• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Kultur Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh Melalui Pendidikan Seni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membangun Kultur Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh Melalui Pendidikan Seni"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/291757514

Membangun Kultur Silih Asih, Silih Asah, dan

Silih Asuh Melalui Pendidikan Seni

CONFERENCE PAPER · DECEMBER 2011

DOI: 10.13140/RG.2.1.4905.0649

1 AUTHOR: Julia

-Universitas Pendidikan Indonesia Kampus …

6PUBLICATIONS 0CITATIONS SEE PROFILE

Available from: Julia -Retrieved on: 25 January 2016

(2)

1

Membangun Kultur

Silih Asih, Silih Asah

, dan

Silih Asuh

Melalui Pendidikan Seni

Oleh Julia

Universitas Pendidikan Indonesia Email: ju82li@upi.edu

Abstrak

Tulisan ini diawali dengan persoalan bahwa pendidikan seni dituntut untuk dapat berperan serta dalam mengembangkan pendidikan karakter. Oleh sebab itu, melalui pemikiran yang disandarkan pada kajian teori dan fenomena dalam dunia seni, dan dibumbui dengan interpretasi, maka didapat hasil bahwa dengan berorientasi pada kultur silih asih, silih asah, dan silih asuh sebagai bagian dari budaya Sunda yang penuh nilai kemanusiaan, pendidikan seni memiliki potensi untuk mengembangkan pendidikan karakter dan mampu mencetak manusia yang mengamalkan kearifan lokal dan sanggup memertahankan jati diri bangsa.

Kata kunci: Seni, silih asih, silih asah, silih asuh, dan pendidikan karakter.

A. Pendahuluan

Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar yang sangat berpengaruh terhadap upaya pengembangan intelektual dan memperbaiki moralitas bangsa. Dapat dikatakan jika kualitas pendidikan yang dimiliki oleh suatu bangsa kurang baik, maka dapat dilihat perkembangan bangsa tersebut akan terhambat. Artinya, pendidikan ibarat jantung dalam tubuh yang terus memompa dan menyalurkan darah ke seluruh tubuh. Ketika jantung berhenti bekerja, maka tubuh pun akan terhenti dari aktivitasnya. Hal ini menyiratkan begitu pentingnya peranan pendidikan, sehingga tanpa pendidikan yang berkualitas, sama saja dengan menawarkan ketertinggalan bahkan kehancuran. Dengan kata lain, bangsa yang maju adalah bangsa yang berpendidikan tinggi, dan lebih utama yakni bangsa yang peduli terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kalangan bangsa-bangsa yang telah maju dan berkembang.

Perkembangan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di dunia melalui pendidikan, merupakan salah satu implikasi dari rumusan tujuan pendidikan yang

(3)

2

tidak hanya terfokus pada pengembangan intelektual, tapi juga pengembangan moralitas. Artinya, untuk membangun bangsa tidak cukup dengan mengandalkan pendidikan intelektual, tapi perlu diiringi dengan pendidikan moral atau

pendidikan budi pekerti. Hal ini senada dengan pandangan Direktur School

Development Center, Thomas Koten (2007), menurut penuturannya bahwa produk pendidikan tidak hanya untuk penyiapan tenaga kerja profesional siap pakai yang semata-mata cerdas secara intelektual, tetapi juga tenaga kerja yang memiliki moralitas. Dengan demikian, sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan pembentukan peserta didik, perhatian pendidikan juga dipusatkan pada pendidikan moral.

Salah satu bidang pendidikan yang berpotensi untuk mengubah moralitas peserta didik adalah pendidikan seni. Sebagaimana dikatakan oleh Dewantara (1962:336), bahwa pendidikan kesenian atau rasa dengan sendiri menuju kepada pendidikan intelektuil dan akhirnya sampai kepada pendidikan watak, yakni pendidikan moril atau pendidikan budi pekerti. Dengan kata lain, dengan belajar seni peserta didik digiring untuk mengkonstruksi diri baik dari segi intelektual maupun moral. Pandangan ini menjelaskan, bahwa pendidikan seni dapat menggapai dua aspek sekaligus, diawali dengan pembentukan intelektual dan diakhiri dengan pembentukan moral. Berbeda dengan bidang lainnya, yang biasanya hanya terfokus pada satu ranah saja. Ini merupakan sebuah hasil yang luar biasa dalam dunia pendidikan, karena dengan menggarap satu bidang namun bisa mendapatkan dua keuntungan.

Upaya pembentukan peserta didik menuju manusia yang cerdas intelektual dan moral perlu dilakukan sejak dini. Karena menurut para pakar psikologi masa awal kehidupan merupakan masa-masa yang menentukan terhadap pembentukan kepribadian. Oleh sebab itu, pendidikan keluarga, pendidikan dasar dan menengah, sebagai wadah yang menjadi pilar bagi peletakkan dasar-dasar pendidikan peserta didik, memiliki peranan penting dan mengemban tugas yang cukup berat. Pasalnya, kesalahan dalam mendidik, baik dalam hal materi, tujuan maupun sistem mendidik, dapat berakibat fatal bagi perilaku peserta didik di masa depan. Demikian halnya dengan pendidikan seni, sebagai pendidikan yang

(4)

3

merambah pada pengembangan intelektual dan moral, diperlukan ketepatan dalam realisasinya di lapangan.

