• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S1) Program Studi Bimbingan dan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S1) Program Studi Bimbingan dan Konseling"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN DIRI PENYANDANG DISABILITAS FISIK NON GENETIK PADA FRATER

(Studi Fenomenologi pada Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania, Tahun Pembinaan 2020/2021)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S1)

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh: Marius Beni Baki

NIM: 161114006

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(2)

SKRIPSI

PENERlMAAN DIRt PENYANDANG DISABILITAS FISlK NON GENETIK PADA FRATER

(Studi Fenomenologi pada Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania, Tahun Pembinaan2020/2021)

Oleh: Marius Beni Baki

NIM: 161114006

Telah disetujui oleh:

Dosen Pe

Pryas Hayu Purbaning Tyas, M.Pd

ii

(3)

PENERIMAAN DIRI PENYANDANG DISABILITAS FISIK NON GENETIK PADA FRATER

(Studi Fenomenologi pada Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania, Tahun Pembinaan 2020/2021)

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Marius Ben i Baki

NIM: 161114006

Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tangga120 Januari 2021

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji: Nama Lengkap

Ketua Dr. Y. Heri Widodo, M.Psi

Sekretaris Pryas Hayu Purbaning Tyas, M.Pd Anggota I Dr. Y. Heri Widodo, M.Psi

Anggota IT Dra. M.J Retno Priyani, M.Si Anggota

m

Pryas Hayu Purbaning Tyas, M.Pd

Tanda Tangan

Yogyakarta, 20 Januari 2021

Harsoyo, S.Pd.

(4)

iv

HALAMAN MOTO

It is the totallity of the encounter with Jesus that sustains every vocation. ( Fr. Pedro Aguado Sch.P)

Nada le diste a Cristo si todo tu corazón no le diste. ( San José de Calasanz, Fundador de la Orden de Escuelas Pías)

If you cannot explain something simply, you don’t understand it well-enough. (Albert Eistein)

Bisakah kita menari Tebe Timor dengan musik bernuansa kebudayaan Jawa? Kita perlu meninggalkan mimpi-mimpi kita dan mengikuti mimpi dari Tuhan.

Biarlah Kehendak dan Sabda Tuhan berkarya di bawah bimbingan dari Roh Kudus

(P. Victor Gil Grande Sch.P)

Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Skripsi ini saya persembahkan untuk kita semua yang sedang dalam proses

mencari kebenaran yang otentik melalui Kesalehan dan Pengetahuan” (Piety and Letters)

(6)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 1'3 Januari 2021

Peneliti

Manus Beni Baki

(7)

PUBLlKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama

Nomor Mahasiswa

: Marius Beni Baki

: 161114006

Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PENERIMAAN DIRI PENYANDANG DISABILITAS FISIK NON GENETIK PADA FRATER

(Studi Fenomenologi pada Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania, Tahun Pembinaan2020/2021)

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 Januari 2021

Marius Beni Baki

(8)

viii ABSTRAK

PENERIMAAN DIRI PENYANDANG DISABILITAS FISIK NON GENETIK PADA FRATER

(Studi Fenomenologi pada Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania, Tahun Pembinaan 2020/2021)

Marius Beni Baki

Universitas Sanata Dharma 2021

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisa proses atau dinamika penerimaan diri Frater penyandang disabilitas fisik non genetik dan (2) menganalisa aspek-aspek yang mempengaruhi proses penerimaan dirinya.

Penelitian ini menggunakan studi fenomenologi. Penelitian studi fenomenologi merupakan jenis penelitian kualitatif. Studi fenomenologi adalah suatu penelitian dengan mencari sesuatu yang mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena yang diteliti. Konsep utama fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Hal itu karena studi fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Analisis data yang digunakan dibantu oleh proses reduksi data dan pengkodean. Untuk mengukur validitas penelitian ini, peneliti menggunakan teknik trianggulasi dimana peneliti melakukan wawancara dengan beberapa pihak terkait dengan subyek yaitu teman dekat dan saudara kandung informan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses atau dinamika penerimaan diri informan banyak dipengaruhi oleh kehidupan rohani/spiritual, kemampuan berfikir realistik, persepsi terhadap diri, keterbukaan menceritakan kronologi disabilitas dan dukungan sosial, yaitu dari teman-teman Frater di dalam komunitas dan saudara kandung. Selain itu, dalam penelitian ini sikap dalam merespon kritikan orang lain membuat informan Luis menyadari bahwa perlu lebih berproses dalam mengontrol emosi. Kritikan dan perkataan orang lain dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang.

(9)

ix

ABSTRACT

SELF-ACCEPTANCE OF SEMINARIAN WITH NON-GENETIC PHYSICAL DISSABILITIES

(Phenomenological study on Sch.P Pre-novice Seminarian of Betania Province, year 2020/2021)

Marius Beni Baki Sanata Dharma University

2021

This research aimed to (1) analyze the process of self-acceptance of seminarian with non-genetic physical disabilities and (2) analyze the aspects that influence the self-acceptance.

In this research, phenomenological study was utilized. Phenomenological study is a qualitative research. It is a type of research which purpose is to seek the depth and to gain detailed understanding about the phenomena being researched. The main concept of phenomenology is meaning. Meaning refers to the essential content that arises from the experience of human consciousness. This happens because the study of phenomenology is a philosophical approach to investigate human experiences. The data gathering was done by using semi-structural interview. In addition, the data was analyzed by using data reduction and coding. To measure the validity of this research, the researcher used triangulation technique where the researcher did interviews with several parties related to the subject, such as the informant's close friend and sibling.

The result of this research showed that the process of self-acceptance informant Luis was heavily influenced by the spiritual life, the ability to think realistically, self-perception, the openness in telling the chronology of the disabilities and the social support from other seminarians in the community and the sibling. Other than that, the attitude of responding to other people's criticism made informant Luis realized that he needed to be undergo more processes in controlling emotions. Criticism and other people's opinions can affect one's self-acceptance.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus atas berkah dan karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan kehendak-Nya. Peneliti menyadari tanpa adanya bantuan bimbingan dan kerjasama yang baik dari pihak-pihak terlibat, Peneliti belum dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Y. Heri Widodo M.Psi. Selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

3. Pryas Hayu Purbaning Tyas, M.Pd. Selaku Wakil Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah membimbing Peneliti selama tiga setengah tahun menempuh pendidikan di Program Studi Bimbingan dan Konseling.

5. Saudara Luis Ramos yang telah berkenan menjadi informan penelitian. Terima kasih untuk kepercayaan, keterbukaan dan sikap siap untuk berproses bersama.

6. Orang tuaku, Alm. Agustinus Baki, Marselinus Asa, Ni’infa Dai serta kakak dan adikku Rino Babo, Rini Baki, Feri Pati, Rian Baki, Elen Ena dan Oki. 7. Ordo Scholarum Piarum (Sch.P), Provinsi Betania, Komunitas Skolapios

(11)

xi

yang telah membentuk Peneliti dalam proses hidup membiara dan kepercayaan kepada peneliti untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. 8. Para Pater Skolapios yang telah banyak membina Peneliti dalam aspek

Human, Christian, Religius dan Calasanzian. P. Victor Gil Grande, P. Marselino Leo Lando, P. Antony, P. Mario Ramirez, P. Judie, P. Martin Bravo, P. Rommel Dupang, dan semua Pater yang pernah membina Peneliti selama 5 tahun hidup membiara ini.

9. Para Frater Yunior, Novis, Pre-novis dan Postulan Skolapios Indonesia 10. Teman Frater seangkatan yang masih di dalam panggilan yang sama, Fr.

Eman Keno, Fr. Olan Haki, Fr. Sefer Kolo, Fr. Dhon Tikneon, Fr. Rian Bere dan Fr. Elber Taus. Terima kasih buat kalian yang selalu berjalan bersama. 11. Teman-teman BK angkatan 2016 kelas A dan B dan BK angkatan 2017 kelas A dan B untuk dinamikanya selama ini. Terkhusus untuk Fr.Lius Tanone, Fr. Kalis Modok, Fr. Dedi Funan, Fr. Kris Djawa, dan Efen Sasa yang telah memulai bersama-sama.

Peneliti menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun, demikian Peneliti berharap dapat memberikan ilmu bagi siapapun yang membacanya.

