• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN, EVALUASI DAN PEMBAHASAN Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Dalam dokumen Vol.12 No.3 Oktober 2011 (Halaman 136-144)

Kemandirian daerah tidak diartikan bahwa setiap pemerintah daerah baik kabupaten/kota harus dapat membiayai seleuruh keperluannya dari PAD, dengan kata lain PAD hanya sebagai salah satu komponen sumber penerimaan daerah disamping penerimaan lainnya. Namun demikian walaupun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), porsi PAD terhadap Dana Perimbangan (DP) merupakan indikasi seberapa besar kemandirian keuangan suatu daerah (Emidianti, 2003).

Berdasarkan data yang telah diperoleh, diketahui bahwa adanya peningkatan PAD dari setiap tahunnya meskipun terdapat adanya beberapa daerah yang mengalami penurunan terhadap realisasi PAD-nya. Secara nominal dan persentase, Rasio Kemandirian Keuangan (RKK) tercatat sebagai berikut :

1. Pada tahun 2005, Provinsi NAD memiliki kemandirian keuangan tertinggi sebesar 7,41% sedangkan Kabupaten Gayo Lues tercatat sebagai daerah yang memliki kemandirian keuangan terendah sebesar 0,51% yang diikuti dengan Kabupaten Aceh Timur dengan RKK sebesar 0,65%.

2. Pada tahun 2006, Provinsi NAD meningkat sebesar 5,87% (RKK tahun 2005 sebesar 7,41% dan tahun 2006 sebesar 13,28%). Kabupaten Aceh Utara juga mengalami peningkatan RKK sebesar 6,05% (RKK tahun 2005 sebesar 4,83%

dan tahun 2006 sebesar 10,88%) demikian juga pada Kota Banda Aceh, dimana RKK meningkat sebesar 3,64% (RKK tahun 2005 sebesar 2,62% dan tahun 2006 sebesar 6,26%). Untuk kabupaten/kota lainnya juga mengalami peningkatan RKK dengan rata-rata dibawah dua persen, kecuali Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh dan Kabupaten Bener Meriah yang mengalami penurunan RKK.

3. Pada tahun 2007 dan 2008 Provinsi NAD setelah mengalami kenaikan RKK pada tahun 2007 menjadi 24,30% langsung menurun pada tahun 2008 dengan RKK sebesar 11,56%. Hal yang sama juga terjadi pada Kabupaten Aceh Utara, dimana pada tahun 2007 telah dapat mencapai RKK sebesar 14,68% yang kemudian menurun pada tahun 2008 dengan RKK sebesar 10,48%.

Berdasarakan hasil penilaian berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, dapat diketahui bahwa pada setiap tahunnya di setiap daerah terjadi peningkatan PAD, namun kecenderungan peningkatannya lambat.tingkat sehingga berdapampak pada rasio kemandirian keuangan pada interval 0 sampai dengan 25%. Oleh karena itu, kemampuan keuangan daerah pada seluruh kabupaten/kota di Pemerintah Aceh termasuk katagori rendah sekali, sehingga pola hubungan yang terjalin antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah termasuk pola instruktif. Pola hubungan instruktif merupakan pola hubungan yang melibatkan peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah dareah atau dengan kata lain belum mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial. Secara grafik, tingkat kemandirian keuangan daerah dapat dilihat pada Grafik 1.

Kondisi ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut sehingga dapat mengalami peningkatan pada tahun berikutnya terutama pada peningkatan komponen-komponen PAD itu sendiri, seperti pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan pendapatan lain-lain yang sah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukannya langkah kongkrit agar dapat meningkatkan PAD berdasarkan potensi yang telah dimiliki secara optimal (intensifikasi), terutama dari perpajakan dan retribusi daerah.

Dalam hal masalah perpajakan, diperlukan untuk sikap agresif dari pemerintah daerah terhadap objek dan subjek pajak. Titik awal untuk memulai ini adalah dengan memperbaharui (updating) database wajib pajak (WP) daerah, baik itu para WP hotel, WP restoran, WP hiburan, WP reklame, dan lain-lain. Tujuan utama dari pembaharuan database WP pajak adalah pemerintah daerah dapat melakukan perhitungan perencanaan pendapatan dengan data yang akurat, sehingga dapat diproyeksikan target pendapatan pada tahun berikutnya.

