• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
223
0
0

Teks penuh

(1)

BASA-BASI DALAM BERBAHASA ANTARANGGOTA KELUARGA PENDIDIK DI DESA KALIREJO, KULON PROGO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh:

Hendrika Yuli Surantini NIM: 111224025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

(2)

BASA-BASI DALAM BERBAHASA ANTARANGGOTA KELUARGA PENDIDIK DI DESA KALIREJO, KULON PROGO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh:

Hendrika Yuli Surantini NIM: 111224025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberkati dan menyertai langkah kehidupan saya.

Kedua orang tua saya Bapak Aloyisius Sutarna dan Ibu Christiana Sistiwi Suprihatin Yang selalu mendoakan, memberi semangat serta dukungan moril dan materiil.

Kakak tersayang Antonius Wawan Hernowo yang selalu memberikan semangat dan doa.

Simbah tersayang Mbah Hadi Wongso Wikarto dan Mbah Sur yang selalu memberikan doa dan restu.

Bude Surtini, yang menjadi motivasi praktikan untuk menjadi orang yang sukses.

Teman setia, Mateus Dadang Anggoro. Yang selalu memberikan semangat

Teman sepayung yang terkasih Irene Desty Renaningtyas, Cecilia Christa Pramadina, Angela Yohana Mentari Adistin, dan, Bungsu Atmi Putranti. Terakhir teman-teman PBSI angkatan 2011 kelas A, yang selama ini

sudah berrbagi canda tawa dan berproses bersama.

(6)

MOTTO

Bagi yang bekerja keras, keberhasilan bukanlah masalah kemungkinan tetapi masalah waktu

Mario Teguh

Apapun yang terjadi hari ini, ingatlah bahwa Tuhan tidak menguji anda dengan kesulitan yang tidak bisa anda selesaikan. Karena jika anda bersabar, sesungguhnya anda akan mengatasi kesulitan itu bersama Tuhan. Tersenyumlah

Mario Teguh

Semua rampung, hatiku lega karena Yesus mendampingiku

v

(7)
(8)
(9)

ABSTRAK

Surantini, Hendrika Yuli. 2015. Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga di Desa Kalirejo, Kulon Progo. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP,USD.

Penelitian ini membahas basa-basi berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo, (2) mendeskripsikan maksud tuturan basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini mencakup keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo dengan data berupa tuturan basa-basi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan panduan kuesioner (pancingan) dan wawancara (konfirmasi kepada informan) dengan menggunakan teori basa-basi berbahasa. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam analisis data, penelitian ini menggunakan metode kontekstual yakni, menganalisis konteks tuturan untuk menginterpretasi data yang sudah diidentifikasi.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud basa-basi berbahasa pada tuturan anggota keluarga pendidik terbagi dalam 8 kategori pengantar pesan (menerima, mengundang, menolak, terima kasih, salam, selamat, meminta maaf, berempati). (2) maksud basa-basi subkategori pengantar adalah memulai pembicaraan, menarik perhatian lawan bicara, menegaskan tuturan, mencairkan suasana, menyela aktivitas lawan bicara, menunjukkan: keramahtamahan, ketegursapaan dan kesopanan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru kepada anggota keluarga pendidik, bahwa basa-basi berbahasa tersebut dapat digunakan untuk membuka pembicaraan, mempertahankan pembicaraan, mengakhiri pembicaraan, dan, mempererat hubungan sosial antar anggota keluarga.

Kata kunci: Basa-basi, keluarga pendidik, wujud basa-basi, maksud basa-basi.

viii

(10)

ABSTRACT

Surantini, Hendrika Yuli. 2015 Chatting Among Educator Family Member in Kalirejo Village, Kulon Progo. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Arts Education, Faculty of Teachers Training and Education, Sanata Dharma University.

This study discusses chatting language used among educator family members in Kalirejo village, Kulon Progro. The purposes of this study are (1) to describe a form of chatting among educator family members in Kalirejo village, Kulon Progro; (2) to describe the speech purposes in chatting among educator family members in Kalirejo village, Kulon Progro.

The type of this study is qualitative descriptive. Data source in this study includes transcripts of educator family members in Kalirejo village, Kulonprogo chatting. The instruments used in this study were a questionnaire guide (inducement) and interview (confirmation to informants) by using the chatting theory. Data collection methods used were, first, scrutinizing method by using note and record techniques; and second, interviewing method by conducting inducement technique. In the data analysis, this study uses contextual method by analyzing the context of speech and interpreting the data that has been identified. The conclusions of this study are (1) a form of chatting among educator family members divided into categories: Acknowledgements (receiving, inviting, rejecting, thanking, greeting, congratulating, apology, condole.) (2) the purposes of acknowledgement sub category chatting are starting conversation, attracting the attention of interlocutors, confirming speech, breaking the ice, interrupting interlocutor activity, showing: hospitality, courtesy, and politeness.

This study is expected to provide new knowledge to educator family members, that chatting can be used to start conversation, to maintain conversation, to end conversation, and strengthen social relationships between family members. Keywords: conversation, educator family, A from of chatting, the purpose of chatting, the mark of linguistic and non-linguistic.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberkati dan menyertai langkah penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota keluarga Pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M. Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan, saran dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Y. Karmin, M.Pd., sebagai triangulator data skripsi yang dengan sabar, bijaksana, penuh ketelitian memberikan masukan bagi penulis

untuk menyempurnakan data skripsi ini. 5. Seluruh dosen prodi PBSI yang penuh dedikasi mendidik, mengarahkan,

membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan motivasi, dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

6. Robertus Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi.

7. Lana, selaku Kepala Desa Kalirejo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian skripsi ini.

8. Keluarga besar yang selama ini sudah mendukung penulis: Simbah Sur, Simbah Hadi, Mak Wiwin, Mbak Vita, Mbah Gonel, Bude Gonel, Pakdhe Muji, Mbak Sari, Mas Leo, Mbak Ira, Mbak Wiwin, Bude Sri, Simbah Wongsowikarto, Pakdhe Koko, Mas Eko, Mbak Dini, dan Mas Bandi. x

(12)
(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv

HALAMAN MOTTO………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….. vii

ABSTRAK……… viii

ABSTRACT………. ix

KATA PENGANTAR………. x

DAFTAR ISI……….... xii

BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang Masalah………. 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 4