Untuk menghadapi perubahan zaman, pendidikan seni pun harus ikut andil dalam mengembangkan pendidikan karakter, membangun jati diri bangsa yang mengamalkan nilai-nilai lokal dan bernuansa universal. Dengan demikian, diharapkan terbentuk para pendidik seni atau seniman dengan pribadi yang unggul, yakni pribadi yang dapat memadukan antara kompetensi dan karakter sehingga kita mencapai sukses sejati, dalam arti menampilkan diri secara seimbang, produktif, bermakna, dan bahagia, dan dengan sendirinya siap menjadi panutan/memberi suri teladan (Soedarsono, 2002:275).

Pribadi unggul tersebut antara lain dapat tumbuh melalui pendidikan seni berbasis silih asih, silih asah, dan silih asuh (SILAS), yakni kearifan budaya Sunda dalam proses menata lingkungan hidup yang harmonis (Suryalaga, 2010:125). Dengan kata lain, SILAS adalah suatu konsep kehidupan masyarakat Sunda yang sarat dengan kearifan lokal dan nilai-nilai yang bersifat universal.

Berdasarkan hal di atas, maka tulisan ini mencoba untuk mengupas pendidikan seni sebagai salah satu alternatif bagi pembentukan karakter menuju manusia yang memiliki kultur silih asih, silih asah, dan silih asuh. Lantas, bagaimana kita bisa melihat bahwa pendidikan seni dapat berdampak pada pembentukan kultur SILAS, mari kita kaji dengan mengacu pada pertanyaan – bagaimana pengaruh pendidikan seni terhadap pembentukan kultur silih asih, silih asah, dan silih asuh?

Untuk mengkaji persoalan di atas, dicoba diurai dengan menggunakan metode deskriptif analitis, melalui pendekatan sosiologis untuk melihat persoalan sosial yang terjadi dalam dunia pendidikan seni baik pendidikan formal maupun nonformal, pendekatan antropologis untuk melihat persoalan nilai-nilai yang terhubung antara dunia pendidikan seni dengan realitas yang ada di masyarakat, dan pendekatan hermeneutika dan semiotika sebagai salah satu cara yang digunakan untuk memberikan penafsiran dan pemaknaan atas segala fenomena yang ada. Studi literatur pun dilakukan guna memberikan kekayaan pandangan dan menjadi bumbu pembahasan dalam tulisan ini.

(5)

4 B. Pembahasan

Pendidikan Seni dan Konsep SILAS

Silih asih, silih asah, dan silih asuh merupakan suatu konsep yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda, dan menjadi bagian dari kearifan budaya Sunda dalam proses menata dan membangun lingkungan hidup yang harmonis. Menurut Hidayat Suryalaga (2010:126),

Hidup yang harmonis pada intinya adalah kesadaran akan adanya saling ketergantungan (interdependency) – dengan tidak melupakan jati diri dan habitatnya masing-masing. Konsep ini adalah proses berkehidupan yang Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh yang dikenal dengan akronim SILAS atau 3 SA. Hasil optimalnya adalah manusia yang mampu mewujudkan kehidupan penuh harmoni dengan sesama makhluk Allah SWT.

Pandangan tersebut menjelaskan bahwa SILAS merupakan suatu konsep kehidupan yang dianut oleh masyarakat Sunda, dimana orientasinya bertumpu pada adanya hubungan sosial yang harmonis sebagai salah satu cara mencapai manusia yang utama dan berakhlak mulia. Dengan demikian, SILAS bukan hanya jargon yang menjadi ungkapan semata, melainkan sebuah pola kehidupan yang mengandung nilai atau norma yang penuh dengan kearifan. Maka dari itu, seyogianya kita memelihara dan mengaplikasikan SILAS dalam kehidupan yang telah dipengaruhi oleh multi budaya yang merongrong pola kehidupan kita.

Sebagai pendidik seni yang tidak hanya bertugas sebagai pengajar dan pelatih yang lebih cenderung pada kegiatan praktek-praktek seni, namun juga sebagai pendidik yang mesti ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan karakter atau kepribadian peserta didik, maka kita dapat menggunakan pendidikan seni sebagai media guna menghantarkan peserta didik menuju manusia yang cerdas secara intelektual dan moral. Karenanya, pendidikan seni harus dapat mengantarkan peserta didik untuk terbiasa dengan kultur silih asih, silih asah, dan

silih asuh, dimana di dalamnya terkandung pola hidup manusia yang sarat dengan nilai-nilai atau norma-norma kehidupan.

(6)

5

Untuk melihat potensi yang terdapat pada pendidikan seni dalam kaitannya dengan kultur silih asih, silih asah, dan silih asuh, kita dapat mengkajinya sebagai berikut.

