• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

1

600/DR.23/SP/DCKP/ DS/2015)

TESIS

OLEH : WINNI UTARI

157011057

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

(2)

ABSTRAK

Pada kontrak kerja konstruksi Pembangunan Drainase Desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, pada Pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa, penyedia jasa berkewajiban untuk memulai pelaksanaan pekerjaan pada tanggal mulai kerja, dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan program mutu, serta menyelesaikan pekerjaan selambat-lambatnya pada tanggal penyelesaian yang ditetapkan dalam surat perintah mulai kerja, namun dalam pelaksanaannya penyedia jasa tidak mampu menyelesaikan sampai akhir masa kontrak sehingga terjadi pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak oleh pengguna jasa.

Berdasarkan permasalahan ini maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor yang menyebabkan putusnya kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang, bagaimanakah mekanisme pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang dan apakah konsekuensi hukum dari pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang.

Teori yang digunakan dalam Tesis ini adalah teori keadilan dan teori kepastian hukum, metode penelitian yang digunakan yaitu kombinasi antara penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis dan beracuan kepada peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum serta buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian dan bentuk hasil wawancara sebagai data utama untuk melihat implementasi atau pelaksanaan dari pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemutusan kontrak kerja konstruksi terjadi karena penyedia jasa melakukan wanprestasi dalam melaksanakan pekerjaan, dalam bentuk keterlambatan penyelesaian pekerjaan, jangka waktu yang kurang dan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak kerja konstruksi. Penyedia jasa tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Mekanisme pemutusan kontrak kerja konstruksi sudah sampai tahapan penanganan kontrak kritis dan telah dilakukan show cause meeting I dan II, penyedia jasa telah diberikan kesempatan penambahan waktu 50 (lima puluh) hari kalender untuk menyelesaikan pekerjaan namun penyedia jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam kontrak sehingga terjadi pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak oleh pengguna jasa. Konsekuensi yang timbul akibat pemutusan kontrak kerja konstruksi ialah, penyedia jasa dikenakan sanksi berupa jaminan pelaksanaan dicairkan, sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia jasa atau jaminan uang muka dicairkan dan pnyedia barang/jasa membayar denda namun dalam penyelesaiannya terjadi keterlambatan, pencairan uang jaminan pelaksanaan seharusnya jaminan tersebut dicairkan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari namun pada kenyataannya jaminan pelaksanaan dibayar setelah 5 (lima) bulan pihak penerima jaminan mengklaimnya. Sama hal nya sisa jaminan uang muka dan denda dibayar selama 6 (enam) bulan dibayarkan dengan cara dicicil.

Kata Kunci : Wanprestasi, Kontrak Kerja Konstruksi, Pemutusan Kontrak

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat, hidayah, karunia, dan ridho-Nya lah akhirnya penulis mampu menyelesaikan tesis serta pendidikan di sekolah Pasca sarjana program studi Magister Kenotariatan (M.Kn) ini.

Tiada henti-hentinya penulis selalu mengucapkan rasa syukur kepada Allah S.W.T, yang telah memberikan penulis kesempatan untuk dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis yang berjudul “PEMUTUSAN

KONTRAK AKIBAT WANPRESTASI PADA KONTRAK KERJA

KONSTRUKSI DRAINASE DI TANJUNG GUSTA KABUPATEN DELI SERDANG (STUDI KASUS ATAS KONTRAK NOMOR 600/DR.23/SP/

DCKP/ DS/2015)” serta shalawat beriring salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad S.A.W yang telah membawa manusia dari zaman Jahiliah ke zaman Islamiah, sehingga manusia dapat mengenal kebaikan, dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta mengajarkan manusia untuk mengenal Allah sang pencipta kehidupan dan kematian.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan untuk penyempurnaan tesis ini.

Pada kesempatan ini, tidak lupa dengan segala hormat penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang yang telah berjasa tiada batasnya yang selalu mencurahkan kasih dan sayang tanpa pamrih, mensuport tanpa imbalan dan henti-hentinya, membantu tanpa mengharapkan balasan, berjuang dalam mendidik, membimbing, dan menyemangati tanpa batas adalah orang tua penulis yaitu : Ir. Safwin dan Arnita, penulis ucapkan jutaan terimakasih kepada orang tua, semoga setiap amalan kebaikan yang penulis lakukan juga dicatatkan untuk kedua orang tua dan adik penulis, Aamiin ya rabbal Alamin.

Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini juga tiada kesempurnaan tanpa adanya bimbingan, masukan, kritikan dan arahan-arahan para pembimbing dan

(5)

para penguji, dan oleh karena itu penulis ucapkan terimakasih sebanyak- banyaknya kepada para pembimbing, yakni Bapak Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Edi Ikhsan, S.H., M.Hum, selaku anggota komisi pembimbing, dan Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum, selaku anggota komisi pembimbing, serta para penguji yaitu Bapak Dr. Dedi Harianto S.H., M.Hum,selaku dosen penguji tesis dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum, selaku dosen penguji tesis.

Selanjutnya penulis ucapkan terimakasih juga kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. T. Keizerina Devi A. SH.,CN.,M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para Professor dan Guru Besar serta Staff Pengajar dan juga kepada seluruh Karyawan Biro Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dinas Cipta Karya dan Pertambangan Kabupaten Deli Serdang dan PT. SSW yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai.