Selanjutnya dalam hal pajak hotel, terutama pada beberapa daerah yang memiliki potensi dalam hal hunian hotel, diperlukannya real action untuk dengan mengotrol besarnya nilai pajak yang disetor ke daerah oleh secara proporsional. Apabila potensi hunian hotel termasuk katagori yang potensial namun besarnya nilai disetor tidak sebanding, maka pemerintah daerah dapat melakukan penilaian tingkat hunian hotel dengan bekerjasama dengan pihak kantor pelayanan pajak yang ada di daerah. Namun demikian, apabila potensi hunian hotel tersebut sudah termasuk katagori rendah yang berakibat pada tidak adanya penyetoran pajak sama sekali oleh pihak hotel, maka langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini dengan menetapkan kebijakan berupa penetapan tarif diawal secara proporsional.

Berdasarkan potensi yang telah dimiliki daerah kabupaten/kota dalam hal peningkatan kontribusi PAD maka perlu memperkuat proses pemungutan. Dimana langkah yang dapat diambil adalah dengan memperbaharui tarif, khususnya tarif retribusi, yang tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini atau merevisi sistem yang lebih efektif dari yang telah dijalankan. Sebagai contoh, retribusi parkir tepi jalan yang selama ini berlangung masih belum optimal dalam memberikan kontribusi tehadap PAD. Dengan memperhatikan sistem berlangganan biaya parkir yang diterapkan pada Kabupaten Jember di Provinsi Jawa Timur melalui penyatuan sistem pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dengan tarif parkir di kantor Samsat (www.jurnalbesuki.com, diakses 10 Juni 2010).

Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

Kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah dapat tercermin melalui derajat desentralisasi fiskal. Kemampuan tersebut dapat diketahui melalui beberapa aspek, diantaranya dengan menilai secara terpisah persentase pendapatan asli daerah (PAD), Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) dan Sumbangan Bantuan/Daerah (SB) terhadap dengan Total Penerimaan Daerah (TPD).

Berdasarkan derajat desentralisasi fiskal khususnya melalui penilaian DDF 1 (persentase PAD terhadap TPD) dapat diketahui bahwa pada tahun 2005 Provinsi NAD mencapai DDF 1 tertinggi sebesar 6,88% yang diikuti Kabupaten Aceh Utara dengan DDF 1 sebesar 4,56% sedangkan Kabupaten Gayo Lues mencapai DDF 1 terendah sebesar 0,5%, sebagaimana terlihat pada Tabel 6.

Sumber : Data Sekunder, diolah (2010)

Tabel 6

Persentase dan Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF 1) Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh

No Nama Daerah PAD/TPD 2005 2006 2007 2008 % KK D % KKD % KK D % KK D 1 Prop. NAD 6.88% SK 11.73% K 19.50% K 10.36% K 2 Kab. Aceh Barat 3.24% SK 3.58% SK 4.72% SK 6.32% SK 3 Kab. Aceh Besar 2.84% SK 1.73% SK 3.07% SK 4.01% SK 4 Kab. Aceh Selatan 1.57% SK 2.18% SK 2.92% SK 3.34% SK 5 Kab. Aceh Singkil 1.81% SK 2.23% SK 1.79% SK 3.22% SK 6 Kab. A.Tengah 2.17% SK 2.34% SK 3.97% SK 3.75% SK 7 Kab. A. Tenggara - - 0.86% SK 2.39% SK 1.71% SK 8 Kab. Aceh Timur 0.64% SK 1.64% SK 1.56% SK 2.78% SK 9 Kab. Aceh Utara 4.56% SK 9.79% SK 9.44% SK 8.13% SK 10 Kab. Bireuen 2.12% SK 2.54% SK 2.96% SK 9.13% SK 11 Kab. Pidie - - 1.98% SK 2.25% SK 2.52% SK 12 Kab. Simeuleu - - 1.87% SK 1.90% SK 2.56% SK 13 Kota Banda Aceh 2.20% SK 5.11% SK 6.62% SK 9.17% SK 14 Kota Sabang 2.17% SK 3.41% SK 3.90% SK 5.56% SK 15 Kota Langsa 3.33% SK 4.07% SK 4.07% SK 4.38% SK 16 Kota Lhoksemawe 4.28% SK 6.23% SK 5.77% SK 5.32% SK 17 Kab. Gayo Lues 0.50% SK 0.81% SK 1.45% SK 1.45% SK 18

