• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Si Pembawa Penyakit INA KABUKI; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 BURU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perempuan Si Pembawa Penyakit INA KABUKI; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 BURU"

Copied!
247
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Perempuan Si Pembawa Penyakit

Ina Kabuki

Rikke Sanggi Jayanti

Muklas Aji Setiawan

Erna Sani Nurlatu

(3)

ii

dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis

Rikke Sanggi Jayanti Muklas Aji Setiawan Erna Sani Nurlatu

Suharmiati

Editor

Suharmiati Desain Cover

Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN

DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

dan

LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)

Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta

Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-03-2

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(4)

iii

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan

Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan

Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)

Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(5)

iv

Digoel dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(6)

v

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan

indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan

menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

(7)

vi

Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(8)

vii KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK

BAB I MENGAPA RISET ETNOGRAFI KESEHATAN? 1.1. Gambaran Studi 1.1.1. Mengapa Etnografi? 1.1.2. Masalah Penelitian 1.1.3. Tujuan Penelitian 1.1.4. Pertanyaan Studi 1.1.5. Desain Studi 1.1.6. Wilayah Studi 1.1.7. Kelemahan Studi 1.2. KajianTerdahulu

BAB II GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU 2.1. Sejarah Pendudukan Buru

2.1.1. Menuju ke Pulau Buru

2.1.2. Namlea: Pusat Pemerintahan dan Pintu masuk Kabupaten

2.1.3. Kayeli dan Pengaruh Ternate-Tidore- Portugis 2.1.4. Pengaruh Pendudukan Jepang

2.1.5. Pulau Buru di Era Kemerdekaan Indonesia 2.1.6. Pulau Buangan; yang Dibuang yang Dikenang 2.1.7. Pulau Buru Era Tahun 1980

v vii x xi xiv 1 1 1 7 8 8 8 9 10 10 11 13 13 14 16 20 22 23 25

(9)

viii

2.3. Penyebaran Permukiman Geba Bupolo: Air Kelahiran 2.4. Sistem Pemerintahan Adat

2.5. Organisasi Ruang dan Waktu Orang Bupolo 2.6. Religi Geba Bupolo : Hindu Adat

2.7. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan 2.8. Titipan: Sistem Pewarisan Pengetahuan 2.9. Bahasa Buru

2.10. Pencarian Geba Bupolo BAB III POTRET KESEHATAN 3.1. Pra Hamil

3.1.1. Remaja Usia 10 Sampai 24 tahun

3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah Hamil 3.2. Hamil

3.2.1 Masa kehamilan 3.3. Persalinan dan Nifas 3.3.1. Menjelang Persalinan 3.3.2. Proses Persalinan 3.3.3. Setelah Persalinan 3.3.4. Masa Nifas

3.4. Menyusui

3.5. Neonatus dan Bayi 3.6. Anak dan Balita

3.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.7.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan 3.7.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita 3.7.3. Memberikan ASI Ekslusif

3.7.4. Mencucu Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.7.5. Memakai jamban Sehat

33 34 37 42 47 51 53 53 63 63 63 77 82 83 88 88 91 95 97 98 100 101 109 109 112 114 115 117

(10)

ix

3.7.8. Tidak Merokok dalam Rumah 3.7.9. Penggunaan Air Bersih

3.7.10. Memberantas Jentik Nyamuk

3.8. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular 3.8.1. Program Penanggulangan Penyakit Malaria 3.8.2. Program Penanggulangan Penyakit TB Paru 3.8.3. Program Penanggulangan Penyakit Pneumoni 3.8.4. Program Penanggulangan Penyakit Kusta 3.8.5. Program Penanggulangan Penyakit Diare 3.8.6. Program Penanggulanaan HIV-AIDS

3.9. Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan 3.9.1 Sarana dan Tenaga Kesehatan

3.10. Health Seeking Behaviour

BAB IV PERSEPSI PENYAKIT MENURUT GEBA BUPOLO 4.1. Dari Permukiman Berpindah Menuju Menetap 4.2. Konsep Penyakit

4.2.1. Wabah Penyakit: Ina Kabuki 4.2.2. Soe: Tuntutan Leluhur

4.2.3. Kitam Mhane: Sumpahan Adat

4.2.4. Rine Buat Rine Hai: Kamu Berbuat Kamu Celaka 4.2.5. Sakit Karena Faktor Biologis

4.3. Pola Penyembuhan Geba Bupolo 4.3.1. Semake/Babeto

4.3.2. Mantra Fufu

4.3.3. Akar-Akaran, Daun dan Kulit Kayu BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 123 125 129 130 132 134 135 136 137 139 141 144 157 163 163 172 173 185 188 194 196 198 198 199 200 203 203

(11)

x

GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA

221 225

(12)

xi

Tabel 1. 1. Kondisi Kesehatan Kabupaten Buru Tahun 2012 Tabel 2. 1. Penyebutan kekerabatan Geba Bupolo dalam

bahasa Buru

Tabel 3. 1. 10 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan di Kabupaten Buru

Tabel 3. 2. 10 Penyakit Terbanyak Tahun 2013

Tabel 3. 3. Daftar Sarana dan Prasarana di Kabupaten Buru

Tabel 4. 1. Nama-Nama Penyakit dalam Bahasa Buru

4 47 131 131 145 183

(13)

xii

Gambar 2.1. Peta Kepulauan Maluku Gambar 2.2. Pasar Namlea

Gambar 2.3. Benteng Defencie atau Lebih Dikenal dengan Nama Benteng Kayeli

Gambar 2.4. Kantor Satuan Pamong Praja Menempati Bangunan Belanda

Gambar 2.5. Sumber Air Bersih di Kampung Jikumerasa Gambar 2.6. Peta kabupaten Buru

Gambar 2.7. Penggolongan Penduduk Buru

Gambar 2.8. Organisasi Waktu menurut Orang Bupolo Gambar 2.9. Tengkorak Keramat di Museum Sewalima Gambar 2.10. Persembahan untuk Orang yang Sudah

Meninggal

Gambar 2.11. Hasil Buruan dan Tombak untuk Berburu Gambar 2.12. Seorang Anak Membawa Jerat

Gambar 2.13. Kandang Babi Gambar 2.14. Babi yang Diliarkan Gambar 2.15 Kebun dan Huwa Hawa Gambar 2.16. Proses Memanen Jagung dan

Mangkausehan

Gambar 2.17. Huma Kerja Gelan (Rumah Kerja Kayu Putih) dan Ketel Kayu Putih

Gambar 3.1. Kegiatan Remaja Bermain “Bekel” dari Batu Kerikil

Gambar 3.2. Pohon Kayu Putih yang Tumbuh di Pegunungan 12 15 17 20 21 27 31 40 44 45 54 56 57 57 58 59 61 64 65

(14)

xiii

yang Biasa Disebut Ketel

Gambar 3.5. Minyak Kayu Putih Keluar dari Ketel

Gambar 3.6. Remaja dan Anak-anak Bermain Sepak Bola Gambar 3.7. Papeda Kasbi

Gambar 3.8. Mangkausehan (Ampas dari Perasan Singkong/Kasbi)

Gambar 3.9. Remaja yang Sedang Berkumpul di Rumah Ibu Desa untuk Berjoget dan Berkumpul

Gambar 3.10. Kegiatan Perempuan Etnik Buru Mencari Kutu

Gambar 3.11. Aktivitas Ibu Hamil

Gambar 3.12. Seorang Ibu Hamil 9 Bulan yang Sedang Membawa “Fodo” Berisi Kayu Bakar

Gambar 3.13. Bambu yang Digunakan untuk Memotong Tali Pusat

Gambar 3.14. Perlengkapan untuk Melakukan Babeto atau Semake

Gambar 3.15. Kondisi Ibu Setelah Melahirkan

Gambar 3.16. Anak-anak Sedang Menuju ke Sumber Air untuk Mencuci Peralatan Memasak

Gambar 3.17. Anak Perempuan Kecil Disana Sedang Memasak untuk Keluarganya

Gambar 3.18. Anak Kecil Sedang Mengasuh Adiknya Gambar 3.19. Seorang Anak Kecil Tidak Memakai Celana

Sedang Bermain di Tanah dan Dibiarkan oleh Ibunya

Gambar 3.20. Anak Kecil Tidak Memakai Baju dan Sedang Bermain Mobil-mobilan

68 71 74 74 76 79 84 85 91 94 96 102 103 104 105 105

(15)

xiv

Gambar 3.22. Anak Usia 7 Tahun Menggendong Adiknya yang Berusia 9 Bulan

Gambar 3.23. Anak Kecil Berusia 7 Tahun Membantu Membawa Daun Kayu Putih

Gambar 3.24. Salah Satu Kondisi Lingkungan Rumah Ketel di Desa Nafrua

Gambar 3.25. Pemeriksaan Kehamilan oleh Bidan Saat Puskesmas Keliling

Gambar 3.26. Seorang Ibu Sedang Memberikan ASI pada Anaknya

Gambar 3.27. Seorang Anak Memanfaatkan Air Bersih untuk Membersihkan Kotoran Adiknya Setelah BAB Tanpa Menggunakan Sabun