1. Silih Asih

Dalam Kamus Basa Sunda (2005:360), tertulis bahwa kata “silih” di antaranya mengandung arti “pekerjaan saling membalas”, sementara kata “asih” mengandung arti “cinta” (KBS, 2005:49). Maka dari itu, Suryalaga (2010:128)

memaknai bahwa silih asih adalah tingkah laku yang memperlihatkan rasa kasih

sayang yang tulus, dengan maksud mewujudkan suatu kebahagiaan di antara mereka. Dengan kata lain, inti dari silih asih ialah penanaman cinta dan kasih terhadap sesama, sehingga berdampak pada terciptanya situasi dan kondisi sosial yang harmonis. Karenanya, tanpa saling memiliki dan memelihara aspek ini, tentu akan sangat sulit menciptakan harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Lantas, mengapa pendidikan seni dapat berperan dalam membangun

manusia yang memiliki kultur silih asih? Untuk membuktikannya kita dapat

bersandar pada aspek penanda silih asih seperti dirumuskan oleh Adiwijaya (dalam Suryalaga, 2010:128), yakni sebagai berikut.

a. Asih adalah kerja.

Dalam hal ini asih dimaknai sebagai kesiapan untuk bekerja, baik kerja yang bersifat fisik maupun non fisik. Ini sama halnya dengan konsep pendidikan seni, yang berarti bahwa seni adalah suatu pekerjaan yang bertujuan untuk mencari kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan untuk orang lain, karena pada dasarnya seni adalah salah satu bentuk kegiatan menghibur baik bagi pelaku maupun apresiatornya.

b. Asih karena adanya dedikasi.

Ini dimaknai bahwa asih adalah pengabdian atau pengorbanan. Demikian juga dengan pendidikan seni, bahwa untuk memperoleh keberhasilan diperlukan dedikasi yang tinggi, sanggup menghadapi halangan dan rintangan yang terbentang di sepanjang jalan. Di sinilah diperlukan semangat dan tekad yang kuat diiringi dengan ketulusan hati untuk berbakti dalam jagat seni.

(7)

6

c. Asih adalah kemampuan berdisiplin.

Asih dimaknai pula sebagai ketaatan, kesetiaan, dan kemampuan untuk membatasi diri. Seperti dalam pendidikan seni, tanpa adanya ketaatan, kesetiaan, dan kemampuan untuk membatasi diri dalam mendalami bidang yang ditekuni, maka bisa jadi apa yang dipelajari mengambang tak tentu arah. Dalam arti bahwa ke sini tak sampai ke sana pun tak sampai, tradisi terabaikan modern pun ketinggalan.

d. Asih adalah membagikan tanggungjawab.

Asih dimaknai sebagai kesadaran akan adanya hak dan kewajiban, sebagai implementasi dari rasa asih yang di dalamnya terdiri atas hubungan subjek dan objek. Demikian halnya dalam seni, bahwa salah satu keunggulan dari seorang seniman dan seniwati sejati adalah adanya rasa tanggungjawab terhadap pekerjaan serta kesejahteraan dan kebahagiaan sesamanya.

e. Asih meminta kesabaran.

Asih dimaknai sebagai kesabaran untuk menghadapi dua karakter yang berbeda dalam menyamakan persepsi. Begitu juga dengan seni, ketelatenan merupakan bagian penting dari seorang calon seniman/seniwati yang sedang meniti karir menggapai prestasi. Kesabaran diperlukan manakala seorang musisi mempelajari instrumen kesayangannya, seorang penari memperindah gerakannya, dan seorang pelukis memperhalus karya lukisnya. Semangat inilah yang diperlukan untuk dapat mengimplementasikan rasa asih.

f. Asih adalah nilai dan tujuan.

Asih dimaknai sebagai pengukur kualitas dari nilai kemanusiaan dan hubungan dengan Sang Maha Pencipta. Inilah yang dimaksud dalam seni bahwa seni itu mengajarkan kearifan lokal, karena para karuhun telah memanfaatkan

seni sebagai media pendidikan, sehingga muncul ungkapan “nyumput buni dina

seni”. Bahkan, Jakob Sumardjo (2000:) menuturkan bahwa seni merupakan

(8)

7

non-empiris dari realitas pengalaman nyata. Dengan kata lain, tujuan paling mendasar dari seni adalah mencapai realitas metafisik atau menjalin hubungan dengan yang transendental melalui kegiatan berkesenian.

g. Asih adalah pengorbanan.

Asih dimaknai pula sebagai kemampuan mengorbankan kepentingan individu untuk kepentingan yang dikasihinya secara benar, baik dalam bentuk moril maupun materil. Ini pula yang bisa kita pelajari dari seni, sebagai salah satu bentuk hiburan, terkadang seni menuntut kita untuk melupakan apa yang sebenarnya sedang kita alami dan menyerahkan hidup kita demi kepentingan dan kebahagiaan orang lain, seperti seorang pelawak yang mesti melawak padalal ia sedang diguncang puspa ragam masalah, seorang musisi yang harus memainkan musik ceria padahal hatinya sedang pilu, dan lain-lain.

h. Asih adalah ekspresi diri.

Asih dimaknai sebagai ekspresi diri seutuhnya, karena berada dalam tataran perasaan dan merupakan sesuatu yang abstrak. Sama halnya dengan seni, seperti dikatakan oleh Suzanne K. Langer (2006:17), bahwa karya seni adalah suatu bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi kita lewat indera atau pencitraan, dan apa yang diciptakannya adalah perasaan insani. Oleh sebab itu, berkarya dalam seni adalah realisasi dari rasa asih.

i. Asih adalah realitas hidup.