6. dr. Muhammad Rasyid Ridho, yang telah memberikan bantuan dan motivasinya dalam penulisan tesis ini, serta kepada keluarga terbaik lainnya, Erwinsyah, Rohani Eliani, Virdha Sagita, Irwansyah, Ryan Febri dan M. Akbar yang selalu memberikan semangat dan doanya.

7. Kepada teman-teman seperjuangan stambuk 2015, khususnya Group C stambuk 2015 yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam berdiskusi mengenai perkuliahan dan saling memberi dukungan.

8. Kepada teman-teman berkumpul dan berdiskusi seperjuangan, yakni : Sofia Anggarani, Indri Handayani, Tiesa Saleh, Derrie Chandra, telah

bersedia selalu saling membantu dalam hal apapun.

(6)

9. Sahabat-sahabat terbaik Mutia Ramadhani, Sonia Anggarani, Vina Poetry lubis, Luthfia Ikhwana, Martina Indah Amalia, drg. Ridzky Fanisah yang selalu mendukung dalam doa, dan mensuport tanpa henti.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dan berguna baik bagi penulis, bagi Perseroan, bagi Notaris, dunia Akademik, dan seluruh pihak yang berkaitan dengan bidang Kenotariatan.

Medan, 21 Agustus 2017i 2015

Winni Utari

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS DIRI

Nama : Winni Utari

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 12 Mei 1992

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Alamat : Komplek Johor Indah Permai II Blok B

Nomor 23, Medan

Nama Ayah : ir. Safwin

Nama Ibu : Arnita

Nama Adik : Nayla Khalisah

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : Keumala Bhayangkari I, Medan Sekolah Menengah Pertama : Harapan 2, Medan

Sekolah Menengah Atas : SMAN 1, Medan

Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala,

Banda Aceh

Perguruan Tinggi (S2) : Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan

(8)

DAFTAR ISTILAH

Three Parties Agreement : Kesepakatan atau melibatkan pihak ketiga Show Cause Meeting : Rapat Pembuktian

Force Majeure : Keadaan kahar

E-Purchasing : Tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik

Bank Guarantee : Garansi Bank Dienstverhouding : Hubungan diperatas

Bouwheer : Pemilik pekerjaan

Gesetzliches Recht : Perundang-undangan

Quo : Lebih

Fair : Adil

Unit Price : Harga Satuan

(9)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APIP : Aparat Pengawasan Intern Pemerintah DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran DRM : Daftar Rekanan Mampu

GEL : Golongan Ekonomi Lemah HPS : Hasil Perkiraan Sendiri IKP : Instruksi Kepada Penyedia Jamkrindo : Jaminan Kredit Indonesia KUR : Kredit Usaha Rakyat

K/L/D/I : Kementrian/Lembaga/satuan kerja perangkat Desa/Institusi KPA : Kuasa Pengguna Anggaran

KPPN : Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

LKPP : Lembaga Kebijakan Pengadaan barang jasa Pemerintah PA : Pengguna Anggaran

PHO : Provisional Hand Over

PPTK : Pejabat Pembuat Tekhnis Komitmen PPK : Pejabat Pembuat Komitmen

RKS : Rencana Kerja dan Syarat-syarat SCM : Show Cause Meeting

Satker : Satuan Kerja

SPM-LS : Surat Perintah Membayar- Langsung

(10)

SP2D : Surat Perintah Pencairan Dana SPMK : Surat Perintah Mulai Kerja SSUK :Syarat- Syarat Umuk Kontrak SSKK : Syarat- Syarat Khusus Kontrak

SPPBJ : Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa ULP : Unit Layanan Pengadaan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISTILAH... vii

DAFTAR SINGKATAN... viii

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 13

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Kerangka Konsepsi... 25

G. Metode Penelitian... 27

1. Jenis dan Sifat Penelitian…..………... 27

2. Sumber Data Penelitian….………... 28

3. Teknik Pengumpulan Data………... 30

4. Alat Pengumpulan Data... 31

5. Analisis Data……...………... 32

(12)

BAB II FAKTOR YANG MENYEBABKAN PUTUSNYA KONTRAK KERJA KONSTRUKSI SECARA SEPIHAK PADA PEKERJAAN DRAINASE DI TANJUNG GUSTA KABUPATEN DELI SERDANG... 34 A. Kontrak Kerja Konstruksi dalam Hukum Perjanjian... 34 B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Kontrak

Kerja Konstruksi ... 41 C. Pengertian dan Pengaturan Wanprestasi Kontrak Kerja

Konstruksi... 48 D. Faktor yang Menyebabkan Putusnya Kontrak Kerja Konstruksi

Secara Sepihak Pada Pekerjaan Drainase Di Tanjung Gusta

Kabupaten Deli Serdang ... 54 BAB III MEKANISME PEMUTUSAN KONTRAK KERJA

KONSTRUKSI SECARA SEPIHAK PADA PEKERJAAN DRAINASE DI TANJUNG GUSTA KABUPATEN DELI SERDANG... 66 A. Penyelenggaraan Kontrak Kerja Konstruksi Berdasarkan

Hukum Perjanjian di Indonesia... 66 B. Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi ... 71 C. Mekanisme Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi Secara

