• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

2.10. Pencarian Geba Bupolo

Kebutuhan sehari-hari orang Bupolo di Kayeli Kaku masih sangat tergantung kepada ketersediaan alam. Seiring waktu berjalan perubahan dari pemukiman yang berpindah-pindah ke permukiman yang menetap membuat beberapa warga semakin terdiferensiasi jenis pekerjaan yang dimiliki. Berburu merupakan salah satu mata pencaharian orang Buru sejak masa lalu sampai dengan sekarang. Berburu bertujuan untuk mendapatkan tambahan protein hewani bagi keluarganya. Hewan buruan

54

antara lain kusu (kus kus), fafu (babi) dan menjangan. Berkurangnya wilayah hutan karena hadirnya perusahaan kayu di Pulau Buru yang mengakibatkan proses perburuan semakin jarang dilakukan di samping karena semakin berkurangnya binatang buruan yang bisa didapatkan ketika dalam proses berburu. Demikian juga proses meramu hasil hutan seperti damar, rotan, kayu gaharu sudah semakin jarang dilakukan. Hanya buah-buahan seperti durian yang masih sering didapatkan untuk kebutuhan sendiri.

Gambar 2. 11.

Hasil Buruan Dan Tombak Untuk Berburu Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Warga lebih banyak memasang jerat di sekitar lahan kebun miliknya. Jika salah satu keluarga mendapatkan binatang hasil jerat, dagingnya langsung dibagi habis kepada semua keluarga di satu kampungnya. Namun jika babi yang terjerat masih kecil maka babi tersebut akan dijinakkan dan dibawa ke kampung untuk diternakkan. Berternak dari hasil menjerat ini sudah mulai dilakukan di kampung. Setiap keluarga menandai babi miliknya sendiri dengan memotong telinga babi untuk membedakan dengan babi milik anggota keluarga yang lain. Proses bertenak di permukiman pun tidak dikandangkan namun diliarkan di sekitar permukiman. Selain babi, ayam juga menjadi

55

salah satu binatang yang diternakan untuk kebutuhan upacara-upacara penting.

Ranjau dan Jerat24

Terlihat asap mengepul di dapur rumah beratap sirap itu. Ada beberapa orang berkumpul di depan rumah. Matahari hampir condong ke Barat, tepat sejengkal dari punggung bukit di Barat dusun. Burung-burung sudah mulai mengoceh riang di sebelah gunung pamali. Ya sore yang biasa. Orang-orang dari aktivitas ladang pulang ke rumah. Anak-anak kecil mulai turun mandi sore, berkalungkan handuk, tanpa ada sebatang sabun pun dibawanya. Sementara orang-orang tua dengan para balitannya sudah naik dengan ember tumpukan pakaian. Sekilas, pelangi muncul di arah Barat Laut. Mendung berkelompok menggelantung diatas bukit.

“Ada dapat rusa dua ekor, Pak Salim” kata Bang Yusuf. “Oya.. dari berburu kah?” tanyaku.

“Ah seng (tidak)… dia dapat dari pasang jerat di kebun. Orang sini semua pasang jerat. Ada juga yang pasang jebakan dan ranjau di kebun. Mereka memasang dengan menggunakan bamboo halus untuk apa jaman dulu itu, ya bamboo runcing yang digunakan untuk perang. Biasanya mereka pasang berlapis, jadi jika rusa lewat pasti kena di ranjau tersebut” jelas Bang Yusuf

“Orang sini masih rajin berburu kah?” tanyaku menimpali

“Sudah jarang di sini berburu, lihat saja sudah tidak banyak anjing di permukiman warga. Kalau pasang jerat dan ranjau masih di lakukan. Namun orang di sini tidak boleh pasang jerat di kebun orang lain. Harus di kebun sendiri. Bahkan ketika orang lain buat gaduh di sekitar jerat dan membuat fafu (babi) terlepas orang yang memiliki jerat bisa menaruh denda kepada orang yang bikin gaduh tersebut. Pernah kejadian, istri saya bersama 6 orang temannya akan mencari bambu untuk membuat keranjang. Mereka tidak mengetahui kalau di kebun sebelah lokasi mencari bambu tersebut di pasangi jerat. Terlepaslah

fafu yang sudah terkena jerat tersebut. Sehingga pemilik jerat

24Catatan observasi

56

mengenakan denda satu botol minyak kayu putih kepada tujuh orang tersebut. Orang di sini memang seperti itu.” Bang Yusuf menjelaskan. “Namun di sini ada enaknya, jika satu orang mendapatkan hasil jerat, seperti rusa atau babi, ia akan membagi ke semua warga di rumah-rumah, walaupun hanya dapat bagian sedikit-sedikit.” Kata Yusuf.

Gambar 2. 12. Seorang Anak Membawa Jerat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

57 Gambar 2.13.

Kandang Babi

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 2.14. Babi yang Diliarkan

58

Berkebun merupakan aktivitas utama untuk mendapatkan bahan makanan pokok sehari hari. Warga di Kayeli Kaku masih menggunakan sistem ladang berpindah. Satu lahan kebun biasanya dimiliki oleh salah satu keluarga. Kegiatan berkebun dilakukan di lereng-lereng gunung yang terdapat aliran mata air. Proses diawali dengan menebang pohon-pohon besar di area lahan, setelah itu menebas semak belukar, setelah menunggu lahan kering maka dilakukan proses pembakaran. Pada masa lalu proses penebangan dilakukan selama satu bulan namun saat kini membutuhkan waktu selama satu minggu karena warga sudah menggunakan mesin pemotong kayu atau chainsaw. Setelah pembakaran maka dilakukan proses menanam. Pada saat menanam hampir semua warga dalam satu kampung membantu proses penanaman. Kerja komunal ini masih sangat terpelihara dengan baik, hal ini karena dalam satu kelompok permukiman dusun dihuni oleh satu fam saja. Warga menanam jagung, ketela pohon, petatas, dan cabe di lokasi kebun.Selama proses menanam dan saat memanen didirikan rumah di kebun untuk mencegah dari gangguan babi.

Gambar 2. 15. Kebun dan Huma Hawa Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Hasil panenan kebun dibagi ke semua warga di kampung yang membantu saat proses penanaman. Pada saat petik semua

59

orang diundang ke kebun dan membawa pulang hasil kebun sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.Baru sisanya dipanen oleh pemilik lahan. Ketela pohon hasil panen kebun diparut dan dibuat papeda untuk makan sehari-hari. Ampas dari ketela pohon hasil parutan dijadikan mangkausehan diawetkan di atas tungku api untuk persediaan makan sehari-hari.

Gambar 2. 16.

Proses Memanen Jagung dan Mangkausehan Sumber: Dokumetasi Peneliti 2014

Selain tanaman untuk kebutuhan konsumsi, beberapa warga juga mengusahakan tanaman komoditas seperti kakao/coklat. Namun pohon yang dimiliki warga tidak begitu banyak hanya sekitar 15-20 batang. Warga hanya memanen setiap musim buah dan mengumpulkannya sedikit demi sedikit, selanjutnya menjemur dan setelah kering dijual ke pedagang yang datang ke kampung atau membawanya ke pasar di Unit. Harga perkilo coklat kering berkisar antara 27.000-28.000 rupiah.

Pulau Buru sebagai penghasil kayu putih menyediakan daun yang bisa dimasak sepanjang tahun. Setiap orang bebas mengambil daun kayu putih di areal lahan milik famnya.Dalam satu kelompok pemukiman dusun, minimal ada 2 lokasi ketel atau tempat penyulingan minyak kayu putih. Satu lokasi ketel dikerjakan oleh 5-10 keluarga. Lokasi ketel pun terus berpindah mengikuti areal dimana pohon kayu putih terlihat lebat. Urut

60

daun untuk mengumpulkan daun kayu putih dikerjakan oleh semua keluarga baik laki-laki dan perempuan. Kerja urut daun untuk satu lokasi ketel bisanya membutuhkan waktu selama 2 bulan. Hal ini karena masing-masing keluarga saling membantu urut daun.

Pada pagi hari, salah satu huma kerja gelan (rumah kerja kayu putih) mengundang anggota keluarga yang tinggal di satu lokasi ketel untuk membuat kopi dan makan kue. Maka dalam satu hari tersebut seluruh keluarga membantu mengumpulkan daun untuk keluarga tersebut dan berikutnya bergilir ke keluarga yang lain. Proses kerja komunal ini dapat berlangsung karena pada waktu urut daun seluruh keluarga tinggal sementara di rumah kerja gelan. Setelah semua bak milik setiap keluarga penuh maka proses memasak mulai dilakukan secara bergantian danproses memasak berlangsung sehari semalam. Namun sebelumnya keluarga yang mendapatkan giliran memasak harus menyiapkan kayu meranti putih untuk memasak di tungku api. Tahapan dilakukan sebagai berikut: pertama mengisi air dalam ketel kemudian api di tungku dinyalakan. Kayu bakar di dalam tungku selalu diperiksa dalam keadaan menyala, agar air dalam ketel mendidih. Setelah air dalam ketel mendidih, selanjutnya daun kayu putih dimasukkan ke ketel hingga penuh dan ditekan-tekan agar padat. Setelah itu ketel ditutup dengan rapat. Setelah waktu 2-3 jam maka uap air mengalir melalui cerobong di penutup ketel menuju ke pendingin, selanjutnya cairan yang berisi campuran minyak kayu putih dan air menetes ke jerigen. Proses penyulingan memakan waktu sampai kurang lebih 12 jam, dan tetap dijaga agar api tetap besar dan uap air terus menetes. Selama proses memasak, air didalam ketel diganti sebanyak dua kali. Setelah selesai memasak, selanjutnya hasil dalam gen dipisahkan antara minyak kayu putih dan air. Daun kayu putih di dalam ketel dibongkar setelah api padam dan ketel mulai dingin.

61

Setelah proses pembuatan minyak selesai, maka keluarga yang lain memulai penyulingan minyak kayu putih lagi.

Gambar 2. 17.

Huma Kerja Gelan (Rumah Kerja Kayu Putih) dan Ketel Kayu Putih Sumber: Dokumentasi penelitian 2014

Dalam satu kali memasak/menyuling, minyak kayu putih yang dihasilkan sebanyak 5 liter. Hasil tersebut masih dibagi dengan pemilik ketel dan pemilik chainsaw untuk memotong kayu masing-masing sebanyak satu liter, sehingga dalam satu kali memasak, satu keluarga hanya mendapatkan 3 liter minyak kayu putih.

Selain berburu, berkebun dan memasak kayu putih, maka semenjak dibukanya penambangan emas rakyat Gunung Botak di tahun 2011 banyak warga pegunungan yang turut mencari penghidupan di tambang. Dari hasil tambang tersebut selain menambah penghasilan juga digunakan warga untuk mulai membangun rumah semi permanen. Walaupun tidak banyak yang berhasil, namun hampir semua orang baik perempuan laki-laki, besar dan kecil pernah merasakan hasil dari bekerja di pertambangan emas rakyat Gunung Botak.

63

BAB 3