Asih dimaknai sebagai salah satu cara untuk menampakan realita hidup, bahwa “saya ada” ditandai dengan keberadaan rasa asihnya. Oleh karena itu, seorang seniman dapat diakui keberadaannya manakala ia menunjukan rasa asihnya, yang dapat tercermin melalui kehalusan budi sebagai implementasi dari kehalusan rasa, dan karya seni sebagai hasil pengolahan rasa dan implementasi rasa keindahannya.

(9)

8

j. Asih perlu dengan kejujuran.

Asih dimaknai juga sebagai kesediaan untuk menerima keadaan yang dikasihi apa adanya. Inilah yang terjadi dalam dunia seni, bahwa seorang seniman ataupun pendidik seni, dituntut untuk memiliki kejujuran. Jujur dalam menerima

dan mengakui kelemahan diri, serta berani dan jembar dalam mengakui kelebihan

orang lain. Jika kemampuan ini telah dimiliki, maka dapat dikatakan bahwa salah satu penanda rasa asih telah melekat dalam diri.

k. Asih adalah timbulnya rasa bahagia sebagai hasil dari kerja sama.

Asih dimaknai sebagai kebahagiaan yang diperoleh melalui jerih payah bersama. Begitu pula dalam seni, kebahagiaan timbul sebagai hasil dari kerja sama kelompok yang dibangun melalui proses berkesenian atau proses latihan yang bertujuan untuk melatih kesamaan rasa dan kekompakan. Pertunjukan seni merupakan bukti kongkret dari pengertian asih ini.

l. Asih yaitu ekspresi rasa keindahan.

Asih terwujudkan dalam tingkah laku dan getar sukma yang selalu menyiratkan harmoni kedamaian sehingga bernuansakan keindahan. Makna tersebut mengingatkan kita pada ungkapan bahwa “akar seni adalah indah”. Artinya, keindahan adalah ide awal sebuah karya seni tercipta, bagaimana pun bentuk indah tersebut. Dengan demikian, seni dan keindahan tidak dapat dipisahkan, sehingga dapat dikatakan pula bahwa pada dasarnya rasa asih akan selalu terpelihara dalam berkarya seni.

m. Asih kadang-kadang menimbulkan kepedihan tetapi bisa dirasionalkan dan

disublimasikan.

Tidak jarang rasa asih yang berujung pada kepedihan, namun bila diterima secara rasional bisa berujung pula pada keikhlasan bahkan dapat menjelma sebagai karya seni bermutu tinggi. Makna ini menggiring kita pada berbagai fenomena seni, dimana banyak seniman atau komposer besar yang tersakiti hatinya, namun kesakitannya dapat berubah menjadi sebuah karya seni yang

(10)

9

bernilai tinggi. Maka dari itu, fenomena ini merupakan bagian dari bumbu asih yang terealisasi melalui alam seni.

n. Asih itu membutuhkan dana.

Meskipun hal ini bersifat relatif, namun dalam satu saat, tanpa persiapan dana yang memadai, penampakan rasa asih bisa sangat terabaikan. Seperti anak yang terlantar pendidikannya karena sempitnya biaya hidup yang dialami orangtuanya. Ini pula yang terjadi dalam dunia seni, berapa banyak pertunjukan yang tertunda dikarenakan kurangnya dana, berapa banyak anak-anak yang tidak dapat berkompeten dikarenakan tidak adanya sarana dan prasarana yang memadai, dan lain-lain. Oleh sebab itu, kendatipun bersifat relatif, namun cukup memegang peranan yang sangat penting.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seni merupakan dunia untuk membangun dan menunjukan rasa asih, karena seni memerlukan rasa keindahan, pengolahan rasa, ekspresi, dan keterlibatan orang lain, sehingga seni dapat menjelma sebagai habituasi dan kepribadian seseorang.

2. Silih Asah

Konsep dasar silih asah adalah saling mencerdaskan, saling menambah ilmu pengetahuan, memperluas wawasan dan pengalaman lahir batin. Capaian akhirnya adalah peningkatan kualitas kemanusiaan dalam segala aspeknya baik pada tataran kognisi, afeksi, spiritual maupun psikomotor (Suryalaga, 2010:133). Dengan demikian, inti dari silih asah yakni kesadaran untuk saling menajamkan pikiran dan memperdalam berbagai aspek keilmuan. Lantas, mengapa pendidikan

seni dapat berperan dalam membangun manusia yang memiliki kultur silih asah?

Kita dapat mengkajinya melalui aspek penanda silih asah seperti dirumuskan Suryalaga (2010:134) sebagai berikut.

a. Asah berarti mempunyai visi dan misi.

Asah dimaknai sebagai kejelasan visi dan misi serta strategi hidup seseorang. Demikian pula dengan seni, seyogianya belajar seni berfungsi sebagai

(11)

10

strategi untuk menjalani hidup, serta memiliki visi dan misi yang jelas dan terukur, sehingga terealisasilah filosofis seniman yang berbunyi “kita harus dapat menghidupkan seni dan seni harus dapat menghidupi kita”.

b. Asah berarti bersemangat.

Asah dimaknai pula sebagai keteguhan itikad, atau disebut juga sebagai kekuatan karsa. Karya seni pun dapat dilihat sebagai buah semangat penciptanya, sehingga tanpa kehadiran semangat seorang seniman akan sulit menciptakan karya-karya besarnya. Oleh sebab itu, selama seniman saling memengaruhi menumbuhkan semangat untuk berkarya, maka ia sedang berada dalam kondisi saling mengasah.

c. Asah adalah kemampuan mengendalikan diri.

