• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 752014016 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 752014016 BAB III"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

29

BAB III

TEMUAN HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Jemaat

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena merupakan salah satu jemaat dalam wilayah pelayanan Klasis GKI Balim Yalimo, yang terletak sekitar kurang lebih 2,5 km sebelah Barat kota Wamena tepat di tengah lembah Balim. Kota Wamena berada di lembah Agung di atas puncak pegunungan Jayawijaya. Iklimnya berkisar antara 14,4 dan 25,6 derajat celcius dengan suhu dingin dan nyaman untuk menjalani kehidupan. Curah hujan rata-rata 2.082 milimeter selama lima tahun, dengan rata-rata 237 hari hujan tiap tahun.1

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena terbentuk sejak tahun 1964 sebagai upaya pelayanan dari jemaat induk GKI Betlehem Wamena kepada beberapa keluarga orang asli Balim maupun Yali karena mereka beribadah dalam bahasa daerah. Semenjak kira-kira tahun 1975 perkembangan pembangunan dan pemukiman mulai bergerak dari sekitar kota Wamena ke wilayah HomHom dengan dibangunnya Sekolah Dasar, Puskesmas, Pos Kepolisian dan Asrama, Perumahan Pegawai, maupun Pasar Sentral Jibama dan lain-lain. Terjadi juga pembangunan pemukiman penduduk secara spontan maupun oleh para pedagang. Datanglah ke situ bukan saja orang asli Balim dan Yali, tetapi juga para guru, pegawai negeri, aparat kepolisian, perawat serta petugas kesehatan dan seterusnya dari berbagai daerah di Papua dan di Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah juga jumlah warga jemaat GKI. Jarak yang ditempuh untuk beribadah ke jemaat induk GKI Betlehem Wamena di pusat kota Wamena dirasakan cukup jauh. Berdasarkan kenyataan ini maka sejak tahun 1980 dimulailah peribadahan dengan dua kategori pelayanan ibadah, yaitu pelayanan ibadah dalam

1

Koentjaraningrat, Bab XIV. Konfederasi Perang dan Pemimpin Dalam Masyarakat Dani; Dalam :

(2)

30 bahasa daerah untuk jemaat orang asli Balim dan Yali yang berlangsung pada jam 07.00-08.00, dan pelayanan ibadah dalam bahasa Indonesia untuk jemaat pada umumnya pada jam 09.00-10.00.

Berdasarkan data ststistik sampai dengan akhir tahun 2015, Warga jemaat GKI Lachai Roi Wamena terdiri dari 348 kepala keluarga (KK) yang berasal dari orang asli Balim dan Yali, orang Papua dari luar Wamena, yaitu Jayapura, Waropen, Yapen, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong dan seterusnya, orang pendatang dari luar Papua, yaitu Maluku, Toraja, Jawa, Batak dan lain-lain dengan jumlah anggota jemaat sebanyak 1155 orang. Jika dikategorikan berdasarkan unsur jemaat maka akan nampak jumlah sebagai berikut : jumlah kaum Bapak (PKB) 307 orang, jumlah kaum ibu (PW) 272 orang, jumlah pemuda (PAM) 148 orang, dan jumlah anak dan remaja (PAR) sebanyak 428 orang. Dengan demikian jemaat ini memiliki keanggotaan warga jemaat yang majemuk dan multibudaya.

Jemaat GKI Lachai Roi Wamena sejak tahun 2011 dilayani oleh seorang Pendeta, 34 orang Penatua dan 27 orang Syamas. Istri Pendeta Jemaat adalah juga seorang pendeta GKI yang diberi tugas pokok oleh Klasis GKI Balim Yalimo sebagai Pelayan Jemaat GKI Putikelek yang berjarak kira-kira 750 meter dari GKI Lachai Roi dan merupakan jemaat asli orang Wamena. Pelayanan jemaat berlangsung berdasarkan pola umum pelayanan GKI yaitu persekutuan, kesaksian dan pelayanan kasih berdasarkan urusan-urusan dalam jemaat, yaitu urusan pekabaran injil, pembinaan jemaat, diakonia, pendidikan, maupun ekonomi, keungan dan pembangunan.

Pelayanan konseling yang seharusnya menjadi bagian pokok dari program dan kegiatan Urusan Pembinaan Jemaat tidak nampak dalam Hasil Sidang Jemaat dalam bentuk tertulis dan terencana, terutama dalam tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2012-2015.2 Menurut

2

(3)

31 pendeta Jemaat setempat bahwa tidak nampaknya program pelayanan konseling dalam Hasil Sidang Jemaat, karena tidak diberikan perhatian kepada pekerjaan pastoral oleh Pelayan Jemaat sendiri. Salah satu penyebab menurut pendeta adalah karena kondisi cuaca daerah yang dingin pada sore hingga malam hari yang dapat dijadikan sebagai waktu pelayanan konseling.3 Ditambah dengan warga jemaat yang dimutasikan bekerja sebagai pegawai pemerintah maupun polisi/tentara di beberapa daerah pemekaran kabupaten baru seperti di Yahukimo, Tolikara, Yali maupun Mambramo Tengah dan lain-lain.

Kondisi ini diperkuat dengan pendapat beberapa anggota Majelis Jemaat bahwa apa yang dikatakan oleh pendeta sebagai pemimpin jemaat diiyakan sebagai suatu perintah dari atasan kepada bawahan, tetapi juga pendeta dalam banyak hal dipahami sebagai inspirator dari berbagai program dan kegiatan dalam jemaat. Dikatakan demikian karena pendeta-lah yang belajar dan dipersiapkan oleh gereja untuk memimpin jemaat-jemaat.4 Konsep pemikiran ini melekat erat dalam kehidupan Majelis Jemaat dan warga jemaat, sehingga apa yang menjadi kebijakan dan keputusan pendeta dilakukan sebagaimana disampaikan oleh pendeta. Kondisi ini disebabkan oleh konsep pendeta sentris yang menempatkan pendeta sebagai yang mengetahui segala hal dalam kehidupan kerohanian.

Pelaksanaan pelayanan konseling atau lebih tepatnya pelayanan kunjungan kepada warga jemaat dari pihak pendeta, penatua dan syamas sebagai Majelis Jemaat biasanya dilakukan pada saat menjelang natal, yaitu pada minggu pertama hingga minggu ketiga bulan desembar. Dari hasil observasi penulis maupun wawancara dengan pelayan jemaat, maupun kepada beberapa penatua dan syamas, ditemukan informasi bahwa hal itu pun sebenarnya hampir merupakan suatu kebiasaan atau tradisi turun-temurun dalam pekerjaan pelayanan jemaat. Akibatnya banyak diantara warga jemaat tidak terlayani karena ada yang sudah pergi

3

Wawancara dengan Pdt. Bram Tanamal tanggal 22 Desember 2015. 4

(4)

32 berlibur atau sementara keluar daerah, bahkan tidak cukup waktu untuk melayani kebutuhan jumlah warga jemaat dengan kemajemukan persoalan kehidupan yang perlu dikomunikasikan dengan pendeta. Penghambat lain yang terlihat adalah bahwa pada awal bulan desember sudah menjadi tradisi telah dilaksanakannya perayaan-perayaan natal oleh unsur-unsur jemaat, kelembagaan adat atau komunitas budaya, instansi pemerintah maupun swasta dan sebagainya. Hal ini akan menyita waktu pendeta untuk memilih antara melayani ibadah dan perayaan natal atau memberi perhatian kepada pelayanan konseling dalam jemaat.

Pendeta senior yang adalah suami-istri, mereka telah melayani dalam GKI selama dua puluh tiga tahun dan menjadikan pekerjaan konseling sebagai prioritas program dan kegiatan

pelayanannya. Dalam suatu percakapan, mereka mengatakan bahwa : “Kegiatan pelayanan

konseling merupakan panggilan dan amanat hakiki yang melekat dalam diri seorang Pendeta GKI Di Tanah Papua ke manapun ia diutus dan ditempatkan. Sebab dalam Liturgi Pentahbisan Pendeta GKI maupun Surat Keputusan (SK) peneguhan dan pengangkatan sebagai Pendeta GKI dalam bagian menetapkan dari SK tersebut pada salah satu diktumnya menyatakan tentang adanya tiga amanat dan panggilan seorang Pendeta GKI sebagai Pelayan Firman, yaitu Memberitakan Firman Tuhan, Melayani Sakramen, dan Melaksanakan Pastoral (yang didalamnya ada konseling)”.5 Jika demikian maka pendeta GKI perlu memberikan perhatian kepada pelayanan konseling.

2. Realitas Konflik Budaya Suami-Istri Di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena

Pada bagian ini penulis hendak memperlihatkan tentang realitas konflik yang terjadi dalam kehidupan beberapa keluarga di Jemaat GKI Lachai Roi wamena, baik pada pasangan suami-istri beda budaya maupun pada pasangan suami-istri yang memiliki budaya suku yang

5

(5)

33 sama, yaitu konflik suami-istri sebagai sebuah contoh kasus di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena.

Menurut Pendeta Jemaat bahwa melayani dalam jemaat yang majemuk dari berbagai suku, memiliki tantangan yang berat karena persoalan dan keperluannya sangat kompleks. Untuk menjembatani pelayanan dalam jemaat tersebut, maka dalam merencanakan setiap kegiatan sampai pada tahapan pelaksanaannya, selalu dilaksanakan pertemuan dalam bentuk rapat dengan melibatkan setiap orang yang mewakili setiap kelompok dan memberlakukan pelayanan secara merata dalam kehidupan berjemaat, bergeraja dan bermasyarakat. Ada banyak tantangan yang berkaitan dengan kemajemukan jemaat tersebut, ada banyak cerita yang harus didengar dari berbagai pihak, kemudian harus ditampung seluruhnya tanpa membedakan seorang dengan yang lain.6 Artinya bahwa pelayanan yang dilakukan seorang pendeta dalam konteks jemaat yang majemuk dan multibudaya sedapat-dapatnya harus mempertimbangkan nilai-nilai persekutuan dan keadilan dalam memberi perhatian maupun pelayanan yang sama kepada semua anggota jemaat tanpa perbedaan. Jika hal ini tidak diperhatikan dalam pelayanan oleh pendeta maka akan muncul berbagai sikap dan perilaku sebagai tanggapan terhadap spiritualitas diri pendeta dan pelaksanaan tugas kependetaan dalam jemaat.