1.3 Tujuan Penelitian………... 4

1.4 Manfaat Penelitian………. 5

1.5 Batasan Istilah………... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA……….. 8

2.1 Penelitian yang Relevan……… 8

2.2 Teori Pragmatik……… 14 2.2.1 Konteks……….. 16 2.2.2 Teori Maksud……….. 19 2.3 Fenomena-fenomena Pragmatik ... 21 2.3.1 Deiksis………. 21 2.3.2 Pranggapan……….. 22 2.3.3 Implikatur……… 23 xii

(14)

2.3.4 Tindak Ujaran………. 25

2.4 Teori basa-basi……… 28

2.5 Kerangka berfikir……… 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 36

3.1 Jenis Penelitian ... 36

3.2 Sumber Data ... 38

3.3 Data………. 38

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 38

3.4 Metode Analisis Data... 39

3.5 Triangulasi... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 43

4.1 Deskripsi Data……… 43

4.1.1 Subkategori Basa-basi Salam……….. 44

4.1.2 Subkategori Basa-basi Menerima……… 44

4.1.3 Subkategori Basa-basi Meminta maaf……… 45

4.1.4 Subkategori Basa-basi Mengundang………... 45

4.1.5 Subkategori Basa-basi Berempati……… 46

4.1.6 Subkategori Basa-basi Terima kasih……… 46

4.1.7 Subkategori Basa-basi Menolak……….. 47

4.1.8 Subkategori Basa-basi Selamat………... 47

4.2 Hasil dan Pembahasan……….. 48

4.2.1 Wujud Basa-basi………. 48

4.2.1.1 Subkategori Basa-basi Salam………. 49

4.2.1.2 Subkategori Basa-basi Menerima……….. 65

4.2.1.3 Subkategori Basa-basi Meminta maaf………... 74

4.2.1.4 Subkategori Basa-basi Mengundang………. 82

4.2.1.5 Subkategori Basa-basi Berempati……….. 90

4.2.1.6 Subkategori Basa-basi Terima kasih……….. 97

(15)

4.2.1.7 Subkategori Basa-basi Menolak……… 102

4.2.1.8 Subkategori Basa-basi Selamat……….. 108

4.2.2 Maksud Basa-basi ……… 116 BAB V PENUTUP……… 147 5.1 Simpulan……… 147 5.1.1 Wujud basa-basi……….. 147 5.1.2 Maksud basa-basi……… 148 5.2 Saran………. 150 DAFTAR PUSTAKA……… 151 LAMPIRAN……….. 154 BIODATA PENULIS……… 207 xiv

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan bentuk kecakapan atau ketrampilan yang harus dimiliki masyarakat untuk dapat berkomunikasi dengan yang lainnya. Dengan komunikasi tersebut, bahasa sangat diperlukan untuk menyampaikan segala ujaran, baik itu secara lisan maupun tertulis.

Secara paradigmatik, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan maupun langsung (Effendy, 2006:5).

Saat melakukan komunikasi seorang penutur biasanya tidak secara langsung mengungkapkan tujuan utama yang akan ia sampaikan, akan tetapi seorang penutur akan membuka hubungan sosial dengan lawan tuturnya terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk membuka, mempertahankan dan memelihara hubungan sosial antara penutur dan lawan tuturnya yang biasa dikenal dengan istilah basa-basi.

Basa-basi selain sebagai fenomena sosial dan fenomena budaya, juga merupakan fenomena lingual. Menurut para penulis, fenomena lingual berfungsi sebagai alat indikator atau alat pembuktian sebuah tuturan yang tergolong dalam tuturan basa-basi.

Menurut KBBI edisi keempat (2008: 143), basa-basi adalah (1) adat sopan santun; tata karma pergaulan, (2) ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi, misalnya kalimat “apa kabar?” yang diucapkan

(17)

apabila kita bertemu dengan kawan (3) perihal menggunakan ungkapan semacam itu. Basa-basi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan hubungan antar manusia. Basa-basi sangat dipengaruhi oleh konteks yang dapat membangun situasi dan kondisi antara penutur dan lawan tuturnya.

Dalam proses berkomunikasi, seorang penutur biasanya tidak langsung menyampaikan pesan dan maksud yang akan diutarakan kepada mitra tutur. Dalam hal ini, penutur akan membuka hubungan sosial terlebih dahulu yang dipergunakan untuk membuka percakapan dan mengukuhkan pembicaraan. Contoh:

Pak Tarno: “Selamat sore Pak…tumben jam segini sudah pulang kerja”

Pak Feri : “Iya Pak…kebetulan tadi terjadi demo, jadi karyawan semua dipulangkan”

Pak Tarno : “Kalau motornya sudah tidak dipakai, apakah saya boleh meminjamnya?”

Percakapan yang mengatakan “Selamat sore Pak…tumben jam segini sudah pulang kerja” , merupakan suatu bentuk basa-basi yang dilakukan ketika akan meminjam motor kepada Pak Feri, ini merupakan fenomena yang sering dijumpai dalam proses berkomunikasi. Tuturan-tuturan tersebut dalam masyarakat bahasa Indonesia telah dikenal dengan istilah “basa-basi”. Dalam basa-basi yang terpenting bukanlah isi percakapan namun nilai afektif yang memberi makna pada pembinaan

dan untuk mempertahankan hubungan sosial diantara penutur (Sailal Arimi, 1998). Penggunaan basa-basi tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari di

(18)

Basa-basi di dunia pendidikan merupakan salah satu bentuk dari kesantunan berbahasa, baik antara siswa dan siswi, guru dan siswa, guru dan guru, siswa dan karyawan, serta guru dan karyawan. Selain pada lingkungan sekolah, basa-basi ini juga dapat ditemui pada lingkungan keluarga pendidik, contohnya seperti Istri dan suami, ataupun dengan anak-anaknya. Dalam hal ini, peneliti akan melakukan suatu penelitian dengan judul “Basa-basi dalam Berbahasa Antaranggota keluarga

Pendidik di Desa Kalirejo Kulon Progo”. Penelitian basa-basi Berbahasa antar keluarga pendidik sangatlah menarik karena kedudukan pendidik dengan keluarganya merupakan hal yang biasa ditemui sehari-hari, apalagi pada konteks berkomunikasi, sehingga tidak akan terjadi kesenjangan dalam berbasa-basi.

Peneliti memilih objek penelitian di Dusun Kalirejo, Kulon Progo karena dianggap dapat mewakili tuturan basa-basi dari para pendidik dalam berkomunikasi dengan keluarganya. Basa- basi antar keluarga pendidik ini sering terjadi dalam berkomunikasi sehari-hari pada lingkup keluarganya.