Asah dimaknai sebagai kemampuan mengendalikan diri yang berkaitan dengan kemampuan mendisiplinkan diri. Tidak sedikit kalangan seniman yang gagal karena kurang disiplin, dan berhasil karena sangat disiplin. Dalam satu konteks, seperti seorang vokalis yang sukses karena disiplin berlatih, atau seorang instrumentalis yang giat belajar. Dan dalam konteks lain, kita dapat melihat kejatuhan seorang seniman karena terjerumus pada dunia kriminal. Karenanya, saling asah dalam mengendalikan diri merupakan cerminan dari tindak tanduk para seniman.

d. Asah adalah alat ukur dalam mencapai tujuan.

Asah dimaknai sebagai penambahan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Seniman yang berhasil adalah mereka yang senantiasa haus akan wawasan dan karya baru, sehingga mereka terus menggali dan berkarya, tanpa ada batasan ruang dan waktu. Inilah para seniman yang memiliki sifat indeterministik, yakni tidak puas dengan hasil karya yang telah ada, bahkan tidak puas dengan hasil karya sendiri (Julia, 2008:406).

(12)

11

e. Asah adalah metoda.

Asah dimaknai sebagai cara yang terstruktur untuk mempelajari dan mentransformasikan suatu ilmu. Begitu pula yang terjadi dalam seni, jika seorang seniman memiliki virtuositas sangat tinggi, namun ia tidak memiliki metode yang baik untuk mentransformasikan ilmunya, maka bisa jadi apa yang ia transformasikan tidak dapat diserap dengan sempurna oleh muridnya, karena seorang guru pun mesti mempelajari kemampuan murid dan kualitas metode penularan yang digunakannya.

f. Asah yaitu adanya kesabaran.

Asah dimaknai sebagai kesabaran dan keuletan dalam menuntut dan menyampaikan ilmu. Demikian halnya dalam seni, seorang seniman tanpa memiliki kesabaran yang tinggi akan sulit mencapai tingkatan expert, dan seorang seniman ahli yang bukan penyabar akan kesulitan dalam melakukan transformasi ilmu. Maka dari itu, yang sabar adalah mereka yang sukses dan beriman.

g. Asah memerlukan keterbukaan.

Asah dimaknai sebagai transparansi dalam arti tidak ada yang disembunyikan dalam upaya optimalisasi transformasi ilmu pengetahuan. Ini yang telah terjadi pada tradisi seni kita, bahwa banyak materi seni yang hilang melayang ke ambang kekhilafan gara-gara para ahli seni terdahulu tidak bersikap terbuka dan membawa mati ilmunya. Oleh sebab itu, saling mengasah untuk membudayakan sikap keterbukaan menjadi bagian penting dalam pendidikan seni.

h. Asah adalah sistem keteraturan.

Asah dimaknai sebagai kemampuan dalam mengatur pentransformasian ilmu pengetahuan. Begitu pula dalam seni, para ahli seni yang menjadi kiblat bagi seniman lainnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menyalurkan ilmunya secara sistematis, sehingga apa yang mereka salurkan dapat terserap dengan baik.

(13)

12

i. Asah yaitu adanya kejujuran.

Asah dimaknai sebagai objektifitas dalam penyampaian ilmu pengetahuan, dalam arti ikhlas tidak bermotifkan subjektifitas yang dapat berujung pada pemanfaatan untuk keuntungan salah satu pihak. Ada kalanya dalam seni tradisi kita proses saling mencerdaskan ditunggangi dengan budaya feodal, sehingga apa yang dilakukan berujung pada perpecahan. Karenanya, dalam pengertian ini, seni merupakan contoh real dari sikap saling asah yang masih memerlukan pembenahan.

j. Asah adalah kerja yang berkesinambungan.

Asah dimaknai sebagai proses yang berkelanjutan dalam mencari ilmu pengetahuan, dan menjadi kewajiban selama hayat dikandung badan. Seorang seniman besar adalah ia yang selama hidupnya tidak pernah lelah untuk belajar dan membangun wawasan demi terwujudnya karya-karya seni dan kelestarian budayanya. Dengan demikian, makna asah di sini telah menjadi bagian dalam kehidupan berkesenian.

k. Asah adalah kemampuan mengelola.

Asah dimaknai sebagai keterampilan dalam memenej untuk

mentransformasikan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dalam lingkungan kita, bahwa kelompok-kelompok seni atau sanggar-sanggar seni yang memiliki sistem pengelolaan yang baiklah yang dapat bertahan mengarungi jaman dan tetap eksis dengan kelompoknya. Maka dari itu, asah dalam makna ini telah menjadi contoh real dalam jagat kesenimanan.

l. Asah adalah kreativitas.

Asah dimaknai sebagai penanda manusia yang sehat cara berpikirnya yang dibuktikan melalui hasil kreativitasnya. Bagi seorang seniman sejati, berkreasi merupakan aktivitas berpikir yang telah menjadi rutinitas dalam keseharian, karena tanpa kreasi seorang seniman akan mati (?). Oleh sebab itu, mereka yang berkreasilah yang dapat dirasakan eksistensinya.

(14)

13

m. Asah adalah inovatif.