Gambar 3.28. Anak Sedang BAB di Tempat Terbuka Gambar 3.29. Seorang Ibu Mengangkat Daun Kayu Putih

untuk Dimasak

Gambar 3.30. Seorang Ibu Hamil Membawa Kayu dari Gunung

Gambar 3.31. Sayur Pakis yang Biasa Dimakan Sehari-hari

Gambar 3.32. Seorang Bapak Sedang Merokok di Dekat Anaknya yang Sedang Tidur

Gambar 3.33. Sungai Dimanfaatkan sebagai Tempat Mencuci Peralatan Memasak, Mencuci Baju dan Mandi

Gambar 3.34. Seorang Anak Kecil Membawa Air yang Diambil dari Tempat Penampungan

106 107 109 113 115 117 118 120 121 123 125 127 128

(16)

xv

Gambar 3.36. Kelambu di Kamar Seorang Informan Penelitian

Gambar 3.37. Kantor Kecamatan Lolong Guba Gambar 3.38. Puskesmas Waelo

Gambar 4.1. Huma Bupolo: Rumah Orang Buru Gambar 4.2. Permukiman Orang Buru

Gambar 4.3. Rumah Proyek Komuntas Adat Terpencil (KAT)

Gambar 4.4. Kran Air di Permukiman KAT

Gambar 4.5. Tim Pusling Puskesmas Waelo Melewati Sungai untuk Menuju ke Kampung Lokasi Pemeriksanaan

Gambar 4.6. Rumah Koin (Pamali) Ina Kabuki di Gunung Jaga Anan

Gambar 4.7. Petugas Kesehatan Memberikan Vitamin kepada Salah Satu Anak Bupolo

Gambar 4.8. Pelat atau Daun Gatal

130 162 162 164 165 167 168 171 181 197 201

(17)

xvi

Grafik 3.1. Angka Kesakitan Malaria Kabupaten Buru 2012

Grafik 3.2. Angka Penemuan Kasus Baru TB Paru Kab. Buru 2012

Grafik 3.3. Angka Kesakitan Penyakit Pneumoni Balita Kab. Buru 2012

Grafik 3.4. Angka Kesakitan Kusta di Kab. Buru 2012 Grafik 3.5. Jumlah Penderita Diare di Kab. Buru 2012 Grafik 3.6. Kasus HIV-AIDS di Kab. Buru 2012

Grafik 3.7. Cakupan Pelayanan Ibu Hamil K1 dan K4 di Kabupaten Buru

Grafik 3.8. Cakupan Pelayanan Ibu Bersalin oleh Tenaga Kesehatan dan Ibu Nifas di Kabupaten Buru tahun 2012

Grafik 3.9. Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) dan Kunjungan Neonatal Lengkap(KNL) Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 – 2012 Grafik 3.10. Cakupan Peserta KB Baru Per Puskesmas

Kabupaten Buru Tahun 2011 -2012

Grafik 3.11. Cakupan Bayi Lahir Ditimbang & BBLR Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 - 2012

132 134 135 137 139 140 148 150 153 154 155

(18)

1

BAB 1

MENGAPA RISET ETNOGRAFI KESEHATAN?

1.1. Gambaran Studi

Riset Etnografi Kesehatan (REK) Tahun 2014 ini merupakan lanjutan dari REK di tahun 2012. Pada bab ini akan menjelaskan tentang mengapa studi ini dilakukan, rumusan masalah, pertanyaan utama, untuk tujuan apa dan bagaimana metode, serta analisa yang dilakukan agar menemukan apa yang akan dicari dalam studi ini.

1.1.1. Mengapa Etnografi?

Status kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh dari target MDG’s1 yang diharapkan. Salah satu penyebabnya adalah penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional belum memberikan hasil yang optimal dalam menangani masalah kesehatan maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal sebagai salah satu cara menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat

1

MDG’s (Milleneum Development Goals) merupakan deklarasi millennium hasil kesepakatan kepala Negara dan perwakilan dari 189 negara PBB yang mulai dijalankan pada September 2000, dengan target tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015.

(19)

2

(Litbangkes, 20122). Inisiatif untuk mengidentifikasi kearifan lokal ini selaras dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam Etnik bangsa tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke.

Ahimsa Putra (2005: 15-16) mengungkapkan bahwa masalah kesehatan tidak pernah terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya. Masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan fasilitas kesehatan, sarana transportasi, dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, dengan kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan fisik tempat masyarakat tersebut berada. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada masyarakat sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Hal tersebut sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan. Pola pencarian pertolongan pada persalinan misalnya, pada beberapa masyarakat, kepercayaan terhadap dukun dan kebiasaan-kebiasaan dalam sudut pandang kesehatan dianggap berbahaya, namun hal tersebut masih ada. Dalam hal pola makan, meskipun pada dasarnya merupakan salah satu selera manusia, namun peran kebudayaan ternyata cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.

Menemukan kearifan lokal tentang cara, kebiasaan, konsep mengenai sehat dan sakit serta pola perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan menjadi penting untuk mendorong peningkatan status kesehatan. Pengetahuan mengenai kearifan lokal tersebut harus dimiliki oleh pemangku kepentingan

(20)

3

terutama tenaga kesehatan di masing-masing daerah untuk memahami dan melakukan pendekatan budaya terutama budaya kesehatan.

Salah satu cara mendekati kearifan lokal ini adalah dengan metode etnografi. Etnografi mencoba mendalami masyarakat, menceritakan dengan detail setiap peristiwa yang terjadi, mencoba memahami pola dan mengaitkannya dengan konteks sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehingga bias

menghasilkan deskripsi yang holistik. Studi etnografi

memperpendek jarak antara peneliti dengan obyek penelitian, sehingga pendekatan yang dipakai untuk menangkap pola keseharian dan pola kesehatan masyarakat menjadi tidak berjarak.

Penelitian Etnografi Kesehatan ini difokuskan untuk menangkap sisi budaya yang selama ini kurang diperhatikan. Tulisan ini akan membahas persepsi sehat dan sakit pada Etnik Buru di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Etnik Buru merupakan penduduk asli yang tersebar di Pulau Buru. Secara khusus tulisan dalam buku ini akan memfokuskan pada Etnik Buru yang tinggal di Petuanan Kayeli terutama Kayeli Kaku (pegunungan) yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Buru.

Dari sisi kesehatan, ranking IPKM Kabupaten Buru tahun 2007 menduduki peringkat 415 dengan kategori wilayah Kabupaten bermasalah kesehatan berat (KaA). IPM kabupaten Buru di tahun 2012 sebesar 70,54. Kabupaten Buru menduduki peringkat ke tiga Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) di Provinsi Maluku. Kondisi kesehatan Kabupaten Buru secara umum bisa terlihat dari tabel 1.1.

(21)

4

Tabel 1. 1 Kondisi Kesehatan Kabupaten Buru Tahun 2012

No Kondisi Kesehatan Besaran

1 Kepadatan penduduk 23

jiwa/Km² 2 Rasio Puskesmas per 100.000 penduduk 7,65 3 Rasio Dokter umum per 100.000 penduduk 10,2 4 Rasio Dokter Gigi per 100.000 penduduk 0,9 5 Rasio perawat per 100.000 penduduk 346,9 6 Rasio Bidan per 100.000 penduduk 121,6 7 Daerah Bermasalah Kesehatan (DKB) 3 8 Indeks pembangunan Manusia (IPM) 70,54 9 Cakupan Kunjunan Ibu Hamil K4 61,51% 10 Cakupan persalinan ditolong Nakes 56,90% 11 Cakupan kunjungan neonates pertama (KN1) 88,14% 12 Cakupan Imunisasi Campak 68,88% 13 Drop out rate imunisasi DPT/HB1-campak

pada bayi 19,4%

14 Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi 87,50% 15. Cakupan pelayanan kesehatan Anak Balita 109.03% 16 Prosentase balita di timbang (D/S) 80,03%

Sumber: Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Maluku diambil dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2012

Secara umum gambaran kesehatan menunjukkan variasi yang kompleks. Namun berdasarkan keterangan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, kesenjangan kondisi kesehatan sangat terlihat antara bagian wilayah pantai, dataran rendah dengan wilayah pegunungan. Keterjangkauan wilayah menjadi salah satu permasalahan pokok yang masih dihadapi para petugas kesehatan di Kabupaten Buru. Selain itu ditengarai bahwa tenaga kesehatan banyak tertumpuk di wilayah ibu kota kabupaten. Kondisi ini diperparah dengan minimnya sarana dan

(22)

5

prasarana kesehatan untuk menjangkau daerah-daerah yang sulit terutama wilayah pegunungan yang merupakan tempat bermukimnya komunitas adat Buru.

Permasalahan kesehatan di Kabupaten Buru tidak terlepas dari sejarah pembentukan kabupaten dan sejarah kehidupan warga di Buru. Masuknya sarana kesehatan dibarengi dengan pendudukan dan masuknya etnik lain kewilayah Kabupaten Buru. Mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi yang mendapatkan tugas menjadi dokter praktek di Pulau Buru tahun 70-an, saat wilayah Buru menjadi lokasi Tefaat Tapol menuturkan:

"Saat itu, banyak ibu yang tinggal di sekitar unit-unit Inrehab hampir tidak dapat diselamatkan jika ada kesulitan-kesulitan dalam persalinan, seperti pendarahan, sepsis, dan posisi tak normal dari bayi yang dikandung," kenang Sujudi4

Bahkan ia menuturkan kembali kondisi tersebut belum begitu banyak berubah setelah ia menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Sujudi mengungkapnya dalam peluncuran memoir yang dituliskannya dengan judul “Dari Pulau Buru ke Cipinang” sebagai berikut:

"Alangkah mengejutkan, dalam kurun waktu 30 tahun itu, saya mendapat kesan bahwa kemajuan yang terjadi dalam bidang kesehatan, khususnya di kawasan tersebut (Pulau Buru) belum lah berarti. Tak berlebihan jika ditarik kesimpulan bahwa Kawasan Timur Indonesia memang relatif tertinggal" tutur Sujudi.

4 http://www.tribunnews.com/nasional/2011/09/19/achmad-sujudi-dari-salemba-ke-pulau-buru

(23)

6

Kondisi kesehatan warga di sekitar unit Inrehab adalah kondisi masyarakat Etnik Buru pada waktu itu masih sangat tertinggal.Bahkan kondisi kesehatan tersebut tidak mengalami kemajuan setelah 30 tahun kemudian. Hal tersebut sungguh ironis.

Kondisi masyarakat Buru juga diceritakan sekilas oleh Pramudya AnantaToer dalam bukunya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”,

“Mereka bertombak dan berparang, berdestar, hanya cara mengenakannya berlainan gaya yang bisa kelihatan di Jawa, Madura, Bali atau Priangan. Kebanyakan kulit mereka bersisik karena kaskado5. Pakaiannya sangat sederhana, bercawat atau bercelana pendek. Yang diperbolehkan bercelana panjang hanya pembesar-pembesar dalam soak. Sedang kepala keamanannya mengenakan selendang merah.Pertemuan-pertemuan mendadak di hutan menyebabkan dua dua pihak menghindar. Kami kuatir akan tombak dan parangnya. Mereka takut pada pendatang.” (Toer: 1995: 50).

Pramudya mengakui bahwa ia sangat subyektif melihat dan menceritakan kondisi Etnik Buru pada waktu itu. Dalam kacamata sebagai seorang tahanan, orang yang dibatasi gerak dan pertemuannya dengan Etnik Buru, Etnik asli penghuni Pulau Buru. Walaupun begitu pandangan sekilasnya cukup memberikan gambaran pada kita mengenai kondisi masyarakat Buru yang secara endemis mengidap kaskado.

Melihat kondisi kesehatan di tahun 70-an tersebut membawa peneliti untuk lebih menyelami perkembangan kondisi kesehatan di Pulau Buru terutama masyarakat adat Etnik Buru. Kondisi kesehatan ini juga terkait dengan status kesehatan

5Kaskado (tineaimbirkata): dermatofitosis kronik rekuren disebabkanTrichophyton concentricum

(24)

7

Kabupaten Buru yang masih berada dibawah standar kesehatan yang tertuang dalam kesepakatan MDG’s bidang kesehatan. Cakupan kondisi kesehatan yang ada di Kabupaten Buru ini belum tentu menggambarkan kondisi nyata yang terjadi di bagian pegunungan. Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, bahwa masalah keterjangkauan dan sulitnya medan membuat fasilitas kesehatan belum mampu menyasar warga yang tinggal di wilayah pegunungan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya tenaga kesehatan dari etnik Buru yang bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten maupun di Puskesmas-Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat.

1.1.2. Masalah Penelitian

Hingga kini, data-data kondisi kesehatan terutama di wilayah pegunungan sebagai tempat tinggal masyarakat adat Etnik Buru masih susah untuk didapatkan. Keterjangkauan Puskesmas dalam melayani dan mendata kondisi kesehatan di pegunungan merupakan sebab awal minimnya catatan mengenai kondisi kesehatan warga di pegunungan. Minimnya warga yang mengakses layanan kesehatan ini juga ditengara karena warga lebih percaya kepada pengobatan tradisional yang dikembangkan dan diwariskan secara turun temurun.

Persoalan kesehatan di pegunungan yang tidak terjangkau layanan kesehatan, menjadi permasalahan utama yang akan diangkat dalam penelitian ini. Minimnya studi mengenai Etnik Buru merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi peneliti untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai kondisi Etnik Buru terutama di pegunungan. Pemahaman warga terhadap kesehatan, pola hidup keseharian, persepsi warga pegunungan mengenai rasa sakit,

(25)

8

kondisi sakit dan proses mencari penyembuhan penyakit menjadi point penting dalam penelitian ini.

1.1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan masyarakat Etnik Buru 2. Mengidentifikasi dan memahami perspektif emik

mengenai konsep sehat dan sakit

3. Memahami persoalan Etnik Buru secara holistik sehingga bisa mempermudah masuknya layanan kesehatan

4. Rekomendasi cara dan teknik masuk pelayanan kesehatan ke masyarakat Buru terutama yang tinggal di pegunungan.

1.1.4. Pertanyaan Studi

Bagaimana Etnik Buru mempersepsikan mengenai penyakit, sakit, rasa sakit, dan upaya mencari penyembuhannya?

1.1.5. Desain Studi

Riset ini di desain sebagai riset khusus kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan metode etnografi. Dimana peneliti langsung terjun kelapangan mencari data melalui informan (Ratna, 2010). Etnografi merupakan pekerjaan yang mendeskripsikan suatu kebudayaan.Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 2007).

Cara penggalian data dengan observasi, observasi partisipatif, wawancara, simak (mendengarkan) dan studi pustaka. Dengan menggunakan metode observasi/pengamatan

(26)

9

terlibat dengan cara tinggal di lokasi penelitian diharapkan peneliti bisa menggambarkan secara detail kondisi lingkungan geografis dan menangkap fenomena budaya yang dilakukan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan. Untuk

memperoleh kedalaman informasi, peneliti melakukan

wawancara secara mendalam (indepth interview). Agar terfokus pada masalah kesehatan dengan menggunakan bantuan pedoman wawancara sebagai panduan menggali informasi kepada para informan.

Jenis data (primer, sekunder, dan visual) dan sebagai pelengkap dari penelitian ini, maka dilakukan pula penelusuran dokumen dan pustaka terkait dengan masalah kesehatan di Etnik Buru pada khususnya. Dengan menggunakan analisa komparatif interpretatif dengan triangulasi data dan penyajian data deskriptif.

1.1.6. Wilayah Studi

Menjadi persoalan tersendiri ketika menentukan titik lokasi tempat penelitian. Setelah berkonsultasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Buru dan mempertimbangkan masalah kesehatan berdasarkan data Dinas Kesehatan maka disepakati bahwa penelitian dilakukan di Etnik Buru petuanan Kayeli yang menetap di kepala air (hulu sungai) Waeapo dengan alasan:

1. Desa Nafrua merupakan desa pemekaran tahun 2014 2. Daerah tersebut termasuk wiilayah Komunitas Adat

Terpencil menurut data Kementrian Sosial.

3. Intervensi layanan kesehatan di wilayah permukiman sangat minim

(27)

10

1.1.7. Kelemahan Studi

1. Pengetahuan peneliti mengenai bahasa daerah sangat minim

2. Pengetahuan lokal dianggap warisan dan titipan sehingga pamali untuk diceritakan kepada orang lain

3. Jarak antar dusun dalam satu desa cukup jauh dengan bentang alam pegunungan sehingga menghambat keterjangkauan wilayah studi

1.2. Kajian Terdahulu

• Direktorat Bina Masyarakat Terasing Dirjen Bina

Kesejahteraan Sosial Depsos RI 1985

• Balai Penelitian Nilai Budaya (BPNB) Maluku

Max Pattinama; Les Bumi Lale de l’ile de Buru: Moluques –

Indonesie (Gestion du milleu et exploitation du Melaleucaleucadendron L)

Barbara Dix Grimes: Mapping Buru: The Politics of

Territory and Settlement on an Eastern Indonesia Island

• Pramudya Ananta Toer: “Perawan Remaja Dalam

Cengkraman Militer” dan“Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” • Hersri Setiawan: “Aku Eks-Tapol”

(28)

11

BAB 2

GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

Siapa yang tidak mengenal Pulau Buru? Pulau dengan luas 10.000 km², penghasil minyak kayu putih. Dimasa lalu pulau Buru dianggap sebagai pulau yang kurang berpenghuni, sehingga dijadikan lokasi tefaat dan inrehab10, bagi 12.000 warga tahanan politik (tapol). Pulau yang mengenangkan coretan kelam penindasan dan penghakiman tanpa pengadilan. Pulau di mana Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa; ‘Tetralogi Buru’, disebarkan lewat mulut ke mulut kemudian di tulis kembali dan menjadi buku sastra monumental di dunia. Pada bab ini penulis akan mencoba mendeskripsikan pulau Buru terutama wilayah Petuanan Kayeli, lokasi Riset Etnografi Kesehatan 2014 diKabupaten Buru dan khususnya keberadaan Etnik Buru.

Kabupaten Buru memiliki luas wilayah 7.595,58 km³, 69,42% dari luas keseluruhan Pulau Buru. Sisi Utara berbatasan dengan laut Seram, sisi Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buru Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Manipa dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Buru Selatan dan Laut Seram. Pulau Buru memiliki 28 sungai yang merupakan anak sungai dari 4 sungai besar di Pulau Buru yaitu Waetina,

10 Tefaat adalah kepanjangan dari tempat pemanfaatan untuk menampung tapol PKI di Pulau Buru yang selanjutnya istilah pemanfaatan diganti dengan instalasi rehabilitasi (inrehab)

(29)

12

Waemala, Waenibe dan Waeapo. Keempat sungai ini bersumber dari Danau Rana yang terletak di Kecamatan Air Buaya.Posisi Danau Rana dan Sungai yang berhulu di Danau Rana sangat penting dalam konteks penyebaranmasyarakat adat Buru.

Gambar 2. 1. Peta Kepulauan Maluku

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Maluku_(province)

Kabupaten Buru memiliki 10 Kecamatan yaitu: 1) Kecamatan Namlea

2) Kecamatan Waeapo 3) Kecamatan Waplau 4) Kecamatan Batabual 5) Kecamatan Teluk Kayeli 6) Kecamatan Waelata 7) Kecamatan Lolong Guba 8) Kecamatan Lilialy 9) Kecamatan Air Buaya 10) Kecamatan Fena Lisela

(30)

13

Penduduk Kabupaten Buru pada tahun 2013 berjumlah 120.181 jiwa, terdiri dari 61.608 jiwa laki-laki dan 58.573 jiwa perempuan. Dengan kepadatan penduduk 15,82 jiwa/km². Tidak tersedianya data penduduk berdasarkan etnik di Kabupaten Buru menyulitkan peneliti untuk melihat dominasi wilayah dan sebaran Etnik Buru berdasarkan wilayah yang ada. Namun berdasarkan keterangan dari Kepala BPS Kabupaten Buru, Etnik Buru banyak menempati daerah-daerah pegunungan dan lereng pegunungan. Kondisi ini bisa dilihat dari data penduduk berdasarkan agama yang menempatkan penduduk beragama hindu12 lebih banyak tinggal di wilayah pegunungan. Agama Hindu atau dalam konteks masyarakat Buru menyebut agama Hindu Adat merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Buru pedalaman.

2.1. Sejarah Pendudukan Buru 2.1.1. Menuju ke Pulau Buru

Hiruk pikuk keseharian warga Pulau Buru dimulai pada pukul 03.00 WIT, tepatnya di Dermaga Pelabuhan Namlea.Ojek motor, angkutan kota dan para penjemput penumpang kapal feri menyambut riuh di tepi dermaga. Setiap hari kapal feri, KM Wayangan dan KM Temi melayani pelayaran dari Pelabuhan Gelala Ambon ke Pulau Buru secara bergantian. Berangkat pukul 20.00 WIT dari Pelabuhan Galala Ambon, merapat ke pelabuhan Namlea pada pukul 3.30 WIT. Perjalanan dari Ambon ke Pulau Buru ditempuh selama 8 jam dalam kondisi normal. Jika pada musim ombak terutama bulan Juni-Juli jadwal pelayaran berubah sewaktu-waktu dan lama perjalanan mengikuti kondisi gelombang.

(31)

14

Jalur perhubungan laut antara Ambon-Pulau Buru bertambah lancar ketika ada tambahan kapal cepat yang beroperasi dua hari sekali mulai tahun 2011. Kapal cepat ini mampu memangkas 3-4 jam perjalanan laut dengan kapal feri biasa. Selain perhubungan laut, perhubungan udara juga dibuka oleh pesawat kecil dari Bandara Pattimura Ambon menuju ke Bandar udara yang ada di Namlea. Waktu tempuh perjalanan udara dari Ambon ke Namlea 45 menit. Namun penerbangan dari dan ke Pulau Buru dari Ambon hanya dilayani satu kali seminggu.

Pada waktu menuruni kapal, kita akan disambut oleh tukang ojek maupun angkot yang akan mengantar kita menuju ke atas13, Kota Namlea, Unit maupun Air Buaya. Kota Namlea menyambut dengan gapura “Selamat Datang di Kabupaten Buru” yang melintang di jalan utama Kabupaten. Tugu Retemena

Barasehe berdiri megah di tengah perempatan jalan menyambut

setiap pengendara yang akan menuju ke Namlea. Ratemena

Barasahe berarti maju terus pantang mundur merupakan slogan

sekaligus gambaran dari sikap dan prinsip hidup warga Buru terutama di Kabupaten Buru. Bangunan baru kantor-kantor pemerintahan tampak berpencar di wilayah Namlea atas.Kota Namlea merupakan ibukota Kabupaten Buru.

2.1.2. Namlea: Pusat Pemerintahan dan Pintu masuk Kabupaten

Kesibukan warga selanjutnya berada di Pasar Namlea, proses jual beli mulai ramai dari dini hingga sore hari. Pasar Namlea menjadi pusat perdagangan di Kabupaten Buru. Walaupun ada pasar baru yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Buru di dekat Gunung Tetanggo, namun pasar Namlea masih menjadi pusat perdagangan warga. Barang yang dibawa

13Atas merupakan istilah yang dipakai orang pelabuhan untuk mengantar penumpangnya ke daerah Namlea

(32)

15

dari Ambon dengan kapal masuk terlebih dahulu ke Pasar Namlea sebelum didistribusikan ke dataran rendah dan pegunungan. Beberapa kios, warung, swalayan dan pertokoan menjadi pusat penyalur kebutuhan pokok masyarakat, baik untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan.

Gambar 2. 2. Pasar Namlea

Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Di awal pembentukan kabupaten, pusat pemerintahan Kabupaten Buru berada di Namlea bawah. Setelah Kabupaten Buru dimekarkan dengan Kabupaten Buru Selatan barulah pembangunan kantor pemerintah dipusatkan di Namlea atas. Kantor-kantor pemerintah dibangun tersebar di wilayah Namlea yang dihubungkan oleh jalan lampu panjang. Pada malam hari lampu panjang menjadi tempat aktivitas anak muda di Kabupaten Buru.

Posisi Namlea bawah berada di tepi pantai berhadapan langsung dengan Teluk Kayeli dan muara Sungai Waeapo atau daerah Kaki Air. Untuk menuju ke Kayeli terdapat perahu

(33)

16

motor/speed yang siap mengantar dari pagi hingga sore hari. Ongkos kapal cepat cukup dikenakan 60.000 rupiah untuk satu penumpang. Kapal feri juga melayani penyeberangan dari Namlea bawah ke Kayeli setiap 3 hari sekali. Perhubungan laut dari Namlea ke Kayeli semakin ramai semenjak Gunung Botak dijadikan lokasi tambang emas rakyat. Banyak para penambang yang lebih memilih menggunakan jalur penyeberangan dari pada harus memutar untuk menuju ke Gunung Botak di lokasi pencarian emas.

2.1.3. Kayeli Dan Pengaruh Ternate-Tidore- Portugis

Datangnya orang Barat dalam spirit Gold, Glory dan

Gospel14 ke pusat rempah-rempah di Kepulauan Maluku berimbas juga pada Pulau Buru. Pada masa kolonial, Kayeli dijadikan pusat pemerintahan Portugis. Benteng Defencie atau lebih dikenal sebagai Benteng Kayeli menjadi pertanda reruntuhan yang bisa dilihat hingga saat ini.Keberadaan Benteng VOC kemudian dikaitkan dengan kata Kayeli yang merupakan sebutan dari Koloni Portugis yang berasal dari kata Kayoue poetih

olie, yang berarti daerah penghasil minyak kayu putih. Namun

demikian penyebutan Kayeli adalah pemberian Portugis dibantah oleh Bapak Awad Wael, Raja Kayeli. Menurut beliau, kata Kayeli berasal dari bahasa Buru, Kai berarti kakak dan eli yang artinya pantai. Secara ringkas Kayeli merupakan sebutan dari orang Buru yang tinggal di gunung sekitar Danau Rana untuk kakak yang tinggal dan menetap di pesisir pantai.

14 Gold, Glory dan Gospel (kekayaan, kejayaan dan penyebaran agama) adalah sitilah yang digunakan bagi kampanye imperialism abad 15 yang dipelopori oleh Purtugis dan Spanyol

(34)

17 Gambar 2.3.

Benteng Defencie atau Lebih Dikenal dengan Nama Benteng Kayeli Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Hampir seluruh penduduk di Kayeli beragama Islam, termasuk bapak Raja Kayeli. Pada masa lalu terdapat masjid Kayeli dengan arsitektur tradisional, namun pada saat ini sudah tidak dimanfaatkan lagi dan berganti dengan bangunan masjid permanen. Banyaknya penduduk yang beragama Islam ini menunjukkan bahwa sentuhan dengan Kesultanan Tidore - Ternate sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum masa kejayaan VOC di Maluku. Pada saat pendudukan Kesultanan Ternate terdapat dua wilayah kekuasaan adat di Pulau Buru yaitu Masarete dan Lisella. Bukti lain ditunjukkan dari banyaknya orang Ternate yang tinggal dan menetap di daerah pesisir pantai Pulau Buru. Sebagai daerah yang strategis antara Provinsi Maluku dengan Maluku Utara, di masa lalu dijadikan tempat persinggahan bagi kapal-kapal besar masa kejayaan rempah-rempah.

Selain Ternate dan Tidore, kehadiran Etnik bangsa lain ke Pulau Buru juga bisa dilacak jejaknya hingga kini. Di pesisir Pantai

(35)

18

Jikumerasa terdapat kuburan Cina, hal ini menunjukkan bahwa ada komunitas orang Cina atau Tionghoa yang tinggal dan menetap di Pulau Buru. Selain itu beragam harta adat dan pusaka milik orang Buru yang berupa piring dan cawan keramik menunjukkan bahwa persentuhan orang Buru dengan pedagang dari Cina sudah berlangsung sejak lama. Adanya etnik keturunan Arab yang tinggal di pesisir pantai juga menunjukkan bahwa Buru sebagai sebuah pulau sangat terbuka terhadap kehadiran para pendatang untuk berdagang dan kemudian menetap di sana.

Pada saat Portugis menancapkan kekuasaannya di Kayeli, kekuasaan wilayah adat dibagi menjadi 3 yaitu Masarete, Lisella dan Kayeli. Istilah Burro diberikan orang Portugis untuk menyebut Pulau Buru. Bukti ini ditemukan dalam peta yang dipublikasikan tahun 1613 oleh misi perdagangan Portugis. Kata

Burro dalam bahasa Portugis berarti pantat, sementara dalam

bahasa Spanyol berarti keledai kecil. Ada dua hipotesis yang dikemukakan oleh Prof. Max Pattinama dalam bukunya “Orang Bupolo dan Lingkungannya” mengenai kata Burro ini. Hipotesis pertama kata Burro untuk menamakan babi rusa (buru babirusa) karena untuk pertama kalinya orang Portugis melihatnya di pulau ini. Kedua kata Burro dialamatkan kepada masyarakat yang tinggal di Pulau ini karena mereka selalu menolak kehadiran Portugis di setiap kampung. Tindakan ini menurut pandangan orang Portugis selalu dianggap bodoh. Di masa penjajahan Belanda, kata Burro tidak digunakan dan ditulis Boeroe atau Buru dalam Bahasa Indonesia (Pattinama, 2005).

Selanjutnya wilayah Pulau Buru dibagi menjadi 12

Regenschap15 yang dikuasai oleh 12 Raja Patih, yaitu : Raja Patih Kayeli, Raja Patih Liliali, Raja Patih Tagalisa, Raja Patih Lisella, Raja

15 Regenschap adalah istilah Belanda yang menunjukkan kepada pembagian-pembagian wilayah kesatuan (dalam kekuasaan Belanda) yang dipimpin oleh seorang raja patih pilihan Belanda

(36)

19

Patih Hukumina, Raja Patih Polumata, Raja Patih Waesama, Raja Patih Lumaiti, Raja Patih Masarete, Raja Patih Fogi, Raja Patih Malulat dan Raja Patih Ambalau. Pada tahun 1935, untuk mempermudah mengatur pemerintahan Belanda di Pulau Buru B.J. Haga Residen Maluku mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 17 September 1935 No B. B. 120/2/20 yang berisi tentang penghapusan beberapa Raja Patih dan penguatan 8 Raja Patih di Pulau Buru dengan batas kekuasaannya: Regenschap Lisella, Regenschap Tagalisa, Regenschap Liliali, Regenschap

Kayeli, Regenschap Waesama, Regenschap Masarette,

Regenschaf Fogi, dan Regenschap Ambalau.

Pusat pendudukan Belanda berpindah dari Kayeli ke Namlea, akibat banjir besar yang menghancurkan Kayeli. Sebelum pemindahan pusat pemerintahan, diselenggarakan pertemuan para raja dan patih16 untuk membahas pemindahan pusat pemerintahan Belanda. Pemindahan pusat kekuasaan dilangsungkanpada tanggal 31 Agustus 1919 bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Bukti-bukti pendudukan Belanda di Namlea masih bisa dilihat hingga sekarang. Dua bangunan Belanda masih digunakan untuk menunjang kegiatan pemerintahan Kabupaten Buru. Sebuah bangunan berarsitektur kolonial digunakan untuk kantor Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kabupaten Buru yang berada didepan Pasar Namlea. Satu bangunan lagi sudah direnovasi sehingga tidak tampak bangunan aslinya, kini dijadikan kantor Polsek Namlea. Sementara itu terdapat juga satu buah bangunan peninggalan Belanda yang sudah tidak lagi difungsikan.

16

(37)

20

Gambar 2.4.

Kantor Satuan Pamong Praja Menempati Bangunan Belanda Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

2.1.4. Pengaruh Pendudukan Jepang

Masa pendudukan Jepang di Indonesia berlangsug singkat. Pada tahun 1942, Pulau Buru digunakan sebagai pangkalan transit pesawat-pesawat tempur Jepang yang terlibat dengan pasukan sekutu di Lautan Pasifik. Di daerah pesisir Pantai Jikumerasa ditemukan goa yang digunakan untuk perlindungan pada masa pendudukan Jepang, sehingga oleh warga sekitar dinamakan Goa Jepang. Selain goa, ditemukan juga sumber air di Kampung Jikumerasa dan menurut keterangan warga sekitar merupakan bekas ledakan bom yang dijatuhkan Sekutu untuk mengusir tentara Jepang di Pulau Buru pada Perang Dunia II.

(38)

21 Gambar 2.5.

Sumber Air Bersih di Kampung Jikumerasa Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Selain berupa situs, beredar pula cerita mengenai

Jugunianfu17 yang ditinggalkan oleh bala tentara Jepang ketika dikalahkan oleh Sekutu. Para jugun ianfu itu dibawa ke pegunungan tempat tinggal orang asli untuk diperistri kepala

soaatau kepala adat. Para perempuan tersebut disumpah bahwa

ia tidak akan menceritakan asal usul keberadaan mereka.Kisah para jugun ianfu di Pulau Buru dituliskan oleh Pramudya Ananta Toer dalam bukunya “Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer” (Gramedia, 2001). Walaupun demikian, penuturan kisah

jugun ianfu di buku tersebut tidak terlalu detail karena

keterbatasan dan keleluasaan yang dimiliki para tapol untuk bertemu orang asli Buru atau Alfuru. Keberadaan para jugun

ianfu tersebut sangat diproteksi oleh suaminya untuk bertemu

dengan orang pendatang terutama dari Jawa. Sebuah film

17 Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita (comfort women) yang menjadi korban dalam perbudakan seks selama perang dunia II di koloni Jepang dan wilayah Jepang.

(39)

22

dokumenter berjudul Mataoli18 yang dalam bahasa Buru berarti kematian berkali-kali, menggambarkan keberadaan jugun ianfu di pulau Buru.

2.1.5.Pulau Buru di Era Kemerdekaan Indonesia

Ketika kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari Jakarta, Pulau Buru masih menjadi markas tentara Belanda. Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk mengusir pendukung NICA (Nederlandsch Indië

Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration

atau "Pemerintahan Sipil Hindia Belanda") masih berada di Namlea. Peristiwa pengusiran Belanda di Namlea tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa merah putih. Pada awal April 1946, ekspedisi Merah Putih dengan Kapal Sindoro dan Semeru mendarat di Desa Ubung. Pada tanggal 16 April 1946 terjadi penyerbuan dari Ubung ke tangsi Belanda di Namlea. Peninggalan dari peristiwa tersebut masih bisa terlihat dengan dibuatnya ”Tugu PendaratanTentara” di Desa Ubung dan Merah Putih diabadikan menjadi nama “Pantai Merah Putih” di Namlea. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia dan Pulau Buru terbebas dari penguasaan Belanda, Pemerintah Indonesia mulai membentuk pemerintahan di daerah-daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 60 tahun 1958, tentang pembentukan Daerah Swatantra19, Pulau Buru termasuk dalam Daerah Tingkat I Maluku dan Daerah Tingkat II Maluku Tengah, dengan ibukota

18

Jejerwadonsolo.wordpress.com 19

Daerah swantantra atau daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut.

(40)

23

Masohi yang berada di Pulau Seram. Pada fase pemerintahan selanjutnya, secara administratif Pulau Buru dibagi menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Buru Utara dengan ibukota Namlea, dan Kecamatan Buru Selatan dengan ibukota Leksula.

2.1.6. Pulau Buangan; yang Dibuang yang Dikenang

Pada tahun 1969, Pulau Buru dijadikan tempat pengasingan tahanan politik Orde Baru. Pemerintah waktu itu menamai sebagai tempat pemanfaatan para narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol)20. Selanjutnya nama berganti menjadi Inrehab Buru, atau tempat rehabilitasi bagi para napol dan tapol yang dihukum tanpa proses pengadilan. Dipilihnya Pulau Buru karena pulau tersebut dianggap sebagai pulau besar dengan penduduk yang sangat sedikit. Berdasarkan catatan yang ada, sebelum kedatangan warga tapol, penduduk Pulau Buru hanya berjumlah 3.000 orang. Jauhnya jarak dari pulau-pulau besar yang lain juga merupakan salah satu sebab dipilihnya Pulau Buru sebagai pulau buangan para tapol dan napol tahun 1965.

Kedatangan tapol terbagi menjadi tiga gelombang. Dari Jawa, tapol diangkut dengan menggunakan kapal dan bersandar di Jiku Kecil selanjutnya dibawa masuk dengan kapal-kapal kecil menelusuri Sungai Waepao menuju ke daerah Lembah Waeapo.

Sebanyak 12.000 tapol ditempatkan di 21 unit yang ada di Dataran Waeapo dan satu unit isolasi di Jiku Kecil Namlea.Pada tahap awal tapol ditempatkan di 18 unit yang tersebar di Lembah Waepao, ditambah lagi 3 unit di tahun 1976. Masing-masing unit di huni oleh 500 orang tapol dan napol. Nama-nama unit yang menjadi lokasi tempat tinggal tapol adalah: Unit I Wanapura dan Unit II Wanareja, Unit III Wanayasa, Unit IV

20Tahanan adalah seorang yang ditahan dan belum melalui proses peradilan, sedangkan narapidana telah melalui peradilan final.

(41)

24

Savana Jaya, Unit V Wanakarta, Unit VI Wanawangi, Unit VII Wanasurya, Unit VIII Wanakencana, Unit IX Wanamulya, Unit X Wanadharma, Unit XI Wanaasri, Unit XII Birawawanajaya, Unit XIII Giripura, Unit XIV Bantalareja, Unit XV Indrapura, Unit XVI Indrakarya, Unit XVII Indragiri dan Unit XVIII Arghabakti. Sementara kedatangan tapol gelombang terakhir di tahun 1976 ditempatkan di unit S (Sawunggaling), unit R (Ronggolawe) dan unit T (Trunojoyo).

Nama-nama unit saat ini masih ada yang dipakai sebagai penanda lokasi desa. Nomer-nomer unit pun masih dikenal dan diingat warga, namun demikian tidak semua warga bisa hapal dan mengetahui nama-nama unit tersebut. Hanya Unit Savana Jaya yang sekarang menjadi nama sebuah desa. Sebab lain hilangnya ingatan warga terhadap nama-nama unit semisal Indrapura, Giripura dan sebagainya karena tapak atau bekas lokasi perumahan para tapol itu sekarang sudah banyak yang berubah menjadi lahan pertanian, kebun jati ataupun tanah kosong yang ditumbuhi semak belukar. Balai pertemuan warga di Savana Jaya merupakan satu-satunya bangunan yang masih bisa dilihat sampai sekarang. Selain itu beberapa batu nisan ‘warga’ juga bisa ditemukan tersebar di unit R, Unit S dan Unit X.

Pada tahun 1973, seiring dengan pertambahan penduduk terjadi pemekaran Kecamatan Buru Utara menjadi Kecamatan BuruUtara Timur dengan ibukota Namlea dan Kecamatan Buru Utara Barat dengan ibukota Air Buaya. Nama-nama wilayah kecamatan ini masih lekat dalam ingatan warga asli Buru untuk menyebut pembagian wilayah pulau Buru hingga sekarang.

Pada tahun 1979 terjadi pemulangan tapol ke daerah asalnya, sementara bagi tapol yang tidak ingin kembali ke daerahnya kemudian tinggal di Unit IV Savanajaya mendaftar sebagai transmigran. Keberadaan para tapol di Pulau Buru, telah membuka jalur perhubungan darat antara Unit dengan Namlea.

(42)

25

Ribuan hektar tanah dibuka menggantikan ilalang dan tanaman sagu yang terhampar di Dataran Waeapo. Keberadaan para tapol juga sangat membantu kehidupan warga penduduk asli Buru. Salah satu warga dari fam Besan menyebutkan jika para tapol itu tinggal lebih lama lagi, pastilah anak-anak adat Etnik Buru ini bisa menjadi orang-orang hebat yang bisa baca dan tulis. Hal ini karena warga, pada masa lalu sering melakukan kunjungan ke

desa-desa sekitar lokasi inrehab untuk memberikan

pembelajaran baca tulis, kesenian dan pengajaran ketrampilan berkebun dan bertani bagi penduduk asli Buru. Dari sisi kesehatan, beberapa tapol yang memiliki gelar dokter juga sering melakukan pengobatan dan penyembuhan kepada masyarakat sekitar unit. Selain itu juga terdapat rumah sakit khusus bedah di Mako yang sebagian besar dokternya berasal dari tapol dan napol di Pulau Buru.

2.1.7. Pulau Buru Era Tahun 1980

Pada tahun 1980, unit-unit yang ditinggalkan para tapol itu kemudian dibuka menjadi lokasi transmigrasi. Tidak hanyawarga dari Jawa, namun sebagian tapol serta warga asli Buru yang tinggal disekitar Waeapo juga mendaftar sebagai transmigran lokal. Nama beberapa unit-unit bekas warga tapol masih dipakai hingga sekarang. Di dalam kosa kata para transmigran menyebut para tapol dengan istilah warga. Istilah warga ini disematkan untuk menggantikan istilah tapol (tahanan politik) yang merupakan sebutan pemerintah sekaligus penghargaan bagi para warga yang telah membuka lahan dan membangun persawahan di lokasi unit tempat tinggal mereka. Kedatangan para transmigran sebenarnya tinggal menemukan daerah yang sudah dibuka oleh para warga penghuni unit. Beberapa instalasi bendungan, saluran air dan proyek sawah

(43)

26

dibuka untuk mencukupi kebutuhan para transmigran. Dari kamp pembuangan berubah menjadi lumbung beras, mungkin itu istilah tepat yang menggambarkan perubahan di Lembah Waeapo.

Kedatangan para transmigran memicu pertumbuhan penduduk di Pulau Buru. Pertambahan penduduk mendorong perubahan juga dalam struktur pemerintahan. Pembentukan desa baru maupun kecamatan baru tidak bisa dihindari seiring dengan keinginan warga yang tinggal di Pulau Buru untuk menjadi kabupaten sendiri. Hal ini juga dipicu oleh arus gelombang reformasi yang melanda di negeri ini sehingga proses pemekaran tidak terkendali. Jauhnya kota Kabupaten Maluku Tengah di Masohi menjadi salah satu alasan utama pemekaran kabupaten. Tidak ditemukan data secara rinci perubahan-perubahan pembagian wilayah pemerintahan di tingkat desa di Pulau Buru antara tahun 1958-1999 .

2.1.8. Reformasi dan Otonomi Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 46 Tahun 1999 terbentuk Kabupaten Buru sebagai pemekaran dari kabupaten Maluku Utara dan beribukota di Masohi. Namun demikian penetapansecara definif berdasarkan pada Undang-Undang 6 tahun 2000 menyebutkan pembentukan Kabupaten Buru dengan ibukota di Namlea. Pada tahun 2003 terjadi pemekaran kecamatan menjadi 10 kecamatan dari yang sebelumnya hanya 3 kecamatan. Pemekaran berlanjut di tahun 2008 seiring diterbitkannya UU No 32 tahun 2008 mengenai Kabupaten Buru Selatan, secara otomatis jumlah kecamatan di wilayah Kabupaten Buruberkurang menjadi 5 kecamatan yaitu Kecamatan Namlea, Kecamatan Waplau, Kecamatan Airbuaya, Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual.

(44)

27

Pada tahun 2012 dilakukan pemekaran di wilayah Waeapo untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yaitu Kecamatan Waelata, Kecamatan Lolongguba dan Kecamatan Teluk Kayeli. Sementara itu Kecamatan Liliali merupakan pemekaran dari Kecamatan Namlea, dan Kecamatan Fena Lisela merupakan pemekaran dari Kecamatan Air Buaya, sehinggasekarangjumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Buru berjumlah 10 buah. Wilayah Kabupaten Buru meliputi 4 wilayah petuaan adat yaitu Petuanan Leisela, Petuanan Tagalisa, Petuanan Liliali dan Petuanan Kayeli.

Gambar 2. 6. Peta Kabupaten Buru Sumber : www.Burukab.go.id 2.2. Penjagaan; Sejarah Geba Bupolo

Interaksi orang Buru terhadap orang asing berlangsung cukup lama. Cerita mengenai pulau Buru banyak dideskripsikan terutama semenjak Tapol yang berisi orang-orang cedik pandai dan cendekia yang tersangkut peristiwa 30 September tahun 1965(G30 S PKI) ataupun cerita masa-masa setelahnya. Namun

(45)

28

deskripsi mengenai Etnik asli yang mendiami pulau masih jarang ditemukan dalam khasanah perbincangan Etnik bangsa di Indonesia.Dalam beberapa tulisan para Tapol seperti Pramudya Ananta Toer menyebut orang Buru asli sebagai Alfuru. Alfuru sendiri merupakan istilah luas yang digunakan orang melayu untuk semua orang non muslim yang tinggal di wilayah tak terakses dibagian Timur kepulauan nusantara.