Berikut adalah hasil penemuan terhadap realitas konflik budaya suami-istri di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena.

2.1. Konflik Budaya Suami Istri Budaya NTT dan Raja Ampat

Suami7 : Bapak A berumur 53 tahun berasal dari daerah Kupang NTT. Ia merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara yang lahir dan besar di Kupang. Ia datang ke Jayapura sejak berumur lima belas tahun untuk melanjutkan pendidikan dan

6

Wawancara dengan Pdt. Bram Tanamal dan Pdt. Enni (istri pendeta) tanggal 20 Desember 2015. 7

(6)

34 mencari pekerjaan. Bapak A tinggal di Jayapura bersama keluarga ibunya, lalu menyelesaikan pendidikan sampai mendapat pekerjaan sebagai guru. Kemudian ia bertugas dan tinggal di kota Wamena hingga sekarang. Pekerjaannya adalah sebagai seorang guru yang mengajar pada sebuah sekolah di kota Wamena. Kedatangannya untuk bekerja sebagai guru di kota Wamena mempertemukannya dengan istrinya dan membentuk sebuah rumah tangga. Dalam perjalanan pernikahan mereka takjarang mereka bertemu dengan masalah-masalah dalam rumahtangga mereka.

Menurut Bapak A, masalahnya hanya merupakan selisih paham antara dirinya dengan istri dan hal itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak terlalu rumit. Dalam proses penyelesaian masalah suami-istri ini, Bapak A tidak pernah melibatkan keluarga, baik orang tua dan saudaranya maupun orang tua dan saudara istrinya.

Cara Bapak A menyelesaikan permasalahan dengan istrinya adalah dengan berbicara dari hati ke hati dan tidak ingin melibatkan orang lain, seperti orang tuanya atau orang tua istrinya atau saudaranya maupun saudara istrinya, bahkan anak-anaknya sekalipun. Kata Bapak A : “jika ada permasalahan yang dianggap berat, maka sebagai suami yang sering saya lakukan terhadap maitua (istri), adalah peluk kakinya, mengungkapkan apa yang terjadi, menceritakan kronologis

kejadiannya, lalu akhirinya saya mohon kepada istri untuk memaafkan saya”.

Dengan demikian persoalan dianggap selesai dan kehidupan berjalan normal kembali seperti biasanya. Jika ada persoalan lain, maka akan dilakukan hal yang sama untuk berbagai masalah keluarganya.

(7)

35 pendeta sebagai pelayan Tuhan, dimata pelayan jemaat Bapak A bersifat playboy, suka menyembunyikan perbuatan menyimpang dengan kewibawaan dan jabatan.

Istri8 : Ibu A berumur 43 tahun berasal dari daerah Raja Ampat Papua. Ia merupakan anak keempat dari sebelas bersaudara yang lahir dan besar di kota Wamena. Pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Menurut Ibu A, ia dan suaminya tidak ada masalah sehari-hari di rumah sebagai suami istri, tetapi suaminya selalu hidup dalam perselingkuhan terus-menerus selama mereka membentuk keluarga dua puluh lima tahun ini. Hasil perselingkuhan itu telah melahirkan seorang anak dan kini dipelihara oleh mereka. Ketika ia mendapat informasi atau menemukan bahwa suaminya berselingkuh, pada tahun-tahun awal selalu terjadi konflik bahkan hingga kontak fisik dan kekerasan. Tetapi kemudian hal itu terus berulang selama bertahun-tahun, ia akhirnya pasrah, menerima kenyataan ini dan memilih untuk berdiam diri. Sampainya ia dalam situasi menerima dan memilih untuk berdiam diri berpijak pada Nats Alkitab yang selalu digunakan untuk menghadapi kenyataan hidup suaminya dan merupakan suatu penghiburan dalam hidup yang pasrah itu

adalah “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah

mengeringkan tulang” (Amsal 17:22). Hal ini dilakukannya hanya untuk mempertahankan keutuhan keluarga yang sudah dipersatukan oleh Tuhan dalam pernikahan kudus. Menurut Ibu A bahwa dari gereja dan pelayan jemaat tidak ada upaya ataupun pelayanan untuk menolong dan menyelesaikan persoalan kami. Harapannya kalau boleh ada pelayanan pastoral dan konseling dari Pendeta dan Majelis Jemaat dengan pendekatan-pendekatan untuk belajar dari watak jemaat.

8

(8)

36 Pelayanan gereja dalam konteks ini belumlah menyentuh akar masalah keluarga kami sebagai warga jemaat.

Ibu A berpenampilan ramah, rileks, selalu memberikan senyuman dan sesekali tertawa dengan tegar, ia menghargai suami sebagai kepala keluarga dan menjaga nama baik suaminya sebagai sosok yang dipandang baik oleh jemaat dan masyarakat. Ibu A rajin beribadah dan melayani sebagai seorang anggota Majelis Jemaat yang bertanggung-jawab. Di mata pelayan jemaat Ibu A adalah sosok yang luar biasa karena mampu menerima keberadaan suaminya dan melayani Tuhan dengan suka-cita.

2.2. Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Toraja

Suami 9 : Bapak B berasal dari suku Toraja, berumur 35 tahun anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Berprofesi sebagai buruh (tukang) harian kalau ada panggilan kerja atau proyek. Bapak B berperawakan kaku, malu-malu dan agak tertutup. Menurut bapak B masalah yang sering terjadi hanyalah masalah sepele, tetapi diomongkan dalam kapasitas nada suara yang keras. Jadi masalahnya di penggunaan volume suara yang terlalu keras, atau cara penyampaian kepada istri dengan nada suara yang tinggi. Ia juga mengatakan bahwa masalah tidak sering terjadi tetapi begitulah masalah rumah tangga.

Ketika terjadi masalah yang sering dilakukan oleh bapak B adalah mendiamkan saja atau mengantung masalah suami-istri. Menurut bapak B masalah yang sering terjadi antara suami-istri adalah masalah penyampaian yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh istri, karena bapak B lebih sering menyelesaikan masalah dengan volume suara keras dan nada yang tinggi serta

9

(9)

37 membiarkan dan menggantung masalah begitu saja. Katanya lagi, jika timbul masalah ia memilih untuk meninggalkan masalah dan pergi menjauhi istrinya. Dalam konteks ini bapak B tidak menyelesaikan masalah tetapi menggantungkan masalah dan menghindarinya. Sikap bapak B demikian terjadi karena cara ia memahami karakter istrinya sebagai perempuan dimana menurutnya, namanya juga perempuan, semakin dikasih hati semakin sensitif, jadi dibiarkan saja nanti juga akan sadar dengan sendirinya.

Jika pada suatu waktu tertentu timbul masalah dengan istri maka masalah tersebut ternyata tidak menganggu aktifitasnya sebagai buruh dan spiritualitasnya. Permasalahan yang dialami tersebut tidak menjadi beban bagi bapak B sehingga didiamkan saja hingga saudara bapak B yang menjabat sebagai majelis jemaat GKI Lachai Roi meminta pendeta untuk datang mengunjungi bapak B dan istrinya atas permintaan istri bapak B. Kedatangan pendeta sebenarnya tidak diharapkan oleh bapak B karena baginya masalah dengan istrinya tidak perlu dibesar-besarkan tetapi karena pertengkaran sering didengar oleh saudaranya, sehingga ia menginformasikannya kepada pendeta untuk melakukan kunjungan kepada bapak B dan istrinya.

(10)

38 Istri 10 : Ibu B berasal dari suku toraja, berusia 32 tahun, anak ketiga dari enam bersaudara, dan sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu B konflik sering terjadi karena beberapa masalah, yaitu masalah ekonomi keluarga, relasi dengan ibu mertua, cemburu dengan perempuan lain, kejujuran suami, dan cara atau gaya penyelesaian konflik.

Menurut ibu B dalam masalah ekonomi sang suami tidak adil untuk pembagian biaya hidup. Biaya hidup yang seharusnya cukup untuk kebutuhan keluarga kecil mereka menjadi tidak cukup karena harus berbagi dengan ibu mertua yang menuntut lebih dari hasil kerja bapak B sebagai anaknya. Masalah uang ini paling sering menimbulkan pertengkaran mereka, bahkan relasi antara ibu B dengan mertuanya menjadi tidak rukun.

Masalah uang yang diberlakukan tidak adil oleh bapak B ini menimbulkan asumsi-asumsi yang tidak menentu oleh ibu B. Ia menyatakan bahwa suaminya tidak jujur dan tidak adil karena ibu mertua yang selalu menuntut lebih dari hasil pekerjaan anaknya. Masalah ini memicu sakit hati ibu B terhadap ibu mertuanya. Ia menyatakan bahwa ibu mertua pintar kritik orang tetapi anak-anaknya sendiri tidak dididik dengan benar dan gemar menggosip.