Asah dimaknai sebagai pembaharu yang terencana sehingga menjadi pendorong tumbuh kembangnya suatu ilmu. Sa’ud (2008:3) merumuskan bahwa inovasi merupakan suatu ide, barang, kejadian, dan metode yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). R.M. Angga Kusumadinata, Bapak Koko Koswara, dan Nano S, merupakan seniman pembaharu seni Sunda yang menjelma menjadi teladan bagi para seniman muda. Inilah bukti nyata bahwa asah dalam pengertian ini telah lama tumbuh hanya saja belum mendarah daging pada para seniman generasi muda.

n. Asah adalah memberi penilaian.

Asah dimaknai sebagai proses saling menilai atas kualitas ilmu pengetahuan dan kemampuan sehingga proses pencerdasan berlangsung berkelanjutan. Kita tidak asing lagi dengan istilah pasanggiri dalam seni Sunda, lomba nyanyi seperti Indonesian idol, dan lain-lain, ini merupakan salah satu realisasi tentang proses saling menilai dalam dunia seni yang berdampak pada peningkatan keterampilan diri.

o. Asah adalah keberanian untuk di uji.

Asah adalah kesiapan untuk memperoleh ujian dalam menghadapi realitas kehidupan. Dengan kata lain, ujian yang sesungguhnya adalah manakala kita menghadapi persoalan yang timbul dalam realita kehidupan keseharian. Seorang seniman yang ditentang oleh kalangan ulama, para selebriti yang menghadapi hukuman sosial, adalah bukti nyata dari keberanian tersebut.

p. Asah adalah proaktif.

Asah dimaknai sebagai keaktifan dalam menjemput bola. Ini dapat kita lihat, bahwa keberhasilan seorang seniman antara lain karena ia proaktif baik dalam mengikuti berbagai kegiatan maupun proaktif dalam mencari order dan

(15)

14

membangun kerjasama. Maka dari itu, usaha seniman untuk mendapatkan pekerjaan melalui silaturahim antara lain bagian dari proses saling asah.

q. Asah adalah kualitas diri.

Asah dimaknai sebagai kualitas sumber daya diri yang meliputi kecerdasan intelektual, spiritual, dan implementasinya dalam kehidupan. Seniman yang memiliki kualitas tinggi adalah mereka yang mendalami seni bukan hanya sekedar mencari pengalaman seni duniawi belaka, namun berupaya untuk mencapai realitas kedua sebagai bagian dari kecerdasan spiritualnya. Maka tak heran kita sering menjumpai seniman yang selalu berperilaku ritual, karena mereka bertujuan mencapai realitas kedua tersebut. Bahkan, seorang komposer kelas dunia, Beethoven, mengatakan bahwa musik adalah mediator antara kehidupan indera dan kehidupan ruh (Rose & Nicholl, 2006).

r. Asah adalah kemampuan berkomunikasi.

Asah dimaknai sebagai kemampuan untuk menerjemahkan substansi tansformasi dalam upaya menjabarkan visi dan misi. Dalam dunia seni, komunikasi dilakukan bukan hanya dalam bentuk verbal, tapi juga nonverbal, yakni kemampuan untuk menjabarkan tanda-tanda yang ada dalam pertunjukan, seperti tanda musikal dalam penyajian tembang Cianjuran.

s. Asah adalah kemampuan bersinergi.

Asah dimaknai sebagai interaksi sinergi antara dua pihak yang dapat menimbulkan penemuan-penemuan baru atau peningkatan kualitas diri. Pertemuan antara Bubi Chen dengan Uking Sukri yang direkam dalam kaset berjudul “Kedamaian” merupakan salah satu bentuk saling asah yang terjadi dalam dunia seni. Mungkin masih banyak lagi pertemuan antar maestro lainnya yang menghasilkan karya-karya agung.

(16)

15

t. Asah memerlukan dana.

Asah dimaknai pula sebagai cara menyiasati pentransformasian ilmu pengetahuan secara bijak. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa proses saling asah pun memerlukan dana, termasuk dalam jagat seni. Namun hal ini perlu dikaji dengan bijak agar substansi yang ingin dicapai tidak terkacaukan dikarenakan persoalan dana yang senantiasa berbau sensitif.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa inti sari saling asah merupakan kesadaran untuk saling meningkatkan kualitas diri dari berbagai sisi, dengan tetap mengedepankan kejujuran dan keteraturan demi terwujudnya visi dan misi bersama yang ingin dicapai.

3. Silih Asuh

Kata asuh mengandung makna membimbing, menjaga, mengayomi, memerhatikan, membina secara seksama dengan harapan agar selamat lahir batin dan bahagia dunia akhirat (Suryalaga, 2010:140). Lebih lanjut Suryalaga

mengatakan, bahwa silih asuh memberi pemahaman secara menyeluruh dengan

tetap sadar akan posisi pribadinya masing-masing. Dengan kata lain, silih asuh

mesti berorientasi pada profesi dan proporsi sesuai dengan kemampuan dan kedudukan yang dimiliki. Lantas, mengapa pendidikan seni dapat berperan dalam membangun manusia yang memiliki kultur silih asuh? Kita dapat mengkajinya

melalui aspek penanda silih asuh seperti dirumuskan Suryalaga (2005:140)

sebagai berikut.

a. Asuh adalah kesederajatan.