Peneliti

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 9 C. Pembatasan Masalah ... 10 D. Rumusan Masalah ... 10 E. Tujuan Penelitian ... 10 F. Manfaat Penelitian ... 11 G. Batasan Istilah ... 11 BAB II ... 13 KAJIAN PUSTAKA ... 13 A. Penerimaan Diri ... 13

1. Pengertian Penerimaan Diri ... 13

2. Aspek Penerimaan Diri ... 14

3. Ciri-ciri Individu yang Menerima Diri ... 16

4. Faktor-faktor yang memengaruhi Penerimaan Diri ... 17

(13)

xiii

1. Pengertian Disabilitas ... 19

2. Disabilitas Fisik Non-genetik ... 23

3. Dampak Psikososial ... 24

C. FRATER ... 25

1. Pengertian Frater ... 25

2. Frater Prenovis Sch.P ... 25

3. Provinsi Skolapios Betania ... 27

D. KERANGKA BERFIKIR ... 28

BAB III ... 32

METODOLOGI PENELITIAN ... 32

A. Metode Penelitian ... 32

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

C. Informan Penelitian ... 35

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 36

E. Alat Pengumpulan Data ... 37

F. Prosedur Pengambilan Data ... 45

G. Kredibilitas Penelitian ... 46

H. Teknik Analisis Data ... 46

BAB IV ... 49

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Deskripsi Data ... 49

B. Hasil Penelitian ... 51

C. Rangkuman Hasil Penelitian ... 76

D. Pembahasan ... 78 BAB V ... 90 PENUTUP ... 90 A. Kesimpulan ... 90 B. Keterbatasan Penelitian ... 93 C. Saran ... 94 Daftar Pustaka ... 95 LAMPIRAN ... 98

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Agenda Pertemuan Penelitian Informan Maun...34

Tabel 1.2 Agenda Pertemuan Penelitian Significant Other (Teman dekat Informan Maun)...34

Tabel 1.3 Agenda Pertemuan Penelitian Significant Other (Saudara Kandung Informan Maun)...35

Tabel 1.4 Pedoman Wawancara Informan...37

Tabel 1.5 Pedoman Wawancara Significant Other...42

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Skema 1. Skema Kerangka Berfikir... 31

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Lembar Persetujuan (Inform consent)...93

Tabel Verbatim dan lembar koding informan Luis...96

Tabel Verbatim dan lembar koding Significant other (Teman Dekat)...128

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah yang membahas masalah-masalah yang ingin digali dan tujuan penelitian yang ingin membahas hasil yang diperoleh dari penelitian. Manfaat penelitian membahas mengenai kegunaan penelitian untuk pihak terkait dan definisi operasional yang memaparkan batasan-batasan pembahasan penelitian

A. Latar Belakang

Kondisi tubuh yang lengkap dan sehat merupakan harapan dari setiap individu. Jika mengalami keterbatasan atau memiliki kondisi fisik yang kurang sempurna maka hal tersebut dapat memengaruhi individu dalam beraktivitas. Selain itu, muncul juga perasaan rendah diri yang akan beorientasi pada konsep penerimaan diri. Penerimaan diri (Self acceptance) adalah kemampuan individu untuk menerima karakteristik dirinya baik itu kelemahan atau kelebihan dan mampu membuka diri dengan mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi terhadap orang lain (Reber&Reber,2010, Supratiknya,1995).

Individu dengan disabilitas fisik mempunyai pengalaman masing-masing mengenai disabilitas fisik yang menimpa mereka. Ada yang terjadi dalam masa pertumbuhan karena penyakit, akibat kecelakaan lalu lintas atau karena kecelakaan kerja. Hal tersebut dapat menyebabkan individu mengalami cacat fisik atau disabilitas nongenetik (penyandang disabilitas tidak dari lahir). Terdapat tiga konsep dasar yang lebih mendalam terhadap pengertian cacat fisik yaitu :

(18)

impairment, disability dan handicap. Pada disability ini terdapat berbagai keterbatasan atau berkurangnya suatu kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu dengan selayaknya. Seseorang dapat mengalami keterbatasan kemampuan yang diakibatkan oleh kekurangan baik secara fisik, intelektual, pengindraan, kondisi-kondisi medis atau penyakit mental tertentu, baik itu sejak lahir atau setelah lahir. (Oktriana, A.L.,2004)

Kelainan disabilitas fisik nongenetik disebabkan karena adanya kecelakaan ataupun menderita penyakit tertentu bukan dialami individu dari sejak lahir. Proses ini merupakan permasalahan baru bagi individu dalam menjalani kehidupan karena harus menyesuaikan dengan kondisi tubuh baru. Kekurangan salah satu bagian tubuh dapat memengaruhi secara keseluruhan dari segi kemampuan motorik dan keadaan psikis tertentu (Feist &Feist, 2006).

Hambatan yang dialami akibat kondisi fisik membuat para penyandang disabilitas menjadi malu akan keadaan fisik yang dimiliki, menutup diri, enggan berbaur dengan dunia luar dan merasa rendah diri. Whawha (dalam Indra & Widiasavitri, 2015). Feist dan Feist (2006) mengungkapkan bahwa kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat memengaruhi individu secara keseluruhan, termasuk memengaruhi psikologis seseorang dalam menerima keadaan dirinya seutuhnya. Bentuk tubuh dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas perilaku seseorang, termasuk proses kematangan individu dalam menerima diri secara utuh sehingga mampu menjalani kehidupan dengan baik.

(19)

Penyandang disablitas fisik banyak mengalami berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti tertutup, murung, tidak percaya diri, depresi, stress dan inferioritas terutama mengenai sikap mereka terhadap kondisi fisiknya. Dalam hal ini peneliti memiliki pengalaman yang berbeda mengenai sikap penerimaan diri seorang penyandang disabilitas fisik nongenetik. Di dalam Biara dimana peneliti tinggal dan menjalani formasi sebagai calon Imam Katolik, peneliti mengamati bahwa seorang frater penyandang disabilitas fisik nongenetik mampu berdinamika dengan baik. Hal ini nampak pada Frater yang bernama Luis yang sekarang berada dalam masa pembinaan sebagai seorang Frater Prenovis Sch.P, Provinsi Betania. Ketika berinteraksi dengannya, peneliti merasa bahwa ia mampu terbuka. Pada beberapa kesempatan berbeda di dalam Biara, peneliti juga melihat bahwa ia memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi ketika menjadi Master of Ceremony, ketika men-share-ringkan pengalaman imannya dalam kegiatan sharing kitab suci, saat menyampaikan sambutan dalam beberapa perayaan ulang tahun di dalam Biara dan pada saat kelas bahasa Spanyol bersama.

Hal ini sangat menarik bagi peneliti karena melihat bahwa ia mampu berproses dengan baik di tengah lingkungan seminari dan relasinya dengan frater-frater lainnya yang normal, meskipun kondisi fisik cacat pada kaki bagian kanan. Kisahnya berawal pada tanggal 15 agustus 2009 sewaktu dia masih duduk di bangku kelas 7 Sekolah Menengah Pertama. Waktu awal kejadian jatuh sakit, dia hanya berbaring di tempat tidur selama dua tahun. Awalnya kedua kakinya sejajar, akan tetapi dengan 10 suntikan intensif setiap hari selama beberapa bulan membuat salah satu kakinya lebih pendek akibat dari obat-obatan dan suntikan-suntikan.

(20)

Akibatnya, saat ini ia menjalani kenyataan hidup dengan berjalan pincang. Kondisi fisik yang dimiliki dengan semua pengaruhnya dalam menjalani kehidupannya.

Kualitas secara fisik menjadi salah satu aspek yang cukup berpengaruh dalam penerimaan diri seseorang. Hasil penelitian Ridha (2012) menunjukan bahwa ada hubungan positif antara body image dengan penerimaan diri. Individu yang memiliki body image yang baik secara penampilan fisik akan lebih memiliki penerimaan diri yang positif. Penampilan fisik merupakan salah satu daya tarik individu. Apabila ada perubahan atau kehilangan pada anggota tubuh mereka dan merubah bentuk tubuh, ini akan menjadi gejolak tersendiri bagi individu tersebut dalam menjalani kehidupan.

