images, yaitu dengan menampilkan foto, grafik prosentase penurunan
kinerja pemerintahan, headline yang ditunjukkan oleh Jawa Pos dan Kompas ikut
mempengaruhi dan mendukung berita yang diangkat.
Perangkat framing di atas turut didukung oleh perangkat penalaran (reasoning
devices), digunakan untuk memberikan alasan pembenaran. Hal ini bisa dilihat dari
roots yang ditampilkan berupa analisis sebab akibat dengan melibatkan suatu objek
yang dianggap sebagai penyebab terjadinya peristiwa. Misalnya pada kalimat “Saat
ini, kasus Bank Century justru membuat tingkat kepercayaan masyarakat merosot”.
(Kompas, 27 Januari 2010).
Appeals to principle adalah upaya memberikan alasan pembenar dengan
memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim sebuah kebenaran. Seperti
kalimat “Demo seperti itu wajar. Bagian dari ekspresi dan dinamika politik yang
berkembang. Asalkan tertib, tidak anarki dan menjaga kesantunan”. (Kompas, 28
januari 2010).
Consequences adalah efek yang didapat dari bingkai berita Seratus Hari
Kinerja Presiden SBY-Boediono yang dilakukan oleh surat kabar harian Jawa Pos dan
Kompas. Tentang bagaimana khalayak menerima kebenaran dari apa yang telah
3.2 Subjek dan Objek Penelitian
Yang merupakan subjek dalam penelitian ini adalah surat kabar harian Jawa
Pos dan Kompas. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah
berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono pada 27-29 Januari
2010.
3.3 Unit Analisis
Pada penelitian ini, unit analisis yang digunakan adalah unit analisis reference,
yaitu unit yang digunakan untuk menganalisis kalimat atau kata yang dimuat dalam
teks berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono di surat kabar
harian Jawa Pos dan Kompas.
Analisis teks media dengan melihat hubungan antar kalimat, foto, grafik
penulisan nara sumber, penulisan latar, penggunaan gaya bahasa untuk
mengungkapkan pemaknaan pada perspektif yang digunakan oleh media cetak, yakni
harian Jawa Pos dan Kompas dalam melihat suatu peristiwa, yaitu berita tentang
Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono.
3.4 Korpus
Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas, yang ditentukan pada
perkembangan oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen
mungkin. (Kurniawan, 2001 :70). Sifat yang homogen itu diperlukan untuk memberi
Adapun korpus dalam penelitian ini adalah berita-berita yang membahas
tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono dalam surat kabar harian Jawa
Pos dan Kompas tanggal 27-29 Januari 2010. Pada surat kabar Jawa Pos ada 3 (tiga)
berita yang membahas tentang Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono, antara
lain :
1. Kabinet Lanjutkan, tapi Mirip Pemula (Jawa Pos, 27 Januari 2010)
2. Popularitas SBY Turun, Demokrat Cemas (Jawa Pos, 28 Januari 2010)
3. Program 100 Hari Hanya Sekadar Pencitraan (Jawa Pos, 29 Januari 2010)
Sedangkan korpus yang ada pada surat kabar Kompas ada 3 (tiga) berita yang
membahas tentang Momentum Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono, antara
lain :
1. Program 100 Hari Kabinet Dikritik (Kompas, 27 Januari 2010)
2. Masyarakat Jangan Dirugikan (Kompas, 28 Januari 2010)
3. Pengunjuk Rasa Tidak Puas (Kompas, 29 Januari 2010)
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data-data dalam penelitian ini diperoleh dari pengumpulan secara langsung
dari medianya dengan mengidentifikasi wacana berita yang berpedoman pada model
analisis framing dari Gamson dan Modigliani. Data hasil identifikasi tersebut
selanjutnya dianalisis guna mengetahui bagaimana harian Jawa Pos dan Kompas
mengemas atau mengkonstruksi suatu fakta, yaitu tentang Seratus Hari Kinerja
Sedangkan data-data pada penelitian ini adalah berita-berita mengenai Seratus
Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono. Selain itu penelitian ini juga menggunakan
data-data sekunder yang diperoleh dari informasi-informasi yang relevan dari buku,
internet yang digunakan untuk menambah perspektif kajian analisis peneliti dalam
upaya menjawab permasalahan penelitian.
3.6 Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis
framing. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan dan pertautan fakta ke
dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat untuk
mrnggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing
adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan institusi sosial, dalam hal ini media (khususnya wartawan sebagai anggota
atau bagian dari institusi media), ketika melakukan praktik penyeleksian isu dan
menulis berita. Fakta mana yang akan ditonjolkan atau dihilangkan, serta hendak
dibawa ke arah mana berita tersebut. Karenanya berita menjadi manipulatif dan
bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai suatu legitimate, objektif, alamiah,
wajar atau tidak terelakkan. (Sobur, 2002 : 162).