Sepihak Pada Pekerjaan Drainase Di Tanjung Gusta

Kabupaten Deli Serdang... 81 BAB IV KONSEKUENSI HUKUM DARI PEMUTUSAN

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI SECARA SEPIHAK PADA PEKERJAAN DRAINASE DI TANJUNG GUSTA KABUPATEN DELI SERDANG... 93 A. Konsekuensi Hukum dari Wanprestasi... 93 B. Konsekuensi Hukum Dari Pemutusan Kontrak Kerja

Konstruksi Secara Sepihak Pada Pekerjaan Drainase Di

Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang... 98 C. Analisis HukumTeori Keadilan dan Teori Kepastian Hukum... 116 BAB V KESIMPULAN dan SARAN... 120

A. Kesimpulan... 120

(13)

B. Saran... 121 DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara berkembang seperti Indonesia, saat ini cukup sarat dengan pembangunan fisik maupun non fisik, hasil pembangunan tampak dari antara lain semakin banyaknya gedung bertingkat, semakin baiknya sarana infrastruktur jalan dan jembatan, dibangunnya berbagai sarana irigasi dan bendungan serta sarana prasarana lainnya. Tentunya hasil pembangunan tersebut merupakan buah dari suatu proses yang panjang dan kerja keras antara pemerintah dan masyarakat jasa konstruksi dengan tidak melupakan peran serta masyarakat umum secara luas. Untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi bangunan-bangunan tersebut diperlukan suatu bentuk perikatan tertulis.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis1

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

1 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 1987, (selanjutnya disingkat R. Subekti I), hal. 30.

(15)

terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini dibagi dalam tiga macam, yaitu:2

1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, yaitu perjanjian yang mana salah satu pihak menghendaki dari pihak lawan untuk dilakukannya suatu pekerjaan berupa jasa tertentu yang merupakan suatu keahlian, untuk mencapai suatu tujuan yang mana dia bersedia membayar upah sedangkan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan tersebut. Misalnya, hubungan antara dokter dengan pasien, hubungan antara advokat dengan klien, dan lain bentuk usaha-usaha jasa lainnya.

2. Perjanjian kerja/perburuhan, yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu “hubungan diperatas” (dienstverhouding), yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh orang lain.

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disangggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Bagaimana cara pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkannya kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

Perbedaan antara perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perjanjian jual beli, karena kedua perjanjian hampir tidak jelas batasnya. Jika objek dari perjanjian/setidak-tidaknya objek pokok adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk) maka itu adalah perjanjian pemborongan, sedangkan jika objeknya berupa penyerahan dari suatu barang, sekalipun pada waktu perjanjian dibuat barangnya masih harus diproduksi, maka itu adalah suatu perjanjian jual beli. Selain itu, perjanjian pemborongan pekerjaan juga harus dibedakan dengan perjanjian kerja, karena dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tidak ada

2 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, (selanjutnya disingkat R. Subekti II), hal. 57.

(16)

subordinasi antara pihak yang mengikatkan dirinya, yang mana hal ini berbeda dengan perjanjian kerja seperti antara buruh dengan majikan.3

Perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah tidaklah berbeda dengan perjanjian pemborongan pekerjaan pada umumnya. Perbedaan terdapat pada pihak yang memborongkan pekerjaan dan juga prosedur atau tahapan dalam pemborongan. Ketentuan tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemerintah banyak diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.4

Pada dasarnya setiap instansi pemerintah dapat mengadakan perjanjian pemborongan pekerjaan atau pengadaan barang/jasa dengan kontraktor.

Pemborongan pekerjaan antara pemerintah dengan kontraktor biasanya lebih sering dilakukan dengan tender, berbeda dengan pihak swasta yang lazimnya lebih memilih melakukan negosiasi. Di Indonesia sendiri masalah pemborongan pekerjaan dan pengadaan barang/jasa dengan pemerintah lebih banyak dikaitkan dengan Kementrian Pekerjaan Umum.5

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 17 dinyatakan bahwa cara

3 FX. Djumialdji, Hukum Bangunan: Dasar-dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, (selanjutnya disingkat FX. Djumialdji I), hal. 4.

4 www.landasanteori.com, “Pengertian Kontrak Konstruksi Definisi Hak Dan Kewajiban Para Pihak serta Proses Terjadinya Pengaturan Hukum”, diakses 10 April 2017, pukul 14.00 WIB.

5 Ibid.,

(17)

memborongkan proyek dapat dilakukan dengan 4 (empat) macam cara pengadaan barang/jasa yaitu:

1. Pelelangan Umum

Pelelangan yang dilakukan dengan mengumumkan secara luas melalui media masa secara terbuka, sehingga masyarakat luas/dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Semua pemilihan penyediaan barang/jasa lainnya pada prinsipnya dilakukan dengan pelelangan umum.

2. Pelelangan Terbatas

Pelelangan untuk pekerjaan tertentu yang dilakukan diantara pemborong/rekanan yang dipilih dari pemborong/rekanan yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) sesuai dengan bidang usaha atau ruang lingkupnya atau klasifikasi kemampuannya. Ketentuan yang berlaku bagi pelelangan terbatas sama dengan ketentuan berlakunya pelelangan umum sepanjang dalam pelelangan terbatas tidak diatur tersendiri atau secara lain. Untuk pekerjaan yang kompleks dan jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan yang diyakini terbatas, maka pemilihan penyediaan barang/jasa dapat dilakukan dengan metode pelelangan terbatas.