Peneliti mengambil topik basa-basi berbahasa di ranah keluarga pendidik karena penelitian yang berkaitan dengan basa-basi berbahasa belum banyak diteliti dalam kajian pragmatik. Selain itu, basa-basi penting digunakan dalam kaitannya dengan berkomunikasi dalam kaitannya dengan budaya, khususnya budaya Jawa. Di ranah pendidikan, basa-basi berkaitan erat dengan karakter dan sopan santun sehingga penelitian basa-basi berbahasa di ranah pendidikan sangat menarik untuk diteliti. Selain itu peneliti ingin mengetahui bagaimana tuturan basa-basi para pendidik yang sering digunakan pada lingkup keluarganya.

(19)

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa sajakah wujud basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo?

b. Apa sajakah maksud tuturan basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo?

I.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan wujud basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo.

b. Mendeskripsikan maksud basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo.

(20)

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian basa-basi dalam berbahasa antar keluarga pendidik ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu:

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat mendalami pengembangan pragmatik khususnya yang berkaitan dengan basa-basi berbahasa sebagai fenomena pragmatik. Penelitian ini dapat dikatakan memiliki manfaat teoritis karena dengan memahami teori yang telah dikemukakan oleh para ahli. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi atau acuan dalam melakukan kegiatan komunikas untuk mempererat hubungan social penutur dan lawan tutur khususnya pada keluarga pendidik.

b. Manfaat Praktis

Penelitian basa-basi berbahasa ini juga diharapkan dapat memberi masukan kepada para praktisi terutama bagi dosen, guru, anak, dan anggota keluarga yang lain untuk mengetahui pentingnya basa-basi berbahasa dalam keluarga pendidik.

(21)

1.5 Batasan Istilah

Batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini tentu saja tidak lepas dari teori basa-basi dan teori-teori yang mendukung penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan istilah sebagai berikut:

1. Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksud orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. (Yule, 2006: 3)

2. Wujud Basa-basi

Wujud basa-basi ialah sesuatu yang menunjukkan adanya tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara dalam suatu tuturan.

3. Maksud Basa-basi

Maksud adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh penutur bersumber dari penutur. (Arimi, 1998).

4. Basa-basi

Kata-kata dipakai untuk memecahkan kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik, dan sebagainya. Penggunaan bahasa untuk keperluan seperti ini dapat disebut penggunaan basa basi. (Arimi, 1998).

(22)

5. Konteks

Konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. (Rahardi, 2003:20)

(23)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, kategori fatis, basa-basi sebagai fenomena pragmatik, teori maksud, dan uraian tentang konteks. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.

2.1 Penelitian Relevan

Basa-basi berbahasa dalam kajian ilmu pragmatik merupakan fenomena baru yang belum dikaji secara mendalam. Penelitian tentang basa-basi berbahasa di ranah pendidikan sejauh yang diketahui oleh penulis, masih jarang untuk diteliti. Namun terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian yang berkaitan dengan basa-basi berbahasa yaitu penelitian yang dilakukan Sailal Arimi (1998), Maria Ulfa T.R. (2012), Rawinda Fitrotul Mualafina (2013) dan, Fitri Apri Susilo (2014).

Penelitian Sailal Arimi (1998) berjudul “Basa-Basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”. Penelitian ini bertujuan: (1) mendapatkan gambaran tentang etnografi berbasa-basi bagi penutur bahasa Indonesia, dan memperoleh pengetahuan yang

(24)

memadai tentang aturan, atau kaidah penyampaian basa-basi dalam bahasa Indonesia, (2) mendapatkan kejelasan kembali atas fungsi basa-basi, (3) menemukan jenis-jenis basa-basi, distribusinya dalam wacana interaktif, beserta hubungannya dengan strategi berbasa-basi yang tepat, dan (4) menemukan kekhasannya dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan dari tujuan penelitian yang dilakukan oleh Sailal Arimi, menghasilkan beberapa kesimpulan. Basa-basi sebagai tuturan rutin yang tidak mementingkan informasi merupakan simbol tindakan sosial secara verbal untuk bertegur sapa, bersopan-santun, dan beramah tamah guna menciptakan hubungan solidaritas dan harmonisasi antar penutur. Masyarakat penutur membutuhkan basa-basi dikaitkan dengan hakikat fungsi interaksional baik untuk membina dan/atau mempertahankan hubungan sosial antar penutur. Dari sudut relasi sosial antarpenutur yang dihasilkan (outcome), bagi penutur basa-basi merupakan upaya untuk memperoleh rasa solidaritas dan harmonisasi dengan mitra tutur. Dari sudut fungsi hakiki bahasa, basa-basi merupakan sejemput fenomena bahasa yang berfungsi sebagai pemelihara kerja sama dan sangat reflektif.

Basa-basi dalam masyarakat bahasa Indonesia berdasarkan daya tuturannya digolongkan atas dua jenis, yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni adalah ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, maksudnya apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Basa-basi murni digolongkan menjadi tiga subjenis, yaitu basa-basi murni keniscayaan, basa-basa-basi keteralamian, dan basa-basa-basi keakraban. Basa-basa-basi

(25)

polar adalah tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, dimana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Basa-basi bersifat universal sehingga menghasilkan kekhasan-kekhasan yang bersumber dari kebiasaan berbahasa dan sistem bahasa. Pengalihan pragmatis berdasarkan kekhasan-kekhasan tersebut dari satu bahasa ke bahasa lain (dalam hal ini bahasa Indonesia ke bahasa inggris atau sebaliknya) dapat menimbulkan kegagalan atau konflik komunikasi.