Penjelasan di atas menunjukkan adanya perbedaan antara dinamika dan pemrosesan serta keadaan psikis penyandang disabilitas fisik nongenetik, antara teori dan hasil pengamatan langsung. Terlihat bahwa seorang frater penyandang disabilitas yang ada di suatu Biara lebih terbuka dan mampu menerima keadaan fisiknya yang berbeda atau cacat, dan percaya diri. Namun di sisi lain, karakteristik mereka menurut suatu teori cendrung menggambarkan perasaan rendah diri dan kurang mampu untuk bersosialisasi atau dengan kata lain rasa kepercayaan diri yang rendah. Widjopranoto dan Sumarno (2004) juga menjelaskan bahwa kondisi psikologi tersebut mempengaruhi kemampuan penyandang disabilitas fisik untuk bersosialisasi, cendrung menutup diri, menunjukkan sikap pasrah dan menghindar. Hal ini mengesankan bahwa masih ada keraguan, kurang dapat menerima kenyataan yang ada dan rasa percaya diri atas potensi diri yang dimiliki.

(21)

Dari uraian tersebut nampak bahwa salah satu permasalahan penting pada penyandang disabilitas fisik adalah kesulitan menerima keadaan diri. Keberanian menerima apa adanya merupakan salah satu kualitas karakter diri yang terpenting dalam hidup. Keberanian menerima diri adalah keberanian menerima fakta mengenai realita yang selalu hadir dalam kehidupan, termasuk menerima kelebihan dan kelemahan diri. Individu yang memiliki perasaan positif terhadap dirinya sendiri, seperti bahagia dengan keadaannya akan memiliki kesehatan psikologis yang baik (Supratiknya, 1995).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa ada hubungan positif antara kematangan emosi dan penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri yang baik akan membantu proses kematangan emosi di dalam diri (Nuryoto & Sari,2002). Latar belakang seorang dapat menerima dirinya sendiri tidak hanya terjadi begitu saja, terdapat faktor yang memengaruhi serta mendorong seseorang mampu melakukan penerimaan diri. Faktor-faktor tersebut memiliki faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain yaitu Subjective well-being (Wijayanti, 2015), daya juang (Mitra, 2014), pemahaman terhadap diri sendiri (Rizkiana, 2009) dan kematangan emosi (Sari dan Nuryoto, 2002) terbukti dapat memengaruhi seseorang dalam menerima dirinya dengan segala kondisi yang ada. Faktor eksternal yang memengaruhi penerimaan diri seseorang yaitu dukungan sosial terhadap penerimaan diri (Uraningsih & Djalali 2016), peer attachment (Sakti & Noviana 2015) dan pelatihan pengenalan diri (Handayani, dkk 1998).

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut tampak bahwa dengan penerimaan diri seseorang akan mengenali dirinya secara utuh. Penerimaan diri

(22)

membantu proses kematangan emosi sehingga membuat individu memahami kekurangan dan kelebihan serta adanya harapan yang realistis terhadap diri sendiri. Namun dalam hal ini penampilan fisik cukup banyak mempengaruhi seseorang dalam menerima diri karena penampilan fisik merupakan daya tarik seseorang. Uraian di atas menunjukan bahwa penerimaan diri merupakan salah satu faktor penting dalam kualitas seseorang dalam menjalani kehidupan.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak melihat penerimaan diri yang dihubungkan dengan salah satu faktor penyebab. Penelitian sebelumnya ingin membuktikan pengaruh faktor tersebut terhadap penerimaan diri. Seperti contoh penelitian yang dilakukan Ridha (2012) mengenai adanya body image dan penerimaan diri. Selain itu mengenai pengaruh dukungan sosial terhadap penerimaan diri (Juwita & Reza 2013, Uraningsih & Djalali 2016, Yuniawati & Ani 2015) yang juga banyak diteliti karena memberi kontribusi dalam memahami secara lebih komprehensif dan holistik mengenai penerimaan diri seseorang dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa penelitian sebelumnya juga lebih menekankan pada penerimaan diri yang dipengaruhi oleh aspek secara sosial seperti dukungan sosial dan lain-lain.

Pada penelitian ini peneliti ingin melihat penerimaan diri pada seorang frater penyandang disabilitas fisik nongenetik. Peneliti merasa bahwa pengalaman dan pengamatan selama tinggal bersama di dalam satu Biara menjadi alasan utama melakukan penelitian ini. Karakteristik yang ditemukan di lapangan berbeda dengan penjelasan karakteristik dalam suatu teori. Hal ini sangat menarik bagi peneliti untuk mengetahui proses Luis dapat terbuka dengan orang lain dan

(23)

menerima keadaan dirinya yang cacat. Peneliti juga melihat bahwa belum ada atau bahkan tidak pernah ada sebelumnya penelitian penerimaan diri dengan sasaran informan penyandang disabilitas fisik pada seorang frater. Peneliti ingin meneliti seorang frater dikarenakan ia merupakan calon Imam Katolik yang akan ditahbiskan. Dalam Kitab Hukum Kanonik no. 1029, para calon tahbisan imam hendaknya memiliki keutamaan-keutamaan dan kualitas yang teruji baik fisik maupun psikis. Memiliki kualitas psikis yang baik merupakan sebuah tantangan. Disabilitas fisik (cacat) yang dimiliki frater dapat menjadi tantangan psikis dalam masa persiapan menjadi seorang iman, terutama mengenai proses menerima diri dengan kondisi fisik yang berbeda dan mengenai tiga tugas utama yang akan diembannya yaitu sebagai seorang Imam, Raja dan Nabi. Tugas sebagai Raja ialah memimpin umat-Nya. Maka jelaslah berproses dengan aspek penerimaan diri tampak relevansinya yang khas untuk menyambut misi sebagai seorang pemimpin. Di dalam dokumen gereja Pastores Dabo vobis dikatakan bahwa pentinglah kemampuan seorang calon Imam untuk menjalin hubungan dengan sesama. Itu syarat yang sungguh mendasar bagi orang yang dipanggil untuk bertanggung jawab atas umat atau sebagai seorang pemimpin dan menjadi “insan persekutuan”. Frater dipanggil menjadi imam yang mudah didekati dan mampu membuka diri bagi hubungan-hubungan yang jernih dan bersifat persaudaraan. Tujuannya ialah pelayanan imamat nantinya sedapat mungkin mendapat kepercayaan dan dapat diterima, pentinglah calon imam membentuk kepribadiannya sedemikian rupa, sehingga menjadi jembatan, dan bukan rintangan, bagi sesama, untuk menjumpai Yesus Kristus Penebus umat manusia (Hardawiryana, 2018). Di dalam konteks ini

(24)

membentuk kepribadian yang sedemikian rupa ialah berproses atau berdinamika dengan aspek-aspek penerimaan diri terkait disabilitas fisik non genetik.

Keadaan keterbatasan fisik yang dialami Luis menjadi tantangan dalam berproses untuk menerima diri secara utuh. Terdapat perbedaan kondisi fisik yang dirasakan olehnya dengan frater-frater pada umumnya, yang berada pada tahap perkembangan yang sama yaitu tahap dewasa awal. Ia dihadapkan dengan realitas bahwa kondisi yang dialami saat ini akan terjadi seumur hidup. Ia juga tumbuh dan berkembang bersama di lingkungan Seminari dengan para frater yang memiliki kondisi yang normal. Perbedaan kondisi ini dapat memberi gejolak tersendiri dan dapat berpengaruh bagi proses penerimaan dirinya. Maka sebagai calon seorang imam, ia harus menerima diri secara otentik, bukan saja supaya ia dapat tumbuh dan merealisasikan diri sebagaimana mestinya, melainkan juga demi pelayanannya di kemudian hari.

Penerimaan diri penyandang disabilitas fisik nongenetik merupakan fenomena yang berkaitan dengan penerapan ilmu Bimbingan dan Konseling di lapangan. Secara khusus bagi mahasiswa/i Program Studi Bimbingan dan Konseling yang lebih memilih untuk berkarir di lembaga-lembaga disabilitas daripada menjadi seorang Konselor sekolah. Ilmu Bimbingan dan Konseling dapat dimanfaatkan untuk membantu dan memahami individu penyandang disabilitas fisik dalam proses mereka menerima kondisi fisik mereka. Ilmu Bimbingan dan Konseling yang dimaksud ialah konseling rehabilitasi dan ketrampilan-ketrampilan dari seorang Konselor, seperti hadir secara psikologis dalam memberikan layanan Konseling Individual, Konseling Kelompok maupun Bimbingan Klasikal dengan

(25)

mereka penyandang disabilitas fisik. Harapannya mereka dapat menerima dirinya meski dengan kondisi fisik yang berbeda.

