Arkansas Juvenile Justice, Behavioral Health And Child Welfare: Systems Collaboration And Integration
Oleh : Ichsan
Pengaruh Faktor-Faktor Pelatihan Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Departemen Produksi PT ABC Sidoarjo
Oleh : Sri Langgeng Ratnasari
Analisis Pengaruh Faktor Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, Dan Kepriba-dian Terhadap Keputusan Pembelian Laptop Di Kalangan Mahasiswa
Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Oleh : Khairina AR
Analisis Pengaruh Kepuasan Dan Stres Kerja Terhadap Produktivitas Karyawan pada PT. Meidiatama Indokonsul Banda Aceh Oleh: Nur Faliza
Pengujian Fenomena Monday Effect, Week Four Effect, dan Rogalski Effect pada Return Saham di Bursa Effect Indonesia Oleh : Nikmah dan Pratana Puspa Midiastuty
Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Lhokseumawe (Suatu Analisis Trend) Oleh : Hendra Raza
Penggunaan Aplikasi Enterprise (Enterprise Application) Sebagai Sistem Informasi di Organisasi Oleh : Neni Sahara Noerdin
Volume 12 Nomor 3, Oktober 2011
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Management
& Business
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Management
& Business
ISSN : 1412 – 968X
Diterbitkan Oleh :
Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Dewan Penasehat/Advisory Board
Rektor Universitas Malikussaleh
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Ketua Penyunting/ Chief Editor
Wahyuddin (Chief)
Pengelola Penyunting/Managing Editor Khairil Anwar (Chief)
Apridar, Iswadi, Anwar Puteh, Ichsan, Aiyub, Damanhur, Ghazali Syamni, Naufal Bachri, Husaini
Penasehat Editorial dan Dewan Redaksi/ Editorial Advisory and Review Board
Prof. A. Hadi Arifin, Jullimursyida, Ph.D (Unimal) Isnurhadi, Ph.D (UNSRI), Erlina, Ph.D (USU), Adi Afif Zakaria, Ph.D (UI), Muhammad Nasir, Ph.D (USK),
Sofyan Syahnur, Ph.D (USK), Jeliteng Pribadi, MA (USK), Tafdil Husni, Ph.D (UNAND)
Sirkulasi & Secretary : Azhar, Fuadi, Ismail
Kantor Penyunting/Editorial Office
Kampus Bukit Indah FE Unimal Jl. Sumatera No. 1 – Lhokseumawe Telp. (0645) 700381 Fax. (0645) 44450 E-mail : [email protected], Hompage: www.fe-unimal.org/emabis
Jurnal E-Mabis Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh diterbitkan sejak tahun 2000 sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Malikussaleh nomor SK. No.34/UM.H/KP/2000
Jurnal E-Mabis diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Dekan : Wahyuddin, Pembantu Dekan I : Khairil Anwar, Pembantu Dekan II: Iswadi, Pembantu Dekan III : Anwar Puteh, Pembantu Dekan IV : Ichsan
Jurnal E-Mabis terbit 3 kali setahun pada bulan Januari, Mei, dan Oktober.
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Management
& Business
ISSN : 1412 – 968X
Bismillahirrahmanirrahim
Seiring perjalanan waktu, kini E-MABIS telah sampai pada Volume 12 Nomor 3a terbitan bulan Oktober 2011. Dalam upaya untuk mengembangkan penerbitan E-MABIS dan upaya untuk akreditasi, redaksi mencoba melakukan beberapa terobosan baru dalam rangka mengumpulkan artikel-artikel yang mempunyai kualitas yang baik untuk diterbitkan. Walaupun demikian kami tidak melakukan perombakan yang signifikan, mengingat pondasi yang dibangun sebelumnya sudah cukup baik. Kami mencoba untuk lebih mendiversifikasikan artikel-artikel yang masuk dari penulis-penulis luar, agar khazanah keilmuan menjadi lebih sempurna. Selain itu tim redaksi juga mencoba untuk melakukan suatu skedul terjadwal dan terintegrasi dalam suatu sistem pengelolaan agar selalu terkoneksi antara pengelola jurnal, mitra bestari, dan para penulis. Kiranya terbitan kali ini akan memberi manfaat yang besar bagi Anda yang membacanya. Salam Superrr
Redaksi mengharapkan partisipasi aktif dari rekan-rekan untuk mengirimkan hasil penelitiannya. Agar bisa dimuat dalam penerbitan selanjutnya. Kepada semua pihak kami ucapkan terima kasih
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Management
& Business
ISSN : 1412 – 968X
DAFTAR ISI
Arkansas Juvenile Justice, Behavioral Health And Child Welfare: Systems Collaboration And Integration
Oleh: Ichsan ... 288 – 298 Pengaruh Faktor-Faktor Pelatihan Terhadap Prestasi Kerja Karyawan
Departemen Produksi PT ABC Sidoarjo
Oleh: Sri Langgeng Ratnasari ... 299 – 306 Analisis Pengaruh Faktor Motivasi, Persepsi, Pembelajaran, dan
Kepribadian Terhadap Keputusan Pembelian Laptop di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
Oleh: Khairina AR ... 307 – 317 Analisis Pengaruh Kepuasan Dan Stres Kerja Terhadap Produktivitas
Karyawan pada PT. Meidiatama Indokonsul Banda Aceh
Oleh: Nur Falizaii ... 318 - 328 Pengujian Fenomena Monday Effect, Week Four Effect, dan
Rogalski Effect pada Return Saham di Bursa Effect Indonesia
Oleh : Nikmah dan Pratana Puspa Midiastuty ... 329 - 340 Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Lhokseumawe (Suatu Analisis Trend)
Oleh : Hendra Raza ... 341 - 354 Penggunaan Aplikasi Enterprise (Enterprise Application)
Sebagai Sistem Informasi di Organisasi
Oleh : Neni Sahara Noerdin ... 355 - 363 Pengaruh Modal dan Tenaga Kerja Terhadap Efisiensi
Industri Kecil di Kota Banda Aceh
Oleh : Aliasuddin dan Ikram Abdul Baari ... 364 - 372 Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi
Terhadap Tingkat Pengangguran di Provinsi Aceh
Oleh : Fikriah dan Husniza ... 373 - 383 Pengaruh Faktor Kebudayaan Terhadap Keputusan Menabung Pada
Bank Syariah Mandiri Cabang Lhokseumawe
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
Management
& Business
ISSN : 1412 – 968X
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemiskinan Rumahtangga di Kabupaten Aceh Utara
Oleh : Muhammad Nasir ... 396 - 409 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota Di Pemerintah Aceh)
Oleh : Rita Meutia dan Farhan Hady ... 410 - 428 Analisis Determinan Pendapatan Usaha Kecil di Kota Lhokseumawe
Oleh : Nazir ... 429 - 438 Pengaruh Laba Terhadap Pengembangan Usaha Perabotan
di Kabupaten Aceh Utara
(Studi Kasus Di Kec. Lhoksukon, Kec. Samudera dan Kec. Tanah Luas)
Oleh : Husaini ... 439 - 451 Pengaruh Loyalitas Konsumen Pada Keputusan Pembelian
Produk Pasta Gigi Merek Pepsodent di Swalayan Sejahtera I Kota Lhokseumawe
Oleh : Syamsul Bahri ... 452 - 466 Pengaruh Pengalaman Terhadap Peningkatan Keahlian Auditor
dalam Bidang Auditing pada Kantor Akuntan Publik di Jawa Barat
Oleh : Murhaban ... 467 - 479 Pengaruh Job Relevan Information Terhadap Hubungan Antara
Partisipasi Penganggaran dengan Kinerja Manajer
(Studi Pada Manajer Perbankan Syari’ah Di Kota Banda Aceh)
Oleh : Rahmawaty dan Evi Mutia ... 480 - 488 Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) Sebagai
Kejahatan Ekonomi Gaya Baru
Oleh : Yusnanik Bakhtiar ... 489 - 497 Pengaruh Strategi Pemasaran Terhadap Kepuasan dan Hubungannya
dengan Loyalitas Pelanggan Produk Kartu Halo pada PT. Telkomsel di Kota Lhokseumawe
Oleh : Mariyudi ... 498 - 513 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Membeli Susu Procal Gold pada PT. Wyeth Indonesia Cabang Medan
ARKANSAS JUVENILE JUSTICE, BEHAVIORAL HEALTH AND CHILD WELFARE: SYSTEMS COLLABORATION
AND INTEGRATION
Ichsan
Abstract: This study aims to examine the potential of systems integration between agencies and organizations working in the areas of juvenile justice, child welfare, and children’s behavioral health in Arkansas. A specific focus is to build an understanding of how agencies work together, and to identify areas that make intra-agency collaboration difficult. To help understand this potential, interviews with stakeholders in many of the agencies involved with juvenile services were conducted. The stakeholders were asked questions about how associated agencies work in serving the youth of Arkansas and what barriers may exist. This study finds that while some evidence exists that policy makers recognize that collaboration is important and some level of cooperation and collaboration is occurring, youth service integration is still more at the discourse rather than at the practice level. In order for meaningful integration to occur, two things must happen. First, more research into systems integration and collaboration is necessary. Second, a champion must emerge who can help push the agenda forward. This champion must be able to get agencies involved to collectively determine a course of action that best meets the needs of children and families in Arkansas.