3. Pemilihan Langsung

Penunjukan pemborongan/rekanan sebagai pelaksana pemborongan tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas, pemilihan langsung dilakukan dengan membandingkan sekurang- kurangnya 3 (tiga) penawar dari pemborong/rekanan yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM). Pemilihan langsung dapat dilaksanakan untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)

4. Pengadaan Langsung

Pengadaan langsung adalah pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dilakukan pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah (GEL), tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas atau pemilihan langsung.

Nilai proyek untuk pengadaan langsung adalah berkisar antara Rp.

5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun lisan.

Dalam praktek, apabila perjanjian pemborongan menyangkut biaya yang besar,

(18)

biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis. Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu sebagai berikut:6

1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian semacam ini hanya mengikat para pihak dalam perjanjian tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak ketiga.

Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal oleh pihak ketiga, maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian tersebut berkewajiban untuk mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga adalah tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan 2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.

Istilah pemborongan dan konstruksi mempunyai keterikatan satu sama lain. Istilah pemborongan memiliki cakupan yang lebih luas dari istilah konstruksi. Hal ini disebabkan karena istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang dibangun tersebut bukan hanya konstruksinya, melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan istilah hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Jadi dalam hal ini istilah konstruksi dianggap sama, karena mencakup keduanya yaitu ada konstruksi (pembangunannya) dan ada pengadaan barangnya dalam pelaksanaan pembangunan7

Perikatan tertulis antara pengguna jasa (pemilik proyek/pemberi tugas) dan penyedia jasa (konsultan perencana/kontraktor pelaksana/konsultan pengawas).

mengenai kegiatan industri jasa konstruksi inilah yang dikenal dengan istilah

6 Muhammad Zaki, “Wanprestasi dalam Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi melalui penunjukan langsung di Kabupaten di Aceh Besar oleh BRR NAD-NIAS ”, repository.usu.ac.id, diakses 8 Januari 2017, Pukul 21.00 WIB.

7 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Adtya Kartini, Bandung, 1998, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), hal.12.

(19)

kontrak kerja konstruksi.8 Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.

Dalam kontrak konstruksi, sebagaimana kontrak pada umumnya akan menimbulkan hubungan hukum maupun akibat hukum antara para pihak yang membuat perjanjian. Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban diantara para pihak. Momentum timbulnya akibat itu adalah sejak ditandatanganinya kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam kontrak konstruksi adalah: 9

1. Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa;

2. Adanya objek, yaitu konstruksi;

3. Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

Jasa konstruksi adalah sebuah sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Jasa konstruksi ini meliputi semua pekerjaan

8 Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak konstruksi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 1.

9 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, (selanjutnya disingkat Salim H.S I), hal. 91.

(20)

konstruksi dari mulai perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan.10 Menurut Salim H.S, para pihak dalam kontrak kerja konstruksi, yaitu: 11

1. Pengguna jasa ialah, mempunyai hubungan dengan para perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi

2. Penyedia jasa terdiri atas, perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi. Masing-masing penyedia jasa ini harus terdiri dari orang perorangan atau badan usaha yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Pihak-pihak atau peserta yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 7 Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Perpres No. 4 Tahun 2015) tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah sebagai berikut :

1. PA/KPA

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementrian/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada institusi lain Pengguna APBN/APBD. Sedangkan Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah Pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapka oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.

2. PPK

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang ditetapkan PA/KPA untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

3. ULP/Pejabat Pengadaan

Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Sedangkan Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan pengadaan barang/jasa.

4. Panitia/ Pejabat Penerima Hasil

Pekerjaan Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.

10 Bima Sakti Nusantara, ”Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Milik Pemerintah”, repository.uii.ac.id, diakses 8 Januari 2017, pukul 22.00 WIB.

11 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Graha, Jakarta, 2003, (selanjutnya disingkat Salim H.S II), hal. 95.

(21)

5. Penyedia Barang/Jasa

Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultasi/Jasa Lainnya.

Awal adanya suatu pekerjaan konstruksi tersebut yaitu ketika adanya suatu lelang yang terbuka secara umum yang diadakan oleh suatu dinas ataupun lembaga negara yang diwakili oleh panitia pengadaan yang diikuti oleh berbagai peserta lelang dan dimenangkan oleh salah satu penyedia jasa yang ikut dalam pelelangan tersebut.12

Kontrak kerja konstruksi tersebut memberi pengaturan bahwa dalam menjalankan pekerjaannya setiap penyedia jasa harus berpedoman pada kontrak kerja konstruksi yang telah ditandatangani tersebut. Dalam pembuatan kontrak kerja konstrusksi tersebut dibuat oleh pejabat pembuat komitmen yaitu kepala kantor atau satuan kerja sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pengadaan jasa dalam lingkungan kantor atau proyek tertentu.13

Setiap pembuatan kontrak kerja konstruksi, penyedia jasa tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kontrak kerja konstruksi. Setiap pengaturan yang ada dalam isi kontrak tersebut ditentukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tersebut. Dengan demikian apapun yang ditentukan dalam kontrak tersebut penyedia jasa harus patuh.14

Pada umumnya posisi penyedia jasa selalu lebih lemah daripada posisi pengguna jasa. Dengan kata lain posisi pengguna jasa lebih dominan daripada posisi penyedia jasa. Penyedia jasa hampir selalu harus memenuhi konsep/draft kontrak yang dibuat pengguna jasa karena pengguna jasa selalu menempatkan