Selanjutnya ibu B juga sering cemburu kepada perempuan lain, karena ia sering mendapati sms dari perempuan lain dalam hpnya bapak B sehingga ia protes terhadap suaminya tetapi tidak didengarkan oleh suaminya. Hal ini pun menimbulkan konflik antara suami-istri. Ketika ada masalah-masalah seperti yang telah disebutkan di atas, bapak B dan ibu B tidak menyelesaikan masalah tersebut tetapi meninggalkan masalah-masalahnya menggantung. Bapak B

10

(11)

39 sering emosi dan mengeluarkan nada suara yang keras sehingga memicu emosi yang sama dari ibu B. Kata ibu B, jika ada masalah antara suaminya dengan ibunya, bapak B sering melampiaskan emosi kepada istri dan anaknya. Pada akhirnya ibu B menyimpulkan bahwa semua sumber permasalahan dalam keluarga dikarenakan oleh ibu mertua, oleh sebab itu ia menyalahkan mertua karena menuntut bapak B memenuhi kebutuhannya. Jika harapan mertua akan marah kepada anaknya, lalu dilampiaskan juga oleh anaknya atau bapak B kepada istri dan anak. Hal ini terjadi terus-menerus.

Jadi menurut ibu B masalah selalu datang karena mertua, ia pun menaruh dendam, sakit hati, kecewa dan marah sehingga mempengaruhi aktifitas dan spiritualitasnya.

Ibu B dalam kekecewaannya terhadap suami maupun mertua dan dengan

segala situasi yang ia alami, menanyakan kepada penulis katanya : “saya mau

tanya ke pendeta, apakah berdosa kalau saya mempunyai perasaan seperti ini

terhadap ibu mertua ?” Artinya bahwa ia merasakan adanya suatu kesulitan

besar dalam kehidupan keluarganya dan tidak ada yang mau menolongnya keluar dari masalah bersama suami dan hal ini sangat mengganggu segala aktifitasnya. Ditambah lagi dengan tidak adanya penanganan dari gereja sehingga saudara dari bapak B yang menjabat sebagai majelis jemaat mendatangi ibu B.

(12)

40

2.3. Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Wamena

Suami 11 : Bapak C berumur 53 tahun, anak ketiga dari tujuh bersaudara, ia bekerja sebagai pegawai negeri. Bapak C berperawakan malu-malu dan tertutup dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahannya bersama istri. Bapak C tidak merasa bahwa dalam hubungannya bersama istri ada masalah-masalah tertentu, tetapi bapak C mengakui bahwa ia belum memberikan yang terbaik dan masih menjadi suami yang mementingkan dirinya sendiri. Bapak C bekerja terlalu fokus hingga mengabaikan istri, bahkan dalam hal memberi uang belanja. Bapak C mengakui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini, ia tidak memberikan uang sepeser pun untuk istrinya. Ia memilih untuk menghabiskan uang tersebut sendiri. Ia juga mengatakan bahwa ia memiliki permasalahan batin yang tidak dapat disampaikan. Permasalahan batin ini berkaitan dengan relasi dengan istri sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan gajinya sendiri tanpa berbagi.

Kehidupan sehari-hari bapak C menunjukan bahwa ia mengabaikan permasalahannya dan menganggap keadaan itu seperti biasa saja layaknya suami-istri, tetapi ia tetap mempunyai permasalahan tersendiri terhadap istrinya yang terlalu fokus pada pelayanan. Dengan demikian bapak C mempermasalahkan pelayanan istrinya di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena.

Istri 12 : Ibu C berusia 51 tahun anak pertama dari dua orang bersaudara, pekerjaannya selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai seorang petani.

11

Wawancara tanggal 20 Desember 2015; Konseling tanggal 21 Desember 2015 12

(13)

41 Ibu C dalam hubungannya bersama bapak C selama kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini mengalami pergumulan. Pergumulan itu adalah tentang kondisi ekonomi keluarga, relasi suami istri dan pelayanan dalam jemaat.

Menurut ibu C, walaupun bapak C bekerja sebagai pegawai negeri namun tidak membiayai ibu C selama sepuluh tahun terakhir ini. Tindakan ini dilakukan bapak C dengan alasan karena ibu C mementingkan pelayanannya di gereja dari pada mengurus bapak C. Suami merasa tidak diperhatikan karena ibu C sibuk pelayanan.

Ada kecemburuan dari bapak C terhadap ibu C karena keterlibatannya dalam pelayanan jemaat. Hal ini menurut ibu C merupakan ujian dari Tuhan. Sebenarnya bapak C tidak memberikan uang kepadanya dan ia biasanya hidup dalam kemabukan, perselingkuhan dan berfoya-foya. Kondisi bapak C seperti tersebut membuat pada akhirnya ibu C hidup tidak tergantung lagi pada gaji suaminya tetapi ia pun bekerja sendiri menjadi seorang petani dan menjual hasil tanaman itu untuk membiayai hidupnya sendiri.

Berpenghasilan sendiri sebagai petani, ibu C tumbuh menjadi sosok perempuan yang menguatkan perempuan lain yang mengalami hal-hal yang sama atau bahkan lebih buruk dari dirinya. Ia menyatakan bahwa walaupun hidupnya bersama suami mengalami pergumulan berat dalam hal ekonomi, tetapi ia bersyukur dari pergumulannya bersama suami itu ia bertumbuh menjadi perempuan yang mandiri.

(14)

42 terlambat atau tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan suami, tetapi bapak C tetap menggantungkan saja permasalahan mereka dan enggan membicarakan masalah-masalah tersebut.

Jadi masalah antara ibu C dan bapak C adalah tentang ekonomi dan pelayanan. Walaupun demikian permasalahan antara ibu C dan bapak C tidak mengganggu aktivitasnya ibu C sebagai petani dan pelayan.

2.4. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami Istri Budaya NTT dan Raja

Ampat

Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas konflik sumi istri beda budaya, maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.

Suami (Bapak A) : Bapak A telah mengalami tiga fase dalam kehidupannya. Fase pertama

(15)

43 tetap tinggal di suatu tempat.13 Fase kedua dialaminya ketika ia datang ke Jayapura dan berdomisili di sini sejak berumur lima belas tahun sampai umur dua puluh satu tahun, selama kurang lebih enam tahun. Ia bertumbuh pada masa remaja hingga pemuda di luar lingkungan keluarganya, yaitu bapa, ibu dan saudara-saudara sekandungnya. Ia tinggal bersama saudara ibunya sambil melanjutkan pendidikan. Pengalaman ini lebih sulit dan keras jika dibandingkan dengan kehidupan di Kupang. Ia harus bekerja keras, mengambil hati tantenya, mencuri waktu untuk belajar, bahkan mungkin ia tidak mempunyai waktu bermain seperti layaknya banyak remaja dan pemuda. Tetapi ia berusaha mandiri untuk menyelesaikan pendidikan dan kalau boleh mendapat pekerjaan yang layak supaya ia bebas dari segala kenyataan hidup ini. Tujuan hidupnya hanya satu, yaitu menyelesaikan pendidikan lalu bekerja. Akhirnya fase kedua ini pun ia lalui dengan baik. Tetapi masalah yang ia temukan dan hal itu berat baginya adalah, ia kehilangan kasih-sayang. Ia kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dari saudara-saudara sekandungnya, mungkin juga kasih sayang di masa remaja dan pemuda dari seorang kekasih tidak ia dapatkan. Apakah kasih sayang ini akan dia gapai ketika memasuki masa berumah tangga ? Ataukah ia akan menggunakan masa bekerja untuk merajut kasih sayang itu di tempat kerja atau di lingkungannya yang baru nanti ? Fase ketiga

merupakan fase ganda, yaitu fase ketiga awal, dimana ia mendapat pekerjaan sebagai seorang guru, mendapat penghasilan tetap sebagai

13

(16)

44 seorang pegawai negeri dan mendapat awal kasih sayang dari para siswa siswi di sekolah, ia mendapat penghargaan dan saling menghormati dari teman sekerja; sedangkan fase ketiga berikutnya adalah ia mulai memikirkan teman hidup yang akan menjadi istrinya, yaitu seorang perempuan yang daripadanya ia mendapatkan kasih sayang yang hilang selama ini. Masalahnya adalah ia telah bertumbuh menjadi seorang yang plin-plan dalam mengambil keputusan karena ketakutan membuat kesalahan. Dalam hal berpacaran di masa dewasa, ia dikenal sebagai seorang playboy. Kemungkinan besar konteks kota Wamena pada masa tahun 1990 ke atas bahkan sebelumnya merupakan suatu daerah yang sulit keluar jika telah berada di dalamnya. Populasi kaum lelakinya sedikit sedangkan kaum perempuannya lebih banyak. Ini juga menjadi salah satu faktor pemicu keretakan banyak rumah tangga di kota Wamena.14 Dalam keadaan ini ia menemukan seorang perempuan Raja Ampat yang kemudian menjadi istri. Setelah memasuki kehidupan berumah tangga, awalnya dijalani dengan baik, tetapi setelah kelahiran anak ketiga, keadaan menjadi berubah. Bapak A merasa tidak diperhatikan oleh istrinya, karena harus mengurus dan mengasuh anak anak. Kasih sayang yang ia harapkan dari sang istri yang telah ada, rupanya mulai menjauh dari padanya. Terjadi konflik batin dalam diri Bapak A karena istrinya pun kurang menyadari akan hal ini atau bahkan tidak peka budaya suaminya. Pada fese ketiga inilah keadaan semakin rumit. Persoalan keluarga semakin tidak menentu. Bapak A kini menghargai pekerjaannya yang telah diperoleh melalui susah payah dan

14

(17)

45 kerja keras itu. Ia kurang menghargai keluarganya karena apa yang ia harapkan dalam keluarga melalui istrinya itu ternyata belum ia temui, yaitu kasih sayang. Itulah sebabnya Bapak A mencari kasih sayang di luar rumah dengan cara berselingkuh dan suka mengganti pasangan selingkuhnya. Sumber konflik berasal dari kebutuhannya akan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Pruit dan Rubin menyebut kebutuhan seseorang sebagai sumber konflik dengan istilah kepentingan (interes) adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan nilai (intensi)-nya.15 Rupanya Bapak A cenderung memiliki sikap mempertahankan kebutuhannya sebagai bagian budaya hidupnya sementara di pihak lain istrinya tidak peka budaya terhadap kebutuhan suaminya. Artinya bahwa Bapak A ingin supaya kebutuhannya dipenuhi, sementara di pihak lain istrinya menghalangi akan kebutuhan Bapak A sebagai bentuk kepuasan hidup jika kebutuhannya terpenuhi. Akibatnya semakin besar perbedaan kebutuhan di masing-masing pihak lalu lahirlah konflik. Memang benar bahwa Bapak A telah melakukan kesalahan dan dosa dari segi iman dan ketaatan kepada Tuhan, tetapi dalam trangka penanganan konflik ini maka harus dilakukan kajian terkait dengan konteks sosial dan budaya suami istri.