Keywords: system collaboration, integration, management, policy alternatives
____________________________________________________________________ Ichsan, Lecturer at Faculty of Economics, Malikussaleh University
INTRODUCTION
Research, at both the national and state levels in the U.S. shows that child and adolescent systems have common problems in dealing with numerous youth issues (Greenbaum, Dedrick, Friedman, Kutash, Brown & Lardieri in Howell, Kelly, Palmer & Mangum, 2004; Child Welfare League of America, 2004; Howell et al., 2004; Arthur & Roche, 2008; Skowyra & Cocozza in Arthur & Roche, 2008). Efforts to collaborate and integrate those service systems, therefore, have been seriously viewed as a proper and sound solution to achieve better outcomes.
In response to the Juvenile Justice and Delinquency Prevention Act and the Child Abuse Prevention and Treatment Act, starting in 2002 and later in 2003, federal grant support for proposals involving integrative practices between youth-serving systems began being funneled. in Arkansas, youth service collaboration and integration is still at the discourse level than the practice level. Some agencies and institutions seem to have a strong awareness of the need for integration, with various forms and scopes of integration indicated by their reports or studies. This can be seen, for instance, in an Arkansas Legislative Task Force on Abused and Neglected Children’s report (2007) and an Arkansas Division of Youth Services study (Arthur & Roche, 2008).
This study will examine the potential of systems integration between agencies and organizations working in the areas of juvenile justice, child welfare, and children’s behavioral health in Arkansas. In this regard, children’s behavioral health is also considered to be integrated in the system since it is closely linked to the two other systems. Specifically, this study will address several questions. What collaborative and integrative practices currently exist between those agencies? What is the institutional “will” of the agencies involved? What are barriers to service integration? What initial efforts should be taken towards service integration? To answer these questions, this study will be supported by empirical and theoretical analysis based on observation, interviews, document analysis, and relevant literature. BACKGROUND OF THE PROBLEM
Artifacts and Communities of Meaning
The first steps in an interpretive policy analysis are to identify the stakeholders involved who might have differing interpretations of the policy and identify the artifacts by which those interpretations are expressed (Yanow, 2000). As part of this research, a group of stakeholders were identified and convened for a panel discussion during a previous research phase conducted in the summer of 2008. The findings from this study formed a basis for the current research. Because the current research team had limited knowledge of the issue and agencies involved prior to the study, a snowball approach was used to identify additional stakeholders and artifacts based on observation, document reviews, and interviews with stakeholders.
interviewed. Two were involved with juvenile justice, including a law enforcement officer and management-level agency representative. Two people interviewed represented behavioral health, including a service provider from a privately-owned mental health facility and an administrator with an agency which serves in an advisory role to private providers and agency personnel. An interview was also conducted with a DHS administrator representing child welfare policy.1 Anecdotal evidence based on conversations conducted at chance meetings with individuals familiar with children’s services was also considered during analysis.
Data coordination
Data coordination involves procedures established to support joint data collection and distribution. During interviews conducted with representatives within each area of service (juvenile justice, child welfare, and behavioral health), evidence was found that those involved in all three areas have established procedures for getting and giving data, but those procedures do not always work well. One reason is that procedures vary from agency to agency, and sometimes even within departments of an agency. Differences in goals were also identified as a barrier to effective data coordination.
Linkages between agencies are also dependent on relationships between agencies and relationships between individuals within and across agencies. For example, one person interviewed indicated that there is no data sharing between mental health and DYS. Another indicated that the mental health agency shares little information with the education system because of a goal that schools treat the juveniles in treatment like all other juveniles in the schools. All interviewees indicated that data coordination worked better with one agency than the others. However, it was not the same agency in each case; each situation is relationship dependent. One other finding related to data coordination is worth noting. The agency representative who reported the most success indicated that because of adequate staff resources, it has purposefully created linkages and coordinated services with other agencies. The issue of resource availability will be addressed in more detail later in this section.
Information management
Information management refers to the extent to which one agency lets other agencies know what it is doing through such actions as distributing written reports, holding coordinative meetings, or setting up information units. As found with data coordination, this is very much relationship driven. An individual who works in mental health indicated information management depends on locating an individual with the authority to communicate. Similarly, a law enforcement stakeholder reported that it depends on locating an individual who is willing to share information. A key finding across all areas is that adequate communication is dependent upon getting to
1 Note that one of the individuals interviewed who is involved in behavioral health serves in an
the person with whom an established relationship exists. One person stated, “With a personal relationship it is easier to get the information you need because that person has learned to trust you, and might bend the rules a little.”
Case planning and management
Case planning and management identifies the extent to which the related agencies have the intention to work together at the planning level of programs or activities. Numerous obstacles to this idea were identified. For instance, an individual involved in law enforcement indicated that he supports the idea of working with other agencies to plan cases, but fears that DHS will refuse to give law enforcement the information that they need because of a lack of shared goals.
A mental health care provider reported that supervisors have discussed integrated case planning in negative terms. He felt that providers will resist consolidated case management because of organizational self interest. In other words, a lack of communication serves the interests of the agency. Information might be withheld from DHS and the courts that might result in a reduction in placement and funding.
According to a stakeholder in juvenile justice, having people from many different agencies in one building helps to support coordinated services. They meet together regularly to ensure that everyone, within legal limits, is working for the same goals. Despite this, concerns were raised as illustrated by the following quote: “The problem with DHS is that they work on government time, and after 4:00 there is no one to talk to about a child, and law enforcement problems happen around the clock. Sometimes by the time you find the person you need to talk to it is too late to change what happened to the child.”
One of the individuals interviewed alluded to a potential solution: “The legislature decides on what the mission and goals are, and also what resources are available. If the legislature wants integrated case management, it will have to provide the resources.” The issues of resources and legislative empowerment are described in more detail below.