Penelitian Maria Ulfa T.R. (2012) berjudul Tipe Basa-Basi Dalam Dialog Sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dalam penelitian tersebut terdapat beberapa masalah yang dianalisis oleh peneliti, yaitu (1) dialog mana saja yang tergolong basa-basi, (2) apa saja topik basa-basi yang dipergunakan pada dialog sinetron “SDAS”, (3) bagaimanakah tipe penggunaan basa-basi dalam sinetron “SDAS” berdasarkan suasana, dan (4) bagaimana efek basa-basi terhadap interaksi sosial dalam sinteron “SDAS”. Dari beberapa rumusan masalah tersebut, maka peneliti ingin mengetahui

dialog mana saja yang tergolong basa-basi, mendapatkan kejelasan tentang topik basa-basi yang dipergunakan pada sinetron “SDAS”, menemukan tipe penggunaan basi dalam sinetron “SDAS” berdasarkan suasana, dan menemukan efek basa-basi terhadap interaksi sosial dalam sinetron “SDAS”.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Maria Ulfa T.R. menemukan bahwa tuturan basa-basi pada sinetron “SDAS” memiliki topik yang khas, seperti topik keadaan, topik aktifitas, topik julukan, topik keselamatan, topik tujuan, topik kehadiran, topik jasa, topik perilaku, topik perpisahan, topik kesepakatan, topik waktu, dan topik

(26)

identitas. Selain memiliki topik yang khas, basa-basi dalam sinetron “SDAS” juga memiliki tipe yang juga memiliki karakteristik yang khas. Tipe basa-basi yang berhasil dianalisis yaitu (1) basa-basi apologi, (2) basa-basi salam untuk suasana santai, (3) basa-basi perhatian untuk suasana sibuk, (4) basa-basi persilahan untuk suasana sepi, dan (5) basa-basi pujian untuk suasana gembira. Selain itu, peneliti juga menemukan empat efek basa-basi terhadap interaksi sosial dalam sinetron “SDAS”, yaitu (1) efek eksistensi, (2) efek akrab, (3) efek nyaman, dan (4) efek dihargai. Penelitian Rawinda Fitrotul Mualafina (2013) berjudul Basa-Basi Dalam Interaksi Jual Beli Di Pasar Tradisional Kertek Wonosobo. Dalam penelitian tersebut terdapat tiga rumusan masalah yang ingin dikaji oleh peneliti, yaitu bagaimana bentuk, jenis, dan distribusi basa-basi yang digunakan dalam percakapan jual beli di pasar tradisional Kertek, apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi penggunaan bentuk, jenis, dan distribusi dalam percakapan jual beli di pasar tradisional Kertek, dan bagaimana fungsi dari penggunaan basa-basi dalam percakapan jual beli di pasar tradisional Kertek.

Berdasarkan tiap pemaparan hasil analisis terhadap ketiga permasalahan dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa: (1) basa-basi yang digunakan dalam komunikasi di Pasar Kertek Wonosobo ini berbeda dengan basa-basi yang digunakan di tempat lain, (2) melalui pembahasan mengenai bentuk dan jenis, diperoleh fakta bahwa suatu kalimat mampu menyampaikan maksud yang berbeda dengan bentuk fisik kalimat tersebut, (3) ujaran basa-basi yang digunakan di Pasar Kertek ini hadir pada tiga posisi dalam struktur percakapan jual beli terjadi, yaitu rangkaian

(27)

pembukaan atau opening sequences, rangkaian sisipan atau insertion sequences, dan rangkaian penutup atau closing sequences, (4) sebagai salah satu bentuk bahasa dalam masyarakat, penggunaan basa-basi tidak dapat terlepas dari sejumlah faktor sosial tertentu yang berpengaruh terhadap bentuk, jenis, dan distribusi basa-basi yang digunakan dalam sebuah percakapan jual-beli, (5) melalui enam fungsi yang ditemui dalam penggunaan basa-basi diketahui bahwa meskipun kehadirannya manasuka dan tidak mengandung informasi yang baru, kedudukan penggunaan basa-basi dalam percakapan tetaplah penting dalam kaitannya dengan fungsi secara sosial.

Penelitian Fitri Apri Susilo (2014) berjudul Basa-basi dalam Berbahasa antar Guru Di SMP N 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014. Dalam penelitian tersebut terdapat dua rumusan masalah yang ingin dikaji oleh peneliti, yaitu apa sajakah

wujud Basa-basi dalam Berbahasa antar Guru di SMP N 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014, apa sajakah maksud Basa-basi dalam Berbahasa antar Guru Di SMP N 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014. Berdasarkan tiap pemaparan hasil analisis terhadap kedua permasalahan dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa: peneliti menemukan delapan wujud Basa-basi Berbahasa antar Guru Di SMP N 12 Yogyakarta yang ditinjau dari kategori Acknowledgment-nya terdiri dari delapan subkategori.

Kedelapan subkategori tuturan basa-basi tersebut adalah (1) apologize (meminta maaf), (2) Condole (belasungkawa), (3) Congratulate (mengucapkan salam), (4) greet (memberi salam), (5) thanks (berterimakasih), (6) bid (meminta/mengundang), (7)

(28)

accept (menerima), (8) reject (menolak). Apologize (meminta maaf) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan. Condole (bela sungkawa) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan rasa simpati karena musibah yang dialami oleh mitra tutur. Congatulate (mengucapkan selamat) yaitu fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena ada kabar baik. Greet (memberi salam) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang. Thanks (berterima kasih) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan. Bid (meminta) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi. Accept (menerima) yaitu fungsi tuturan untuk menerima (menghargai) basa-basi dari mitra tutur. Reject (menolak) yaitu fungsi tuturan untuk menolak (melanggar) basa-basi dari mitra tutur. Dari keempat penelitian yang relevan tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti. Pada penelitian-penelitian yang relevan sebelumnya mengkaji tentang objek yang sama yaitu basa-basi berbahasa, bahkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rawinda Fitrotul Mualafina terdapat rumusan masalah yang hampir sama yaitu mengkaji tentang bentuk basa-basi. Akan tetapi, pada subjek penelitian terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian yang relevan sebelumnya. Pada penelitian kali ini, subjek yang akan diteliti yaitu basa-basi berbahasa antar Keluarga Pendidik, sehingga peneliti akan melakukan penelitian di ranah pendidikan dengan judul penelitian “Basa-Basi dalam Berbahasa Antaranggota Keluarga Pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo”. Oleh karena itu, keempat penelitian basa-basi berbahasa tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk

(29)

mengkaji fenomena basa-basi berbahasa khususnya dalam ranah pendidikan yang belum banyak untuk diteliti.

2.2 Teori Pragmatik

Rahardi (2003:10) mengatakan bahwa pragmatik merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari dan mendalami apa saja yang termasuk di dalam struktur bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara si penutur dengan sang mitra tutur, serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik atau luar bahasa. Dari definisi beberapa ahli tersebut, dapatlah dikatakan bahwa pragmatik merupaka ilmu kebahasaan yang mengkaji maksud sebuah tuturan dengan mengacu dari unsur luar bahasa, dalam hal ini adalah konteks situasi dan lingkungan di mana tuturan itu terjadi. Kajian ilmu pragmatik sangat dipengaruhi oleh konteksnya. Sebagai cabang ilmu linguistik, pragmatik sangatlah penting dalam kajian ilmu kebahasaan.