Istri (Ibu A) : Ibu A tidak memiliki masalah di masa lalu seperti suaminya. Sebagai anak keempat dari sebelas bersaudara yang lahir dan besar di kota Wamena, ia sepertinya berada di rumah sendiri, dekat dengan orang tua sehingga ia

15

(18)

46 mengganggap ada sandaran ketika ia mengalami masalah keluarganya. Sebagai anak keempat, ia berfungsi sebagai kakak dari tujuh orang adiknya.

Di sini ada konsep dan praktek ‘ketuaan’ artinya ia merasa bahwa ia adalah

kakak harus didengar, diikuti dan menjadi panutan, karakter ini telah bertumbuh dalam hidup keluarganya.16 Itu berarti bahwa ia tidak mempunyai persoalan khusus di masa lalu, tetapi ia memiliki persoalan khusus di masa kini, yaitu persoalan ketidakharmonisan dalam hidup sebagai suami istri. Dari percakapan dengan Ibu A, penulis mendapat kesan bahwa sebelum menikah dengan suaminya, ia telah mengenal watak dan karakter hidup suaminya. Mungkin juga sudah dinasehati oleh orang tua dan keluarganya supaya ia mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menikah dengannya tetapi tidak dipedulikannya. Hal ini nampak dalam konsep hidup dan penangan masalah rumah tangganya, yaitu ia pasrah pada kenyataan hidup yang dijalani bersama suaminya. Karena itu ia berharap atau bergantung pada pelayanan gereja. Bagi dia hanya gereja yang dapat menolongnya keluar dari permasalahannya. Itulah juga yang menjadi salah satu alasan ia melayani dengan penuh sukacita dalam gereja. Tetapi apa yang ia harapkan dari pelayanan gereja terhadapnya ternyata tidak terjadi. Ia kembali pada prinsip hidupnya yaitu pasrah pada kehendak Tuhan. Pruit dan Rubbin menyimpulkan bahwa konflik biasanya terjadi ketika norma sosial dalam keadaan lemah atau sedang mengalami perubahan.17 Ketika pelayanan konseling dari pihak pendeta jemaat menjadi lemah maka konflik semakin tidak teratasi, apalagi diperkuat dengan aturan, norma dan kebiasaan perselingkuhan dalam masyarakat yang cenderung dibiarkan berlangsung

16

Eric B. Shiraev, David A. Levy, Psikologi Lintas Kultural., p.280. 17

(19)

47 sebagai suatu kebiasaan sekelompok orang untuk mencari kepuasan hidup, maka konflik dalam keluarga keluarga akan terus meningkat. Akibatnya banyak di antara suami istri akan datang pada sikap pasrah dan bergantung pada pihak lain terutama kepada pelayanan gereja.

Ibu A ketika memasuki fase pasrah pada kenyataan karena konflik dengan suaminya maupun selingkuhannya tidak dapat diselesaikan, maka ia merubah sikapnya dari sikap contending, yaitu suka bertengkar dengan diri sendiri atau batinnya dan suaminya menjadi sikap yielding, yaitu suka mengalah atau pasrah dengan cara menurunkan kemauannya untuk bertengkar dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya ia inginkan.18 Hal ini disampaikan oleh Paul D. Meier (dkk) tentang pembentukan sikap dan bagaimana sikap itu bisa dipengaruhi dan dirubah.19 Mereka mengemukakan bahwa sikap terdiri dari pikiran, perasaan dan kecenderungan untuk bertindak berdasarkan pikiran dan perasaan. Kredibilitas seseorang yang berusaha mengubah sikap merupakan faktor yang penting dalam menentukan kesuksesan.20 Dalam konteks pemahaman ini dimengerti bahwa Ibu A telah merubah konflik pemahaman dalam dirinya karena ia telah berusaha mempertahankan dua pemikirannya yang saling bertolak belakang, yaitu bertengkar atau pasrah. Pada akhirnya Ibu A memilih untuk pasrah yang dinyatakan dalam tindakan dengan harapan ia dapat menerima yang diinginkannya, yaitu keharmonisan hidup sebagai suami istri berdasarkan firman Tuhan. Inilah yang sekarang sedang dinantikan. Kapan hal itu terjadi ? Siapakah yang dapat menolong mereka ? Inilah konflik batin dalam diri Ibu

18

Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p.4-5

19

Paul D. Meier (eds), Pengantar Psikologi dan Konseling Kristen 1. (Yogyakarta : Andi Offset, 2004), p.181. 20

(20)

48 A yang terus dibawa, digumuli dan didoakan setiap waktu. Semakin panjang waktu pergumulannya, semakin ia akan tertekan dalam dirinaya, sehingga dalam keadaan sakit sekalipun ia berbuat dan berpenampilan seolah-olah ia tidak sakit. Kepada penulis Ibu A mengatakan, ia sedang mengidap penyakit kanker payudara dan sementara diobati melalui terapi herbal. Informasi ini menyatakan tentang beratnya beban hidup Ibu A tidak seperti yang ia katakan pada penulis. Shiraev dan Levy menulis tentang bias bahasa evaluatif sebagaimana penulis alami bersama Ibu A, di mana bahasa memiliki banyak fungsi yang salah satunya dan itu yang terpenting adalah membantu kita untuk mendeskripsikan berbagai macam fenomena, seperti kejadian, situasi,

dan orang : “Apakah itu ?” Tujuan lainnya adalah mengevaluasi fenomena

yang sama : “Apakah itu baik atau buruk ?” Biasanya, kita menganggap

deskripsi adalah objektif, dan evaluasi adalah subjektif.... Jadi istilah yang kita pakai tidak hanya untuk mendeskripsikan tetapi juga merumuskan apa yang kita inginkan dan apa yang tidak kita inginkan.21 Penulis memahami bahwa ketika ibu A mengatakan : “saya sedang mengidap penyakit kanker payudara”, Ibu A hendak menyampaikan dua hal kepada penulis, yaitu ungkapan pasrah pada kenyataan hidup suaminya disebabkan karena penyakitnya yang rawan kematian. Fase bertengkar telah dirubahnya ke fase pasrah terutama berada pada titik balik penemuan penyakit dalam dirinya di satu pihak, dan pilihan untuk melayani Tuhan dengan suka-cita di pihak lain. Ungkapan pasrah yang dipakai oleh ibu A hendak memformulasikan apa yang ia inginkan yaitu sembuh dari kesakitannya dan terlepas dari pergumulan ketidakharmonisan hubungan suami istri dalam keluarganya.

21

(21)

49

2.5. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Toraja

Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas konflik sumi istri asal Toraja, maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.

Suami (Bapak B) : Tujuan utama migrasi spontan hampir semua masyarakat non Papua ke Papua adalah untuk mencari pekerjaan dan mengembangan usaha ekonomi mereka. Karena itu segala usaha dan pekerjaan akan ditekuni untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Pekerjaan dan usaha untuk penghidupan ini begitu penting dan berharga sehingga segala cara dan pendukungnya akan dikorbankan demi mempertahankan apa yang telah dicapai.22 Hal ini menurut pengamatan penulis terjadi pada satu keluarga asal Toraja di Wamena. Dengan keahlian sebagai buruh bangunan, bapak B telah datang ke Wamena dan bekerja semaksimal mungkin untuk mendukung kehidupan istri dan anaknya di Wamena tetapi juga ibunya di kampung halaman. Tanggung-jawabnya terhadap ibunya masih melekat bersamaan dengan tanggung-jawabnya terhadap istri dan anaknya. Bapak B memahami pekerjaan sebagai yang utama sehingga istrinya dilihat sebagai pendukung pekerjaannya. Jika ternyata istrinya dianggap tidak mendukung apa yang dinginkannya, maka akan terjadi konflik.

Di sini bapak B bersifat egois, ingat diri dan menganggap remeh istrinya. Istrinya dianggap merupakan bagian kedua dari kehidupannya dan pekerjaannya. Pengaruh ibu sangat dominan terhadap anaknya. Artinya ibu mendapat posisi yang penting dalam komunikasi

22

(22)

50 keluarganya, sedangkan istrinya tidak mengalami hal itu secara baik.

Untuk mendukung karakter egois dan ingat diri bapak B tersebut, dalam konflik dengan istrinya, ia selalu menggunakan volume suara yang keras dengan intonasi yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk membiaskan realitas yang sesungguhnya, sebab volume suara yang keras dan intonasi yang tinggi merupakan bahasa nonverbal yang digunakan dalam komunikasinya dengan ibu B sebagai istrinya. Sarwono menyebut bahasa nonverbal sebagai simbol komunikasi relatif.23 Artinya dengan simbol tersebut seseorang hendak membenarkan apa yang tidak dikehendaki oleh pihak lain. Di sini terjadi bias bahasa dan bias asimilasi, yaitu bapak B menggunakan skema kebenaran dirinya dengan bahasa nonverbalnya untuk mengalihkan apa yang kelihatan dan terjadi bersama istrinya ke dalam kosep skema diri sendiri.24

Di satu pihak bapak A secara sadar melakukan bias budaya terhadap istrinya, tetapi di pihak lain ibu B tidak peka budaya suaminya. Di sini konflik budayapun terjadi sehingga masing-masing pihak akan menjalankan pilihannya demi mempertahankan kehidupan rumah-tangga di mata masyarakat.