Asuh dimaknai sebagai kesadaran bahwa kedua belah pihak sederajat sebagai makhluk Allah SWT, tidak saling menekan dan menjajah. Konsep ensemble dalam musik merupakan salah satu contoh realisasi dari kesederajatan. Semuanya fokus untuk menghasilkan suatu komposisi musik yang sempurna dan harmonis.

(17)

16

b. Asuh adalah menghargai.

Asah dimaknai sebagai sikap batin yang tulus untuk saling menghargai. Dalam seni sikap ini dapat terbukti dalam menghadapi rekan-rekan yang memiliki keterampilan lebih tinggi, dan menyikapi rekan yang kemampuannya masih rendah. Yang tua dijunjung tinggi dan yang muda diayomi.

c. Asuh adalah keikhlasan hati.

Asuh dimaknai sebagai kerelaan hati untuk saling menghargai sehingga tumbuh suasana ikhlas dalam menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran. Ini sering terjadi dalam dunia pendidikan nonformal, dimana seorang guru dan murid harus ikhlas untuk menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran, demi terwujudnya proses regenerasi seni.

d. Asuh adalah kesediaan untuk berkorban.

Asuh dimaknai sebagai kerelaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi terwujudnya proses saling mengayomi. Ketika proses regenerasi seni berlangsung, di sanalah saat yang tepat untuk melihat pengorbanan yang dilakukan baik oleh guru maupun muridnya. Keduanya terfokus pada satu hal, yakni keberhasilan dalam menguasai apa yang ditransformasikan.

e. Asuh adalah mengenal kemampuan diri pribadi.

Asuh dimaknai sebagai kemampuan untuk mengenal diri pribadi dalam hal mendudukan posisi, proporsi, dan profesionalisme. Seni memang menuntut kita untuk berbuat sesuai keahlian pribadi atau spesialisasi. Kredibilitas seniman bisa naik manakala ia berbuat sesuai spesialisasinya, dan sebaliknya bisa turun tatkala berbuat di luar spesialisasinya. Seorang ahli tembang Sunda saja bisa mengundang kontroversi manakala ia mengeluarkan kaset rekaman di luar tembang Sunda. Maka dari itu, saling asuh memiliki peranan penting dalam memahami dan mendudukan kemampuan pribadi.

(18)

17

f. Asuh adalah adil.

Asuh dimaknai sebagai kemampuan untuk menghargai atas kualitas yang dicapai tiap individu. Al-Syalhub (2005:15) menuturkan, menegakan keadilan bisa mendapatkan kualitas dan derajat yang baik. Terbentuknya kelompok-kelompok seni yang berhasil melanglang buana, merupakan salah satu contoh dari berdirinya sikap adil di antara sesama seniman. Artinya, mereka menumbuhkan sikap saling menghargai atas keterampilan yang dimiliki.

g. Asuh bersifat satria.

Asuh dimaknai sebagai kemampuan untuk tidak menyalahkan orang lain hanya karena ingin menyelamatkan diri sendiri. Dalam dunia seni, pertunjukan merupakan ajang untuk melihat sisi kesatriaan seniman. Artinya, seorang seniman

yang melakukan kesalahan mesti mengakui kesalahannya dan

mempertanggungjawabkan terhadap kelompoknya, dan sikap ini sangat diperlukan guna menumbuhkan harmonisasi kelompok.

h. Asuh adalah kesiapan regenerasi.

Asuh dimaknai sebagai proses menumbuhkan generasi penerus dengan kualitas SDM yang lebih baik dari pendahulunya dan terarah dengan baik. Seni tembang Sunda Cianjuran adalah contoh nyata dalam proses ini, dimana para seniman penerusnya dicetak dengan tuntutan untuk menjadi lebih baik dan berkualitas, sehingga aspek musik dan vokal tembang pun senantiasa mengarah pada kualitas yang lebih baik lagi.

i. Asuh adalah kaderisasi.

Asuh dimaknai sebagai proses percepatan regenerasi, dengan cara menginformasikan dan mentransformasikan pengalaman dari pendahulu sebagai rambu-rambu perjalanan kebudayaan bangsa selanjutnya. Dalam dunia seni, proses ini telah berjalan cukup lama, terutama dalam pendidikan nonformal seperti dalam seni tembang Cianjuran, sekarang lebih mudah menemukan seniman generasi muda.

(19)

18

j. Asuh adalah kehormatan.

Asuh dimaknai sebagai rasa hormat yang tumbuh di antara dua pihak dan tercermin dalam perilakunya. Keharmonisan di kalangan seniman sangat terlihat manakala seorang seniman menghormati seniman lainnya, seorang seniman senior menghormati seniman juniornya, dan sebaliknya. Karena pada dasarnya, rasa hormat itu akan timbul ketika timbul rasa hormat.

k. Asuh adalah pengakuan.

Asuh dimaknai sebagai keberanian untuk jujur mengakui bahwa masing-masing merasa saling membutuhkan. Sekelompok seniman mustahil dapat membentuk suatu grup musik, grup tari, dan grup lainnya, tanpa adanya kejujuran untuk saling mengakui bahwa mereka saling membutuhkan. Maka dari itu, bercecerannya grup musik, tari, dan lainnya merupakan salah satu bentuk adanya pengakuan.

l. Asuh adalah kebeningan hati.