George (1964) dalam Rahardi (2003:12) telah menunjukkan bahwa ilmu bahasa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Terhadap tanda atau lambang-lambang bahasa yang mencuat di sekelilingnya itu, manusia akan selalu akan bereaksi dengan aneka kemungkinan sikap dan variasi tindakan atau perilakunya.

(30)

Kemudian Yule (2006:3-4) mengatakan bahwa pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu.

Cruse (2000:16) dalam Cummings (2007:2) memaparkan bahwa pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, tetapi yang juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvesional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.

Levinson (1977) dalam Sudaryanto (2010:118) memaparkan beberapa definisi pragmatik antara lain: Pragmatics is the study of those relations between language and context that are gramaticalized, or encoded in the structure of language (Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang digramatikalisasikan atau dikodekan di dalam struktur bahasa). Pragmatics is the study of relations between language and context that a basic to an account of language understanding (Pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan

(31)

konteks yang merupakan dasar bagi penjelasan tentang pemahaman bahasa). Pragmatics is study of the ability of language users to pair sentences with thw context in which they whould be appropriate (Pragmatik adalah kajian ihwal kemampuan pengguna bahwa bahasa untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut atau tepat diujarkan.

2.2.1 Konteks

Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa. Situasi itu dapat formal dan informal. Kata konteks lebih luas jangkauannya. Konteks itu mencakup pengertian situasi tetapi ditambah dengan pengertian lain. Konteks dari sebuah kata atau bicara dapat meliputi seluruh latar belakang sosial dari masyarakat bahasa itu. Bila kita membaca kata-kata tertentu dalam sebuah buku, kadang-kadang kita kurang memahami kata itu tanpa memahami isi buku itu secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa konteks daripada kata-kata itu tadi adalah semua kata-kata yang digunakan dalam buku itu. Konteks itu bisa berupa bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat mempengaruhi arti bahasa. (Anwar, 1984: 44-45)

Cumming (2005:5) mengatakan bahwa kita tidak dapat mendapatkan definisi pragmatik yang lengkap bila konteksnya tidak disebutkan. Gagasan tentang konteks berada di luar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial dan epistemis. Meskipun

(32)

peran konteks dalam bahasa sudah lama diketahui, akan tetapi baru sekaranglah kontribusi faktor-faktor konteks terhadap proses argumentasi diselidiki secara serius oleh para ahli pragmatik.

Rahardi (2003:20) mengemukakan bahwa konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama-sama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.

Konteks sangat penting dalam memahami suatu tuturan, ia tidak menelaah struktur bahasa secara internal melainkan secara eksternal. Konteks itu bisa berupa bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat mempengaruhi arti bahasa itu.Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa (Anwar, 1984: 44). Gumperz dan Hymes (dalam FX Nadar, 2009:7) menyatakan bahwa aspek tutur ada delapan yang dapat dibuat akronim menjadi SPEAKING yaitu settings, participants, ends, act of sequence, keys, instrumentalities, norms, dan genres (tempat, peserta tutur, tujuan tuturan, urutan tuturan, cara, media, norma yang berlaku, dan genre).

Settings adalah tempat dan waktu terjadinya pertuturan, termasuk di dalamnya kondisi psikologis dan cultural yang menyangkut pertuturan tersebut.

Participant menyangkut peserta tutur.

(33)

Acts of sequence menunujuk pada saluran tutur yang dapat merupakan lisan maupun tertulis.

Key menunujukkan cara dari pertuturan yang dilangsungkan.

Instrumentalities menunjukkan penggunaan kaidah berbahasa dalam pertuturan.

Norms adalah norma atau tuturan dalam berinteraksi.

Genre adalah kategori tuturan yang dapat merupakan puisi, surat, artikel, dan sebagainya.

Leech (1983) dalam Sudaryanto (2010:119) memerikan konteks sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Menurut Leech, konteks didefinisikan sebagai aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan social sebuah tuturan. Leech menambahkan dalam definisinya tentang konteks yaitu sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur, dan konteks ini membantu petutur manfsirkan atau menginterpretasikan maksud tuturan penutur. Yule (1996) dalam Sudaryanto (2010:120) membahas konteks dalam kaitannya dengaan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referen yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut. Yule membedakan konteks dengan koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan.

Cutting (2008) dalam Sudaryanto (2010:122) menjelaskan konteks adalah pengetahuan ihwal dunia fisik dan social serta faktor-faktor sosio-psikologis yang

(34)

memengaruhi komunikasi sebagaimana pengetahuan waktu dan tempat di dalam kata-kata yang dituturkan atau dituliskan. Konteks merupakan pengetahuan yang dimiliki bersama penutur dan petutur. Cutting membagi konteks menjadi tiga macam, yaitu konteks situasional, konteks pengetahuan latar, dan koteks. Konteks situasional berkaitan dengan situasi tempat interaksi tuturan, apakah penutur mengetahui ihwal apa yang dapat mereka lihat di sekelilingnya.

2.2.2 Teori Maksud

Rahardi (2003:16−17) dalam bukunya telah berbicara perihal maksud dan makna. Rahardi memaparkan bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent), sedangkan makna yang dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks (context independent). Makna yang dikaji di dalam semantik bersifat diadik (diadic meaning), sedangkan dalam pragmatik makna itu bersifat triadik (triadic meaning). Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud penutur, semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan linguan an sich, yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi wadahya.

Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-ujaran. Hanya bedanya kalau informasi itu merupakan sesuatu yang luar-ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi pengujarnya, orang yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frasa, tetapi yang

(35)

dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu sendiri. Di simpang-simpang jalan di Jakarta banyak pedagang asongan menawarkan barang dagangannya kepada para pengemudi atau penumpang kendaraan (yang kebetulan kendaraannya tertahan arus lalu lintas) dengan kalimat tanya “Koran, Koran?”. Padahal mereka

tidak bermaksud bertanya melainkan bermaksud menawarkan. Contoh lain, seorang ayah setelah memeriksa buku rapor anaknya, dan melihat bahwa angka-angka dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada dengan nada memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek anaknya.

Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain. Selama masih menyangkut segi bahasa maka maksud itu masih dapat disebut sebagai bahasa maka maksud itu masih dapat disebut persoalan bahasa. Tetapi kalau sudah terlalu jauh dan tidak berkaitan lagi dengan dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai persoalan bahasa. Mungkin termasuk persoalan bidang studi lain; entah filsafat, antropologi, atau juga psikologi.