Aceh Barat

Daya 1.57% SK 1.77% SK 2.67% SK 1.93% SK 19 Kab. Aceh Jaya - - 2.35% SK 3.03% SK 2.95% SK 20

Kab. Nagan

Raya 2.35% SK 2.78% SK 2.93% SK 3.37% SK 21 Aceh Tamiang 2.21% SK 2.19% SK 4.09% SK 2.67% SK 22 Kab. B. Meriah 1.58% SK 1.67% SK 1.87% SK 2.11% SK 23 Kab. Pidie Jaya - - - - - - 1.02% SK 24

Kota

Secara interval kemampuan keuangan daerah melalui DDF 1, seluruh kabupaten/kota di Pemerintah Aceh memiliki pencapaian KKD dalam katogori sangat kurang pada tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006-2008, hanya entitas Provinsi Aceh yang memiliki peningkatan KKD melalui DDF 1 dengan katagori kurang, dimana secara keseluruhan kabupaten/kota pada tahun tersebut termasuk pada katagori sangat kurang.

Berdasarkan Penilaian melalui DDF 2 dapat diketahui bahwa pada tahun 2005, Provinsi NAD memperoleh DDF 1 sebesar 49,68% sedangkan Kabupaten Aceh Utara memiliki DDF 1 hampir enam kali dari Kabupaten Bener Meriah (DDF 1 Kab. Aceh Utara sebesar 45,01% sedangkan Kab. Bener Meriah sebesar 8,02%). Berbeda dengan tahun 2008, dimana Pemerintah Aceh mencapai DDF terendah dengan pencapaian sebesar 6,91% (realisasi DBHPBP sebesar Rp447,79 miliyar dan realisasi TPD sebesar Rp6,91 triliyun) dan Kabupaten Aceh Utara memperoleh persentase tertinggi dengan nilai sebesar Rp49,57%, sebagaimana terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF 2) Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh

No Nama Daerah DBHPBP/TPD

2005 2006 2007 2008 Rata2 1 Prop. NAD 49.68% 45.53% 43.72% 6.91% 36.46% 2 Kab. Aceh Barat 25.34% 17.36% 90.62% 9.81% 35.78% 3 Kab. Aceh Besar 21.34% 14.66% 10.45% 10.12% 14.14% 4 Kab. Aceh Selatan 25.70% 18.07% 12.62% 10.89% 16.82% 5 Kab. Aceh Singkil 15.68% 18.15% 11.80% 15.02% 15.16% 6 Kab. Aceh Tengah 15.12% 15.88% 7.90% 8.67% 11.89% 7 Kab. Aceh Tenggara - 19.59% 10.78% 10.96% 13.78% 8 Kab. Aceh Timur 38.20% 28.66% 23.54% 19.86% 27.56% 9 Kab. Aceh Utara 45.01% 40.24% 41.87% 49.57% 44.17% 10 Kab. Bireuen 0.00% 16.46% 8.47% 10.01% 8.73% 11 Kab. Pidie - 10.47% 6.36% 6.96% 7.93% 12 Kab. Simeuleu - 21.97% 15.79% 10.81% 16.19% 13 Kota Banda Aceh 19.90% 11.65% 10.36% 10.78% 13.17% 14 Kota Sabang 30.87% 21.11% 10.90% 12.67% 18.89% 15 Kota Langsa 22.09% 13.42% 12.09% 14.47% 15.52% 16 Kota Lhokseumawe 24.12% 35.76% 25.28% 20.79% 26.49% 17 Kab. Gayo Lues 31.52% 23.96% 17.54% 16.25% 22.32% 18 Kab. Aceh Barat Daya 26.05% 20.12% 14.38% 13.53% 18.52% 19 Kab. Aceh Jaya - 22.48% 16.09% 16.49% 18.35% 20 Kab. Nagan Raya 30.73% 21.14% 16.37% 10.10% 19.58% 21 Kab. Aceh Tamiang 38.49% 30.31% 20.39% 23.16% 28.09% 22 Kab. Bener Meriah 8.02% 7.00% 5.35% 11.05% 7.85% 23 Kab. Pidie Jaya - - - 15.35% 15.35% 24 Kota Subulussalam - - - 20.73% 20.73% Sumber : Data Sekunder, diolah (2010)