Consolidation of resources
Two interviewees felt that supervisors would resist resource consolidation. Despite this, one in law enforcement person supports resource consolidation, especially at the street level. That person hopes that the connection with child welfare becomes stronger. All interviewees who responded to the question about resource sharing agreed that limited resources are a major factor that limits collaboration and integrated practices
Statutes and policies
An examination of existing statutes yielded several instances in which legislators appear to provide direction that coordination and collaboration be employed in the provision of youth services. The DYS appears to be charged with providing leadership to integrative efforts, holding “responsibility for coordinating, sponsoring, and providing services to Arkansas' youth and to create a structure within state government that will be responsive to the needs of the state's youth” (Arkansas Code § 9-28-201). Pursuant to this, several specific duties are prescribed including:
– Coordinate communication among juvenile justice components,
– Oversee juvenile justice reform,
– Provide services to delinquent youth and in-need families,
– Conduct research regarding juvenile justice and related problems,
– Develop programs for early intervention and prevention of delinquency,
– Maintain information files on delinquents,
– Pursue maximization of federal funding for delinquency and related programs, and
– Evaluate effectiveness and efficiency of programs and services (Arkansas Code § 9-28-202).
The law also establishes that sharing of juvenile records is permissible with several entities, including but not limited to, the juvenile division of circuit courts, law enforcement, service providers, and government entities with a need for information to carry out its responsibilities under the law to serve or protect (Arkansas Code § 9-28-217). In addition to the creation of the Division of Youth Services, Arkansas Code also provides that the Arkansas Department of Human Services “consist of and be operated under an integrated service system” which includes a Division of Behavioral Health and a Division of Children and Family Services, among others (Arkansas Code § 25-10-102).
An individual involved with behavioral health identified another legal issue of concern. “There are problems sometimes working with Medicaid because of the way the Medicaid laws are written. When a juvenile enters this facility Medicaid is cut off. Sometimes the child goes days without medicine because we cannot get it for them. The social worker on staff works to solve this, but it is not easy”. Obstacles such as this make it difficult to provide effective services and care.
Communities of meaning
A number of words and phrases related to systems integration were identified in analyzing the data collected as part of this research. In describing the problem, terms such as “system fragmentation,” communication and coordination challenges,” and “served by multiple systems” were used. These recurring themes suggest recognition that the provision of complementary services through multiple providers and multiple agencies can create problems in effective service delivery.
Discourses and Points of Conflict
Inter-organizational participation may be characterized as a continuum related to the level of interdependence between agencies (Intriligator, 1990). In this model, cooperation represents lower levels of participation, coordination a more moderate level, and collaboration representing the highest level. In this study, several different phrases were identified with respect to the discussion of potential solutions. These include phrases such as “coordination of services,” “coordinated model, “must come together,” “need for interagency collaboration,” and “coordinated network.” Other terms that surfaced to describe relationships include “coordinating,” “sponsoring,” “oversee,” “sharing,” and “collaborative.” Examining this range of responses with respect to Intriligator’s model illustrates the differing perceptions surrounding the level of inter-organizational effort that exists or should exist. Although it appears that most stakeholders lean toward the right end of the continuum focusing on coordination and collaboration between agencies, there is still potential for conflict as solutions emerge and are implemented.
In this study, several explicit points of conflict were observed. First, despite discourse that suggested that the need for coordination and collaboration between all three types of agencies and service providers (juvenile justice, child welfare, and behavioral health), juvenile justice is often omitted from potential solutions. For example, in a children’s mental health system listening tour initiated by First Lady Ginger Beebe initiated a children’s mental health system listening tour, a primary issue raised is that children are served by multiple systems—mental health, juvenile justice, and education (The Arkansas mental health system for children… a family
perspective). However, the recommendations that came out in the final report focused
on health and education providers, with no mention of juvenile justice.
between case referrals by DYS and obtaining an appointment with a mental health care provider. The interviewee couldn’t think of any meetings on any topic in which juvenile justice was represented.
Turfism is another source of potential conflict. In observing the Children’s Behavioral Health Care Commission meeting, a somewhat heated discussion developed between commission members and DHS personnel regarding what, if any, oversight or authority the commission had regarding the SOC RFP to be re-issued. Several commission members expressed an interest in approving the final RFP before it was issued. DHS indicated that this would not be possible since once an RFP was released to the commission, it become public record. DHS also expressed some concern that individual commission members might have a conflict of interest because of relationships with potential program applicants. There was no agreement on a final solution to the problem.
Finally, the researchers in this study found it extremely challenging to determine whether barriers were real, perceived, or simply excuses for why agencies don’t do a better job of working together. Limited resources and legal restrictions regarding information sharing seemed to emerge frequently as a problem. However, state law is clear that information sharing is permissible. Although there could be problems at the policy or procedural level on how this is accomplished, it could also be that it is an easy excuse to hide behind.
POTENTIAL SOLUTIONS
With respect to the possibility of working together among juvenile justice, child welfare, and children’s behavioral health systems, there are a couple of possible forms and approaches that can be adopted. The forms include integration, coordination, and collaboration, while the approaches refer to various efforts to achieve one or more desired forms.
Integration, Coordination, and Collaboration
In a broad sense, integration means a new system of managing issues that cross over related previous systems (Wiig & Tuell, 2004). Specifically speaking, in the context of integration of juvenile justice, child welfare, and children’s behavioral health systems, it means the new system created to deal with, for example, juvenile delinquents who have histories of maltreatment or have mental health issues. The new system should also function to take care of children who have been maltreated or have mental health issues and are at very high risk of becoming juvenile delinquents. The emergence of the new system is marked by such things as “the development of an integrated management information system, blended funding and flexible programming for children and families crossing the existing systems, policy and program development that emphasizes prevention, results-based accountability that includes performance and outcome measures, statutory and other policy frameworks that support systemic change, and reliance on evidence-based practices.” (Wiig & Tuell, 2004, pp. xii)
the process of managing those issues in one of the systems. Examples of these efforts, among others, are: “communication between systems when children and families are involved in both systems, shared caseloads when related systems are involved with one family, programs targeted to specific categories of children such as child delinquents, and programs or procedures targeted to specific points in the case process to improve case handling or attain improved case outcomes.” (Wiig & Tuell, 2004, pp. xii)
Collaboration is more complex than integration. It is defined as organizations or people working together where their organizational and inter-organizational structures enable them to share resources, power, and authority, and where they embrace common goals that could not be achieved by only relying only on a single individual or organization (Kagan in Daka Mulwanda, et al., 1995). This approach is quite complicated to put into practice since it requires common goals which are basically very difficult to achieve. According to Bruner (in Daka-Mulwanda et at., 1995) collaboration demands three components: “a) jointly developing and agreeing to a set of common goals and direction; b) sharing responsibility for obtaining those goals; c) working together to achieve those goals, using the expertise of each collaborator.” (pp. 219).
How to Achieve Coordination and Integration
Wiig and Tuell (2004) propose five phases that state and local jurisdictions need to go through to achieve useful coordination and integration. The first is mobilization and advocacy. In this phase, jurisdictions supported by strong leaders must establish a strong foundation to support the initiative through political will and a commitment to maintaining the planning process, producing sound action strategy, and achieving the sought outcomes. The second is data collection and information sharing. In this phase, the involved parties determine data elements for collection and its management to support coordination and integration planning. One of the important issues in this phase is decisions about confidentiality issues and the legal aspects of information sharing. The third phase is inventory and assessment. Issues that need to be handled here include: duplication of services; contradictory case plans, costly repeated interventions; and lost opportunities to plan for a continuum of service delivery focused on success with long-term outcomes. The fourth is action strategy. At this point, steps for coordination and integration are formulated. It is also important to determine how to respond to potential problems, maintain partnerships, make decisions, and sustain support for implementation. The fifth and final phase is implementation. In this phase detailed planning is formulated to implement the action strategy. This process requires clarity of purpose, an understanding of goals and expected outcomes, timeliness, clear assignment of responsibilities, evaluation, and strong leadership.
associated with agreements between agencies in terms of exchange of information and cross-agency client referral conditions and procedures. Integrated councils will enable agencies to find out other agencies’ services which may be needed by their clients, thereby resulting in more referrals. Integrated services are vital for comprehensive, objective assessments of treatment.