Maksud yang menyangkut pihak pengujar masih memiliki persoalan semantik, asal saja lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk lingual.

(36)

2.3 Fenomena-fenomena Pragmatik

Dalam ilmu pragmatik terdapat empat fenomena pragmatik yang telah disepakati, yaitu (1) deiksis, (2) praanggapan (presupposition), (3) implikatur percakapan (conversational implicature), dan (4) tindak ujaran (speech acts), (Purwo, 1990:17).

2.3.1 Deiksis

Menurut Yule (2006: 13) deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti „penunjukkan‟ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan „penunjukkan‟ disebut ungkapan

deiksis.

Yule (2006:13-15) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis persona (kata ganti orang pertama „saya‟, orang kedua „kamu‟, dan orang ketiga „dia laki-laki‟, „dia perempuan‟, atau „dia barang/ sesuatu‟), deiksis tempat („di sini‟ dan „di sana‟), dan deiksis waktu („pekan depan, „pekan yang lalu‟, „pekan ini‟, „kemarin‟, „hari ini‟, „nanti malam‟, „sekarang‟, dan „kemudian‟).

Purwo (1990:17) menjelaskan bahwa kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata yang deiktis. Kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan kata rumah, kertas, kursi, di tempat manapun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang

(37)

barukah dapat diketahui pula siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.

Kushartanti (2005:111) menjelaskan bahwa deiksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang berkaitan dengan erat dengan konteks penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang berasal dari penutur, dekat dengan penutur, dan jauh dari penutur. Ada tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu.

2.3.2 Praangaapan

Sebuah tuturan dapat dikatakan praanggapan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan. Tuturan yang berbunyi Mahasiswa tercantik di kelas itu pandai sekali. Mempraanggapkan adanya seseorang mahasiswa yang berparas sangat cantik. Apabila pada kenyataannya memang ada seorang mahasiswa yang berparas sangat cantik di kelas itu, tuturan di atas dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya, apabila di dalam kelas itu tidak ada seorang mahasiswa yang berparas cantik, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya. (Rahardi, 2005: 42) periksa di dalam Wijana (1996) dan Kaswanti Purwo (1990).

Preposisi merupakan kajian dalam lingkup semantik, namun dalam perkembangannya para linguis cenderung berpendapat bahwa kajian preposisi dalam lingkup semantik saja tidak dapat memuaskan mereka, sehingga kajian presuposisi

(38)

bergeser ke wilayah pragmatik (Nadar, 2009:63). Levinson dalam Nadar (2006:64-65) menyatakan bahwa preposisi pragmatik merupakan inferensi pragmatik yang sangat sensitif terhadap faktor-faktor konteks, dan membedakan terminologi preposisi menjadi dua macam. Pertama, kata “presuposisi” sebagai terminologi umum dalam

penggunaan bahasa inggris sehari-hari, serta kata “presuposisi” sebagai terminologi teknis dalam kajian pragmatik. Di bandingkan dengan luasnya makna preposisi secara umum dalam penggunaan sehari-hari, makna preposisi dalam pragmatik relatif lebih sempit. Preposisi dapat dijelaskan sebagai berbagai inferensi atau asumsi pragmatik yang nampaknya dibangun menjadi ungkapan linguistik.

2.3.2 Implikatur

Di dalam pertuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti. Grice (1975) di dalam artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation” menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat

mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan.

Tuturan yang berbunyi Bapak datang, jangan menangis! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang

(39)

bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesutau terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang keras dan sangat kejam dan sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut. (Rahardi, 2005: 42-43), periksa Bambang Kaswanti (1990) dan Wijana (1996).

Menurut Levinson (183) dalam Hamid Hasan (2011:73), ada empat faedah konsep implikatur, yaitu:

a) Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistic;

b) Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa;

c) Dapat memberikan pemerian semantic yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama;

d) Dapat memerikan bebagai fakta yang secara lahiiah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).

(40)

2.3.4 Tindak Ujaran

Tindak tutur diklasifikasikan menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu deklarasi, presentatif, ekspresi, direktif, dan komisif (Yule, 2006: 92-94). Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh 1: Wasit: Anda ke luar! Seperti contoh 1 menggambarkan, penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Representatif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Contoh 2: Bumi itu datar. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskrisian, seperti yang digambarkan dalam contoh 2, merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

Tindak tutur selanjutnya yaitu ekspresif. Ekspresif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Contoh 3: Sungguh, saya minta maaf. Seperti yang digambarkan dalam contoh 3, tindak tutur mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur. Pada waktu menggunakan ekspresif penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya).

(41)

Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain mengatakan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tidak tutur ini meliputi; perintah, pemesanana, permohonan, dan pemberian saran. Contoh 4: Jangan menyentuh itu! Seperti yang digambarkan dalam contoh 4, bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif. Pada waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar).

Tindak tutur berikutnya ialah komisif. Komisif adalah jenis tindak tutur yang dapat dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Contoh 5: Kami tidak akan melakukan itu. Seperti ditunjukkan dalam contoh 5, dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

Dengan mendasarkan gagasan pendahulunya, yakni Austin (1962), John R. Searle (1969) dalam buku Speech Acts: An Essay in The Philisophy of Language menyatakan bahwa pada praktik penggunaan bahasa yang sesungguhnya itu terdapat tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur atau speech acts itu secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut ini: (1) tindak lokusioner (locutionary

(42)

acts), (2) tindak ilokusioner (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusioner (perlocutionary acts).

1. Tindak Lokusioner (locutionary acts)

Tindak tutur lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat, sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri. Adapun tindak tutur lokusioner itu dapat dinyatakan dengan ungkapan the act of saying something. Di dalam tindak lokusioner itu sama sekali tidak dipermasalhkan dalam ihwal maksud tuturan yang idsampaikan oleh penutur. Jadi sekali lagi perlu dikatakan bahwa tindak tutur lokusioner itu adalah tindak menyampaikan informasi yang disampaikan oleh penutur.

2. Tindak Ilokusioner (illocutionary acts)

Tindak ilokusioner ini merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya. Tindak tutur ilokusioner dapat dinyatakan dengan ungkapan dalam bahasa Inggris, the act of doing something. Jadi, ada semacam daya atau force di dalamnya yang dicuatkan oleh makna dari sebuah tuturan.