Persentase DBHBP terhadap TPD sebagaimana pada Tabel 7 menunjukkan bahwa setiap tahunnya persentase DDF 2 tersebut terus menurun. Hal ini mengisayaratakan bahwa besarnya persentase dana bagi hasil minyak dan gas dalam klasifikasi dana bagi hasil semakin tahun semakin menurun, sehingga perlu adanya peningkatan pemanfaatan atau memproduktifkan dana tersebut selama masih tersedia. Penilaian DDF 3 yang dilakukan dengan membandingkan Sumbangan Bantuan/Daerah (SB) terhadap TPD, menunjukkan bahwa secara rata-rata Kabupaten Aceh Utara memperoleh persentase SB tertinggi dengan pencapaian sebesar 22,29%. Hal ini dikarenakan daerah tersebut memperoleh pesentase SB pada tahun 2005 sebesar 32,00%, tahun 2006 sebesar 29,10%, tahun 2007 sebesar 26,26%, dan tahun 2008 sebesar 1,8%.

Tabel 8. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF 3) Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh

No Nama Daerah SB/TPD

2005 2006 2007 2008 Rata2 1 Prop. NAD 35.90% 31.41% 20.35% 51.94% 34.90% 2 Kab. Aceh Barat 4.75% 5.08% 4.66% 2.22% 4.18% 3 Kab. Aceh Besar 5.77% 5.42% 5.77% 2.52% 4.87% 4 Kab. Aceh Selatan 4.64% 4.16% 2.20% 2.11% 3.27% 5 Kab. Aceh Singkil 19.23% 7.05% 8.37% 1.73% 9.09% 6 Kab. Aceh Tengah 22.98% 3.49% 7.82% 1.50% 8.94% 7 Kab. Aceh Tenggara - 4.64% 6.98% 4.55% 5.39% 8 Kab. Aceh Timur 0.67% 1.03% 4.94% 2.20% 2.21% 9 Kab. Aceh Utara 32.00% 29.10% 26.26% 1.80% 22.29% 10 Kab. Bireuen 10.98% 5.30% 11.31% 2.81% 7.60% 11 Kab. Pidie - 10.57% 10.38% 2.46% 7.80% 12 Kab. Simeuleu - 2.93% 2.33% 1.58% 2.28% 13 Kota Banda Aceh 11.93% 10.62% 8.77% 2.11% 8.36% 14 Kota Sabang 2.27% 2.64% 8.03% 3.72% 4.16% 15 Kota Langsa 7.17% 8.68% 8.68% 2.26% 6.70% 16 Kota Lhokseumawe 13.39% 19.43% 4.43% 2.77% 10.00% 17 Kab. Gayo Lues 2.00% 2.60% 1.79% 1.10% 1.87% 18 Kab. Aceh Barat Daya 4.56% 3.98% 4.12% 2.96% 3.91% 19 Kab. Aceh Jaya - 4.35% 1.46% 2.11% 2.64% 20 Kab. Nagan Raya 3.74% 3.87% 4.48% 2.10% 3.55% 21 Kab. Aceh Tamiang 0.03% 1.01% 0.00% 2.41% 0.86% 22 Kab. Bener Meriah 0.00% 13.99% 15.93% 5.02% 8.74% 23 Kab. Pidie Jaya - - - 86.22% 86.22% 24 Kota Subulussalam - - - 2.68% 2.68% Sumber : Data Sekunder, diolah (2010)