12 Bima Sakti Nusantara, Op.cit, hal. 2.

13 Ibid, hal. 4.

14 Ibid,

(22)

dirinya lebih tinggi dari penyedia jasa. Mungkin hal ini diwarisi dari pengertian bahwa dahulu pengguna jasa disebut Bouwheer (majikan bangunan) sehingga sebagaimana biasa “majikan” selalu lebih “kuasa”. Hal ini terjadi pada masa lalu sampai sekarang.15

Kegiatan konstruksi tidak selamanya berjalan lancar, karena dalam prakteknya untuk melaksanakan pekerjaan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak antara pengguna jasa dan penyedia jasa, banyak sekali masalah dan kendala yang harus dilalui untuk pemenuhan prestasi. Pada dasarnya kontrak harus dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan itikad baik, namun dalam kenyataannya sering sekali salah satu pihak tidak melaksanakan substansi kontrak, walaupun mereka telah diberikan somasi sebanyak tiga kali berturut-turut.

Salim H.S mengatakan bahwa :

Jika salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lainnya dapat memutuskan kontrak itu secara sepihak. Pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak merupakan salah satu cara untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak pengguna jasa menghentikan berlakunya kontrak yang dibuat dengan penyedia jasa, walaupun jangka waktunya belum berakhir. Ini disebabkan penyedia jasa tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.16

Berdasarkan Pasal 1611 KUH Perdata dinyatakan bahwa:

Pihak yang memborongkan, jika dikehendakinya demikian, boleh menghentikan pemborongannya, meskipun pekerjaannya telah dimulai, asal ia memberikan ganti rugi sepenuhnya kepada si pemborong untuk segala biaya yang telah dikeluarkannya guna pekerjaannya serta untuk keuntungan yang terhilang karenanya. Artinya, dalam kontrak kerja konstruksi pihak pengguna jasa diberi hak untuk memutuskan kontrak kerja konstruksi secara sepihak dengan memberikan ganti rugi.

15 Nazarkhan Yasin , Op.cit, hal. 13.

16 Salim H.S I, Op.cit, hal. 178.

(23)

Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Perpres No. 4 Tahun 2015) tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 93 ayat (1) dinyatakan bahwa :

1) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat memutuskan kontrak secara sepihak, apabila:

a) Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak:

a.1. Berdasarkan penelitian PPK, penyedia barang/jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan a.2. Setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai

dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, penyedia barang/jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan

b) Penyedia barang/jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan

c) Penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang dan/atau

d) pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

1a) Pemberian kesempatan kepada Penyedia Barang/Jasa menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari Kalender, sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.1 dan huruf a.2, dapat melampaui Tahun Anggaran.

Di Provinsi Sumatera Utara terdapat 24 (dua puluh empat) jumlah paket yang terjadi pemutusan kontrak kerja konstruksi pada tahun 2014-2016.17 Hal tersebut juga terjadi pada paket pekerjaan Pembangunan Drainase Desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015. Perjanjian pemborongan yang dilakukan antara Dinas Cipta Karya

17 www.inaproc.lkpp.go.id, “Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” diakses 15 Januari 2017, pukul 10.00 WIB.

(24)

dan Pertambangan Kabupaten Deli Serdang dengan PT. SSW dimana dalam perjanjian pemborongan PT. SSW mengikuti proses pelelangan umum proyek pembangunan drainase Desa Tanjung Gusta Kecamatan Medan Sunggal sah menurut hukum pada tanggal 8 September 2015, PT. SSW melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak kerja konstruksi nomor: 600/DR.23/SP/

DCKP/DS/2015 pada tanggal 9 Nopember 2015 dengan anggaran Rp.

1.989.091.000,- (satu milyar sembilan ratus delapan puluh sembilan juta sembilan puluh satu ribu rupiah) sah dan mengikat sejak tanggal 9 November 2015 - 28 Desember 2015.

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dinyatakan bahwa, penyedia jasa berkewajiban untuk memulai pelaksanaan pekerjaan pada tanggal mulai kerja, dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan program mutu, serta menyelesaikan pekerjaan selambat-lambatnya pada tanggal penyelesaian yang ditetapkan dalam surat perintah mulai kerja, dimana waktu penyelesaian pekerjaan dihitung sejak tanggal yang tercantum dalam Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), adalah 50 hari kalender (9 Nopember 2015 - 28 Desember 2015), namun penyedia jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang telah ditetapkan maka pada tanggal 21 Desember 2015 dibuatnya adendum kontrak kerja konstruksi dimana kontrak diperpanjang 50 (lima puluh) hari sampai dengan tanggal tanggal 16 Februari 2016, dan pada tanggal 16 Februari 2016 hasil pekerjaan penyedia jasa masih sebesar 16,14% (enam belas koma satu empat persen) maka diputus kontrak secara sepihak oleh Dinas Cipta Karya dan Pertambangan Kabupaten Deli Serdang dari pihak penyedia barang dan jasa lalai atau cidera janji dalam

(25)

melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan di dalam kontrak hingga terjadi pemutusan kontrak, oleh karena itu dianggap penting untuk mengangkat permasalahan yang tidak sesuai antara isi kontrak dengan yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan latar belakang tersebut menarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai “Pemutusan Kontrak Akibat Wanprestasi Pada Kontrak Kerja Konstruksi Drainase Di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang (studi kasus atas kontrak nomor 600/DR.23/SP/DCKP/ DS/2015)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah faktor yang menyebabkan putusnya kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang?