3. Tindak perlokusioner (perlocutionary acts)

Tindak perlokusioner ini merupakan tindak menumbuhkan pengaruh kepada sang mitra tutur oleh penutur. Tindak perlokusioner dapat dinyatakan dengan ungkapan dalam bahasa Inggris, the act of affecting someone. (cf. Wijana, 1996); Rahardi, 2004;, dan Rahardi; 2006). Rahardi, 2009:17.

(43)

2.4 Teori basa-basi

Basa-basi menurut Malinowski (1923:315) dalam tesis Waridin (2008:13) mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word“. Phatic communion mempunyai fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan, dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Malinowski dalam tesis Arimi (1998) mengatakan basa-basi digunakan sebagai kata anonim berarti bahwa kata ini bukanlah jenis kata contrived, dibuat-buat atau yang tidak alamiah. Akan tetapi, istilah basa-basi justru mengacu pada pemakaian bahasa yang benar-benar alamiah (naturally occuring language) yang meresap pada konteks sosial-budaya Indonesia. Malinowski mempertegas fungsi basa-basi (phatic communion), untuk mengikat antara pembaca dan pendengar. Dikatakannya fungsi tersebut bukanlah merupakan alat pencerminan bahasa tetapi sebagai modus tindakan (antarpenutur). Lengkapnya ia mengatakan sebagai berikut:

“ it consists in just this atmosphere of sociability and in the fact personal

communion of these people. But this is in fact achieved by speech, and the situation in all such cases is created by the exchanged of word, by the specific feelings which form convivial gregariousness, by the give and take of utterances which make up ordinary gossip. Each utterances is an act serving the direct aim of binding hearer to

(44)

speaker sentiment or other. Once more, language appears to us in this function not as isntrument of reflection but a mode of action.”

Berdasarkan definisi-definisi basa-basi tersebut tuturan basa-basi dapat dikaitkan dan diklasifikasikan dalam kategori fatis yaitu partikel dan kata fatis serta frase fatis. Wujud tuturan basa-basi tersebut diklasifikasikan dalam 8 bentuk tuturan, yaitu bentuk salam, menerima, meminta maaf, mengundang, menolak, berduka cita, selamat dan terimakasih. Kedelapan tuturan tersebut kemudian dapat dikategorikan dalam pilihan kata sesuai dengan frase fatis.

Menurut Kridalaksana sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar. Maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.

Ada bentuk fatis yang terdapat di awal kalimat, misalnya “kok kamu pergi juga?”, ada yang di tengah kalimat, misalnya “Bukan dia, kok, yang mengambil uang itu!”,

dan ada pula yang di akhir kalimat, misalnya “Saya hanya lihat saja, kok!”. Kategori fatis mempunyai wujud bentuk bebeas, misalnya kok. Deh, atau selamat, dan wujud bentuk terikat misalnya –lah atau pun.

Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah.

(45)

2.5 Kerangka Berpikir

Basa-basi merupakan sebuah fenomena baru dalam studi pragmatik. Basa-basi berbahasa muncul dari perkembangan pengguna bahasa yang digunakan untuk memulai atau mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur dalam kehidupan sehari-hari. Basa-basi berbahasa biasanya muncul di dalam masyarakat, bahkan pada keluarga pendidik. Sekarang, dalam ranah keluarga pendidik, basa-basi banyak digunakan untuk memperkokoh dan mempertahankan hubungan antar penutur dan lawan tutur di ranah keluarga pendidik. Hal inilah yang menjadi fenomena baru dalam studi pragmatik dan menjadi kajian dari penelitian ini, yaitu basa-basi berbahasa dalam ranah keluarga pendidik, khususnya basa-basi dalam berbahasa antar anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo.

Penelitian ini menggunakan beberapa teori basa-basi serta teori-teori yang mendukung untuk menguraikan tuturan basa-basi antarkeluarga pendidik. Pertama, Malinowski (1923:315) dalam tesis Waridin (2008:13) mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word“. Phatic communion mempunyai fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan, dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Malinowski dalam tesis Arimi (1998) mengatakan basa-basi digunakan sebagai kata anonim berarti bahwa kata ini bukanlah jenis kata contrived , dibuat-buat atau yang tidak alamiah. Akan tetapi, istilah basa-basi justru mengacu

(46)

pada pemakaian bahasa yang benar-benar alamiah (naturally occuring language) yang meresap pada konteks sosial-budaya Indonesia. Malinowski mempertegas fungsi basa-basi (phatic communion), untuk mengikat antara pembaca dan pendengar. Dikatakannya fungsi tersebut bukanlah merupakan alat pencerminan bahasa tetapi sebagai modus tindakan (antarpenutur). Lengkapnya ia mengatakan sebagai berikut:

“ it consists in just this atmosphere of sociability and in the fact personal

communion of these people. But this is in fact achieved by speech, and the situation in all such cases is created by the exchanged of word, by the specific feelings which form convivial gregariousness, by the give and take of utterances which make up ordinary gossip. Each utterances is an act serving the direct aim of binding hearer to speaker sentiment or other. Once more, language appears to us in this function not as isntrument of reflection but a mode of action. “

Kedua, Jakobson (1980) dalam tesis Waridin (2008:15) mendefinisikan bahwa basa-basi adalah tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan untuk menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar kawan bicara tetap memperhatikan. Menurut Jakobson (1980:81) dalam tesis Waridin (2008:16), terdapat enam faktor yang berkaitan dengan fungsi dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Keenam faktor tersebut adalah addresser (pengirim pesan), message (pesan), addressee (penerima pesan), context (konteks), contact (kontak), dan code (kode).

(47)

Ketiga, Searle (1976 : 1-24) mengatakanan bahwa jenis tindak tutur yang merupakan salah satu fenomena teori pragmatik. Dalam fenomena tindak tutur, terdapat tiga bagian yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi. Dalam hal ini Searle menggolongkan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis, yaitu : (1) tindak tutur representatif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur komisif, (5) tindak tutur deklaratif. Fenomena pragmatik Searle ini digolongkan dalam tindak tutur ilokusi dalam aktivitas bertututur. Secara tidak langsung basa-basi berbahasa masuk dalam pengertian bentuk tindak verbal yang digolongkan oleh Searle.