Oleh karena itu, dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa proses penerimaan diri penyandang disabilitas fisik nongenetik pada Luis, seorang Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania dan aspek-aspek apa yang mempengaruhi proses penerimaan dirinya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Kondisi fisik yang kurang sempurna tidak selalu memengaruhi individu dalam beraktivitas, masih ada rasa percaya diri, dan memengaruhi konsep penerimaan diri.

2. Penyakit, kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja dapat menyebabkan individu mengalami cacat fisik atau disabilitas fisik non genetik (penyandang disabilitas tidak dari lahir)

3. Kekurangan salah satu bagian tubuh individu dapat memengaruhi secara keseluruhan dari segi kemampuan motorik dan keadaan psikis tertentu 4. Karakteristik penyandang disabilitas fisik menurut suatu teori cendrung

menggambarkan perasaan rendah diri dan kurang mampu untuk bersosialisasi atau dengan kata lain rasa kepercayaan diri yang rendah tapi berbeda dengan realitas di lapangan.

(26)

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini, fokus kajian diarahkan pada Frater penyandang disabilitas fisik non genetik. Maka penelitian fokus pada “Penerimaan Diri Penyandang Disabilitas Fisik Non Genetik pada Frater Prenovis Sch.P Provinsi Betania.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan di atas, dapat dirumuskan dua rumusan masalah, yakni;

1. Bagaimana proses atau dinamika penerimaan diri Luis terkait disabilitas fisik non genetik yang dimilikinya?

2. Aspek-aspek apa saja yang mempengaruhi proses atau dinamika penerimaan diri Luis?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disampaikan di atas, ada dua tujuan penelitian, yakni;

1. Menganalisa proses atau dinamika penerimaan diri Luis terkait disabilitas fisik non genetik yang dimilikinya

2. Menganalisa aspek-aspek yang mempengaruhi proses atau dinamika penerimaan diri Luis.

(27)

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi dan pengetahuan berupa pengalaman individu dan kontribusi pengetahuan bagi ilmu Bimbingan dan Konseling mengenai penerimaan diri pada individu penyandang disabilitas fisik non-genetik.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan membantu memberikan pengetahuan lebih mengenai penerimaan diri Frater yang menjadi informan bagi seluruh anggota komunitas Biara Sch.P. Hal tersebut diharapkan mereka mampu memberi dukungan sosial dan bersikap dengan bijaksana dalam mendukung proses penerimaan diri penyandang disabilitas non-genetik.

G. Batasan Istilah

1. Penerimaan diri adalah sikap seseorang menerima dirinya, tidak bermasalah dengan dirinya, memiliki kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi terhadap orang lain serta kemampuan dan kemauan untuk dapat memahami diri sendiri agar memperoleh kebahagian di dalam hidup.

2. Penyandang disabilitas fisik non genetik adalah mereka yang memiliki jenis kelainan fisik atau mental atau kelainan perilaku namun tidak dialami sejak lahir, melainkan terjadi karena adanya sebuah kecelakaan ataupun menderita penyakit tertentu

(28)

3. Frater adalah sebutan bagi orang-orang yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi imam atau calon pastor Gereja Katolik. Para Frater mengikatkan diri pada suatu paguyuban yang tersebar dalam lingkup geografis yang lebih luas yang disebut provinsi.

(29)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan mengenai pengertian penerimaan diri, aspek, ciri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu juga dipaparkan mengenai disabilitas fisik non genetik, dampak psikosialnya, Frater dan kerangka berfikir.

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (1974) penerimaan diri adalah derajat dimana seseorang telah mempertimbangkan karakteristik personalnya, merasa mampu serta bersedia hidup dengan karakteristiknya tersebut. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Supraktinya (1995) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau bersikap tidak sinis terhadap diri sendiri, penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi terhadap orang lain.

Penjelasan tersebut didukung oleh pendapat Saraswati (2009) yang memaparkan bahwa penerimaan diri adalah mereka yang menerima semua segi keberadaan mereka, termasuk kelemahan-kelemahan, dengan tidak

(30)

menyerah secara pasif dengan kelemahan tersebut. Jersild (dalam Oktaviani, 2009) menjelaskan bahwa individu yang menerima diri adalah yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pendapat orang lain, memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional

Penjelasan lain ditambahkan oleh Reber dan Reber (2010) yang mengatakan bahwa penerimaan diri (Self Acceptance) adalah sikap seseorang menerima dirinya. Pendapat tersebut juga didukung oleh Surbakti (2010) bahwa penerimaan diri adalah kemampuan dan kemauan untuk dapat memahami diri sendiri agar memperoleh kebahagian di dalam hidup.

Dari pengertian beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari penerimaan diri (Self Acceptance) adalah sikap seseorang menerima dirinya, tidak bermasalah dengan dirinya, memiliki kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi terhadap orang lain serta kemampuan dan kemauan untuk dapat memahami diri sendiri agar memperoleh kebahagian di dalam hidup.

2. Aspek Penerimaan Diri

Jersild (dalam Nurani, 2019) mengemukakan aspek-aspek penerimaan diri yaitu sebagai berikut:

2.1 Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan

Individu yang memiliki penerimaan diri berfikir lebih realistik tentang penampilan dan dalam pandangan orang lain. Ini bukan berarti

(31)

individu tersebut mempunyai gambaran sempurna tentang dirinya, melainkan individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya.

2.2 Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri

Individu yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki penerimaan diri. Individu akan menggunakan bakat yang dimilikinya dengan lebih leluasa.

2.3 Respon atas penolakan dan kritikan

Individu yang memiliki penerimaan diri mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan. Individu yang tidak memiliki penerimaan diri justru menganggap kritikan sebagai wujud penolakan terhadapnya.

2.4 Moral

Individu dengan penerimaan diri memiliki kejujuran untuk menerima dirinya apa adanya, dan tidak hidup di dalam kepura-puraan. Terbuka mengakui dirinya sebagai individu yang jika tertimpa masalah, merasa cemas, ragu dan bimbang tanpa harus menipu diri dengan orang lain. Menipu diri mereka sendiri dan hidup di dalam kepura-puraan adalah sebuah pengamalan nilai yang salah dan dapat menimbulkan permasalahan dalam hubungan sosial.

(32)

2.5 Keyakinan akan kemampuan diri

Individu mampu bertindak berdasarkan pemikiran diri sendiri dan meyakini hal tersebut adalah keputusan terbaik. Hal tersebut merupakan arahan agar dapat menerima dirinya serta membangun kekuatan untuk menghadapi kelemahan dan keterbatasannya. Seorang individu akan lebih baik jika ia dapat menggunakan kemampuannya dalam perkembangan hidupnya.

2.6 Spontanitas menikmati hidup

Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih banyak keleluasan untuk menikmati hal-hal di dalam hidupnya. Selain itu, individu tersebut juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.

Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut peneliti mengambil aspek menurut Jersild (1958) untuk digunakan dalam penelitian, yaitu meliputi aspek persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan, sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri, respon atas penolakan dan kritikan, moral dan keyakinan akan kemampuan diri dan spontanitas menikmati hidup

3. Ciri-ciri Individu yang Menerima Diri

Jersild (dalam Hurlock, 1974) menyebutkan ciri-ciri individu yang menerima diri adalah sebagai berikut:

(33)

a. Orang yang menerima dirinya memiliki harapan yang realistis terhadap keadaannya dan menghargai dirinya sendiri. Artinya orang tersebut mempunyai harapan yang sesuai dengan kemampuannya.

b. Yakin akan standar-standar dan pengetahuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain.

c. Memiliki perhitungan akan keterbatasan diriinya dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irasional. Artinya orang tersebut memahami mengenai keterbatasannya namun tidak mengenaralisir bahwa dirinya tidak berguna.

d. Menyadari aset diri yang dimilikinya dan merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya.

e. Menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri. Orang yang menerima dirinya mengetahui apa saja yang menjadi kekurangan yang ada di dalam dirinya.

f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam diri.

g. Tidak melihat individu yang dikuasai rasa marah dan takut atau menjadi tidak berarti.

h. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka raih.