Asuh dimaknai sebagai kebeningan hati untuk menimbulkan getar silaturahim. Ini menjadi hal urgen dalam dunia seni, dimana para seniman harus berupaya menunjukan kebeningan hati yang dibuktikan melalui tali silaturahim. Bahkan bagi seniman, silaturahim adalah salah satu jalan untuk membuka jalan rizki dan menunjukan eksistensi diri.

m. Asuh adalah tanggung jawab.

Asuh dimaknai sebagai tanggung jawab dari kedua belah pihak dalam upaya mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Wahab (2008:237) menjelaskan bahwa membagi dan menentukan tanggung jawab itu harus mempertimbangkan sifat pekerjaan dan kesanggupan kedua belah pihak. Dapat kita temui dalam dunia seni, bahwa kesuksesan grup seni salah satunya bergantung pada tanggung jawab anggota dan pimpinan seni. Banyak grup yang bubar karena pimpinannya tidak bertanggung jawab terhadap grupnya, dan ada pula grup yang bubar karena anggotanya tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

(20)

19

n. Asuh yaitu kebersamaan.

Asuh dimaknai sebagai penyamaan persepsi dalam rangka mencapai visi dan misi bersama. Kita bisa menilai, bahwa seni antara lain dipandang sebagai salah satu bentuk kebersamaan dalam kehidupan. Karena seni menuntut adanya wirasa, wiraga, dan wirahma dari kelompoknya, sehingga menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dapat dibuktikan, bahwa pertunjukan yang berhasil adalah pertunjukan yang dilandasi oleh adanya rasa kebersamaan dalam kelompoknya.

Dengan demikian, silih asuh dapat disimpulkan sebagai salah satu bentuk pola kehidupan yang berorientasi pada kultur saling menjaga dan memelihara sehingga tumbuh kesadaran untuk saling bersilaturahim dan menjaga antara hak dan kewajiban sesama.

C. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan seni memiliki pengaruh untuk membentuk dan menumbuhkan manusia yang memiliki kultur silih asih, silih asah, dan silih asuh. Ini dapat dibuktikan bahwa dalam dunia kesenimanan atau pendidikan seni terdapat fenomena-fenomena yang mengandung nilai-nilai atau kearifan lokal yang bersifat universal, sehingga pada dasarnya seni dapat digunakan sebagai media untuk membentuk dan membangun karakter bangsa yang disesuaikan dengan latarbelakang budaya masing-masing.

D. Daftar Pustaka

Al-Syalhub, Fuad bin Abdul Aziz. (2005). Panduan Praktis Bagi Para Pendidik: Quantum Teaching 38 Langkah Belajar Mengajar EQ Cara Nabi SAW. Jakarta: Nurul Fikri.

Dewantara, Ki Hadjar. (1962). Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.

Julia. (2008). Pirigan Kacapi Indung dalam Tembang Sunda Cianjuran: Studi

Komparatif Terhadap Gaya Ruk-ruk Rukmana dan Gan-gan Garmana.

(21)

20

Koten, Thomas. (2007). “Pendidikan Kecerdasan Emosional”. Media Indonesia.

(10 April 2007).

Langer, Suzzane. K. (2006). Problematika Seni. Bandung: Sunan Ambu Press.

Ross, Collin & Malcolm J. Nicholl. (2006). Accelerated Learning For The 21st Century: Cara Belajar Cepat Abad XXI. Bandung: Nuansa.

Satjadibrata. (2005). Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat.

Soedarsono, Soemarno. (2002). Character Building: Membentuk Watak. Jakarta:

PT. Elex Media Komputindo.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Suryalaga, Hidayat. (2010). Kasundaan: Rawayan Jati: Bandung: Yayasan Nur

Hidayah.

Wahab, Abdul Aziz. (2008). Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan.

Bandung: Alfabeta.

---

Makalah disajikan dalam Seminar Internasional

Quo Vadis Seni Tradisional 6 pada Prodi Pendidikan Seni UPI Desember 2011, di UPI Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) perencanaan, pelaksanaan layanan program pendidikan keterampilan di Rumah Pintar Pijoengan, 2) bentuk evaluasi dan

Salah satu masalah dalam operasi penambangan nikel laterit adalah adanya perubahan elevasi lapisan atas bijih (top ore) dan lapisan bawah bijih (bottom ore) endapan nikel laterit

Water Birth merupakan salah satu metode alternatif persalinan pervaginam, dimana Water Birth merupakan salah satu metode alternatif persalinan pervaginam, dimana ibu

The greedy algorithm can clearly be applied recursively, so if we use the full maximum likelihood Boltzmann machine learning algorithm to learn each set of tied weights and then

Menetapkan

Jika Anda inginanak Anda menghadiri sekolah menengah setempat tersebut yang ditetapkan, silakan mengisi nama sekolah, tandatangani bagian B SAJA dan kembalikan formulir tersebut

Sahabat MQ/ pentingnya kerjasama yang sinergi antara para konsumen yang mendapat pelanggaran tersebut/ dengan pihak-pihak yang berani memperjuangkan hak-hak konsumen

nugget apel adalah penjual memberikan ide menu makanan baru dengan bahan nugget apel pada restoran tersebut sehingga supplier dari restoran tersebut mau