2. Bagaimanakah mekanisme pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang?

3. Apakah konsekuensi hukum dari pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian

(26)

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan putusnya kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang

2. Untuk mengetahui dan menganalis pelaksanaan mekanisme pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang

3. Untuk mengetahui dan menganalisis konsekuensi hukum dari pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak pada pekerjaan drainase di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan mendukung teori yang telah ada, dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum dikhususkan pada bidang hukum kontrak terkait dengan Kontrak Kerja Konstruksi

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berarti dalam kajian Hukum Perdata, dan dapat pula digunakan sebagai tambahan informasi bagi pihak instansi Pemerintah dan Swasta, akademisi, serta masyarakat pada umumnya, yang tertarik dengan masalah ini, untuk

(27)

melakukan penelitian atau pengembangan yang lebih baik di masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada kepustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pasca Sarjana Studi Magister Kenotariatan, diketahui bahwa penelitian tentang “Pemutusan Kontrak Akibat Wanprestasi Pada Kontrak Kerja Konstruksi Drainase Di Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang (studi kasus atas kontrak nomor 600/DR.23/

SP/DCKP/DS/2015)” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, maka tesis ini dapat dinyatakan keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Penelitian serupa yang pernah dilakukan namun berbeda rumusan masalahnya adalah, sebagai berikut:

1. Indra SB Simatupang, NIM: 017011028/M.Kn, “Kedudukan Para Pihak dalam Kontrak Pemborongan Bidang Konstruksi Proyek Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu ”, dengan substansi permasalahan :

a. Bagaimanakah kedudukan para pihak dalam kontrak pemborongan bidang konstruksi?

b. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya cedera janji dalam kontrak pemborongan bidang konstruksi?

c. Upaya-upaya apakah yang akan diambil bila salah satu pihak dalam kontrak bidang konstruksi terjadi cedera janji?

(28)

2. Laila Hayati Aulia, NIM: 097011020/M.Kn “Akibat Hukum dari Wanprestasi dalam Perjanjian Pekerjaan Konstruksi yang Dilaksanakan Kontraktor” dengan substansi permasalahan :

a. Bagaimanakah Prinsip Perlindungan Hukum Kepada Pihak yang Dirugikan dalam Perjanjian Pekerjaan Konstruksi?

b. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Apabila di dalam Klausula Kontrak Mengenyampingkan Pasal 1266 KUH Perdata?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata teoritik, dapat didefinisikan adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.18

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan ataupun pegangan teoritis dalam suatu penelitian.19 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan

18 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 134.

19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

(29)

hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.20

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. Terdapat 3 (tiga) unsur dalam suatu teori yang berfungsi untuk memberikan suatu pengarahan pada suatu penelitian yang dilakukan yaitu : 21

a. Menjelaskan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori.

b. Menganut sistem deduktif, yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata.

c. Memberikan penjelasan atas gejala yang dinyatakannya.

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan fakta-fakta yang menunjukkan ketidakbenaran22. Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan yang paling sedikit mencakup hal-hal berikut :23

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam fakta b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta

c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya

Bagian yang paling penting dalam suatu penelitian adalah kerangka teori, dalam penelitian hukum ini kerangka teori yang digunakan adalah teori kepastian hukum dan teori keadilan dimana dengan menggunakan teori ini diharapkan dapat

20 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Bhineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 23.

21 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal.8.

22 Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta, 1991, hal. 6.

23 Ibid, hal. 121

(30)

menganalisis apakah perbuatan tersebut telah sesuai dengan hukum yang berlaku24. Berikut uraian mengenai kedua hal tersebut:

a. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.

Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada pemikiran positif di dunia hukum, melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum.25

Gustav Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu: Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”.

Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga

24 Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 259.

25 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, (selanjutnya disebut Achmad Ali I), hal. 67.

(31)

menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan.

Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.”26

Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan.

Lon Fuller sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, mengajukan delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan apabila itu tidak dipenuhi, maka hukum tidak dapat memenuhi tujuannya yakni:27

1) Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;

2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

7) Tidak boleh sering diubah-ubah;

8) Harus ada kesesuaian antara peraturan-peraturan dan pelaksanaan sehari- hari.

Berdasarkan teori kepastian hukum, maka dalam kepastian hukum terkandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir, tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat dilaksanakan.

Berdasarkan dari teori kepastian hukum ini maka kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 1266 KUH Perdata dapat diuraikan dan ditemukan solusinya.

Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yakni pertama kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan

26Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, (selanjutnya disebut Achmad Ali II), hal. 293.

27 Ibid, hal.294.

(32)

satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya.28

Kepastian hukum bukan hanya hukum tertulis, yang berupa pasal-pasal dalam undangan-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam suatu putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus. Sehingga secara tidak langsung teori kepastian hukum berguna untuk menjamin adanya aturan yang bersifat umum yang membuat manusia tahu mana yang benar dan mana yang salah, yang dapat memberikan jaminan kepada manusia akan adanya kepastian terhadap pelaksaan hukum itu sendiri.29

Teori Kepastian Hukum dikembangkan oleh Rene Descrates, seorang filsuf dari Prancis. Rene Descartes berpendapat suatu kepastian hukum dapat diperoleh dari metode sanksi yang diberlakukan kepada subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum yang lebih menekankan pada proses orientasi proses pelaksanaan bukan pada hasil pelaksanaan. Kepastian memberikan kejelasan dalam melakukan perbuatan hukum saat pelaksanaan kontrak dalam

28 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT.Alumni, Bandung, 2004, hal. 117.