4. Faktor-faktor yang memengaruhi Penerimaan Diri

Menurut Hurlock (1974) ada beberapa yang memengaruhi penerimaan diri yaitu:

(34)

4.1 Harapan yang realistis

Individu menentukan sendiri harapannya disesuaikan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. Dalam mencapai tujuannya dengan memiliki harapan yang realistik, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri

4.2 Tidak adanya hambatan dari lingkungan (absence of environment of obstacles)

Ketidakmampuan dalam mencapai tujuan yang realistis, dapat terjadi karena hambatan dari lingkungan yang tidak mampu dikontrol oleh seseorang seperti diskriminasi ras, jenis kelamin, atau agama. Apabila hambatan-hambatan itu dapat dihilangkan dari keluarga, peer atau orang-orang yang berada disekelilingnya mampu memberikan motivasi dalam mencapai tujuan, maka seseorang akan mampu memperoleh kepuasan terhadap pencapaiannya

4.3 Pengaruh Keberhasilan

Pengalaman gagal dapat menyebabkan penolakan diri, sedangkan meraih kesuksesan akan menghasilkan penerimaan diri

(35)

4.4 Pola Asuh

Penyesuaian terhadap hidup, terbentuk pada masa kanak-kanak. Pelatihan yang baik di rumah maupun sekolah pada masa kanak-kanak sangatlah penting agar mereka menerima karakter diri masing-masing dan mengembangkan bakat yang dimiliki.

4.5 Emosi

Tanpa adanya stress atau tekanan emosional yang berat membuat seseorang bekerja optimal dan lebih berorientasi pada lingkungan daripada berorientasi diri sehingga membuat lebih tenang dan bahagia.

B. DISABILITAS

1. Pengertian Disabilitas

Pada dasarnya, istilah difabel atau disabilitas merupakan kepanjangan dari differently abled people atau orang yang memiliki kemampuan berbeda sudah dikenal sejak tahun 1998. Untuk kondisi di Indonesia, difabel disebutkan dalam PP. Nomor 72 tahun 1991 adalah mereka yang memilki jenis kelainan fisik atau mental dan atau kelainan perilaku. Kelainan fisik meliputi tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Sementara kelainan mental meliputi tunagrahita. Sedangkan kelainan perilaku meliputi tunalaras

Cacat fisik atau difabel menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) adalah suatu kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutu kurang

(36)

baik atau kurang sempurna bahkan tidak sempurna akibat kecelakaan atau lainnya yang menyebabkan keterbatasan pada dirinya, terutama terlihat secara fisik.

Menurut Mangunsong (1998) disabilitas adalah adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang secara obyektif dapat diukur/dilihat, karena adanya kehilangan atau kelainan dari bagian tubuh/ organ seseorang. Misalnya tidak ada tangan, kelumpuhan pada bagian tertentu dari tubuh. kecacatan atau disabilitas ini bisa selamanya pada diri seseorang.

Di dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivititas biasa secara selayaknya misalnya aktivitas-aktivitas fisik. WHO semakin memperjelas definisi kecacatan tidak hanya di bagian fisik namun pada tidak berfungsinya para penyandang cacat fisik layaknya orang normal. Penyandang cacat fisik mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan pribadi, keluarga dan bermasyarakat maupun di berbagai bidang seperti sosial, ekonomi maupun psikologis dikarenakan adanya ketidaknormalan secara psikis atau fisik (Departemen Sosial RI, 1995; dalam Oktriana, A.L., 2004)

Menurut Hammerman dan Maikowski (Oktriana, A.L.,2004), terdapat tiga konsep dasar yang lebih mendalam terhadap pengertian cacat

(37)

fisik yaitu impairment, disability dan handicap. Impairment ialah suatu keadaan yang menyebabkan hilangnya atau terjadinya abnormalitas pada struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis yang dapat terjadi sementara maupun menetap.

Pada disability ini terdapat berbagai keterbatasan atau berkurangnya suatu kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu dengan selayaknya. Seseorang dapat mengalami keterbatasan kemampuan yang diakibatkan oleh kekurangan baik secara fisik, intelektual, pengindraan, kondisi-kondisi medis atau penyakit mental tertentu. Keterbatasan kemampuan serta kondisi-kondisi atau penyakit yang dialami bersifat permanen ataupun sementara. Disability ini muncul sebagai akibat langsung dari impairment.

Salah satu karakteristik kondisi fisik seorang penyandang cacat fisik dapat diuukur dari derajat kecacatan anggota gerak atas, bawah, dan tulang belakang yang dikaitkan dengan kemampuannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Menurut UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat mengemukakan tentang derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya kecacatan yang dapat disandang seseorang (Rachmanto dan Sumarno, 2004). Berat atau ringannya kecacatan fisik dapat dilihat dari kemampuan penyandang cacat fisik tersebut untuk melakukan kegiatan sehari-hari atau dapat diistilahkan sebagai ADL (activity of daily living). Siswoyo menyatakan bahwa semakin berat suatu kecacatan fisik yang dialami maka akan semakin sedikit ADL (activity of daily living) yang dapat dilakukan oleh individu (Oktriana, A.L., 2004). Tingkat gangguan pada cacat fisik. (1)

(38)

Ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi, (2) Sedang yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, (3) Berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

Handicap sendiri ialah suatu keadaan yang dapat merugikan seseorang karena dapat merugikan seseorang karena mengalami suatu impairment maupun suatu disability sehingga menghambat pemenuhan suatu peran sesuai dengan usia, jenis kelamin, serta faktor sosio-kultural. Handicap juga merupakan suatu kondisi kehilangan atau keterbatasan kesempatan yang dimiliki seseorang untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat seperti orang lain pada umumnya. Istilah handicap dapat menggambarkan pengalaman seseorang dengan kecacatan dan lingkungannya. Istilah ini digunakan untuk menonjolkan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada lingkungan serta kegiatan-kegiatan yang terorganisasi di dalam masyarakat, yakni dalam hal informasi, komunikasi dan pendidikan yang dapat mengakibatkan para penyandang cacat fisik dapat berpartisipasi atas dasar persamaan.

Ketiga konsep dasar ini saling berkaitan satu sama lain. Konsep-konsep tersebut menjelaskan secara rinci bahwa pengertian penyandang cacat dapat dimulai dari seseorang mengalami suatu keadaan yang menyebabkan kondisi abnormal yang sementara atau menetap yang disebut dengan istilah impairment. Seseorang nantinya juga akan mengalami

(39)

disability yang merupakan akibat langsung dari Impairment. Disability ialah suatu tahap dimana seseorang merasakan adanya keterbatasan atau kekurangan dalam melakukan aktifitas yang selayaknya. Keterbatasan yang dimiliki tergantung dari berat atau ringannya tingkat kecacatan yang dialami oleh seseorang. Impairment dan disability membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk dapat berpartisipasi secara langsung di dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sehingga menghambat pemenuhan peran dalam diri dan kondisi ini disebut dengan handicap.

2. Disabilitas Fisik Non-genetik

Penyandang disabilitas non-genetik menurut PP. Nomor 72 tahun 1991 adalah mereka yang memiliki jenis kelainan fisik atau mental atau kelainan perilaku namun tidak dialami sejak lahir, melainkan terjadi karena adanya sebuah kecelakaan ataupun menderita penyakit tertentu. Kelainan fisik meliputi tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Sementara kelainan mental meliputi tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang. Sedangkan kelaianan perilaku meliputi tunalaras. Ini merupakan proses dan juga masalah baru bagi individu tersebut dalam menjalani kehidupan karena berkaitan dengan perubahan kondisi dan fungsi tubuh manusia.

Nongenetik dapat diartikan juga faktor eksternal (Soemantri, 2006), sehingga dalam hal ini disabilitas nongenetik merupakan seseorang yang mengalami disabilitas akibat faktor dari luar dan tidak sejak lahir atau dalam

(40)

kandungan. Misalnya kecelakaan, terkena penyakit, pengaruh alat medis, kurang gizi dan terkena racun atau virus.