Istri (Ibu B) : Pemicu konflik rumah tangga yang utama adalah kehadiran ibu bapak B, sebagai mertua dalam kehidupan keluarganya. Ibu mertua selalu mengatur pekerjaan anaknya, mengatur keuangan anaknya bahkan mungkin mengatur tentang bagaimana suami mengatur istrinya. Akibatnya komunikasi lebih

23

Sarlito Sarwono, Psikologi Lintas Budaya, p.59 24

(23)

51 banyak dibangun oleh bapak B dengan ibunya ketimbang dengan istrinya. Komunikasi antara suami istri yang kurang dibangun ini telah menimbulkan kecurigaan dari pihak istri terhadap suami. Faktor kejujuran dalam pembagian keuangan dari pihak bapak B kepada Ibu B telah menjadi salah satu pemicu konflik dan pertengkaran rumah tangga. Keadaan inilah yang dimaksud oleh Pruit dan Rubbin ketika menyimpulkan bahwa konflik biasanya terjadi ketika norma sosial dalam keadaan lemah atau sedang mengalami perubahan.25 Kondisi dimana seorang suami wajib secara jujur menginformasikan tentang hasil kerjanya dan memberikannya kepada istri baik dalam bentuk uang atau barang adalah hal yang diakui sebagai norma umum kehidupan suatu keluarga. Ketika norma umum ini lemah dan mengalami perubahan dalam konteks keluarga bapak B dan ibu B, maka hal itu menimbulkan ketidak percayaan dan rasa curiga dari pihak istri terhadap suami atau sebaliknya. Itulah akar munculnya konflik.

Masalah keluarga yang dialami ibu B adalah soal ekonomi keluarga, relasi dengan ibu mertua, kecemburuan dan seksualitas serta cara penyelesaian konflik oleh suami. Hal ini nampak ketika ibu B bertanya kepada penulis katanya :

“saya mau tanya ke pendeta, apakah berdosa kalau saya mempunyai

perasaan seperti ini terhadap ibu mertua ?” Artinya bahwa ia merasakan adanya suatu kesulitan besar dalam kehidupan keluarganya baik masalah ekonomi keluarga, relasi suami istri, perselingkuhan sampai pada nilai kejujuran suaminya berpangkal pada sikap dan perilaku ibu mertuanya. Apakah salah, sebagai menantu dan istri ia bersilang pendapat dengan mertuanya ? Ungkapan “apakah berdosa” yang dipakai oleh ibu B hendak

25

(24)

52 memformulasikan apa yang ia inginkan yaitu : pertama, ia hendak mendapat kepastian dari tindakannya apakah sesuai dengan kehendak Tuhan ataulah salah ? Terutama terkait dengan hukum Tuhan, hormatilah ayahmu dan ibumu.... Dan kedua ungkapan ini hendak mendeskripsikan tentang hal pemberkatan pernikahan terhadap kehidupan mereka yang ditunda dan menggantung.

2.6. Hasil Temuan terhadap Konflik Budaya Suami-Istri Budaya Wamena

Berdasarkan kenyataan dalam kehidupan keluarga di atas sebagai satu contoh realitas konflik sumi istri asal Wamena maka berikut ini akan dilakukan pengkajian terhadapnya untuk menemukan penyebab konflik dan budaya yang menyertai konflik tersebut.

Suami (Bapak C) : Ada empat hal utama penyebab konflik keluarga, yaitu masalah ekonomi dan keuangan keluarga, masalah seksualitas, masalah anak dan masalah relasi dengan orang tua. Jika dalam satu keluarga terjadi salah satu dari keempat penyebab ini maka akan muncul konflik dalam keluarga. Bapak C tidak mempunyai relasi yang harmonis dengan istrinya selama sepuluh tahun terakhir, tetapi mereka tetap merupakan satu keluarga yang tinggal bersama. Pertanyaannya adalah : Bagaimana hubungan intim suami istri dapat terjadi ? Apakah mereka pisah ranjang ? Bagaimana relasi dan komunikasi dengan orang tua suami atau istri ? Bagaimana mungkin mereka mempunyai masalah ekonomi dan keuangan yang serius sebab mereka belum memiliki anak ? Dari ungkapan bapak C ketika ia berkata

kepada penulis : “saya memiliki permasalahan batin yang tidak dapat saya

sampaikan.” Kata-kata ini mengemukakan tentang ideologi orang Balim

(25)

53 (dkk) mengungkapkan bahwa : setiap kali orang Balim terbentur pada halangan dan rintangan dalam usaha mewujudkan hidup baiknya, ia bertanya kepada dirinya dan kepada orang lain serta alam sekitar dan kepada para leluhur.

Pertanyaannya adalah :

- Henore kii ? artinya : mana yang baik ?

- Hanogenhe kii ? artinya : mana yang lebih baik ?

- Hanorogo logousakhe kiitogo ? artinya : bagaimana bisa hidup baik ?

- Nelaluknen weak agaike ? artinya : mengapa menjadi buruk ? Bapak C sedang mengalami konflik kepribadian sebagai akibat dari ideologi budaya terutama dalam pertanyaan : Hanorogo logousakhe kiitogo ? artinya : bagaimana bisa hidup baik ? Nelaluknen weak agaike ? artinya : mengapa menjadi buruk ? Pertanyaan konflik ideologi budaya interpersonalnya adalah mengapa ia belum memiliki anak ? Jika ia belum memiliki anak, bagaimana ia dapat hidup lebih baik ? Ia menghargai istrinya sebagai manusia yang berbudaya, tetapi ia belum dapat menerima bahwa istrinya belum dapat memberikan anak dalam keluarga mereka.

(26)

54 Istri (Ibu C) : Ibu C menyadari akan keberadaannya sebagai seorang perempuan Balim yang belum dapat memberikan keturunan bagi suku bangsanya. Ia sadar bahwa ia memiliki kekurangan dalam hal yang prinsip dari kelanjutan hidup suatu generasi. Karena itu ia mencoba untuk tenang supaya dapat terlibat dalam pelayanan sebagai bagian dari pergumulannya untuk memperoleh anak dari pada Tuhan pemilik kehidupan ini.

Ada dua hal yang dilakukan ibu C ketika memasuki masa krisis keluarganya, terutama pada kurun waktu satu dekade terakhir ini, yaitu ia kembali menekuni pekerjaan sebagai petani sambil berdagang dan melayani Tuhan sebagai anggota Majelis jemaat. Orang Balim hidup dari bercocok tanam dan beternak babi. Dalam tradisi bercocok tanam, ladang atau kebun dibuka dengan menebang pohon, membersihkan dan membakar dikerjakan oleh kaum lelaki. Selanjutnya kaum perempuan menanam kebun dengan tanaman, sedangkan kaum lelaki melanjutkan pekerjaan membuat pagar sekeliling kebun dengan kayu maupun batu-batu. Waktu pemeliharaan tanaman hingga panen dilakukan oleh kaum wanita.26 Ada pembagian kerja dan tanggung-jawab yang harmonis antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks budaya Balim, kaum wanita adalah pekerja untuk menanam, memelihara, hingga panen. Setelah tersentuh dunia pasar, maka mereka juga yang menjadi pedagang hasil kebun. Ini bukan hal baru, pekerjaan tersebut adalah bagian dari kehidupan kaum perempuan Balim. Ketika suaminya tidak memberikan gaji kepada istrinya, ia kembali menjalankan hakekat

26

(27)

55 kehidupannya dan hal itu tidak menimbulkan konflik. Masalah uang tidak menjadi penyebab untuk melakukan konflik dari pihak istri terhadap suaminya. Menjadi anggota Majelis Jemaat tidak terjadi berdasarkan kemauan seseorang, tetapi hal itu terjadi berdasarkan hasil pemilihan jemaat. Dalam pergumulan dan permasalahan keluarga, ibu C terpilih untuk menjabat Majelis Jemaat. Tetapi kemudian hal ini telah menjadi pemicu konflik suami istri ini. Pertanyaannya adalah apakah hal ini terkait dengan sikap kecemburuan bapak C sebagai suami terhadap istrinya di satu pihak, atau suatu protes kepempinan seorang perempuan dalam keluarganya ?

3. Penanganan Konseling Lintas Budaya Suami-Istri di Jemaat GKI Lachai Roi

Wamena.

Ada beberapa salah pengertian tentang pelayanan konseling dari sudut anggapan dasar pemikiran, prinsip atau ide utama yang dipakai untuk mengarahkan praktik konseling pastoral. Pertama, konseling pastoral merupakan suatu proses percakapan timbal balik antara konselor dan konseli; Kedua, konseling pastoral dipahami sebagai suatu proses wawancara dari konselor terhadap konseli; Ketiga, konseling pastoral dilihat dalam kaitan dengan hal mengajar dan menasihati dari pihak konselor kepada konseli; Keempat, konseling pastoral sebagai suatu bentuk konsultasi, yaitu adanya hubungan antara konselor sebagai ahli dan klien sebagai yang membutuhkan keahlian konselor dalam memecahkan masalahnya; Kelima, konseling pastoral sebagai proses terapi dan pengobatan ketidaknormalan emosional-mental spiritual dari pihak konselor terhadap konseli; Keenam, konseling pastoral sama dengan berkhotbah, berceramah atau penginjilan.27

Sejauh yang penulis amati dan wawancara dengan beberapa pendeta GKI Di Tanah

27

(28)

56 Papua, ternyata kesalahpahaman inipun masih ada dan nampak dalam praktek pelayanan gereja khususnya dalam diri para pendeta. Dalam Peraturan Penggembalaan GKI Di Tanah Papua, disebutkan tentang bentuk-bentuk penggembalaan yang dilakukan oleh GKI Di Tanah Papua, salah satunya adalah melalui ibadah-ibadah jemaat dan khotbah.28 Hal ini hampir mirip dengan kesalahpahaman yang disinyalir di atas. Implikasinya bagi GKI adalah segala perkara yang terkait dengan konseling dapat saja dilakukan melalui khotbah maupun ceramah dalam pembinaan-pembinaan. Akibatnya para pendeta akan mengabaikan hakekat konseling yang sesungguhnya dan lebih memprioritaskan khotbah dan ibadah jemaat.