Prior to building the interagency infrastructure, several steps need to be taken. Formulation of a comprehensive strategy to integrate youth service systems is an initial step. This comprehensive strategy contains a continuum containing the following aspects: prevention of delinquency and problem behaviors; intervention for pre-delinquency and first time and non-serious offenders; sanctions for first time serious offenders and chronic offenders; and aftercare. The next step is to form a community planning team that includes representatives from all sectors of the community (education, mental health, substance abuse treatment agencies, child welfare, law enforcement agencies and prosecutors, other social service agencies, youth development agencies, private organizations, courts and correction agencies, civic and faith organizations, parents, and teens). The community planning team then appraises youth and family treatment needs and negotiates an interagency networking protocol for information exchange and cross-agency referrals. For a treatment continuum, the team can also prepare a long-term strategic plan, guided by the comprehensive strategy.
RECOMMENDATIONS AND CONCLUSION Recommendations
In order for significant progress toward implementing systems integration and collaboration between agencies and organizations working in the areas of juvenile justice, child welfare, and children’s behavioral health in Arkansas to occur, the agencies involved need to collectively determine common goals and platforms and develop a comprehensive strategy to collaboratively address those goals. This strategy should include a determination of the resources needed to implement it and a plan to engage a legislative champion to help elevate it to the legislative decision agenda.
An important part of the next phase of this study should be to identify successful integrative policies and practices in other states that can be useful in developing a policy solution for Arkansas. Examples of such models could include Baltimore and Florida as described in the previous section. This recommendation is similar to an action step suggested during the first phase of research, except that the research would be conducted by the researchers rather than a subcommittee of agency representatives and stakeholders. Ideally, this research will include interviews with individuals familiar with the developmental process for those practices and policies that can help identify some of the problems encountered during that process.
useful lessons for Arkansas should the policy solution proposed follow a similar approach.
Conclusion
In this study, the potential for systems integration between agencies and organizations working in the areas of juvenile justice, child welfare, and children’s behavioral health in Arkansas was explored. While some evidence exists that policy makers recognize that collaboration is important and some level of cooperation and collaboration is occurring, youth service integration is still more at the discourse rather than at the practice level in Arkansas. In order for meaningful integration to occur, two things must happen. First, more research into systems integration and collaboration is necessary. Second, a champion must emerge who can help push the agenda forward. This champion must be able to get agencies involved to collectively determine a course of action that best meets the needs of children and families in Arkansas.
REFERENCES
Arkansas Advocates for Children and Families. The Arkansas mental health system for children… a family perspective.
Arkansas Code, Arkansas General Assembly (Retrieved November 18, 2008, from
http://www.arkleg.state.ar.us)
Arkansas Department of Human Services Division of Youth Services. Agency strategic plan for the fiscal years 2005-2009.
Arkansas Legislative Task Force on Abused and Neglected Children. (2007). Final report and recommendations of the Arkansas Legislative Task Force on abused and neglected children. Little Rock: Bureau of Legislative Research. Arthur, P., & Roche, T. (2008). Juvenile justice reform in Arkansas: Building a better
future for youth, their families, and the communities. Little Rock: The Arkansas Division of Youth Services.
Child Welfare League of America. A policy brief: Dual jurisdiction youth. Washington DC: Child Welfare League of America Inc.
Cobb, R. & Ross, M. (eds.). (1997). Cultural Strategies of Agenda Denial. Lawrence: University Press of Kansas.
Daka-Mulwanda, V., Thornburg, K. R., Filbert, L., & Klein, T. (1995). Collaboration of services for children and families: A synthesis of recent research and recommendation. Family Relation, 44, 219-223.
Davis, C. (2007). Building and Arkansas system of care: Making all the pieces work. Human Service Collaborative.
Diallo, A., Fitzgerald, B., Giardino, P., Kenner, A., Moyer, M. & Hunt, V. (2008). Juvenile Justice and Child Welfare Systems coordination and collaboration exploratory panel. Fayetteville: PUBP 604V Crime and Public Policy.
Howel, J. C., Kelly, M. R., Palmer, J., & Mangum, R. L. (2004). Integrating child welfare, juvenile justice, and other agencies in a continuum of services. Child Welfare, 83(2), 143-156.
Intriligator, B. (1990). Designing effective inter-organizational networks. Paper presented at the annual meeting of the University Council for Educational Administration, Minneapolis.
Kingdon, J. (2003). Agendas, alternatives, and public policy (2nd ed.). New York: Longman.
Nelson, Douglas. (2008). The Annie E. Casey Foundation 2008 Kids Count Essay and Data Brief. The Annie E. Casey Foundation, Baltimore MD.
Tuell, J. A. (2006). Building bridges to better outcomes for children: The link between juvenile justice and child welfare (Final draft). Washington DC: Child Welfare League of America Inc.
Wiig, J., & Tuell, J. A. (2004). Guidebook for juvenile justice and child welfare system coordination and integration: A framework for improved outcomes. Washington DC: Child Welfare League of America Inc.
Wilson, James. (1989). Bureaucracy: What government agencies do and why they do it. Basic Books.
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR PELATIHAN TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN DEPARTEMEN PRODUKSI PT ABC SIDOARJO
Sri Langgeng Ratnasari
Abstract: This research objective is to find out the impact of training to performance. Performance functions as a dependent variable on this research. Training is variable function as independent variable. The sample of this research is included fifty permanent worker at Production Departement of PT. ABC Sidoarjo, acquired by purposive sampling. Data is collected through questionnaire method and analyzed by Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) technique.
Keywords: Training and Performance
____________________________________________________________________ Sri Langgeng Ratnasari, Fakultas Ekonomi Universitas Batam
PENDAHULUAN
Globalisasi pada saat ini mendorong perusahaan responsif dalam meningkatkan ketrampilan dan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya agar bisa bersaing dengan perusahaan sejenis lainnya. Kemampuan sumber daya manusia dalam menjalankan tugas-tugas perusahaan harus diperhatikan, salah satunya dengan cara meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam menjalankan tugas-tugas perusahaan melalui pelatihan atau training. Melalui pelatihan dan pengembangan diharapkan dapat menambah pengetahuan dan ketrampilan sumber daya manusia dalam menjalankan tugas yang dibebankan perusahaan (Handoko, 2001: 104).
Pimpinan perusahaan seharusnya menyadari bahwa pelatihan yang dilakukan perusahaan bagi karyawan sangat penting, meskipun untuk memberikan pelatihan tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar tetapi akan memberikan manfaat yang lebih besar untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan yang akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan.
Program pelatihan adalah suatu program yang membantu karyawan dalam membentuk, meningkatkan ketrampilan dan tingkah laku agar dapat mencapai standar yang sesuai dengan tuntutan jabatan dan juga akan dapat memperbaiki sikap serta pengetahuan sesuai dengan yang diharapkan perusahaan.
Karyawan yang telah berpengalaman mungkin memerlukan latihan untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan-kebiasaan kerja yang jelek atau mempelajari ketrampilan-ketrampilan kerja baru yang akan meningkatkan prestasi kerja mereka dalam mencapai sasaran-sasaran pekerjaan yang telah ditetapkan (Handoko, 2001: 107).
TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kerja
Program pelatihan merupakan suatu program yang membantu karyawan dalam membentuk, meningkatkan ketrampilan dan tingkah laku, memperbaiki sikap serta pengetahuan sesuai yang diharapkan perusahaan. Simamora (1995: 287) pelatihan adalah serangkaian aktivitas yang dirancang untuk menngkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman ataupun perubahan sikap seorang individu. Pelatihan berkenaan dengan perolehan keahlian-keahlian atau pengalaman tertentu. Program pelatihan berusaha mengajarkan bagaimana melaksanakan aktivitas atau pekerjaan tertentu”.