3. Dampak Psikososial

Kecacatan yang dialami membuat para penyandang disabilitas fisik memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupannya. Keterbatasan ini berpengaruh pada psikososial yang dimiliki para penyandang cacat fisik. Smet (1994) menjelaskan bahwa psikososial itu ialah adanya hubungan dinamis antara keadaan psikologis dengan pengaruh sosial di mana keduanya saling mempengaruhi dan penting untuk proses perkembangan individu. Memiliki keterbatasan yang diakibatkan oleh kecacatan pada fisik kemungkinan dapat menimbulkan keadaan psikologis yang tidak stabil yaitu terdapat perasaan negatif seperti kaget, shock, marah, kecewa dan malu (Widjopranoto dan Sumarno, 2004)

Widjopranoto dan Sumarno (2004) juga menjelaskan bahwa kondisi psikologi tersebut mempengaruhi kemampuan penyandang disabilitas fisik untuk bersosialisasi, cendrung menutup diri, menunjukkan sikap pasrah dan menghindar. Hal ini mengesankan bahwa masih ada keraguan, kurang dapat menerima kenyataan yang ada dan rasa percaya diri atas potensi diri yang dimiliki. Pengaruh dari lingkup sosial sendiri menunjukkan adanya penolakan dan rasa kasihan sehingga membuat penyandang disabilitas fisik merasa menjadi beban bagi orang lain ataupun malu terhadap kondisi fisiknya yang cacat.

(41)

C. FRATER

1. Pengertian Frater

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Frater berarti calon pastor. Di Indonesia, istilah “Frater” digunakan sebagai sebutan bagi orang-orang yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi imam Gereja Katolik. Frater dipanggil untuk menjalankan nasihat injil (kaul kemiskinan, kemurniaan dan ketaatan). Para Frater mengikatkan diri pada suatu paguyuban yang tersebar dalam lingkup geografis yang lebih luas yang disebut provinsi. Itu alasannya mereka lazim berpindah-pindah tempat tinggal, dari satu wisma paguyuban ke wisma paguyuban yang lain dalam lingkup provinsi mereka (id.m wikipedia.org)

2. Frater Prenovis Sch.P

Prenovisiat merupakan salah satu tahap dalam formasi inisial di dalam Ordo Skolapios (Sch.P). Ordo Skolapios merupakan kelompok para imam dan frater di dalam gereja Katolik yang mendedikasikan diri dalam formasi dari anak-anak dan pemuda kristiani, khususnya bagi mereka yang paling membutuhkan di dalam masyarakat, yang miskin.

St. Yosef Kalasanz pendiri Ordo Skolapios, mendirikan di Roma, pada tahun 1597, sebuah sekolah publik gratis dan populer pertama di Eropa. Dia menyebutnya “Schola Pia”, yang berarti “ Pious School” atau “Sekolah yang Saleh”. St. Yosef Kalasanz mencoba untuk mempertahankan karya yang telah ia mulai tersebut dengan mendirikan komunitas religius.

(42)

Pada tanggal 25 maret 1617, Calasanz bersama dengan 14 rekannya untuk pertama kali menerima jubah dari Ordo Skolapios. Singkatannya Sch.P. (dalam bahasa Latin : Scholarum Piarum = Schola Pia). Lambang dari Ordo ini ialah Maria Bunda Allah. Motonya PIETY AND LEARNING. St. Yosef Kalasanz meninggal pada 25 Agustus 1648 pada usia 91 tahun. Dia dikanonisasi sebagai orang kudus/santo pada tahun 1767. Tiga ratus tahun setelah kematiannya, Paus Pius XII mendeklarasikan dia sebagai pelindung dari semua sekolah-sekolah katolik. (Burgués, 2017)

Prenovisiat Skolapios berlangsung selama kurang lebih setahun. Pada tahap ini para frater prenovis menempuh studinya dengan didampingi pendampingan formasi Skolapios. Obyektif dari tahap ini ialah frater prenovis memulai formasi untuk mengenal diri sendiri dengan mengintegrasikan elemen-elemen positif dan negatif yang ada di dalam dirinya. Aspek manusiawi, kristiani, dan religiusitasnya. Di samping itu, mengenal lebih dalam figur Yesus Kristus sebagai Tuhan yang ia imani, mendengarkan-Nya, berdoa dengan-Nya dan bekerja untuk-Nya. Dan juga mengenal lebih dalam pribadi dari St. Yosef Kalasanz pendiri Ordo.

Di akhir tahap ini para formandi diminta untuk membuat sebuah discernment inisial dari panggilannya, realitas hidup yang ia jalani, dari cahaya iman dan dari perspektif hidup Skolapios. Setelah menyelesaikan tahap prenovisiat, Frater prenovis membuat surat lamaran untuk masuk ke tahap berikutnya yaitu Novisiat. Para tim formator akan mengevaluasi surat lamarannya dengan cahaya dari obyektif pada tahap prenovisiat di dalam

(43)

konteks setiap formandi. Lalu, mereka akan mengusulkan kepada pemimpin provinsial untuk mempertimbangkan setiap formandi untuk melanjutkan formasi mereka ke tahap novisiat. (Congregación General de las Escuelas Pías, 2009)

3. Provinsi Skolapios Betania

Skolapios sejak 1617 selalu menciptakan sekolah yang membantu dalam pembentukan orang-orang yang terbuka, peduli, berkomitmen dan percaya.. Provinsi Skolapios Betania dimulai pada tahun 2012, hasil dari persatuan provinsi Valencia dan Demarkasi ketiga, tetapi sejarahnya telah dimulai sejak 1728 (Sekolah Tinggi San Fernando di Madrid) dan 1737 (Sekolah Tinggi Pious School di Valencia). Provinsi Skolapios Betania saat ini hadir dalam lebih 20 karya pendidikan dalam geografi Spanyol dan telah memulai keberadaanya di Indonesia semenjak 2015.

Sejarah sekolah-sekolah dalam Provinsi Skolapios Betania, dimulai berkat St. Yosef Kalasanz (1557-1648), yang dengan perhatiannya pada anak-anak yang tak berdaya dan tanpa sekolah, telah membiarkan dirinya dibuat terkejut dan terpesona oleh mereka. Dari pengalaman hidup itu, dia memutuskan untuk memusatkan kehidupan imamatnya untuk mendirikan sekolah. Sekolah populer yang terorganisasi dengan baik dan dengan pendidik yang berkualitas. Melalui karya pendidikan ini, anak-anak telah mengalami perubahan di dalam hidup mereka khususnya pada dimensi

(44)

“Iman” dan “budaya”. Peristiwa awal ini telah berlanjut dalam waktu, selama lebih dari empat ratus tahun hingga saat ini. (Escolapiosbetania.org)

D. KERANGKA BERFIKIR

Feist dan Feist (2006) mengungkapkan bahwa kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat memengaruhi individu secara keseluruhan, termasuk memengaruhi proses seseorang dalam menerima keadaan diri. Oleh karena itum bentuk tubuh dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas perilaku seseorang, termasuk proses kematangan individu dalam menerima diri secara utuh sehingga mampu menjalani kehidupan dengan baik. Penerimaan diri (self-acceptance) adalah kemampuan individu untuk menerima karakteristik dirinya baik itu kelemahan dan kelebihan dan mampu membuka diri dengan mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi terhadap orang lain untuk memperoleh kebahagiaan tanpa bergantung pendapat orang lain (Hurlock, 1974; Jersild, 2009; Reber & Reber, 2010; Saraswati, 2009; Supratiknya, 1995; Surbakti, 2010).

Keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas nongenetik tentu memengaruhi proses penerimaan diri. Dalam hal ini seseorang sebelumnya pernah mengalami kehidupan secara normal tanpa cacat. Namun tiba-tiba mengalami kecelakaan atau terkena penyakit tertentu sehingga membuat kondisinya berubah dan mengalami disabilitas. Hal ini mengubah hidup seseorang dan membutuhkan proses adaptasi untuk

(45)

terbiasa dengan keadaan fisiknya. Proses penerimaan diri merupakan salah satu hal yang penting untuk seseorang agar mampu beradaptasi dengan disabilitas yang dialami. Namun proses penerimaan diri seseorang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor (Hurlock, 1974) yaitu antara lain harapan yang realistis, artinya individu mampu menentukan sendiri harapannya dan tidak dikendalikan oleh lingkungan. kedua, tidak ada hambatan dari lingkungan, artinya individu mampu mengontrol tekanan ataupun diskriminasi dari lingkungan. Lingkungan individu tersebut mampu memberi motivasi untuk mencapai tujuannya. Ketiga yaitu pengaruh keberhasilan. Dalam hal ini pengalaman gagal dalam mencapai sebuah tujuan berpengaruh terhadap sikap seseorang. Seseorang yang mampu menerima diri akan menerima kegagalan bukan menimbulkan penolakan diri. Keempat yaitu pola asuh. Pengaruh pola asuh orang tua saat masih kanak-kanak memengaruhi sikap individu dalam mengenal dan menerima diri. Kelima yaitu emosi. Adanya stress karena keadaan fisik yang berbeda dengan Frater normal lain dapat membuat Frater mengalami tekanan emosional yang berat. Maka dari itu kematangan emosi memengaruhi seseorang dalam penerimaan diri (Sari dan Nuryoto, 2002)

Mengacu pada beberapa hasil penelitian dan teori yang telah dijelaskan, peneliti ingin melihat gambaran penerimaan diri penyandang disabilitas fisik non-genetik pada Frater. Hasil penelitian lain (Tentama, 2011) menunjukan bahwa penyandang disabilitas yang mengalami cacat akibat kecelakaan dalam hidupnya memerlukan waktu cukup lama untuk

(46)

mampu menerima dirinya dan memiliki tingkat inferioritas yang lebih tinggi daripada penyandang cacat tubuh bawaan lahir. Meskipun dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, dengan adanya penerimaan diri, para penyandang disabilitas non-genetik akan mampu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dengan lebih maksimal. Selain itu, penerimaan diri juga dapat memengaruhi kesehatan psikologis individu. Diketahui bahwa individu yang memiliki perasaan yang positif terhadap diri sendiri bagaimanapun keadaan fisiknya akan memiliki kesehatan psikologis yang baik (Supratiknya, 1995)

Apabila para penyandang disabilitas nongenetik kurang dapat menerima diri dan merespon secara negatif akan memunculkan tekanan-tekanan atau beban di dalam dirinya. Kartono (1990) mengungkapkan bahwa gangguan fungsi motorik sering memberikan pengaruh yang negatif yang akan menghambat kepribadian dan menghambat potensinya untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dan seringkali mengakibatkan rendah diri. Lalu terdapat pula pengaruh yang menunjukan bahwa ada hubungan positif antara kematangan emosi dan penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri akan membantu proses kematangan emosi dalam diri individu tersebut (Sari dan Nuryoto, 2002). Keberanian menerima diri dengan apa adanya merupakan salah satu kualitas karakter diri yang terpenting di dalam hidup. Keberanian menerima diri apa adanya ialah mampu menerima fakta mengenai realita yang selalu hadir dalam

(47)

kehidupan, termasuk menerima keterbatasan fisik yang terjadi di dalam diri dimana sangat berbeda dengan sebelumnya. Skema 1 kerangka berfikir:

Kehidupan Normal (Tanpa Keterbatasan Fisik)

Mengalami kecelakaan atau terkena penyakit tertentu

MENGALAMI DISABILITAS FISIK NONGENETIK

Proses dimana Frater berkembang dengan kondisi fisik yang berbeda dengan Frater

normal lainnya di dalam sebuah Biara

Keadaan disabilitas yang dialami akan memengaruhi:

 Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan  Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri  Respon atas penolakan dan kritikan

 Moral

 Keyakinan akan kemampuan diri  Spontanitas menikmati hidup

(48)

32 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan mengenai jenis penelitian dan informan penelitian. Selain itu peneliti memaparkan mengenai prosedur dan alat pengumpulan data. Pada bab ini juga dipaparkan mengenai teknik analisis data dan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini. Metode dalam penelitian ini mendeskripsikan tentang pendekatan yang digunakan oleh peneliti.

A. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research.) Cresswell (2008) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu desain atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengerti gejala sentral tersebut peneliti mewawancarai informan penelitian atau partisipan dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan sedikit luas (pertanyaan terbuka). Secara umum penelitian kualitatif lebih mengandalkan data berupa ungkapan informan peneliti untuk mengekplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam sebuah penelitian (Supratiknya, 2015). Fischer (2006) berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah pendekatan yang tepat jika kita ingin memahami dan mengkategorisasikan pengalaman atau interaksi seperti apa adanya, daripada menjelaskan suatu konsep tersebut hanya sebagai suatu variabel

(49)

independen (baik itu natural atau maupun eksperimen). Hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

2. Studi Fenomenologi

Penelitian studi fenomenologi merupakan jenis penelitian kualitatif. Fenomenologi merupakan strategi penelitian dimana di dalamnya peneliti mengidentifikasikan hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Moustakas (dalam Creswell, 2013). Fenomena sendiri punya definisi sebagai persitiwa atau aktivitas mental yang tampak atau muncul dalam kesadaran seseorang (Kahija, 2017). Martin Packer (dalam Kahija, 2017) menyebutkan bahwa fenomenologi adalah studi reflektif inti kesadaran dari sudut pandang individu yang mengalami secara langsung. Smith el al (2009) menyebutkan juga bahwa fenomenologi merupakan pendekatan filosofis untuk studi tentang pengalaman. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman Memahami pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomenologi sebagai suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnya mengharuskan peneliti untuk mengkaji subjek dengan terlibat secara langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan pola-pola dan relasi-relasi makna. Moustakas (dalam Cresswell, 2013).

Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian fenomenologi terkait dengan judul yaitu penerimaan diri penyandang disabilitas fisik non genetik

(50)

pada Frater. Kesadaran diri merefleksikan pada sesuatu yang dilihat, dipikirkan, diingat dan diharapkan, inilah yang disebut dengan menjadi fenomenologi.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Peneliti melakukan penelitian ini di Yogyakarta, peneliti telah menyiapkan agenda pertemuan penelitian dengan informan dan kedua significant other.

Tabel 1.1 Agenda Pertemuan Penelitian Informan Luis Ramos

Informan Waktu Tempat Keterangan

Luis Ramos Kamis, 22 Oktober 2020 16.00-18.15 WIB Biara Skolapios Yogyakarta Wawancara Kamis, 29 Oktober 2020 15.30-18.15 Biara Skolapios Yogyakarta Wawancara

Tabel 1.2 Agenda Pertemuan Penelitian Significant Other (Teman dekat Informan Maun)

Inisial Informan Waktu Tempat Keterangan

DM Kamis, 3 Desember 2020 15.30-16.30

Biara Skolapios Yogyakarta

(51)

Tabel 1.3 Agenda Pertemuan Penelitian Significant Other (Saudara Kandung Informan Maun)

Inisial Informan Waktu Tempat Keterangan

CR Kamis, 4 Desember 2020 15.30-16.30

D.I.Y & NTT Wawancara Online via

whatsapp audio call

C. Informan Penelitian

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian

Menurut Arikunto (1990) subjek penelitian adalah variabel penelitian yang dipermasalahkan melekat. Tidak ada satu pun penelitian yang dapat dilakukan tanpa adanya subyek penelitian, karena seperti yang telah diketahui bahwa dilaksanakannya penelitian dikarenakan adanya masalah yang harus dipecahkan. Maksud dan tujuan penelitian adalah memecahkan persoalan yang timbul tersebut. Hal ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan. Informan penelitian yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah seorang frater penyandang disabilitas fisik non genetik. Terkait dengan pertimbangan dan karakteristik tertentu dibutuhkan kriteria. Kriteria tersebut ialah:

a. Mengalami disablitas fisik non genetik

(52)

2. Prosedur mendapatkan Informan Penelitian

Pemilihan informan yang dianggap sesuai dengan kerangka kerja penelitian ini bersifat purposive (subyek bertujuan), untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan valid. Peneliti melakukan pendekatan dengan informan penelitian yang mengalami permasalahan yang akan diteliti. Informan penelitian tersebut telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.

3. Riwayat disabilitas fisik non genetik

Kronologi disabilitas informan penelitian berawal pada tanggal 15 Agustus 2009 sewaktu dia masih duduk di bangku kelas 7 Sekolah Menengah Pertama. Waktu awal kejadian jatuh sakit, dia hanya berbaring di tempat tidur selama dua tahun. Awalnya kedua kakinya sejajar, akan tetapi dengan 10 suntikan intensif setiap hari selama beberapa bulan membuat salah satu kakinya lebih pendek, akibat efek samping dari obat-obatan dan suntik-suntikan. Akibatnya, saat ini ia menjalani kenyataan hidup dengan berjalan pincang. Kondisi fisik yang dimiliki dengan semua pengaruh dalam menjalani kehidupannya.

D. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Sugiyono (2013), menjelaskan ada 3 jenis wawancara dalam penelitian yaitu wawancara terstruktur, wawancara semiterstruktur dan wawancara tak terstruktur. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Teknik wawancara semi terstruktur

(53)

merupakan gabungan dari teknik wawancara tak terstruktur dan wawancara terstruktur. Dalam wawancara semi terstruktur, peneliti menyiapkan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan aspek yang diteliti, namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat melakukan improvisasi pertanyaan dalam pelaksanaan di lapangan. Pertanyaan yang diajukan bersifat sangat terbuka, jawaban informan bersifat meluas dan bervariasi.

E. Alat Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penelitian, peneliti menggunakan panduan wawancara untuk mengarahkan peneliti dalam mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang telah disusun menjadi pedoman secara umum bagi peneliti yang kemudian dapat diimprovisasi atau dikembangkan untuk mendapat informasi tertentu. Tabel. 1 berikut ini adalah pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian yang merujuk pada aspek-aspek penerimaan diri dari Jersild (dalam Nurani, 2019). Pedoman ini akan memudahkan peneliti dalam menggali informasi mengenai penerimaan diri informan. Peneliti menemukan konsep yang menjabarkan indikator penerimaan diri dengan memodifikasinya dari penelitian yang dilakukan Nurani (2019). Oleh karena itu, memudahkan peneliti dalam menggali informasi yang lebih padat dan kaya.

(54)

Tabel. 1.4 Pedoman Wawancara untuk Informan

Aspek Indikator Pertanyaan

Persepsi terhadap diri. Berfikir lebih realistik tentang penampilan dalam pandangan orang lain

a. Kemampuan berfikir lebih realistik

b. Berbicara apa adanya sesuai keadaan fisik diri sendiri c. Percaya diri d. Mampu beradaptasi dengan lingkungan 1. Bagaimana sikap anda jika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan 2. Dari 1-10, berapa anda menilai penampilan anda? Mengapa? 3. Coba ceritakanlah dinamika pengalaman anda saat anda melakukan suatu kegiatan bersama dengan orang lain! 4. Dari 1-10, berapa

anda menilai kemampuan bersosialisasi anda? Mengapa? 5. Apa suka dan

duka bagi anda melakukan suatu dinamika kegiatan bersama dengan orang lain? 6. Bagaimana cara

atau usaha anda agar mampu berbaur dengan orang lain di lingkungan yang baru? Sikap dalam memandang kelemahan dan kekuatan diri a. Mampu menyatakan kekurangan dan kelebihan dari dirinya

1. Apa kelebihan dan kekurangan yang anda miliki? Bagaimana proses anda mengenal kekurangan dan

(55)

b. Kelemahan dan kelebihan tersebut bermakna dalam hidup c. Optimis terhadap kemampuan yang dimiliki d. Semangat dalam mengembangkan bakat kelebihan yang anda miliki? 2. Dari 1-10,

seberapa anda puas dengan kelebihan anda? Mengapa? 3. Dari 1-10, seberapa anda berproses dalam menerima kekurangan anda? Mengapa? 4. Bagaimana cara anda untuk menyalurkan hobi tersebut? 5. Bagaimana anda mengatasi

hambatan baik dari lingkungan atau pribadi dalam mengembangkan bakat dan kemampuan tersebut? 6. Bagaimana sikap anda jika hambatan tersebut sulit untuk diatasi oleh diri anda?

Respon atas

penolakan dan kritikan

a. Menerima kritikan dari orang lain dan mengoreksi

kesalahan b. Tidak membalas

ketika ada orang lain mengejek kondisi fisik c. Mampu mengambil pelajaran dari 1. Coba ceritakan dinamika pengalaman anda dikritik oleh orang lain?

2. Menurut anda dari 1-10, seberapa penting

penampilan fisik? Mengapa?

3. Bagaimana jika ada orang lain yang berusaha

(56)

sebuah pengalaman d. Mengutarakan pendapat sesuai dengan yang diyakini untuk menjatuhkan dengan mencari kekurangan dalam diri anda? 4. Ceritakan sebuah pengalaman yang berkesan selama bersosialisasi dengan teman-teman difabel lain? Mengapa hal tersebut berkesan bagi anda? 5. Bagaimana pendapat anda terhadap seseorang yang menganggap bahwa penampilan adalah hal yang utama?

Moral dalam

menerima diri untuk terbuka dan berani

a. Berani terbuka tentang kejadian yang menimpa b. Mampu mengungkapkan perasaaan dan pemikiran c. Mengungkapkan cita-cita yang diinginkan d. Memahami tentang keadaan fisiknya 1. Apa pengalaman terburuk yang pernah anda alami? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? 2. Bagaimana perasaaan saat melakukan aktivitas tersebut? 3. Apa cita-cita anda?

Mengapa memilih cita-cita tersebut? 4. Apa harapan

terbesar dari kondisi yang dialami saat ini? 5. Mengapa harapan tersebut dapat muncul di dalam diri anda? Keyankinan akan kemampuan diri a. Mampu memutuskan atau 1. Apa keputusan tersulit yang

(57)

menentukan keputusan tertentu b. Tidak mudah menyerah dalam kondisi tertekan c. Mampu bangkit dari keterpurukan d. Memiliki pandangan masa depan dengan keadaan fisik yang dimiliki

pernah anda ambil? Mengapa?

2. Coba ceritakan proses atau

dinamika pada saat kondisi anda sangat tertekan/ down 3. Bagaimana dinamika atau proses anda mengatasi kondisi yang down? 4. Apa harapan terbesar anda di masa yang akan datang dengan segala kondisi saat ini?

5. Permasalahan apa saja yang dialami dalam diri anda untuk mewujudkan harapan tersebut? Spontanitas

menikmati hidup

a. Menyadari hobi atau bakat yang dimiliki

1. Apa hobi yang anda gemari dan mengapa anda menyukai hobi tersebut?

(58)

b. Mampu

beraktifitas di luar masyarakat

c. Mempunyai prinsip hidup dan mampu

menjelaskannya

d. Mampu memaknai hidup saat ini terkait kondisi disabilitas fisik e. Memiliki cara-cara tertentu untuk menyalurkan hobi atau bakat 2. Coba ceritakan, sejak kapan anda tertarik dengan hobi tersebut 3. Apa prinsip di

dalam hidup anda dan apa alasan anda menentukan motto hidup tersebut? 4. Bagaimana anda memaknai penerimaan diri saudara terkait disabilitas fisik yang saudara miliki? 5. Bagaimana proses dan dinamika anda untuk menyalurkan hobi tersebut? Tabel. 1.5 Pedoman Wawancara significant other

Aspek Indikator Pertanyaan

Persepsi terhadap diri. Berfikir lebih realistik tentang penampilan dalam pandangan orang lain

a. Berfikir lebih realistik b. Berbicara apa adanya sesuai keadaan fisik subyek 1. Selama anda mengenal subyek, bagaimana sikap subyek jika apa yang dia harapkan tidak sesuai realitas

2. Dari 1-10, berapa anda menilai penampilan

Gambar

Tabel 1.1 Agenda Pertemuan Penelitian Informan Luis Ramos
Tabel 1.3 Agenda Pertemuan Penelitian Significant Other  (Saudara Kandung Informan Maun)

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh guru BK SMA di Sleman sudah sepakat menggunakan Panduan Operasional Pelaksanaan BK (POP BK) sebagai arah penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling di

Berdasarkan penjelasan diatas hubungan loyalitas pada teman sebaya akan sangat berperan penting jika tidak seimbang dengan kontrol diri yang baik maka dari itu untuk

Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma dapat memberi pendekatan dan ruang yang lebih kepada mahasiswa untuk menjaga serta

Efikasi diri merupakan keyakinan akan kemampuan diri dalam konteks belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efikasi diri siswa SMP kelas IX dan yang

Pernyataan “Dalam berkomunikasi, saya termasuk orang yang sulit dalam merangkai kata” menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa Bimbingan dan

Untuk itu diharapkan orang tua dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dimana orang tua diharapkan melakukan diskusi dengan anak, memberikan kasih sayang dan kehangatan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mahasiswa angkatan 2016 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta memiliki tingkat kecenderungan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) Peranan guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan motivasi belajar siswa kelas IX yang pernah memiliki motivasi