29 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, 2008, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158.

(33)

bentuk prestasi bahkan saat kontrak tersebut wanprestasi. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum. Asas kepastian hukum mengandung arti, sikap atau keputusan pejabat administrasi negara yang manapun tidak boleh menimbulkan Ketidakadilan hukum.30 Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.31

Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti digunakan untuk mengatur secara jelas dan logis suatu hal. Jelas tidak menimbulkan keragu-raguan dan logis dalam artian bahwa ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma, kekosongan norma ataupun adanya kekaburan norma. Menurut Gustaf Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada tiga hal yaitu kepastian hukum, keadilan dan daya guna.32 Kepastian kata dasarnya adalah pasti, yang memiliki arti suatu hal yang sudah tentu, sudah tetap dan tidak boleh tidak.

30 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 88.

31 Ibid,

32 O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Semarang, 2011, hal.70.

(34)

Theo Huijber mengenai kepastian hukum mengemukakan bahwa, pengertian hukum dapat dibedakan menjadi tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek pertama adalah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua adalah tujuan keadilan atau finalitas dan aspek yang ketiga adalah kepastian hukum atau legalitas.33

Menurut Peter Mahmud Marzuki berkaitan dengan pengertian kepastian hukum dikemukakan sebagai berikut:34

1) Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan

2) Keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.

Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum diberikan oleh M. Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan di dalam masyarakat demi terciptanya ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan setiap anggota masyarakat akan bertindak main hakim sendiri.35

Agar hukum dapat berlaku dengan sempurna dan menjamin kepastian hukum, maka diperlukan tiga nilai dasar tersebut. Kepastian hukum dengan demikian berkaitan dengan kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan

33 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal.

163.

34 Peter Mahmud Marzuki I, Op. Cit, hal. 158.

35 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta , 2006, (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), hal. 76.

(35)

terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah.36

Dalam jasa konstruksi terdapat dua pihak yang mengadakan hubungan kerja berdasarkan hukum, yakni Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 1 angka 5 dan angka 6 tercantum mengenai pengertian dari Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa, bahwa:

1. Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi.

2. Penyedia jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi

Untuk menjamin kepastian hukum dari suatu proyek jasa konstruksi tentunya diperlukan kontrak secara tertulis yang disebut dengan kontrak konstruksi. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338, Kontrak Konstruksi dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:37

1) Versi Pemerintah

Biasanya tiap Departemen memiliki standar sendiri. Standar yang biasa dipakai adalah standar Departemen Pekerjaan Umum. Bahkan Departemen Pekerjaan Umum memiliki lebih dari satu standar karena masing-masing Direktorat Jendral mempunyai standar tersendiri.

2) Versi Swasta Nasional

Versi ini beraneka ragam sesuai selera Pengguna Jasa/Pemilik Proyek.

Terkadang mengutip standar Departemen atau yang sudah lebih maju

36 Ida Ayu Gita Srinita dan Gede Putra Ariana, “Hubungan Hukum Perusahaan Lembaga Pembiayaan Infrastruktur Dengan Perusahaan Jasa Konstruksi”, ojs.unud.ac.id, diakses 12 Februari 2017, pukul 12.00 WIB.

37 Ibid,

(36)

mengutip sistem Kontrak Luar Negeri seperti FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels), JCT (Joint Contract Tribunals) atau AIA (American Institute of Architects). Namun karena hanya mengutip sebagian saja, maka kontrak versi ini menjadi tidak karuan dan sangat rawan sengketa.

3) Versi/Standar Swasta/Asing

Umumnya para Pengguna Jasa/Pemilik Proyek Asing menggunakan Kontrak dengan sistem FIDIC atau JCT.

b. Teori Keadilan

Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls bertitik tolak pada terma Posisi Asali yaitu status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai adalah fair.38 Semua orang mempunyai hak yang sama dalam prosedur memilih prinsip; setiap orang bisa mengajukan usulan, menyampaikan penalaran mereka, dan lain-lain.39

Dalam konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Salah satu prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh Rawls yaitu prinsip the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang, maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak).40

38 John Rawls, A Theory of Justice: Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 19.

39 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal. 21.

40 Ibid.,

(37)

Menurut Agus Yudha Hernoko, the greatest equal principle adalah

“prinsip kesamaan hak” yang merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang. Prinsip ini merupakan roh dari asas kebebasan berkontrak.41

Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Rawls berintikan pada “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan hak bagi setiap orang. Kesetaraan yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa asas yang melandasi pengaturan jasa konstruksi adalah antara lain asas keadilan dan keseimbangan. Selain itu, dalam Pasal 3 b Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa salah satu tujuan pengaturan jasa konstruksi adalah untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. kontrak baku (standard contract) tersebut menghilangkan hak dari pihak Penyedia Jasa untuk mengadakan negosiasi pada saat pembentukan kontrak, sehingga posisi para pihak tidak setara. Pihak Penyedia Jasa hanya dapat memilih antara dua: menerima atau menolak Kontak Kerja Konstruksi yang telah dirumuskan oleh pengguna jasa terlebih dahulu.