Keempat, Geoffrey Leech (1983: 8 ) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu tentang maksud dalam hubungannya dengan situasi-situasi (speech situation). Proses tindak tutur ditentukan oleh konteks yang menyertai sebuah tuturan tersebut, karena memang Pragmatik mempelajari makna bahasa yang terikat konteks. Seperti halnya dalam bahasan mengenai basa-basi, tuturan akan dikatan basa-basi ditinjau melalui konteks yang melingkupinya.

Berdasarkan teori basa-basi tersebut, data yang diperoleh dengan menggunakan metode simak dan cakap ini dideskripsikan dan diinterpretasikan. Metode simak adalah metode dengan menyimak pertutuan langsung maupun tidak langsung di dalam ranah pendidikan. Metode cakap adalah metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan. Penggunaan dua metode pengambilan data tersebut, peneliti diharapkan dapat memperoleh data yang memadai.

(48)

Kelima, Anwar (1984:46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu dan sebagainya. Terlepas dari berbagai pengertian tersebut sebenarnya basa-basi memiliki fungsi untuk menyampaikan berbagai maksud.

Keenam, Arimi (1998: 95) secara praktis basa-basi didefinisikan sebagai fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu. Dengan kata lain, basa-basi adalah fenomena lingual yang alamiah, tetapi penggunaannya mental atau menolak jika ditanyakan apakah penutur berbasa-basi. Arimi (1998: 96) juga menjelaskan bahasa secara metodologis penolakan tersebut akan lebih jelas jika dibandingkan dengan aktivitas verbal non basa-basi, seperti aktivitas marah atau serius. Bagi aktivitas marah atau serius, penutur dapat mengakui kepada mitra tuturnya bahwa ia marah atau serius. Ketujuh Harimurti Kridalakasna (1986:111) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.

Berdasarkan teori basa-basi tersebut, data yang diperoleh dengan menggunakan metode simak dan cakap ini dideskripsikan dan diinterpretasikan. Metode simak adalah metode dengan menyimak pertutuan langsung maupun tidak langsung di dalam ranah pendidikan. Metode cakap adalah metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan. Penggunaan dua metode

(49)

pengambilan data tersebut, peneliti diharapkan dapat memperoleh data yang memadai.

Tuturan sebagai data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode dan teknik kontekstual. Metode dan teknik analisis kontekstual adalah cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan dengan konteks (Rahardi, 2009:36).

(50)

Berikut ini adalah bagan dari kerangka berpikir yang sudah dipaparkan di atas:

FENOMENA BASA-BASI DALAM KAJIAN PRAGMATIK TEORI BASA-BASI MALINOWSKI (1923) JAKOBSON (1980) LEECH (1983) ANWAR (1984) HARIMURTI (1986) ARIMI (1998) HASIL PENELITIAN

WUJUD BASA-BASI DALAM RANAH KELUARGA

PENDIDIK

MAKSUD BASA-BASI DALAM RANAH KELUARGA

PENDIDIK

SEARLE (1969)

(51)

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian. Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian meliputi: (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) metode pengumpulan data, (4) metode analisis data, dan (5) trianggulasi. 3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh peneliti ialah penelitian deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif karena pada langkah awal peneliti mengumpulkan data-data tuturan antara orang tua dan anak di Desa Kalirejo, Kulon Progo, yang mencerminkan fenomena basa-basi.

Hal ini berdasarkan definisi Arikunto (Arikunto, 2010:234) penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status sutau gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif tidak memerlukan administrasi atau pengontrolan terhadap sesuatu perlakuan.

Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Moleong (2006:4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke

(52)

dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.

Penelitian Kualitatif menurut Moleong (2006:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Sejalan dengan definisi tersebut, dalam penelitian ini peneliti berusaha memahami tuturan basa-basi yang dituturkan oleh subjek penelitian, lalu mengonfirmasikan maksud tuturan tersebut, dan kemudian mendeskripsikan dengan jelas dan apa adanya.

Penelitian basa-basi dalam berbahasa antaranggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo, ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi tuturan basa-basi dalam keluarga pendidik yang diperoleh langsung di Desa Kalirejo, Kulon Progo. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami fenomena tuturan basa-basi antara penutur dan mitra tutur untuk menyampaikan maksud tuturannya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan sebagai suatu pemahaman terhadap penggunaan basa-basi terutama penggunaan bahasa dalam tindakan komunikasi.

(53)

3.2 Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini adalah tuturan dari anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo.

3.3 Data

Data yang dikumpulkan, diidentifikasi dan diklasifikasi pada penelitian ini adalah tuturan yang disampaikan oleh anggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo yang mengandung basa-basi berbahasa

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Peneliti berusaha menggambarkan mengenai suatu variabel, gejala atau keadaan secara apa adanya. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. Penelitian deskriptif ini menjadi dasar untuk menguraikan basa-basi berbahasa karena peneliti akan menguraikan peritiwa tutur antaranggota keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo.

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode simak dan metode cakap. Mahsun (2005:92) mengungkapkan, metode simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa, dimana dalam penelitian ini peneliti menyimak keluarga pendidik dalam mengucapkan sebuah tuturan. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada

(54)

hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Artinya dalam upaya mendapatkan data, peneliti melakukannya dengan menyadap penggunaan bahasa dalam keluarga pendidik di Desa Kalirejo, Kulon Progo yang menjadi informan. Dalam praktik teknik sadap diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan teknik rekam. Teknik simak libat cakap maksudnya si peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan teknik sadap diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat.

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode cakap. Metode cakap ialah cara penyediaan data yang berupa percakapan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2005:95). Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimunculkan jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk mengetahui maksud kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti.

3.5 Metode Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode analisis kontekstual, yakni dengan menerapkan dimensi-dimensi konteks dalam menafsirkan data yang telah berhasil dikumpulkan, diidentifikasi, dan diklasifikasikan. Metode analisis kontekstual ini dapat disejajarkan dengan metode analisis padan. Metode padan itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu metode padan yang sifatnya intralingual

Referensi

Dokumen terkait

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

Kata hasud berasal dari berasal dari bahasa arab ‘’hasadun’’,yang berarti dengki,benci.dengki adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan

[r]

“ STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SUBJECTIVE WELLBEING PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT KRONIS YANG MENGIKUTI PROLANIS DI PUSKESMAS ‘X’ KOTA BANDUNG “. Universitas Kristen

[r]

Konselor :”Sebagai kesimpulan akhir dari pembicaraan kita dapat Bapak simpulkan bahwa Anda mempunyai kesulitan untuk berkomunikasi dalam belajar oleh karena itu mulai besok anda

Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik