• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

2.1. Sejarah Pendudukan Buru 1. Menuju ke Pulau Buru

2.1.8. Reformasi dan Otonomi Daerah

dibuka untuk mencukupi kebutuhan para transmigran. Dari kamp pembuangan berubah menjadi lumbung beras, mungkin itu istilah tepat yang menggambarkan perubahan di Lembah Waeapo.

Kedatangan para transmigran memicu pertumbuhan penduduk di Pulau Buru. Pertambahan penduduk mendorong perubahan juga dalam struktur pemerintahan. Pembentukan desa baru maupun kecamatan baru tidak bisa dihindari seiring dengan keinginan warga yang tinggal di Pulau Buru untuk menjadi kabupaten sendiri. Hal ini juga dipicu oleh arus gelombang reformasi yang melanda di negeri ini sehingga proses pemekaran tidak terkendali. Jauhnya kota Kabupaten Maluku Tengah di Masohi menjadi salah satu alasan utama pemekaran kabupaten. Tidak ditemukan data secara rinci perubahan-perubahan pembagian wilayah pemerintahan di tingkat desa di Pulau Buru antara tahun 1958-1999 .

2.1.8. Reformasi dan Otonomi Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 46 Tahun 1999 terbentuk Kabupaten Buru sebagai pemekaran dari kabupaten Maluku Utara dan beribukota di Masohi. Namun demikian penetapansecara definif berdasarkan pada Undang-Undang 6 tahun 2000 menyebutkan pembentukan Kabupaten Buru dengan ibukota di Namlea. Pada tahun 2003 terjadi pemekaran kecamatan menjadi 10 kecamatan dari yang sebelumnya hanya 3 kecamatan. Pemekaran berlanjut di tahun 2008 seiring diterbitkannya UU No 32 tahun 2008 mengenai Kabupaten Buru Selatan, secara otomatis jumlah kecamatan di wilayah Kabupaten Buruberkurang menjadi 5 kecamatan yaitu Kecamatan Namlea, Kecamatan Waplau, Kecamatan Airbuaya, Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual.

27

Pada tahun 2012 dilakukan pemekaran di wilayah Waeapo untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yaitu Kecamatan Waelata, Kecamatan Lolongguba dan Kecamatan Teluk Kayeli. Sementara itu Kecamatan Liliali merupakan pemekaran dari Kecamatan Namlea, dan Kecamatan Fena Lisela merupakan pemekaran dari Kecamatan Air Buaya, sehinggasekarangjumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Buru berjumlah 10 buah. Wilayah Kabupaten Buru meliputi 4 wilayah petuaan adat yaitu Petuanan Leisela, Petuanan Tagalisa, Petuanan Liliali dan Petuanan Kayeli.

Gambar 2. 6. Peta Kabupaten Buru Sumber : www.Burukab.go.id 2.2. Penjagaan; Sejarah Geba Bupolo

Interaksi orang Buru terhadap orang asing berlangsung cukup lama. Cerita mengenai pulau Buru banyak dideskripsikan terutama semenjak Tapol yang berisi orang-orang cedik pandai dan cendekia yang tersangkut peristiwa 30 September tahun 1965(G30 S PKI) ataupun cerita masa-masa setelahnya. Namun

28

deskripsi mengenai Etnik asli yang mendiami pulau masih jarang ditemukan dalam khasanah perbincangan Etnik bangsa di Indonesia.Dalam beberapa tulisan para Tapol seperti Pramudya Ananta Toer menyebut orang Buru asli sebagai Alfuru. Alfuru sendiri merupakan istilah luas yang digunakan orang melayu untuk semua orang non muslim yang tinggal di wilayah tak terakses dibagian Timur kepulauan nusantara.

“Dan apabila generasi penduduk sebelumnya mengantongi dalam ingatannya invasi dari Loloda dan Patani dan Papua dengan busur panah, tombak dan parang, generasi penduduk sesudahnya akan mengantongi dalam ingatannya invasi peradaban baru: baca-tulis, angkul, perawatan medis, akupuntur, lembaga perkawinan, kedudukan anak dalam keluarga, arsitektur dengan paku dan siku penunjang, alat pertukangan dan cuisine. Invasi legendaris yang dibiayai oleh orang-orang buangan tanpa status (Nyanyi Sunyi seorang bisu; 209)”

Etnik Alifuru digambarkan oleh Pramudya sebagai Etnik pedalaman, Etnik asli yang masih memakai cawat, memegang tombak, parang dan memakai destar mirip dengan ikat kepala di Jawa. Kulit orang Buru asli terkena penyakit kaskado. Ia juga bercerita bahwa Etnik Buru yang hidup di pedalaman masih suka mengayau dan membunuh jika bertemu dengan orang pendatang. Cerita Pramudya mengenai Etnik Buru ini memberikan gambaran bahwa orang Buru masih sangat tertinggal. Banyak juga ditemukan kasus di warga Buru di sekitar unit tapol yang menderita filariasis atau kaki gajah. Wabah filariasis ini mulai menyerang para Tapol di Unit, sehingga membuat beberapa Tapol yang bekerja di bidang kesehatan mulai membentuk “Tim Micro Filaria”. Tim ini bekerja menyisir warga unit agar terbebas dari wabah filariasis dan juga menyasar

29

kampung-kampung di sekitar unit sebagai sumber wabah filariasis.

Tahun 1985 Direktorat Bina Masyarakat Terasing Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I. melakukan penelitian dengan judul “Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Terasing Etnik Rana di Pulau Buru dan Usaha-usaha Pembinaannya”. Etnik Rana dalam buku ini dijelaskan sebagai permukiman adat yang tinggal di sekitar danau Rana yaitu di wilayah Kecamatan Buru Utara Barat yang termasuk dalam Kabupaten Maluku Utara.