Berdasarkan beberapa formula yang menjelaskan penilaian terhadap derajat desentralisasi fiskal, maka penilaian menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh masih sangat kurang dalam hal membiayai kegiatan pemerintahan melalui pendapatan asli daerah. Namun demikian, sumbangsih dari adanya desentralisasi fiskal telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keuangan daerah, dimana alokasi anggaran pembangunan dapat semakin meningkat dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pelayanan publik (public service) maupun meningkatan keberadan public good.

Indeks Kemampuan Rutin

Kemampuan rutin daerah merupakan indikator tinggi atau rendahnya kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran rutin. Kemampuan rutin yang diperoleh dapat juga mengindikasikan seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber pembiayaan lain untuk membiayai kebutuhan belanja rutin daerah. Menurut skala interval yang ditetapkan oleh tumilar (1997), terdapat beberapa kabupaten/kota yang mengalami perubahan dalam penetapan skala, diantaranya Provinsi NAD termasuk dalam katagori Baik pada tahun 2005 dengan IKR sebesar 76,52%, Sangat Baik pada tahun 2006 dengan IKR sebesar 113,25%, Cukup pada tahun 2007 dengan IKR sebesar 49,42%, Kurang pada tahun 2008 dengan IKR sebesar 24,87%.

Kabupaten Aceh utara termasuk katagori Kurang pada tahun 2005 dan 2007 dengan IKR sebesar 37,40% dan 14,68%, Cukup pada tahun 2006 dengan IKR sebesar 59,44%, dan semakin menurun pada tahun 2008 dengan katagori Sangat Kurang IKR sebesar 10,48%. Sedangkan untuk kabupaten/kota lainnya termasuk katagori Sangat Kurang karena IKR berada pada skala interval dengan persentase antara 0,00 – 20,00. Kondisi ini memberikan informasi bahwa pendapatan asli daerah masih tidak mampu membiayai pengeluaran rutin pemerintah, sehingga menurut skala tumilar (1997) dalam pengkatagorian secara rata-rata terhadap kemampuan keuangan daerah maka IKR pada Pemerintah Aceh termasuk dalam katagori kurang.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diambil langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan Indeks Kemampuan Rutin (IKR) pada kabupaten/kota di Pemerintah Aceh. Apabila penilaian berdasarkan formula yang digunakan untuk menilai IKR ini, maka langkah yang paling ideal untuk peningkatan IKR adalah dengan memperbesar nilai dari PAD secara signifikan, sehingga mampu membiayai belanja rutin secara proporsional. Peningkatan nilai PAD dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi PAD sebagaimana yang telah jelaskan pada rasio kemandirian keuangan, Sehingga dengan adanya peningkatan PAD dalam membiayai pengeleluaran rutin maka nilai IKR pun akan semakin meningkat.

Rasio Keserasian

Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah memperkenalkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan anggaran dengan format yang disususn dengan basis kinerja, dimana

pengelompokan belanja berubah dari belanja apartur dan belanja pelayanan publik menjadi belanja tidak langsung dan belanja langsung.

Menurut Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik (2007:106) perbandingan yang serasi adalah bila belanja langsung (belanja publik) lebih besar dan semakin lebih besar dibanding belnja tidak langsung (belanja non publik). Berdasarkan penjelasan tersebut, untuk memudahkan interpretasi tehadap hasil penelitian dari rasio keserasian ini, peneliti menentukan katagori keserasian berdasarkan Tabel 10 :

Tabel 10

Katagori Rasio Keserasian

(%) Katagori Keserasian 0,00 – 100,00 Belum Serasi

>..100,01 Serasi Sumber : Data Diolah (2010)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dinyatakan sebagai berikut: Tahun 2005 Kabupaten Gayo lues dapat merealisasikan BL dengan BTL dengan perbandingan 4 : 1. Artinya, pesentase keserasian pada daerah tersebut mencapai 432,92%. Kabupaten Aceh Utara juga mengalami hal yang sama dengan pencapai keserasian belanja sebesar 314,54%. pada tahun 2006 sebesar 308,16%. Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Langsa, dan kabupaten Bener meriah belum dapat menserasikan atara BL dan BTL. Hal ini terlihat pada tahun 2005, kabupaten Bener Meriah memiliki pencapaian keserasian sebesar 49,27%. Sedangkan pada tahun 2006 kabupaten Aceh tenggara belum mampu mengelola dengan baik rasio keserasian antara BL dengan BTL, dimana pencapaian yang dimiliki hanya sebesar 49,25%.

Selain hasil yang telah diuraikan, hampir secara keseluruhan kabupaten/kota memiliki rasio keserasian diatas 100%. Namun demikian, meskipun berdasarkan formula dinyatakan telah terwujudnya tingkat keserasian antara BL dan BTL, diketahui pula bahwa komponen BTL didominasi oleh belanja pegawai. Sehingga, apabila peninjauan dilakukan lebih dalam, maka jelaslah yang serasi itu adalah belanja pegawai dengan BL secara keseluruhan. Kondisi ini mencerminkan bahwa belanja pegawai yang direalisasikan oleh pemerintah kabupaten/kota terlalu besar.

Rekapitulasi keserasian antara BL dan BTL, dapat diketahui bahwa pada tahun 2006 sebanyak 15 kabupaten/kota yang serasi dari 18 kabupaten/kota yang ada, kemudian pada tahun 2006 dan 2007 sebanyak 16 dan 15 kabupaten/kota yang serasi dari 22 kabupaten/kota (terdapat penambahan 4 kabupaten/kota baru). Sedangkan pada tahun 2008, terdapat 15 kabupaten/kota yang serasi dari 24 kabupaten/kota yang memiliki tingkat keserasian belanja.

Rasio Pertumbuhan

Kemampuan keuangan daerah dapat dihitung melalui perbandingan beberapa item utama dengan menggunakan rasio pertumbuhan. Diantaranya pendapatan asli daerah, dana transfer, belanja langsung dan belanja tidak langsung. Perubahan item-

item tersebut dapat memberikan informasi mengenai perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian terhadap pertumbuhan PAD dan DP menunjukkan keterkaitan yang sangat variatif antara pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan DP. Dimana peningkatan PAD tidak secara langsung mempengaruhi berkurangannya Dana Perimbangan.

Kondisi yang berbeda terjadi pada pertumbuhan DP, dimana pertumbuhan yang dialami cenderung stasis dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya dibawah 50%, kecuali pada Provinsi NAD dan Kabupaten Bener Meriah. Hal ini menunjukkan bahwa, pertumbuhan DP lebih stabil dan cenderung mengisi celah fiskal akibat kurangnya kapasitas fiskal untuk memenuhi kebutuhan fiskal khususnya pada Dana Alokasi Umum (DAU).

Selain dari itu, rasio pertumbuhan juga dapat menilai tingkat pertumbuhan dari belanja tidak langsung (BTL) dan belanja langsung (BL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata pertumbuhan BL dan BTL terjadi pada setiap tahunnya didominasi pada kisaran dibawah 100%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa peningkatan yang terjadi setiap tahun pada BL dan BTL diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada publik, sehingga dapat memberikan dampak pada peningkatan PAD yang selanjutnya dapat mengurangi tingkat pertumbuhan DP.

Berdasarkan uraian diatas, rasio pertumbuhan telah memberikan informasi bahwa peningkatan Penadapatan Asli Daerah masih belum mampu dalam membiayai keperluan belanja langsung dan tidak langsung dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan sehingga membutuhkan dana transfer yang cukup besar untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini dikarenakan belanja pemerintah daerah mengalami peningkatan yang signifikan pada setiap tahunnya.

Dalam dokumen Vol.12 No.3 Oktober 2011 (Halaman 136-144)