Konseling merupakan perjumpaan eksistensial atau perjumpaan antar individu, perjumpaan dan percakapan dari hati ke hati, suatu perjumpaan yang terencana dan sistimatis sehingga konselor dan konseli menantikan adanya hasil akhir yang konkret dan realistis. Konseling merupakan proses perjumpaan pertolongan antara dua orang manusia sebagai subyek, yaitu antara konselor dan konseli dengan tujuan untuk menolong konseli agar dapat menghayati keberadaan dan pengalamannya secara utuh, sehingga ia dapat menggunakan segala potensi dirinya, orang lain dan konteksnya untuk berubah, bertumbuh dan berfungsi sebagai anggota masyarakat dan geraja secara utuh.29 Dengan demikian maka proses perjumpaan dalam pelayanan konseling bukanlah perjumpaan biasa, bukanlah percakapan sambil-lalu, bukan juga sebuah tradisi pertemuan antara konselor dan konseli atau antara pendeta dengan jemaat. Perjumpaan yang dimaksudkan dalam konseling adalah perjumpaan dan percakapan dalam rangka menolong konseli untuk mengalami pengalaman hidupnya secara utuh, benar dan bertanggung-jawab.

Berdasarkan pemahaman tersebut diatas maka penulis hendak meneliti tentang pelaksanaan konseling pada umumnya dan secara khusus tentang pelaksanaan konseling

28

BP Am Sinode GKI Di Tanah Papua, Peraturan Penggembalaan. (Jayapura: CV Anagrafika, 2007). 29

(29)

57 lintas budaya yang dilaksanakan oleh pendeta dalam suatu jemaat. Apa yang dipahaminya tentang konseling pada umumnya maupun konseling lintas budaya pada khususnya ? Bagaimana praktek pelayanan konseling lintas budaya dalam jemaat ? Penulis juga dalam kaitan itu mencoba melaksanakan praktek konseling lintas budaya sebagai contoh dan prototype pelaksanaannya dalam pelayanan jemaat-jemaat GKI.

3.1. Pelayanan Konseling Lintas Budaya oleh Pendeta Jemaat

Pertanyaan kritis dalam penelitian ini adalah apa pemahaman pendeta jemaat tentang konseling maupun konseling lintas budaya ? Pemahamannya akan membentuk paradikma berpikir dan bertindaknya dalam pelayanan konseling maupun konseling lintas budaya. Menurut Pendeta Jemaat, konseling pastoral adalah proses penggembalaan yang dilakukan oleh konselor kepada konseli. Penggembalaan yang dimaksudkannya berakar dalam kitab Mazmur 23:1-6 maupun dalam Yohanes 10:1-21.30 Penggembalaan dengan demikian adalah proses membimbing, menuntun dan menyediakan yang dilakukan oleh pendeta sebagai konselor kepada konseli terutama terkait dengan keperluan rohani warga jemaat. Di sini konselor dipahami dan ditampilkan sebagai seorang konsultan atau seorang ahli sebagai subyek konseling sedangkan konseli ditempatkan dan berposisi sebagai yang membutuhkan pertolongan sebagai obyek konseling.

Menurut pendeta jemaat bahwa melalui pelayanan konseling, ia mendapatkan informasi dan data tentang berbagai masalah yang dihadapi jemaat lalu mengunjungi mereka dan memberi penguatan supaya mereka tabah menjalani kehidupan ini dalam iman, harap dan kasih. Karena itu konseling atau menurut pendeta jemaat pelayanan konseling adalah

30

(30)

58 pelayanan pertolongan kepada mereka yang bermasalah.31 Permasalahan jemaat sangat kompleks dan beragam karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan khusus untuk memahami setiap permasalahan dengan penuh tanggung-jawab dan adil. Apalagi dalam jemaat multibudaya atau majemuk seperti Lachai Roi Wamena. Jangan sampai ada warga jemaat yang merasa tidak diperhatikan, tidak dihargai atau bahkan tidak dilayani secara baik oleh pendeta maupun majelis jemaat.32

Istilah maupun praktek pelayanan konseling lintas budaya rupanya merupakan hal yang baru bagi pendeta jemaat dan istrinya. Menurut mereka bahwa jangankan konseling lintas budaya, dalam hal pelayanan konseling saja sudah tidak dapat dilaksanakan secara baik

dan terencana. Mereka berucap : “kami jarang melaksanakan kunjungan konseling kepada

warga jemaat. Kalaupun kami datangi warga jemaat, itu bukan karena mereka memerlukan kami, tetapi lebih banyak kali karena kamilah yang memerlukan mereka, bukan karena ada

permasalahan yang harus kami selesaikan bersama mereka.”33

Hal praktek yang demikian oleh pendeta jemaat disebabkan karena pengertiannya sendiri tentang konseling kurang berdasar maupun berakar pada profesionalisme kependetaan maupun ilmu konseling itu seendiri.

Pada sisi lain, penulis menemukan bahwa dalam Hasil Sidang Jemaat GKI Lachai Roi Wamena pada tahun 2014 maupun Hasil Sidang Jemaat pada tahun 2015, tidak ditemukan adanya program dan kegiatan konseling yang terjadwal secara teratur dan sistimatis sepanjang tahun 2014 ataupun tahun 2015.34 Itu berarti bahwa selama tidak ada permasalahan yang muncul dalam kehidupan berjemaat, maka pelayanan konseling dianggap tidak dibutuhkan

31

Percakapan ulang via HP dan sms dengan Pendeta Jemaat GKI Lachai Roi Wamena tanggal 28 Juli 2016. 32

Informasi dari seorang Penatua di Jemaat GKI Lachai Roi Wamena pada Desember 2015. 33

Informasi dari Pendeta Jemaat GKI Putikelek, juga adalah istri Pendeta Jemaat Lachai Roi Wamena, pada bulan Desember 2015.

34

(31)

59 atau tidak penting untuk dilaksanakan; Sebaliknya ketika ada permasalahan yang timbul dalam keluarga ataupun jemaat, maka pelayanan konseling pun diperlukan untuk menyelesaikan berbagai bentuk permasalahan jemaat. Di sini pelayanan konseling hampir sebagai klinik penyembuhan penyakit. Orang datang ke klinik karena sakit dan membutuhkan penyebuhan. Seolah-olah pelayanan konseling hanya terkait dengan profesi seorang petugas kesehatan layaknya.

Berdasarkan realitas pelaksanaan pelayanan konseling yang demikian, maka penulis memberanikan diri untuk meminta izin kepada pendeta jemaat maupun majelis jemaat supaya diberikan kesempatan melaksanakan pelayanan konseling maupun konseling lintas budaya terhadap salah satu dari keempat keluarga yang telah saya wawancarai untuk memperoleh data awal bagi pelaksanaan praktek konseling lintas budaya.

Pelaksanaan konseling yang penulis lakukan dimulai dengan membuat rencana konseling bersama keluarga (suami istri), yaitu mengatur waktu yang baik bersama mereka, merencanakan tempat dan suasana pertemuan yang paling tidak konduksif untuk dilakukan percakapan. Saya juga mengatur paling tidak dua kali pertemuan, yaitu pertemuan pertama saya dengan ibu secara terpisah kemudian saya dengan bapak pada hari yang sama; kemudian pada hari lainnya saya bertemu bersama keduanya untuk menyatukan pikiran, persepsi, perasaan dan kemauan masing-masing pihak. Setelah semua rencana ini disepakati bersama, maka dimulailah pelayanan konseling bagi suami istri.

3.2. Tindakan Konseling Lintas Budaya

(32)

60 Sebagai suatu penafsiran yang lebih hati-hati dari suatu budaya yang bersifat khusus dari treatment psikiatri.35 Pemahaman ini mendorong Prof. Johnaton Murphy mendefinisikan Konseling Lintas Budaya (multikultural) sebagai suatu hal yang berhubungan dengan proses terapi dan praktek penyembuhan mental. Hal itu merupakan suatu peran dari proses menemukan tujuan konseling melalui pengalaman hidup, budaya, dan identitas individu klien oleh konselor.36 Ada empat standar konseptual dalam pelaksanaan konseling lintas budaya atau konseling multicultural, yaitu : perlu adanya perhatian dari kebudayaan universal (etic) yang dimiliki konselor dengan budaya relatif (emik) yang dimiliki oleh klien; perlu memperhatikan emosi yang terkait dengan budaya suatu ras atau bangsa. Budaya manusia biasanya muncul dari budaya relatih yang dipengaruhi oleh budaya universal; perlu memperhatikan mana yang budaya multikultural dan yang bukan budaya multikultural; konseling perlu dilaksanakan sebagai suatu profesi dengan memperhatikan konteks sosiopolitik.37 Berdasarkan pengertian dan dimensi konseptual tentang konseling lintas budaya ini, maka penulis akan mengetengahkan jalannya konseling terhadap satu keluarga beda budaya sebagaimana disebutkan di atas.

Fase 1.

3.2.1. Konseling terpisah antara Konselor (Ko) dengan Ibu A (Ki) bertempat di

konsistori jemaat, waktu malam hari

1. Ko1 : Selamat malam ibu, saya G, apa kabar, saya harap ibu baik-baik saja (Ki tersenyum seolah hendak menyapa G). Dua hari lalu kita ketemu di rumah ibu, saya senang ibu bisa menerima saya untuk kita bicara bersama lagi malam ini.

2. Ki : (dengan tersenyum ia menyapa), selamat malam juga nona, saya

35

A.A.N. Adiputra, Konseling Lintas Budaya, p.175. 36

Johnaton Murphy, Chapter 1. The Superordinate Nature of Multicultural Counseling/Therapy, p.16 37

(33)

61 senang bisa ketemu nona malam ini sesuai janji kita.

3. Ko : Apakah bapak ada ?

4. Ki : oh, ia, bapak ada di luar, biasa ... , ia lagi cerita dengan bapak pendeta dan teman majelis jemaat. Apakah saya perlu panggil bapak supaya kita bicara bersama ?

5. Ko : Ah tidak usah, kita kan sudah janji, hari ini saya mau bicara dengan ibu sendiri baru dengan bapak lagi. Nanti besok baru kita tiga bicara bersama-sama, apakah di konsistori ataukah di rumah atau di pastori jemaat.

6. Ki : ya terserah nona saja. Saya ikut yang sudah diatur. (ibu kelihatannya serius untuk segera memasuki pokok percakapan).

7. Ko : ibu, sa mo tanya ! saya dengar dari bapa pendeta, ibu adalah seorang yang tegar, ibu kuat skali eh ! ibu luar biasa (ibu tertawa .... ha ha ha ...)

8. Ki : io kah nona ? bapa pendeta bilang begitukah ? jang angkat baru kasih jatuh eh ! (ibu tertawa lagi ...). Nona saya memang punya masalah keluarga.

9. Ko : oh iokah, sio ! ya mama cerita sudah, jang mama simpan-simpan sendiri, nanti jadi penyakit, kalau mama sakit lagi baru, siapa urus adik-adik.

10. Ki : io mama su sakit sudah ni, abis mama simpan-simpan sendiri, mo kasi tahu siapa.

11. Ko : kalau begitu mama cerita sudah, biar sa dengar, mungkin sa bisa tolong mama dengan bapa punya masalah.

(34)

62 waktu itu mama pigi ke (mendatangi) pa pendeta, jadi begini mama ni, aduh nona (tchi...), mama ni su selama doplima (dua puluh lima) tahun mama hidup dengan bapa ini, tapi bapa trabisa (tidak bisa) rubah dia pu kelakuan.

13. Ko : kelakuan bagaimana mama ?

14. Ki : bapa ni,... e bapa ni.... bapa suka selingkuh dari mama. Terakhir ni sampai bapa su pu anak, lalu bapa bilang sama mama, mama biasa piara anak itu kah, akhirnya mama bersedia ambil anak selingkuh itu dan piara dia. Tapi bapa tidak mengerti mama pu perasaan. Mama sampai su bosan bicara dengan bapa, sampai terakhir ni, mama

hanya bisa ingat dan berpegang pada mama pu ayat. “Hati yang

gembira adalah obat ... ”.

15. Ko : sio mama ni memang, mama luar biasa sekali. Baru masalah begini, kalau mama sudah terima ade dia sebagai bagian dari keluarga, berarti mama dong su bae bae saja, atau bagaimana komunikasi antara bapa dengan mama ? baikkah ?

16. Ki : komunikasi tu biasa saja, tapi kadang-kadang kami tidak bicara walaupun berada bersama. Masing-masing takut memulai sutu pembicaraan. Yang penting sekarang itu mama pelayanan saja. Mama sudah berserah.

17. Ko : kalau begitu waktu mama mulai tahu bapa selingku, apa tanggapan mama ?

(35)

63 melupakan masa lalunya, gaya hidupnya dan kelakuannya di masa muda itu. Mama bilang dalam hati, saya ini kurang apa jadi dia masih cari perempuan lain ? Perempuan itu dia punya kelebihan apakah ? Kita setiap saat bertengkar, sampai akhirnya mama pikir, untuk apa bertengkar kalau tidak ada hasilnya. Pikiran itu mulai muncul waktu bapa minta sama mama untuk ambil anak hasil selingkunya bapa menjadi anak kami.

19. Ko : Lalu mama terima tawaran bapa untuk ambil ade itu ?

20. Ki : ia nona, mama harus terima, sebab tawaran bapa itu disertai dengan ancaman dan konflik lagi. Lebih baik mama pertahankan keutuhan keluarga daripada terjadi perceraian.

21. Ko : Jadi apakah yang menjadi penyebab konflik mama dengan bapa, apakah kelakuan dari bapa yang suka selingkuh, atau apakah perempuan yang selingkuh dengan bapa sebagai saingannya mama, ataukah anak hasil selingkuh ? ataukah ada masalah lain ?

22. Ki : oh nona, itu semua menjadi sumber pertengkaran bapa dengan mama. Kalau dia selingkuh dengan perempuan lain, ya pasti mama ribut dan marah, karena bapa itu saya punya milik yang berharga. Jika perempuan itu sudah tahu ini suami orang mengapa ia mau menerima bapa dalam hidupnya lagi ? Anak inikan bukan mama punya anak, kalau mama lihat dia, mama ingat akan ibunya yang selingkuh dengan bapa, mama jadi marah dalam hati. Itulah penyebab mama dengan bapa selalu ribut dan bertengkar.

(36)

64 bertengkar merasa malu terhadap anak-anak ? Ataukah karena marah jadi tidak pikir pengaruh terhadap perkembangan anak-anak ? Bapak kan seorang guru, ia pasti tahu akan akibat dari konflik orang tua terhadap perkembangan psikologis anak-anak.

24. Ki : itu sudah nona. Kalau mama biasanya mama mengalah sudah. Kalau ribut juga sama saja. Bapa punya model sudah begitu, mau apa lagi. Bapa biasanya mohon ampun, mohon mama maafkan dia. Dia sampai peluk mama punya kaki sambil minta maaf. Itu sudah bapa punya kebiasaan.

25. Ko : Kalau sudah begitu, terus ? mama buat apa lagi ? 26. Ki : Ya .... begitu sudah.

27. Ko : Apakah konflik tersebut mempengaruhi komunikasi atau aktifitas bapa dan mama ?

28. Ki : Biasanya bapa dan mama ribut di kamar saja. Sesudah itu kami saling diam, lalu menganggap masalah selesai dengan meminta maaf. Kehidupan normal lagi, tetapi komunikasi akan putus selama satu hari, setelah itu normal lagi.

29. Ko : apakah bapa pendeta tahu apa yang mama dan bapa alami ?

30. Ki : ya bapa pendeta sudah tahu, karena mama su kasih tahu, tetapi ya itu, bapa dan mama pendeta pun hanya nasehati mama untuk mengerti keadaan bapa. Mama diminta oleh bapa pendeta untuk tabah menjalani hidup, jaga nama baik bapa dan kalau boleh mengampuni dan menerima dia sebagai suami dan kepala keluarga.

(37)

65 32. Ki : mama rasa tidak. Akh biar sudah nona.

33. Ko : ok baik mama. Terima kasih untuk informasinya. Saya mau bicara dengan bapa lagi. (mama berjabatan tangan dengan saya lalu permisi keluar dari konsistori gereja). Mama tolong bilang bapa ke mari. 34. Ki : (menganggukan kepalanya sebagai tanda ... ia mengatakan “ya”) .

3.2.2. Konseling terpisah antara Konselor (Ko) dengan Bapak A (Ki) bertempat

di konsistori jemaat, waktu malam hari.

1. Ko : Selamat malam bapa, saya G, apa kabar ? bapa sudah tunggu lama eh. (Ki menyodorkan tangannya lalu berjabatan tangan dengan Ko).

2. Ki : (ia kemudian duduk di kursi dan mengatur posisi duduk agak ke kiri dari posisi istrinya berhadapan dengan Ko). Selamat malam, mama sudah cerita banyak ka ?

3. Ko : io bapa. Begitu sudah, mama sudah cerita apa yang menjadi penyebab ... (tiba-tiba Ki potong pembicaraan Ko...)

4. Ki : mama memang paling mengerti bapa. Ia adalah istri yang baik, suka memafkan dan sebagai majelis jemaat ia rajin melayani. Bapa juga bangga dengan sikap dan cara hidupnya.

5. Ko : io eh bapa. Pa pendeta dan ibu juga bilang mama itu luar biasa. Mama saja .... (Ki kembali menyela pembisaraan ...)

(38)

66 7. Ko : Apakah yang menyebabkan bapa dan mama ribut atau konflik ? 8. Ki : (serius memandang ke langit-langit konsistori, lalu memegang

dagunya seolah ia sedang berpikir sesuatu untuk mengatakannya ...) 9. Ko : bagaimana bapa ?

10. Ki : sebenarnya bagi bapa itu tidak ada masalah yang terlalu serius, atau masalah yang rumit. Hanya mama selalu menanggapi sesuatu dengan emosi dan panas. Ia kita kan laki-laki... (Ki tersenyum ...) 11. Ko : apakah karena salah paham ? apakah karena bapa dan mama punya

latar belakang keluarga dan suku yang berbeda ? apakah konflik karena masalah selingkuh ?

12. Ki : baik nona pendeta. Mungkin pendeta sudah dengar dari mama ataupun dari bapa dan ibu pendeta jemaat. Bahwa bapa sudah punya anak dari hasil selingkuh dengan perempuan lain. Itu hanya khilaf saja dan sudah kita selesaikan. Tetapi mama sampai hari ini macamnya masih simpan marah. Bapa rasa kita sudah selesaikan, sudah saling memaafkan.