Nitisemito (1996: 53) pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan atau instansi yang dimaksudkan untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, ketrampilan, dan pengetahuan dari karyawan atau pegawai, sesuai dengan keinginan dari perusahaan atau instansi yang bersangkutan. Dalam sebuah perusahaan, pelatihan akan sangat berguna bagi karyawan dalam mengembangkan kemampuannya agar karyawan dapat bekerja dengan lebih baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan.
Handoko (2001: 104) pelatihan adalah perbaikan penguasaan teknik pelaksanaan kerja tertentu dan ketrampilan, terinci dan rutin. Latihan menyiapkan karyawan untuk melakukan pekerjaan sekarang, di lain pihak apabila manajemen ingin menyiapkan para karyawan untuk memegang tanggung jawab pekerjaan tertentu di waktu yang akan datang. Dengan diadakannya pelatihan, akan sangat membantu perusahaan dalam mengatasi adanya keusangan karyawan yang dapat mengganggu efektivitas kerja dalam organisasi.
Dari berbagai pengertian pelatihan seperti yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah simpulan yaitu pelatihan merupakan suatu proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu yang telah dilakukan oleh perusahaan yang bertujuan untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan keahlian, ketrampilan, kecakapan dan pengetahuan karyawan dalam menghadapi pekerjaan sesuai dengan jabatan mereka pada saat ini yang sesuai dengan keinginan perusahaan.
Prestasi Kerja
Gomes (2000: 195) mengemukakan definisi prestasi kerja karyawan adalah ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas yang sering dihubungkan dengan produktivitas.
Soeprihanto (2000: 7) memberikan batasan mengenai kinerja sumber daya manusia yang dilihat dari sudut pandang prestasi kerja yang dicapai oleh seseorang. Prestasi kerja adalah hasil seseorang pegawai dalam periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standard, target atau sasaran atau kriteria yang ditentukan lebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Dharma (2001: 1) menyatakan bahwa prestasi kerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk atau jasa yang dihasilkan atau diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Menurut Hasibuan (2001: 105) bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan tugas-tugas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Samsudin (2005: 159) mendefinisikan prestasi kerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.
Daft (2006: 13) mendefinisikan kinerja adalah kemampuan organisasi untuk mempertahankan tujuannya dengan menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien. Kemampuan ini merupakan prestasi yang telah diraih oleh para pegawai tersebut secara akumulasi menjadi suatu prestasi kerja. Kemudian prestasi kerja akan menjadi tingkat efektivitas suatu organisasi atau kinerja. Semakin tinggi efektivitas kerjanya maka semakin tinggi kinerjanya.
Pengertian prestasi kerja menurut Mangkunegara (2009: 67) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat dijelaskan bahwa perusahaan perlu memandang kinerja sumber daya manusianya sebagai persoalan strategis sebagai sarana membantu dalam meraih keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian
Gambar 1.
Model Konseptual Penelitian Hipotesis Penelitian
1. Faktor-faktor pelatihan yang terdiri materi pelatihan, kemampuan pelatih, metode pelatihan, dan peserta pelatihan berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan.
2. Faktor kemampuan pelatih mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja karyawan.
Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah karyawan Departemen produksi PT. ABC Sidoarjo yang berjumlah 85 orang. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang ditetapkan sebanyak 50 karyawan berdasrkan pendapat Arikunto (1998: 120-121) yang menyatakan bahwa jika populasi terlalu besar maka pengambilan sampel adalah sebesar 10%-15% atau 20%-30% atau lebih. Sampel yang diambil berdasarkan purposive sampling (Singarimbun, 1998:169) dimana penentuan sampel berdasarkan tujuan tertentu.
Uraian Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yakni pelatihan (X) sebagai variabel eksogen, dan variabel endogen yakni prestasi kerja karyawan (Y). Definisi operasional variable sebagai berikut:
1. Pelatihan (X) adalah pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan atau instansi yang dimaksudkan untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, ketrampilan, dan pengetahuan dari karyawan atau pegawai, sesuai dengan keinginan dari perusahaan atau instansi yang bersangkutan, konsep yang dikembangkan oleh Nitisemito (1996), terdiri dari 4 dimensi yakni materi pelatihan (X1), kemampuan pelatih (X1.2), metode pelatihan (X3), dan peserta pelatihan (X4).
2. Prestasi Kerja Karyawan (Y1) adalah prestasi kerja atau hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang pada periode waktu tertentu sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Prestasi kerja diukur dengan konsep prestasi kerja yang sudah ditetapkan oleh PT. ABC
X Y
X2
X4
X3
X1 Y1
Y2
Y3
Sidoarjo, terdiri dari 4 dimensi yakni disiplin kerja (Y1), tingkat ketepatan pengerjaan tugas (Y2), kualitas pekerjaan (Y3), dan kerjasama dengan karyawan lain (Y4).
Prosedur Pengumpulan Data
Data penelitian adalah data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner. Bersama kuisioner dilampirkan surat yang menjelaskan maksud dan tujuan pengisian kuisioner dan waktu pengembalian kuisioner yang telah diisi oleh responden. Teknik penyerahan kuisioner diantar langsung ke perusahaan, dimana teknik ini lebih baik dibandingkan dengan melalui pengiriman kuisioener lewat pos karena dapat memperkecil perbedaan interprestasi antara responden dengan peneliti. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS release 17 (Statistical
Package for the Social Sciences)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT. ABC Sidoarjo
PT ABC Sidoarjo adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan komponen mobil (spare parts) dan produk-produk konstruksi. PT ABC Sidoarjo dirintis pada tahun 1962 oleh Bapak H. Achmad Thoyib Abdul Kadir dan masih berupa usaha kecil dalam bidang pandai besi. Usahanya meliputi pembuatan alat-alat pertanian berupa cangkul dan sabit. Pada permulaan usaha tersebut mempekerjakan 10 orang karyawan. Pada tahun 1970 usaha tersebut dikembangkn dengan memproduksi alat-alat otomotif yang proses pengerjaannya dilakukan dengan alat-alat tradisional dan hanya memproduksi gagang spion.
Seiring perkembangan teknologi industri dan tuntutan industri dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, pada tahun 1980 PT ABC Sidoarjo membeli mesin-mesin yang digunakan untuk produksi. Jumlah karyawan departemen produksi PT ABC Sidoarjo tahun 2010 sebanyak 85 orang dan perusahaan sudah memiliki sertifikat ISO 9002.
Deskripsi Sampel Penelitian
Responden terdiri dari 50 responden, semuanya pria. Usia rata-rata responden 30 tahun, dimana usia termuda 27 tahun dan usia paling tua adalah 50 tahun. Pendidikan responden sebagian besar adalah SMA yakni sebanyak 49 orang sedangkan sarjana (S1) hanya 1 orang.
Hasil Pengujian Hipotesis
Tabel 1. Hasil Uji Parsial
Variabel-Variabel Pelatihan Korelasi (r) r²
Materi Pelatihan 0,480 0,230
Kemampuan Pelatih 0,637 0,405
Metode Pelatihan 0,418 0,174
Peserta Pelatihan 0,419 0,175
Sumber: Hasil Olahan
Tabel 2. Hasil Uji-t Variabel-Variabel
Kepuasan Kerja
T Hitung T Tabel Keterangan
Materi Pelatihan 3,669 2,016 Signifikan
Kemampuan Pelatih 5,536 2,016 Signifikan
Metode Pelatihan 3,088 2,016 Signifikan
Peserta Pelatihan 3,099 2,016 Signifikan
Sumber: Hasil Olahan
Hipotesis pertama yakni bahwa faktor-faktor pelatihan berpengaruh terhadap prestasi kerja karyawan diterima, berarti terbukti bahwa faktor-faktor pelatihan berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan.