Metode analisis framing yang dipakai pada penelitian ini adalah model
framing Gamson dan Modigliani, yaitu melihat bagaimana cara suatu media bercerita
(story line) yang berkesinambungan saat mengkonstruksi dan memaknai suatu isu,
yang digambarkan oleh media sebagai suatu frame dari sebuah ide atau gagasan
Berita-berita mengenai Seratus Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono yang
dimuat oleh surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas pada tanggal 27-29 Januari
2010 sebagai gagasan utama, kemudian dianalisis berdasarkan perangkat framing dari
Gamson dan Modigliani dengan melalui langkah-langkah analisis framing.
3.7 Langkah-langkah Analisis Framing
Dengan menggunakan perangkat framing pada model Gamson dan
Modigliani, peneliti hendak menguraikan langkah-langkah yang digunakan untuk
penelitian ini. Berita-berita dalam surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas yang
memuat berita Seratus Hari Kinerja SBY-Boediono ini akan dianalisis dengan
mengikuti langkah-langkah dari perangkat framing Gamson dan Modigliani yang
diuraikan sebagai berikut :
Pertama, menentukan frame dari gagasan utama (core frame), isu yang
diajukan sebagai sentral penelitian, yaitu berita yang memaparkan tentang Seratus
Hari Kinerja Presiden SBY-Boediono dari masing-masing media yang diteliti, yaitu
surat kabar harian Jawa Pos dan Kompas.
Kedua, yaitu dengan melihat simbol-simbol yang ditampilkan oleh kedua
media, mengenai ide sentral yang terbentuk. Kemudian simbol-simbol tersebut
diidentifikasikan menggunakan perangkat framing dari Gamson dan Modigliani, yang
terdiri dari : (framing devices) yaitu dengan melihat methapors, catchprases,
exemplars, depictions dan visual images, juga diperkuat dengan perangkat penalaran
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian
4.1.1 Profil Jawa Pos
Surat kabar Jawa Pos pertama kali diterbitkan pada 1 juli 1949 oleh suatu
perusahaan yang bernama PT Jawa Pos Ltd yang bertempat di jalan Kembang
Jepun 166-169. Perusahaan ini didirikan oleh WNI keturunan kelahiran Bangka
yang bernama The Cung Sen alias Soesno Tedjo pada tanggal 1 juli 1949. Soesno
Tedjo merupakan perintis berdirinya Jawa Pos ini. Pada awalnya Soesno Tedjo ini
bekerja di kantor film Surabaya. Pada mulanya dia bertugas menghubungi surat
kabar agar pemuatan iklan filmnya lancar. Awal inilah soesono Tedjo mengetahui
banyak tentang seluk beluk surat kabar. Dari pengalaman inilah ia kemudian
mendirikan surat kabar bernama Java Post pada tanggal 1 juli 1949. Harian Java
Post saat itu dikenal sebagai harian melayu tionghoa, perusahaan penerbitnya
waktu itu PT. Java Post Concern Ltd yang bertempat di jalan Kembang Jepun.
Pemimpin redaksinya adalah Thio Oen Sik. Keduanya dikenal sebagai
orang-orang republik yang tak pernah goyah.
Pada saat The Cung Sen dikenal sebagai Raja Koran karena memiliki tiga
buah surat kabar yang diterbitkan dalam tiga bahasa yang berbeda. Surat kabar
yang pertama berbahasa indonesia bernama Java Post, yang kedua berbahasa
Tiong hoa bernama Huang Chiau Wan, sedangkan yang ketiga berbahasa Belanda
Surat kabar De Vrije Pers yang berbahasa Belanda tersebut awalnya
dimiliki oleh Vit Geres Matschapij de vrije Pers yang berlokasi di jalan Kaliasin
52 Surabaya tetapi selanjutnya dibeli oleh Java Post Concern Ltd pada bulan april
1954. Pada bulan dan tahun yang sama Java Post mulai dicetak di percetakan Agil
di jalan K.H Mansyur Surabaya.
Pada tahun 1962 harian De Vrije Pers dilarang terbit oleh pemerintah
Republik Indonesia sehubungan dengan peristiwa Trikora untuk merebut kembali
Irian Barat dari tangan Belanda. Sebagai gantinya diterbitkan surat kabar harian
berbahasa Inggris dengan nama Indonesia Daily News, meskipun pada akhirnya
harian ini dihentikan penerbitya karena minimnya pemasangan iklan pada tahun
1981. Sedangkan munculnya kemelut yang disebabkan oleh G30S/PKI ternyata
tidak saja menimpa harian kompas tetapi juga harian Huo Chau Shin Wan,
sehingga pada tahun itu harian ini dilarang terbit meskipun dengan kondisi yang
memprihatinkan karena oplahnya yang sangat kecil yakni 10.000 eksemplar.
Pada awalnya terbitnya,java post memiliki ciri utama yaitu terbit dipagi
hari dengan menampilkan berit-berita umum. Terbitan java post dicetak di
percetakan Agil, di jalan Kiai Mas Mansur Surabaya dengan oplah 10.000
eksemplar. Sejak 1 april 1954, java post dicetak di percetakan De vrije pers, jalan
Kaliasin 52 surabaya. Dari tahun ke tahun jumlah oplah Java Post mengalami
peningkatan tercatat pada tahun 1964-1957 oplah 4.000 eksemplar.
Pada tahun 1958, Java Post lebih disempurnakan ejaannya dangan nama
Jawa Pos. Pada saat itu perkembangan jawa pos semakin membaik dengan oplah
1982 oplah jawa pos tinggal 6.700 eksemplar. Pendistribusiannya di Surabaya
hanya 2000 eksmplar, sedangkan lainnya di beberapa kota jatim dan di malang
yang beredar hanya 350 eksemplar. Penurunana jumlah oplah ini dikarenakan
sistem manajemen yang diterapkan semakin kacau. Ketiga anak the cung sen yang
diharapkan dapat meneruskan usaha penerbitan ini, tidak satupun tinggal di
idonesia. Terlebih lagi tekhnologi cetak juga kian sulit diikuti kemajuaannya.
Rendahnya oplah yang diperoleh penerbit yang berakibat pada kecilnya
pendapatan menyebabkan The Chung Sen sebagai pemilik perusahaan kepada
PT.Grafiti pers (yang menerbitkan tempo) pada tanggal 1 april 1982 pak Tha
(panggilan untuk The Chung Sen) menyatakan tidak mungkin bisa
mengembangkan Jawa Pos tapi tidak ingin surat kabar yang didirikannya mati
begitu saja. Itulah mengapa sebabnya Jawa Pos diserahkan kepada pengelola yang
baru.
Pak The sendiri memiliki Tempo dengan pertimbangan khusus karena
Tempo belum punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah
punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah punya surat
kabar, tentu surat kabar saya ini di nomer duakan, begitu kata pak The saat itu.
Dengan pertimbangan seperti itu pak The ingin perkembangkan Jawa Pos tidak
terhambat. Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun,akhirnya memang
berangkat ke inggris bersam istrinya mega indah yang berusia 71 thun.
Melihat keadaan yang terjadi pada PT Java Post Concern Ltd. tersebut
maka direktur utama Grafiti pers, bapak eric samola, SH menugaskan Bapak
melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan. pada tanggal 1 april 1982
pengelola Jawa Pos diserahkan kepada dahlan iskan yang saat itu menjabat
sebagai pemimpin umum dan pimpinana redaksi Jawa Pos. sebelum pak tha
berangkat ke Inggris beliau berpesan agar Jawa Pos bisa dikembangkan
sebagaimana dimasa mudanya. maka pada suatu malam sebelum
keberangkatannya ke Inggris sebuah pesta kecil diadakan kebulatan tekad, kami
bertekad merebut kembali sejarah yang pernah dibuat pak The, begitu kata-kata
akhir sambutan dahlan iskan yang saat itu ditunjuk untuk memimpin jawa pos.
kata-kata itu akhirnya dibuktikan oleh dahlan iskan yang sekarang menjabat
sebagai direktur utama CEO. hanya dalam waktu dua tahun oplah Jawa Pos sudah
250.000 eksemplar padahal, ketika ahli manajemen dilakukan untuk meraih oplah
10.000 saja rasanya mimpi.
Sejak itulah perkembangan harian Jawa Pos semakin menakjubkan dan
menjadi surat kabar terbesar yang terbit di Surabaya. berkat adanya perbaikan
tersebut, maka pada tahun 1999, oplahnya menjadi 320.000 eksemplar.
Pada tanggal 29 mei 1985, berdasarkan akte notaris Liem Hwa, SH, no.8
pasal 4 menyatakan bahawa nama PT. Jawa Pos concern Ltd diganti menjadi PT.
Jawa Pos. perubahan lain yang dilakukan oleh manajemen PT. Jawa Pos adalah
hal permodalan. pada awalnya PT Jawa Pos dimiliki secara tunggal, namun
sehubungan dengan surat menteri penerangan No.1/per/menpen/84 tentang surat
ijin usaha percetakan dan penerbitan (SIUPP), khususnya tentang pemilikan
saham. maka 20% dari saham perusahaan tersebut harus dimiliki oleh para
Meskipun telah terjadi perubahan kepemilikan, Jawa Pos tidak mengubah
secara esensial isi pemberitaan. Surat kabar Jawa Pos tetap berkembang sebagai
surat kabar yang menyajikan berita-berita umum. berita-berita umum ini meliputi
peristiwa ekonomi, politik, hukum, sosial budaya pemerintahan, olahraga dan
sebagainya. selain itu juga berita-