“Dan apabila generasi penduduk sebelumnya mengantongi dalam ingatannya invasi dari Loloda dan Patani dan Papua dengan busur panah, tombak dan parang, generasi penduduk sesudahnya akan mengantongi dalam ingatannya invasi peradaban baru: baca-tulis, angkul, perawatan medis, akupuntur, lembaga perkawinan, kedudukan anak dalam keluarga, arsitektur dengan paku dan siku penunjang, alat pertukangan dan cuisine. Invasi legendaris yang dibiayai oleh orang-orang buangan tanpa status (Nyanyi Sunyi seorang bisu; 209)”

Etnik Alifuru digambarkan oleh Pramudya sebagai Etnik pedalaman, Etnik asli yang masih memakai cawat, memegang tombak, parang dan memakai destar mirip dengan ikat kepala di Jawa. Kulit orang Buru asli terkena penyakit kaskado. Ia juga bercerita bahwa Etnik Buru yang hidup di pedalaman masih suka mengayau dan membunuh jika bertemu dengan orang pendatang. Cerita Pramudya mengenai Etnik Buru ini memberikan gambaran bahwa orang Buru masih sangat tertinggal. Banyak juga ditemukan kasus di warga Buru di sekitar unit tapol yang menderita filariasis atau kaki gajah. Wabah filariasis ini mulai menyerang para Tapol di Unit, sehingga membuat beberapa Tapol yang bekerja di bidang kesehatan mulai membentuk “Tim Micro Filaria”. Tim ini bekerja menyisir warga unit agar terbebas dari wabah filariasis dan juga menyasar

(46)

29

kampung-kampung di sekitar unit sebagai sumber wabah filariasis.

Tahun 1985 Direktorat Bina Masyarakat Terasing Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I. melakukan penelitian dengan judul “Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Terasing Etnik Rana di Pulau Buru dan Usaha-usaha Pembinaannya”. Etnik Rana dalam buku ini dijelaskan sebagai permukiman adat yang tinggal di sekitar danau Rana yaitu di wilayah Kecamatan Buru Utara Barat yang termasuk dalam Kabupaten Maluku Utara.

Hasil penelitian itu mendeskripsikan bahwa terdapat pengelompokan masyarakat terasing di Pulau Buru, yaitu :

1) Masyarakat Waelou dan Waetemun di Buru Selatan 2) Masyarakat Waiapu di dataran Wai Apu, Buru Utara Timur 3) Masyarkat Rana di Buru Utara Barat

Kesatuan sosial dalam konteks Etnik selanjutnya dalam deskripsi penulisan, Dinas Sosial menyebut sebagai masyarakat Rana sebagai salah satu dari sejumlah masyarakat terasing di pedalaman Pulau Buru. Kelompok masyarakat pedalaman dan pegunungan ini dianggap terbelakang. Penduduk di pesisir pantai menyebut masyarakat pedalaman ini sebagai orang gunung atau dalam bahasa daerah setempat disebut ‘Geba Kaku’. Ditinjau dari sudut perkembangan dan percampuran penduduk, maka penduduk Pulau Buru secara umum dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan penduduk yaitu:

1) Geba – Emlier- penduduk asli

2) Geba – Marakan – hasil kawin mawin antar penduduk asli dan pendatang

3) Geba – Malelir – para pendatang yang menetap di Pulau Buru

(47)

30

Selanjutnya tulisan ini menyebut bahwa masyarakat Rana adalah turunan asli dari Geba Emlier yaitu penduduk asli. Menurut mitologi penduduk setempat, rumpun Etnik Geba Emlier berasal dari dua orang manusia suami istri yaitu “Lawan

Ditau” (laki-laki) dan “Pateria Ditan” (perempuan).Mereka

berdua diciptakan oleh Oplastala atau Opoge Basnulat (Tuhan Yang Maha Esa) dan berdiam di sekitar hulu Sungai Waiapu dan Waikabo. Kedua makhluk tersebut kemudian menurunkan sepuluh jenis rumpun Etnik-Etnik kecil yaitu: Geka-Hain, Geka Waget, Waitenun, Wegida, Wahidi, Waeloa Gaeli (kayeli), Mocal Mesbait dan Maktita.

Penelitian lanjutan mengenai Etnik Buru banyak dilakukan oleh para penginjil yang masuk di wilayah Buru Selatan (sekarang Kabupaten Buru Selatan). Berbagai studi dilakukan untuk dapat mempermudah masuknya agama Kristen ke Pulau Buru.Tulisan mengenai struktur adat, bahasa, kebiasaan dan aturan adat dimiliki oleh penginjil terutama Yayasan Misi Pedalaman untuk dapat lebih mudah memahami pola perilaku dan kehidupan sehari-hari Orang Buru.

Etnik Buru dalam kajian Etnik-Etnik bangsa di Indonesia

secara jelas disebut oleh Koentjaraningrat (1979).

Koentjaraningrat menyebutkan George Alexander Wilken pernah membuat catatan pendek tentang etnografi Etnik Buru di Maluku pada tahun 1975 yang mendiskripsikan mengenai pola pernikahan Etnik Buru. Pulau Buru ditinggali oleh Etnik Buru yang memiliki sejarah dan kehidupan berbeda dengan Etnik lain di kepulauan Maluku.

Studi-studi lanjutan mengenai -Etnik Buru lebih banyak dilakukan oleh Balai Sejarah dan Nilai Tradisi Provinsi Maluku. Hampir setiap tahun beragam penelitian dilakukan untuk mendalami kehidupan dan nilai-nilai keseharian Etnik Buru di Pulau Buru.

(48)

31

Dalam studi yang berkelanjutan semenjak tahun 1989 -sekarang, Max Pattinama menyebutkan bahwa Orang Buru menyebut diri sendiri sebagai Orang Bupolo atau Geba Bupolo. Geba artinya orang, sementara Bupolo adalah nama awal pulau Buru menurut bahasa Buru. Geba Bupolo percaya bahwa dirinya dipercaya oleh generasi yang telah lalu untuk menjaga Pulau Buru. Menurut Geba Bupolo ada beberapa penggolongan penduduk Buru yaitu:

Gambar 2. 7. Penggolongan Penduduk Buru

Sumber: Pattinama, 2005

Geba Buru adalah orang Buru keseluruhan, terbagi menjadi Geba Bupolo sebagai orang asli Buru dan Geba Misnit atau pendatang. Geba Bupolo yang tinggal dan menetap di pegunungan disebut sebagai Geba Fuka. Geba Fuka dibagi menjadi dua yaitu Geba Fuka Unen dan Geba Fuka Fafan. Geba

(49)

32

Fuka Unen adalah Geba Bupolo yang tinggal di wilayah-wilayah yang dianggap keramatatau sering disebut sebagai pusat pulau Buru yaitu di Danau Rana dan Gunung Date. Sementara Geba Fuka Fafan adalah mereka yang tingal di sekitar lereng-lereng pegunungan. Sedangkan Geba Masin adalah orang Buru yang tinggal di pesisir pantai atau dekat dengan air masin (asin).

Dari berbagai sumber studi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Buru atau Geba Bupolo membagi secara tegas penduduk Buru berdasarkan lokasi dan ruang hidupnya. Penduduk pulau Buru tersebar di pesisir pantai, dataran rendah dan pegunungan. Sebaran penduduk ini disinyalir untuk menjaga daerah kekuasaan adat Etnik Buru yang masuk dalam masing-masing petuaan di setiap wilayah di Pulau Buru.

Dalam studi ini akan difokuskan mendeskripsikan Etnik Buruyang berada di Petuanan Kayeli, lokasi dilakukan studi ini. Petuanan Kayeli sendiri dipimpin oleh seorang raja yang berdiam di Kayeli. Petuanan Kayeli memiliki daerah kekuasaan dari kepala Air Waeapo sampai dengan Kaki Air Waeapo.Geba Bupolo di Petuanan Kayeli membagi penduduknya menjadi tiga bagian berdasarkan ruang hidupnya. Dalam istilah lokal disebut Kayeli Peta Telo yaitu:

1) Kayeli Kaku adalah orangKayeli yang tinggal di pegunungan 2) Kayeli Rata Lalen adalah orang Kayeli yang tinggal di daratan

rendah terutama di lembah Sungai Waeapo

3) Kayeli Sea Wait adalah orang Kayeli yang tinggal di pesisir pantai

Secara Administratif Petuanan Kayeli meliputi Kecamatan Namlea, Waeapo, Waelata, Teluk Kayeli dan Lolong Guba.Secara khusus studi ini mengambil lokasi di salah satu desa di Kecamatan Lolong Guba untuk mendapatkan gambaran kondisi kehidupan Geba Bupolo yang tinggal di Pegunungan.