Hipotesis kedua yakni bahwa faktor pelatihan berupa kemampuan pelatih faktor yang berpengaruh dominan terhadap prestasi kerja, berarti hipotesis kedua terbukti.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Faktor-faktor pelatihan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap prestasi kerja karyawan departemen produksi PT ABC Sidoarjo. Simpulan ini berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa nilai F-hitung sebesar 18,240 lebih besar dari nilai F-tabel sebesar 5,072 pada taraf signifikansi sebesar 5%.
Faktor-faktor pelatihan yang terdiri dari materi pelatihan, kemampuan pelatih, metode pelatihan, dan peserta pelatihan secara parsial mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap prestasi kerja aryawan departemen produksi PT ABC Sidoarjo. Simpulan ini didasarkan pada hasil t hitung dari variabel X1 sebesar 3,669, variabel X2 sebesar 5, 536, variabel X3 sebesar 3,088 dan variabel X4 sebesar 3,099 yang lebih besar dari t tabel pada taraf signifikansi 5% sebesar 2,016. Variabel kemampuan pelatih mempunyai pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja karyawan departemen produksi PT ABC Sidoarjo. Simpulan ini didasarkan pada hasil uji parsial dimana koefisien determinasi variabel X2 mempunyai nilai lebih besar dari variabel lain sebesar 0,405
Saran
variabel X3 mempunyai pengaruh yang paling kecil, dan ini berarti bahwa metode pelatihan yng dilakukan kurang sesuai dengan kondisi karyawan. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya adalah dengan mencari metode yang paling sesuai dengan kondisi kerja karyawan. Dalam menentukan metode yang tepat maka pihak perusahaan dapat melakukan konsultasi dengan pelatih-pelatih dari lembaga pelatihan atau staff pengajar dari perguruan tinggi yang sesuai dengan bidangnya.
Untuk variabel kemampuan pelatih (X2), hendaknya dipertahankan sebab dalam penelitian ini mempunyai pengaruh yang paling kuat terhadap peningkatan prestasi kerja karyawan. Pihak perusahaan hendaknya tetap mempertahankan pelatih yang telah digunakan pada program pelatihan yang telah dilakukan, sedangkan untuk program pelatihan berikutnya perusahaan dapat menambah pelatih yang lebih berkualitas baik dari lembaga pelatihan atau dari staff pengajar dari perguruan tinggi atau juga dari perusahaan sendiri sehingga akan semakin meningkatkan prestasi kerja karyawan yang juga akan berdampak pada pencapaian tujuan perusahaan, sedangkan untuk variabel X1 dan X4 pihak perusahaan juga harus melakukan perbaikan agar program pelatihan di waktu yang akan datang lebih berhasil.
Untuk penelitian lanjutn yang ingin meneliti lebih jauh tentang pengaruh faktor-faktor pelatihan terhadap prestasi kerja karyawan hendaknya dapat memperluas populasi dan variabel sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik. REFERENSI
Darma, Agus, 1995. Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta: CV Rajawali
Daft, Richard L., 2004. Organization Theory and Design. Eight Edition. South Western: Thomson.
Gomes, Faustino Cardoso, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan, Yogjakarta: Andi Offset.
Handoko, T. Hani., 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Yogyakarta : BPFE.
Hasibuan, SP. Melayu, 2001. Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.
Mangkunegara, A. P. 2009. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung. PT Refika Aditama. Nitisemito, Alex S, 1996. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Samsudin, Sadili.2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pustaka Setia.
ANALISIS PENGARUH FAKTOR MOTIVASI, PERSEPSI, PEMBELAJARAN, DAN KEPRIBADIAN TERHADAP KEPUTUSAN
PEMBELIAN LAPTOP DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Khairina AR
Abstract: This study is aimed at identifying and analyzing the impacts of motivations, perceptions, learning, personality and product benefits factors comprising functional and psichosocial towards the decision prior to the buying of laptop in the midsts of students of Engineering Faculty at Syiah Kuala University Banda Aceh. The methods of this study apply the survey approach by means of quantitative descriptive research and charactered by the explanatory descriptive research. The sampling is the accidential, consist of a hundred (100) respondens. The analysis result shows that motivation, perception, learning, personality and functional along with the psychosocial have significant impacts towards the buying decision simultanously by the significancy level of 0.000. The Determination coefficient (R2) of the independent variables towards the dependent variables to the first hypothesis similar to 0.411 indicating that the capability of motivation, perception, learning and personality in describing the buying decision is equal to 41.1%. The personality and psychosocial are the dominant variables that influences, buying decision among the students of Engineering faculty at Syiah Kuala University-Banda Aceh. The conclusion of this study is that the motivation, perception, learning, personality, functional and psychosocial factors have a high significant influence toward the buying decision among the students of Engineering faculty, Syiah Kuala University-Banda Aceh.
Key words; Motivation, Perception, Learning, Personality, Buying Decision
____________________________________________________________________ Khairina AR, Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia adalah suatu keadaan akan sebagian dari pemuasan dasar yang dirasakan atau disadari. Suatu kebutuhan menjadi suatu dorongan bila kebutuhan itu muncul hingga mencapai taraf intensitas yang cukup. Motif (dorongan) adalah suatu kebutuhan yang cukup kuat dan mendesak untuk mengarahkan seseorang agar mencari pemuasan terhadap kebutuhan hidup.
Saat ini penggunaan laptop di kalangan anak muda yang didominasi oleh mahasiswa semakin meluas, bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan personal. Hal ini disebabkan manfaat yang diperoleh dari penggunaan laptop tersebut antara lain dapat membantu penyelesaian tugas-tugas belajar mereka. Dilihat dari perilaku pembelian laptop di kalangan mahasiswa sangat beraneka ragam motifnya dan sulit diamati yang terdiri dari faktor motivasi, persepsi, pembelajaran, dan kepribadian mahasiswa tersebut. Beberapa pakar perilaku konsumen membedakan antara motif rasional dan motif emosional. Istilah rasionalitas dalam pengertian ekonomi tradisional, menganggap bahwa para konsumen berperilaku rasional jika konsumen secara teliti mempertimbangkan semua alternatif dan memilih alternatif yang memberikan kegunaan yang terbesar kepadanya. Sedangkan motif emosional mengandung arti bahwa pemilihan sasarannya menurut kriteria pribadi atau subjektif.
Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh merupakan salah satu diantara banyaknya mahasiswa yang menggunakan laptop. Alasannya membeli laptop supaya dapat mengerjakan tugasnya kapan saja. Selain itu juga laptop sangat membantu pada saat pengisian KRS (Kartu Rencana Studi) secara online, dimana mahasiswa tidak perlu untuk ke ruang administrasi jurusan karena dapat diakses disekitar kampus. Sedangkan pihak Fakultas Teknik Unsyiah tidak mengharuskan mahasiswa tersebut harus membeli laptop, bahkan mahasiswa yang baru semester pertama sudah menggunakan laptop karena apabila tidak menggunakan laptop akan terkendala dalam kegiatan akademis mahasiswa itu sendiri. Begitu juga hal nya mahasiswa semester akhir lebih banyak menggunakan laptop untuk menulis skripsi.
Pengguna laptop pada kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah ini biasanya memiliki keterbatasan pada masalah dana, tetapi mahasiswa tersebut mempunyai keinginan terhadap laptop yang benar-benar memiliki kemampuan kerja yang tinggi. Hal ini karena mahasiswa sifatnya dinamis, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya, didalam dan diluar ruangan, dan sangat intensif dalam hal penggunaan laptop. Umumnya, digunakan sebagai penunjang kegiatan akademis dan memiliki media hiburan. Model laptop yang digemari umumnya adalah yang ringan, tidak mahal, dan memiliki media penyimpanan yang praktis seperti tas berbentuk ransel/backpack. Model atau bentuk dan warna sering menjadi pertimbangan bagi mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah, terutama bagi mahasiswa yang memiliki minat atau hobi berhubungan dengan komputer atau teknologi informasi.
pembelian dan ada juga sebagian mahasiswa lainnya tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pencarian informasi tentang produk laptop.