13. Ko : Tapi bapa apakah pendeta terlibat dalam penyelesaian masalah bapa dengan mama ini ? apalagi sampai mama menerima ade itu sebagaia bagian dari anak-anak bapa dan mama ?

14. Ki : oh pendeta tidak terlibat. Itu kita dua bicara sendiri dengan keluarga perempuan dorang. Kita atur diam-diam saja.

15. Ko : sebagai seorang guru, apakah perasaan bapa dengan cara penyelesaian seperti itu ?

(39)

67 bicara baik-baik saja dengan pihak mereka (maksudnya selingkuhan). 17. Ko : ada harus pa pendeta mau bilang mama ini luar biasa.

18. Ki : ya memang benar mama luar biasa. Tetapi da hal yang bapa harus kasi tahu untuk nona pendeta, bahwa jika mama sudah serius urus anak-anak, ia bisa lupa bahwa bapa juga perlu perhatiannya. Mama itu kan besar dengan keluarganya atau bapa dan mamanya serta keluarganya. Tapi saya ini kan sejak selesai SMP di kampung, saya berdiri sendiri sampai sekarang. Ini yang memang mama tidak mengerti.

19. Ko : Kalau begitu, apakah bapa pendeta tahu mama dan bapa punya masalah ini kah ? apa tindakan bapa pendeta untuk menolong bapa dan mama ?

20. Ki : ya begitu sudah. Pendeta sekarang kurang melihat jemaat, apalagi masalah jemaat. Pendeta terlalu sibuk dengan pelayanan sampai tidak ada waktu lagi untuk kunjungi jemaat. Kita mau pendeta datang ke rumah, kita duduk sama-sama, cerita dan tukar pikiran. Tetapi ini kan tidak (Ki diam ...lalu ia lanjutkan pembicaraannya...). Ya begitu begitu sudah. Kita harus bisa bertanggung jawab sendiri untuk keluarga kita, anak kita, istri kita tanpa harus tergantung kepada orang lain. Bapa ini kan guru, sudah lama tinggal di Wamena, pernah jadi Majelis Jemaat. Kami termasuk tua-tua jemaat, biasanya menjadi panutan dan juga donatur bagi pemuda.

21. Ko : Apakah persoalan bapa dengan mama ini mengganggu aktifitas bapa sebagai seorang guru ? atau mengganggu komunikasi sebagai suami istri ?

(40)

68 bukan masalah komunikasi, tetapi masalah hubungan suami istri. bapa akan tidur di ruang tamu karena komunikasi putus untuk beberapa hari. Hal ini juga mengganggu aktifitas sebagai guru. Konsentrasi untuk mengajar terganggu. Konsentrasi dalam menjalankan tugas sebagai pegawai juga terganggu. Pulang ke rumah setelah bekerja, pasti ketemu dengan mama yang sudah tidak berkomunikasi baik dengan saya. Anak-anak seolah memarahi saya. Di jemaat juga sepertinya pa pendeta melihat saya dengan sedikit ...saya tahu itu. Saya mau ke mana ? saya mau bagaimana lagi ? saya sebenarnya bingung menghadapi hidup seperti ini. Saya juga tidak mau kita ribut. Tapi ya begitu sudah. (lalu melipat jarinya tangannya seolah ingin berdoa mengaku dosanya dan mohon pimpinan Tuhan atas hidupnya). 23. Ko : Bapak ! kepada pa pendeta jemaat tidak lakukan konseling pastoral

untuk bapa dengan mama ? saya juga heran !

24. Ki : begini anak pendeta. Kita ini kan jemaat, tapi kita ini manusia.Sebagai manusia kita mau hidup baik dan menurut kehendak Tuhan. Tetapi kalau hamba Tuhan juga tidak peduli dan tidak peka dengan apa yang dialami jemaat. Ya sama saja. Kita sendiri berusaha untuk hidup keluarga kita. Akhirnya juga kita bertanggung-jawab kepada Tuhan. 25. Ko : Baik bapa, saya pikir bapa juga luar biasa, karena bapa juga bisa

menerima kenyatan pelayanan jemaat ketika bapa dan mama membutuhkan pelayanan, tetapi hal itu tidak dilakukan. Kalau begitu apakah yang bapa pikirkan ?

(41)

69 pendeta sendiri tidak tahu bahwa ini merupakan kebutuhan jemaat, kita mau bagaimana lagi. Pendeta kan atasan kita di jemaat, seperti di kantor kan kepala kantor atau kepala sekolah juga adalah atasan kita. Kita patut menghormatinya dan menghargainya sebagai seorang hamba Tuhan yang hidup bersama kita dalam jemaat.

27. Ko : berarti bapa menganggap bahwa apa yang dilakukan pendeta seperti itu efektif dalam menyelesaikan masalah keluarga.

28. Ki : ah tidak juga. Tidak ada yang efektif di sini. (bapak kelihatannya sedikt kesal dengan model pelayanan jemaat selama ini)

29. Ko : Bapa mau ya supaya keluarga bapa, juga keharmonisan hidup bapa dan mama sebagai suami istri berjalan baik seperti dulu lagi e.

30. Ki : benar anak pendeta. Tidak ada warga jemaat yang tidak mau keluarganya hidup baik. Saya juga mau supaya saya dengan mama hidup baik dan saaling mencintai tanpa ada yang mengganggu cinta kita.

31. Ko : ah betulkah bapa ? bapa juga luar biasa. (HP saya berdering, ada sms masuk, saya coba melihat sms, dari pdt bram, isinya : ade jangan terlalu lama melakukan percakapan, awas !). Minta maaf bapa. Kalau begitu kita cukup dulu nanti kita lanjutkan besok dalam percakapan bersama saya, bapa dan mama, apakah di sini lagi ? di rumah atau di pastori ?

32. Ki : biar di rumah saja. Sebelumnya saya mohon nona pendeta berdoa untuk bapa, supaya bapa bisa berubah, kitong ini sudah tua-tua, jadi harus ada perubahan dalam kehidupan kita.

(42)

70 pertemuan dan percakapan bersam bapa dan mama malam hari ini. Hamba bersyukur untuk kesempatan dapat bertemu dengan mereka sebagai jemaat dan umat-Mu. Kiranya apa yang telah kami bertiga bicarakan, Tuhan mendengarkannya dan memberkatinya supaya menjadi berkat bagi keluarga ini. Hambamu memohon berkat dan penyertaan bagi bapa dalam tugas dan pekerjaan, bagi mama sebagai istri dan isbu rumah tangga dan juga berkat dan penretaan bagi studi anak-anak dan masa depan mereka. Ampuni kami Tuhan, dengarkan doa hamba-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa amin.

34. Ki : Trima kasih, Tuhan memberkati. (berjabatan tangan lalu kami keluar dari konsistori bersama)

Fase 2.

3.2.3. Konseling antara Konselor (Ko) dengan Ibu A (Ki1) dan Bapak A (Ki2)

bertempat di rumah Ki1, waktu sore hingga malam hari

1. Ki1 : (mungkin telah melihat Ko dari jendela kaca rumah, keluar dan menyambut kedatangan Ko ke rumah mereka, ia tersenyum lebar seakan berkata terima kasih kepada Tuhan ... berjabatan tangan dengan Ko lalu merangkul dan membawa Ko ke dalam rumah). Selamat sore nona pendeta, datang sendiri kah ? sudah tahu jalan eh. 2. Ko : ia mama saya jalan sendiri. Kan dekat saja mo.

3. Ki1 : bapa, nona pendeta sudah datang ini.

(43)

71 membangun keluarga kami, yang hari ini kita mau membicarakannya lagi.

5. Ki1: silahkan duduk nona, saya ambil minum dulu. 6. Ko : tidak usah repot mama, mari kita duduk dulu.

7. Ki1 : (mama kembali membawa minum dan kue lalu meletakannya di atas meja)

8. Ki2 : mari silahkan minum.

9. Ki1 : bapak, lebih baik nona berdoa supaya kita minum dan bicara. 10.Ki2 : ya ... (suasana tegang tahap pertama mulai terasa)

11.Ko : bapa dan mama, marilah kita berdoa : Ya Tuhan Allah, Bapa dalam nama Yesus, kami bersyukur masih hidup dan bernafas hingga saat sore hari ini. Kami mau makan dan milik lalu lanjytkan percakapan kami, kiranya Tuhan menolong kami dengn kuasa Roh Kudus-Mu, supaya apa yang kami bicarakan sesuiai kehendak-Mu. Berkati kakanan dan minuman kami. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

12.Ki1 : mari silahkan minum tehnya, hanya kue saja ini. 13.Ko : mama yang bikin kue kah

14.Ki2 : mama ini suka buat kue. Kuenya bagus-bagus dan enak.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah Tujuan instruksional khusus dirumuskan, langkag selanjutnya adalah mengembangkan tes yang berfungsi untuk menilai sampai dimana siswa telah menguasai

Sesuai teori Burhan Nurgiyanto(2013:181), perburuan yaitu sebagai salah satu konflik sosial yang dialami oleh tokoh utama Matsunaga Seiichiro dalam novel Yoshiwara

Sertifikat Akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) Nomor : LPPHPL-013-IDN tanggal 1 September 2009 yang diberikan kepada PT EQUALITY Indonesia sebagai Lembaga

[r]

Hal tersebut yang menjadi pertimbangan penulis untuk mengembangkan sistem registrasi KRS yang memanfaatkan teknologi wireless yaitu teknologi J2ME, untuk memudahkan mahasiswa

Skripsi yang berjudul “PENGARUH PELATIHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KEMAMPUAN SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi pada PT. INDOHAMAFIS BALI) ”

Waduk Cikoncang terletak di dataran rendah sehingga kemungkinan terjadinya up welling (umbalan) sangat kecil. Pemanfaatan lahan waduk masih di bawah batas maksimum yang

Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan endokrin dan