Dalam konteks ini, Teori Keadilan yang berintikan “justice as fairness”

terejawantahkan dalam Pasal 2 dan 3 UU Nomor 2 Tahun 2017 Perubahan Kedua

41 Ibid.,

(38)

atas UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mengenai kesetaraan kedudukan antara pihak Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa. Namun dalam kenyataannya, terjadi kesenjangan antara pengaturan mengenai pembentukan Kontrak Kerja Konstruksi (das sein) dan praktek pembentukan Kontrak Kerja Konstruksi (das sollen) karena Kontrak Kerja Konstruksi sudah dibentuk terlebih dahulu oleh Pengguna Jasa, sehingga tidak mengakomodasi kesetaraan kedudukan tersebut.

Kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat membuat analisis penelitian ini dapat menjadi lebih tajam sehingga dapat menjabarkan lebih jelas mengenai fakta-fakta yang terjadi di masyarakat mengenai apa yang benar dan apa yang tidak menurut hukum itu sendiri.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan pernulis. Konsep dasar yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini, antara lain:

a. Perjanjian adalah persetujuan yang terbentuk dari suatu perbuatan antar satu pihak atau lebih mengikatkan diri terhadap pihak lain atau lebih. Dari peristiwa ini timbullah hubungan antar para pihak tersebut yang disebut dengan perikatan. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa perjanjian menerbitkan perikatan antara para pihak yang membuatnya.42

42 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

(39)

b. Pemutusan Kontrak adalah penghentian kontrak dilakukan bilamana para pihak cidera janji dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur di dalam kontrak.43

c. Wanprestasi adalah suatu bentuk tidak terlaksananya suatu perjanjian dengan baik akibat dari kelalaian salah satu pihak. Wanprestasi atau yang kadang disebut dengan cidera janji adalah kebalikan dari pengertian prestasi, dalam bahasa inggris sering disebut dengan istilah default atau non fulfillment atau breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut dalam kontrak bersangkutan.

Konsekuensi dari yuridis dari tindakan wanprestasi adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang telah merugikannya, yaitu pihak yang telah melakukan wanprestasi.44 Para sarjana mendefinisikan ingkar janji ke dalam pengertian wanprestasi. Atau ingkar janji menjadi tiga bentuk, yaitu:45

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Terlambat memenuhi prestasi

3) Memenuhi prestasi secara tidak baik, sedangkan prestasi itu sendiri merupakan objek perikatan berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.

43 Pasal 35, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

44 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), hal 17.

45 Ibid. Hal. 17

(40)

d. Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.46

e. Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, perkara yang kecil dapat juga menimbulkan besar daerah - daerah yang menjadi rebutan (pokok pertengkaran).47

f. Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.48

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah kombinasi antara penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, penelitian yuridis normatif menggunakan pendekatan perundang-undangan, yaitu menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai data awal melakukan analisis49 terhadap wanprestasi dalam perjanjian pemborongan kerja milik Pemerintah. Penelitian yuridis empiris menggunakan data primer dalam bentuk hasil wawancara sebagai data utama

46 Salim H.S I, Op.cit, hal. 90.

47 Dendy Sugiono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008, hal. 1142.

48 Pasal 1 ayat (1), Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

49 Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Op.cit, hal. 185.

(41)

untuk melihat implementasi atau pelaksanaan dari pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis tentang wanprestasi dalam kontrak kerja konstruksi milik pemerintah. Sifat penelitian deskriptif analisis, penelitian ini berupaya menggambarkan, menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan wanprestasi dan perjanjian pemborongan kerja dan menjelaskan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi di tataran empiris.

2. Sumber Data Penelitian

Berdasarkan sifat penelitian diatas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

1) Kitab Undang- undang Hukum Perdata

2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Perubahan Kedua atas Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

3) Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(42)

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2016 Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa konstruksi

6) Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

7) Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Pembangunan Drainase Desa Tanjung Gusta Kecamatan Sunggal dengan nomor kontrak : 600/DR.23/SP/DCKP/DS/2015

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum ini meliputi buku teks, jurnal hukum serta referensi lainnya. Bahan hukum sekunder juga memberi penjelasan serta dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang berupa buku dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini.50

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ekslopedia, kamus umum dan lain sebagainya.51 Bahan hukum

50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal. 141.

51 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 113-114.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga ditemukan suatu azas-azas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,

Adapun permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut: Faktor-Faktor apa yang menyebabkan eksekusi objek jaminan fidusia pada Lembaga Pembiayaan Konsumen,

Sistem pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran dapat dilihat pada ketentuan Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)

Kedudukan akta yang dibuat oleh Notaris berkaitan dengan RUPS dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu sebagai akta relaas (akta pejabat) dan akta partij 7 , Menurut Pasal 1 angkat

Didalam hal adanya 2 (dua) penerima jaminan fidusia maka yang lebih didahulukan adalah penerima jaminan fidusia yang mendaftarkan jaminan fidusianya pertama kalinya. 42

Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah Kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal

Kendala yang dialami PPAT dalam melaksanakan perannya turut mengawasi pemungutan BPHTB atas transaksi jual beli hak atas tanah dan bangunan di Kabupaten Samosir antara

Dalam hal laporan pertanggungjawaban tersebut ditolak atau tidak diterima oleh RUPS, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (6) UU Perseroan Terbatas, direksi tersebut