Kemudian pembelajaran dapat muncul melalui pencerminan pengalaman penggunaan produk. Maksudnya konsumen mendapatkan suatu pengetahuan secara tidak langsung melalui pengamatan terhadap orang lain yang telah menggunakan produk tersebut. Banyak pembelajaran muncul ketika konsumen menerjemahkan informasi yang berkaitan dengan produk dari media massa (periklanan, papan reklame, bill board, majalah, koran) atau dari sumber personal (teman dan keluarga). Dalam hal ini pembelajaran mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah membeli laptop sering terbentuk dari pengalaman dirinya sendiri atau dari pengalaman teman atau keluarganya setelah membeli produk tersebut sehingga dapat mempengaruhi perilaku pembeliannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut The American Marketing Association dalam Setiadi, (2003) perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku dan lingkungannya dimana manusia melakukan kegiatan pertukaran dalam hidup mereka.
Solomon (2003), menyatakan bahwa “consumer behavior is the process
involved when individuals or groups select, purchase, use, and dispose of goods, services, ideas, or experiences to satisfy their needs and desires”. Yang dapat
diartikan bahwa perilaku konsumen adalah merupakan suatu proses yang melibatkan seseorang ataupun suatu kelompok untuk memilih, membeli, menggunakan dan memanfaatkan barang-barang, pelayanan, ide, ataupun pengalaman untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Kotler (2001) menyatakan bahwa: perilaku konsumen sebagai perilaku konsumen akhir, baik individu maupun rumah tangga yang membeli produk untuk konsumsi personal. Selanjutnya Mowen (2002), menyatakan bahwa: perilaku konsumen sebagai studi tentang unit pembelian dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi, dan pembuangan barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide.
Sastradipoera (2003), menyatakan bahwa: perilaku konsumen adalah proses dimana para individu menetapkan jawaban atas pertanyaan: perlukah, apakah, kapankah, di manakah, bagaimanakah, dan dari siapakah membeli barang atau jasa.
perilaku seseorang ditempat orang tersebut berinteraksi. 3). Faktor pribadi. Keputusan seseorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu usia pembeli, dan tahap siklus hidup pekerjaan, keadaan ekonomis, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep pribadi pembeli. 4). Faktor psikologis. Pilihan pembeli seseorang dipengaruhi lagi oleh empat faktor psikologis utama, yaitu : motivasi, persepsi, pengetahuan, serta kepercayaan dan pendirian.
Wilkie (1986) menyatakan bahwa: perilaku konsumen itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Yang disebut faktor internal antara lain; usia, pekerjaan, gaya hidup, kepribadian, motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap. Sedangkan faktor eksternal antara lain; budaya, keluarga, kelompok acuan, kondisi lingkungan, kegiatan pemasaran perusahaan, dan situasi.
Setiadi (2003) menyatakan bahwa: ada lima tahapan yang dilalui konsumen dalam proses pembelian suatu jasa atau produk yaitu pengenalan produk, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan perilaku setelah pembelian.
Schiffman dan Kanuk (2000) menyatakan bahwa motivasi adalah “driving force
within individuals that impels them to action. This driving force is produced by state of tension, which exists as the result of an unfulfilled need”. Dapat diartikan bahwa
motivasi muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen. Kebutuhan sendiri muncul karena konsumen merasakan ketidaknyamanan (state of
tension) antara yang seharusnya dirasakan dan yang sesungguhnya dirasakan.
Kebutuhan yang dirasakan tersebut mendorong seseorang untuk melakukan tindakan memenuhi kebutuhan tersebut..
Solomon (1999), menyatakan bahwa “Motivation refers to the processes that
cause people to behave as they do. It occurs when a need is aroused that the consumer wishes to satisfy. Once a need has been activated, a state of tension exists that drives the consumer to attempt to reduce or eliminate the need”.
Setiadi (2003), menyatakan bahwa motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia atau dalam pengertian sehari-hari motivasi dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu. Schifman dan Kanuk (2007), menyatakan bahwa persepsi adalah “sebagai proses yang dilakukan individu untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan stimuli ke dalam gambar yang berarti dan masuk akal mengenai dunia. Sumarwan (2004), menyatakan bahwa persepsi adalah “bagaimana seorang konsumen melihat realitas di luar dirinya atau dunia sekelilingnya. Sunarto (2004), menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memilki arti.
Kotler (2001), menyatakan bahwa persepsi adalah proses dimana individu memilih, merumuskan, dan menafsirkan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti mangenai dunia. Solomon (2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah “learning refers to a relatively permanent change in behavior
that is caused by experience”. Dapat diartikan bahwa belajar adalah perubahan
perilaku yang relative permanent yang diakibatkan oleh pengalaman.
Schiffman dan Kanuk (2000), menyatakan bahwa pembelajaran adalah “from a
consumption knowledge and experience that they apply to future related behavior”.
Yang dapat diartikan dari perspektif pemasaran, proses belajar konsumen dapat diartikan sebagai sebuah proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan dan pengalaman pembelian dan konsumsi yang akan ia terapkan pada perilaku yang terkait pada masa datang.
Engel, Blackwell dan Miniard (1992), menyatakan bahwa pembelajaran adalah
“the process by which experience leads to changes in knowledge, attitudes, and/or behavior”. Yang dapat diartikan belajar adalah suatu proses di mana pengalaman
akan membawa kepada perubahan pengetahuan, sikap, dan atau perilaku. Sunarto (2006), menyatakan bahwa pembelajaran meliputi perubahan perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Menurut Assael (1992) dalam Setiadi (2003), menyatakan bahwa pembelajaran konsumen adalah suatu perubahan dalam perilaku yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman masa lalunya. Konsumen memperoleh berbagai pengalamannya dalam pembelian produk dan merek produk apa yang disukainya. Konsumen akan menyesuaikan perilakunya dengan pengalamannya di masa lalu.
Setiadi (2003) menyatakan bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungannya secara unik. Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa kepribadian dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk dari sifat-sifat yang ada pada diri individu yang sangat menentukan perilakunya. Secara psikologis, kepribadian dewasa diartikan sebagai perilaku yang terkontrol yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sehingga reaksinya tidak merugikan konsumen maupun dirinya sendiri.
Mowen (2002), menyatakan bahwa ada dua jenis manfaat produk yaitu manfaat utilitarian dan hedonik. Manfaat utilitarian merupakan atribut produk fungsional yang objektif. Sedangkan manfaat hedonik mencakup respon fantasi, perasaan, emosional, kesenangan panca indera. Sumarwan (2004), menyatakan bahwa konsumen akan merasakan dua jenis manfaat setelah mengkonsumsi suatu produk, yaitu manfaat fungsional (functional consequences) dan manfaat psikososial
(psychosocial consequences). Manfaat fungsional adalah manfaat yang dirasakan
konsumen secara fisiologis. Manfaat psikososial adalah aspek psikologis (perasaan, emosi, dan mood) dan aspek sosial (persepsi konsumen terhadap bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya) yang dirasakan konsumen setelah mengkonsumsi suatu produk.
METODOLOGI PENELITIAN Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa reguler Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh semester genap 2008 yang berasal dari 4 (empat) angkatan yaitu angkatan tahun ajaran 2004/2005, 2005/2006, 2006/2007, dan 2007/2008 yang berjumlah 8.943 orang yang terdiri dari lima jurusan yaitu Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Kimia, Teknik Elektro, dan Teknik Arsitektur.