(50)

33 2.3. Penyebaran Permukiman Geba Bupolo :Air Kelahiran

Pada awalnya permukiman asli orang Buru berada di sekitar Danau Rana, dan orang Bupolo menyebut dirinya sebagai orang dari Rana atau Fili Rana. Pendudukan Kesultanan Ternate, Portugis, Belanda, Jepang, datangnya Tapol, dan transmigrasi membuat orang-orang Rana tersebar ke beberapa wilayah untuk menjaga kekuasaan yang dititipkan kepada mereka. Di pegunungan Danau Rana sisi Selatan, Fili Rana turun mengikuti aliran sungai yang mengalir dari Danau Rana. Sementara itu orang-orang di pegunungan bagian Utara berdiam di kepala air22 disekitar pegunungan dan turun mengikuti aliran sungai tersebut. Ikatan warga dengan air cukup erat bagi orang Buru, dalam bahasa Buru sungai disebut dengan wae. Secara khusus orang-orang Buru di Petuanan Kayeli tinggal di kepala air yang bermuara di Waeapo. Orang Buru menyebut daerah tempat tinggal di sekitar air tersebut sebagai Air Kelahiran. Hal ini membedakan istilah orang Maluku secara umum yang menyebut lokasi awal tempat tinggal teteh nenek moyang mereka sebagai mata rumah.

Air kelahiran ini kemudian dikeramatkan oleh anak keturunannya. Air kelahiran juga disebut sebagai “air pamali/keramat” oleh salah satu fam atau Etnik tertentu yang berbeda air pamalinya dengan Etnik yang lain. Sehingga orang Buru akan menjaga titipan dari orang tuanya yang menyebut bahwa air kelahiran ini harus dijaga terus kelestariaannya. Wilayah di sekitar air kelahiran inilah yang kemudian dijadikan pusat permukiman dan wilayah berkebun dan berladang sehingga anak turunnya akan tinggal dan menetap di sekitar air

22Kepala air adalah sebutan lokal untuk menyebut hulu-hulu sungai, sementara muara sungai disebut dengan istilah kaki air

(51)

34

kelahiran tersebut. Asal-usul Geba Buru bisa ditelusur dari air kelahiran mana dia berasal. LN menuturkan :

“Eee waepertama, wae kitam lomon bani, wae pertama yang wae kitam lomon waeni. kitam lomon wae li wae.

Itu disingkat kelahiran ini memang kita lahir di sini tapi karena disusun dari teteh nenek moyang kan lahir di situ makanya disebut kan air kelahiran. Jadi kita itu merantau kemanapun tetap ingat bahwa kita punya air keramat itu karena katong punya keturunan dari situ, pertama tinggal di situ makanya disebut itu air kelahiran. Katong terpancar ke ujung dunia pun, katong tahu bahwa

katong punya kelahiran di sini di Waetet. maka katong

semua tetap pulang ke Waetet.”

Di masa lalu, pola hidup orang pegunungan terutama di sekitar Danau Rana masih bersifat nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kondisi ini seperti dituturkan oleh salah satu informan bahwa pada awalnya orang Buru tinggal berkelompok-kelompok berdasarkan famnya. Perpindahan antara satu tempat ke tempat lain biasanya disebabkan oleh pertengkaran antar keluarga, peperangan antar kelompok dan umumnya karena wabah penyakit yang menyerang sebagian besar anggota kelompok atau ketua kelompok tersebut meninggal dunia. Perpindahan tempat tinggal pun masih tidak akan jauh dari air moyang mereka.

2.4. Sistem Pemerintahan Adat

Masyarakat adat Buru menganggap bahwa seluruh lahan yang ada di Pulau Buru adalah milik masyarakat adat setempat secara komunal yang telah dibagi semenjak teteh nenek moyang mereka. Kepemilikan yang ada didasarkan pada kesamaan soa atau marga dan kesepahaman masyarakat adat tentang batas

(52)

35

hak ulayat masing-masing soa. Pengetahuan mengenai batas-batas ulayat ini diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Berdasarkan beberapa catatan yang ada mengenai Etnik Buruada 36 noro yang menguasai wilayah Utara (Lisaboli Lisela) dan 21 noro di bagian Selatan (Masa Meserete). Soa merupakan kesatuan hidup tingkat pertama orang Bupolo. Soa juga disebut sebagai noro (Pattinama: 2008). Namun secara umum, Soa di masyarakat adat Buru berdasar penuturan salah satu warga di Petuanan Kayeli,terbagi dua yaitu noropito dan noropa (noro: marga, Pito: tujuh, pa: empat). Noropito merupakan soa yang pertama di Pulau Buru yang terdiri dari tujuh soa. Sedangkan

noropa merupakan 4 soa pendatang berasal dari Ternate,

Madura, Buton dan Tasijawa, dan terdiri dari 4 soa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sejarah awal munculnya tujuh soa diawali oleh lahirnya 7 anak dari pasangan suami istri, yangi menjadi cikal bakal munculnya tujuh soa asli di Pulau Buru. Ketujuh soa tersebut yaitu

1) Waetemun/Nurlatu 2) Waelua / Latubual 3) Gewagit /Bhiku/ Ukunala 4) Waegeda / Tasane 5) Wanhedon /Latuwael 6) Wahidi / Wael

7) Gebahael / Saleke

Dari ketujuh soa tersebut terdapat 4 soa yang merupakan soa asli di Teluk Kayeli yaitu Gewagit, Waegeda, Waetemun dan Waelua. Keempat Etnik memilih salah satu orang dari Etnik Wahidi untuk menjadi raja di Teluk Kayeli. Raja diangkat untuk menjadi pelindung bagi Etnik-Etnik yang ada di dataran rendah dan pegunungan. Noropa atau warga pendatang di pimpin oleh Hinolong dari fam Baman, sementara kepala adat untuk fam yang

(53)

36

berada di pegunungan dipimpin oleh Kaksodin dari fam Wael atau Etnik Wahidi. Hinolong disebut juga sebagai pintu masuk ke raja. Kaksodin sebagai pimpinan adat dijadikan tempat untuk konsultasi dan membantu penyelesaian masalah dengan kepala adat dan kepala soa di wilayah pegunungan. Selain Bapak Raja, Hinolong dan Kaksodin, kepala adat khusus Etnik Waetemun dipimpin oleh bapak Matetemun sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar Etnik di Petuanan Kayeli. Struktur adat di wilayah Petuanan Kayeli mengikuti kewilayahan pesisir pantai bertahta Bapak Raja Kayeli, di dataran rendah terdapat Bapak Hinolong, dibantu oleh bapak Matetemun serta di pegunungan ada bapak Kaksodin. Sementara itu di masing-masing soa terdapat kepala soa dan kepala adat, di samping terdapat juga bapak Kuawasan sebagai pembantu kepala adat.

Kepala Soa bertugas untuk mengurusi warga di tingkat soa yang secara langsung berkonsultasi dengan kepala adat. Sedangkan kepala adat bertugas untuk menyelenggarakan upacara adat, membantu perselisihan dan sengketa yang akan diselesaikan dengan hukum adat. Dalam satu soa ada kelompok pemukiman yang disebut dengan istilah lolit (n) atau dalam kelompok fam yang lain disebut dengan Bialahin. Kepala lolit disebut sebagai Basa fena atau Gebakuasan. Basa fena dalam humalolin ini yang akan membantu dalam proses penyelesaian masalah yang menimpa keluarganya, baik masalah perselisihan, perkawinan maupun kesehatan dan kematian. Kepala lolit selanjutnya berkoordinasi dengan kepala Soa dan kepala Adat jika terjadi permasalahan menyangkut keluargannya.

Masuknya pemerintahan kampung dalam kelompok permukiman menyebabkan pembagian yang tegas antara tanggung jawab yang jelas antara kepala kampung dan kepala soa serta kepala adat. Kondisi ini dituturkan oleh salah satu kepala soa di Dusun Watempuli:

Gambar

Tabel 3. 2.   Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Waelo, tahun  2013

Referensi

Dokumen terkait

terhadap produk yang telah dikembangkan dan validator (penilai) produk ini terdiri dari 4 pakar yaitu ahli instrumen, ahli materi, ahli media, dan ahli bahasa, 5)

Model yang akan digunakan adalah Brown-Resnick dan Smith sebagai model MSP yang memiliki jangkauan dependensi spasial lebih luas dengan aplikasi menggunakan data curah

Artikel ini berasal dari penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejarah jamu dalam masyarakat Jawa, tanaman yang dijadikan bahan dasar jamu serta khasiat tanaman, proses

Jadi pengertian studi kelayakan peroyek atau bisnis adalah penelitihan yang menyangkut berbagai aspek baik itu dari aspek hukum, sosial ekonomi

Beberapa ahli menggunakan teknologi pencitraan otak untuk pertama kalinya terhadap orang yang mengalami kecemasan dalam mengerjakan soal matematika, para ilmuwan

android untuk siswa homeschooling kelas X, serta mengetahui kualitas produk media pembelajaran yang telah dikembangkan sehingga layak digunakan dalam kegiatan pembelajaran

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas promoter â-aktin ikan medaka pada ikan mas, dengan cara mengamati ekspresi sementara dari gen hrGFP sebagai penanda.. BAHAN