2
Dengan demikian jumlah sampel adalah: 2
Hipotesis pertama dalam penelitian ini, yaitu: H0 : b1, b2,b3, b4 = 0
(motivasi, persepsi, pembelajaran, dan kepribadian tidak berpengaruh terhadap keputusan pembelian mahasiswa)
H1 : b1, b2,b3, b4≠ 0
(motivasi, persepsi, pembelajaran, dan kepribadian berpengaruh terhadap keputusan pembelian mahasiswa)
Alat uji statistik yang dipergunakan untuk menganalisis hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah Analisis Regeresi Linier Berganda (Multiple Regression
Analysis) untuk menguji variabel bebas (motivasi, persepsi, pembelajaran, dan
kepribadian) terhadap variabel terikat (keputusan pembelian mahasiswa). Analisis regresi linier berganda dipergunakan dalam penelitian ini karena variabel terikat yang dicari dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel bebas atau variabel penjelas. Model persamaan regresi linier berganda:
e
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Hipotesis
Hipotesis pertama menyatakan bahwa motivasi (X1), persepsi (X2),
pembelajaran (X3), dan kepribadian (X4) berpengaruh nyata terhadap keputusan
pembelian (Y) di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah Banda Aceh.
Tabel 1. Hasil Regresi Linier Berganda Hipotesis Pertama Model Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) 10.677 3.228
Motivasi -.314 .182 -.144
Persepsi .098 .088 .100
Pembelajaran .276 .109 .244
Kepribadian .514 .093 .474
a Dependent Variable: Keputusan Pembelian Sumber: Hasil Penelitian, 2009 (Data Diolah)
Berdasarkan Tabel 1, maka persamaan regresi linier berganda dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = 10,677 - 0,314 X1 + 0,098 X2 + 0,276 X3 + 0,514 X4 + e
Pada persamaan tersebut dapat dilihat bahwa motivasi (X1), persepsi (X2),
pembelajaran (X3), dan kepribadian (X4) mempunyai pengaruh atau kemampuan
untuk mempengaruhi naik atau turunnya nilai variabel terikat yaitu keputusan pembelian (Y). Persepsi, pembelajaran dan kepribadian mempunyai koefisien regresi positif sedangkan motivasi mempunyai koefisien regresi negatif terhadap keputusan pembelian. Hal ini terbukti dari koefisien persamaan regresi linier berganda yang masing-masing mempunyai kontribusi terhadap perubahan naik atau turunnya variabel terikat.
Nilai koefisien determinasi (R2) dipergunakan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas, yaitu motivasi (X1), persepsi (X2), pembelajaran (X3), dan
kepribadian (X4) terhadap variabel terikat yaitu keputusan pembelian (Y).
Tabel 2. Hasil Uji Koefisien Determinasi Hipotesis pertama
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the Estimate
1 .641(a) .411 .386 1.92130
a Predictors: (Constant), Kepribadian, Motivasi, Persepsi, Pembelajaran Sumber: Hasil Penelitian, 2009 (Data Diolah)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,411 hal ini menunjukkan bahwa 41,1% variabel keputusan pembelian (Y) dapat dijelaskan oleh motivasi (X1), persepsi (X2), pembelajaran (X3), dan
kepribadian (X4), sedangkan 58,9% adalah merupakan pengaruh dari variabel bebas
lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini, seperti usia, pekerjaan, gaya hidup, dan keyakinan/sikap.
Tabel 3. Hasil Uji Secara Simultan Hipotesis Pertama
a Predictors: (Constant), Kepribadian, Motivasi, Persepsi, Pembelajaran b Dependent Variable: Keputusan Pembelian
Sumber: Hasil Penelitian, 2009 (Data Diolah)
Dari Tabel 3 diperoleh nilai Fhitung sebesar 16,546 dengan signifikansi 0,000.
Sedangkan nilai Ftabelpada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) maka diperoleh nilai
Ftabel 0,05(4,95) = 2,46 Dengan demikian Fhitung > Ftabel, yaitu 16,546 > 2,46. Oleh
karena itu maka H0 ditolak dan H1 diterima, yang berarti bahwa motivasi (X1),
persepsi (X2), pembelajaran (X3), dan kepribadian (X4) secara bersama-sama
berpengaruh highly significant terhadap keputusan pembelian (Y) di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah Banda Aceh. Hal ini ditunjukkan dari nilai signifikansi pada uji F yaitu 0,000 yang lebih kecil daripada α = 0,05. Highly
significant menunjukkan bahwa motivasi, persepsi, pembelajaran, dan kepribadian
berpengaruh sangat nyata terhadap keputusan pembelian di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah Banda Aceh, hal ini berarti bahwa pada saat memutuskan untuk pembelian laptop mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi (kebutuhan, keinginan yang tidak terpenuhi, dorongan, dan proses kesadaran), persepsi (pemaparan, perhatian, pemahaman, penerimaan, dan retensi), pembelajaran (motivasi, isyarat, respon, dan penguatan), kepribadian (teliti dan kehati-hatian, penyabar, dan perbedaan konsumen pada daya beli).
Hasil uji parsial dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut. Tabel 4. Hasil Uji Parsial Hipotesis Pertama
Model
a Dependent Variable: Keputusan Pembelian Sumber: Hasil Penelitian, 2009 (Data Diolah)
Tabel 4 diperoleh nilai thitung setiap variabel bebas. Nilai thitung akan
(0,025;95) = 1,98. Pengaruh parsial dari variabel motivasi (X1) diperoleh dengan nilai
thitung sebesar -1,722 dengan demikian thitung > -ttabel, yaitu -1,722 > -1,98 maka H0
diterima dan H1 ditolak, yang berarti bahwa variabel motivasi (X1) tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap keputusan pembelian (Y).
Pengaruh parsial dari variabel persepsi (X2) diperoleh dengan nilai thitung sebesar
1,110 dengan demikian thitung < ttabel, yaitu 1,110 < 1,98 maka H0 diterima dan H1
ditolak, yang berarti bahwa variabel persepsi (X2) tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap keputusan pembelian (Y). Pengaruh parsial dari variabel pelayanan (X3)
diperoleh dengan nilai thitung sebesar 3,185 dengan demikian thitung > ttabel, yaitu 3,185
> 1,98 maka H0 ditolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa variabel pelayanan (X3)
berpengaruh high significant terhadap nilai pelanggan (Y).
Pengaruh parsial dari variabel pembelajaran (X3) diperoleh dengan nilai thitung
sebesar 2.541 dengan demikian thitung > ttabel, yaitu 2.541 > 1,98 maka H0 ditolak dan
H1 diterima, yang berarti bahwa variabel pembelajaran (X3) berpengaruh high significant terhadap keputusan pembelian (Y), hal ini menunjukkan bahwa
mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah dalam memutuskan untuk membeli laptop berdasarkan proses pembelajaran yang meliputi motivasi, isyarat, respon, dan penguatan yang diterima dari berbagai sumber informasi.
Pengaruh parsial dari variabel kepribadian (X4) diperoleh dengan nilai thitung
sebesar 5.528 dengan demikian thitung > ttabel, yaitu 5.528 > 1,98 maka H0 ditolak dan
H1 diterima, yang berarti bahwa variabel kepribadian (X4) berpengaruh high significant terhadap keputusan pembelian (Y), hal ini menunjukkan bahwa pada saat
memutuskan untuk membeli laptop, mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah lebih berhati-hati, teliti dan sabar mencari laptop yang terbaik sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya serta sesuai dengan kemampuan daya beli orang tuanya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil pengujian hipotesis pertama secara simultan diperoleh bahwa motivasi, persepsi, pembelajaran, dan kepribadian secara bersama-sama berpengaruh highly
significant terhadap keputusan pembelian pada mahasiswa Fakultas Teknik