Hasil penelitian itu mendeskripsikan bahwa terdapat pengelompokan masyarakat terasing di Pulau Buru, yaitu :

1) Masyarakat Waelou dan Waetemun di Buru Selatan 2) Masyarakat Waiapu di dataran Wai Apu, Buru Utara Timur 3) Masyarkat Rana di Buru Utara Barat

Kesatuan sosial dalam konteks Etnik selanjutnya dalam deskripsi penulisan, Dinas Sosial menyebut sebagai masyarakat Rana sebagai salah satu dari sejumlah masyarakat terasing di pedalaman Pulau Buru. Kelompok masyarakat pedalaman dan pegunungan ini dianggap terbelakang. Penduduk di pesisir pantai menyebut masyarakat pedalaman ini sebagai orang gunung atau dalam bahasa daerah setempat disebut ‘Geba Kaku’. Ditinjau dari sudut perkembangan dan percampuran penduduk, maka penduduk Pulau Buru secara umum dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan penduduk yaitu:

1) Geba – Emlier- penduduk asli

2) Geba – Marakan – hasil kawin mawin antar penduduk asli dan pendatang

3) Geba – Malelir – para pendatang yang menetap di Pulau Buru

30

Selanjutnya tulisan ini menyebut bahwa masyarakat Rana adalah turunan asli dari Geba Emlier yaitu penduduk asli. Menurut mitologi penduduk setempat, rumpun Etnik Geba Emlier berasal dari dua orang manusia suami istri yaitu “Lawan

Ditau” (laki-laki) dan “Pateria Ditan” (perempuan).Mereka

berdua diciptakan oleh Oplastala atau Opoge Basnulat (Tuhan Yang Maha Esa) dan berdiam di sekitar hulu Sungai Waiapu dan Waikabo. Kedua makhluk tersebut kemudian menurunkan sepuluh jenis rumpun Etnik-Etnik kecil yaitu: Geka-Hain, Geka Waget, Waitenun, Wegida, Wahidi, Waeloa Gaeli (kayeli), Mocal Mesbait dan Maktita.

Penelitian lanjutan mengenai Etnik Buru banyak dilakukan oleh para penginjil yang masuk di wilayah Buru Selatan (sekarang Kabupaten Buru Selatan). Berbagai studi dilakukan untuk dapat mempermudah masuknya agama Kristen ke Pulau Buru.Tulisan mengenai struktur adat, bahasa, kebiasaan dan aturan adat dimiliki oleh penginjil terutama Yayasan Misi Pedalaman untuk dapat lebih mudah memahami pola perilaku dan kehidupan sehari-hari Orang Buru.

Etnik Buru dalam kajian Etnik-Etnik bangsa di Indonesia

secara jelas disebut oleh Koentjaraningrat (1979).

Koentjaraningrat menyebutkan George Alexander Wilken pernah membuat catatan pendek tentang etnografi Etnik Buru di Maluku pada tahun 1975 yang mendiskripsikan mengenai pola pernikahan Etnik Buru. Pulau Buru ditinggali oleh Etnik Buru yang memiliki sejarah dan kehidupan berbeda dengan Etnik lain di kepulauan Maluku.

Studi-studi lanjutan mengenai -Etnik Buru lebih banyak dilakukan oleh Balai Sejarah dan Nilai Tradisi Provinsi Maluku. Hampir setiap tahun beragam penelitian dilakukan untuk mendalami kehidupan dan nilai-nilai keseharian Etnik Buru di Pulau Buru.

31

Dalam studi yang berkelanjutan semenjak tahun 1989 -sekarang, Max Pattinama menyebutkan bahwa Orang Buru menyebut diri sendiri sebagai Orang Bupolo atau Geba Bupolo. Geba artinya orang, sementara Bupolo adalah nama awal pulau Buru menurut bahasa Buru. Geba Bupolo percaya bahwa dirinya dipercaya oleh generasi yang telah lalu untuk menjaga Pulau Buru. Menurut Geba Bupolo ada beberapa penggolongan penduduk Buru yaitu:

Gambar 2. 7. Penggolongan Penduduk Buru

Sumber: Pattinama, 2005

Geba Buru adalah orang Buru keseluruhan, terbagi menjadi Geba Bupolo sebagai orang asli Buru dan Geba Misnit atau pendatang. Geba Bupolo yang tinggal dan menetap di pegunungan disebut sebagai Geba Fuka. Geba Fuka dibagi menjadi dua yaitu Geba Fuka Unen dan Geba Fuka Fafan. Geba

32

Fuka Unen adalah Geba Bupolo yang tinggal di wilayah-wilayah yang dianggap keramatatau sering disebut sebagai pusat pulau Buru yaitu di Danau Rana dan Gunung Date. Sementara Geba Fuka Fafan adalah mereka yang tingal di sekitar lereng-lereng pegunungan. Sedangkan Geba Masin adalah orang Buru yang tinggal di pesisir pantai atau dekat dengan air masin (asin).

Dari berbagai sumber studi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Buru atau Geba Bupolo membagi secara tegas penduduk Buru berdasarkan lokasi dan ruang hidupnya. Penduduk pulau Buru tersebar di pesisir pantai, dataran rendah dan pegunungan. Sebaran penduduk ini disinyalir untuk menjaga daerah kekuasaan adat Etnik Buru yang masuk dalam masing-masing petuaan di setiap wilayah di Pulau Buru.

Dalam studi ini akan difokuskan mendeskripsikan Etnik Buruyang berada di Petuanan Kayeli, lokasi dilakukan studi ini. Petuanan Kayeli sendiri dipimpin oleh seorang raja yang berdiam di Kayeli. Petuanan Kayeli memiliki daerah kekuasaan dari kepala Air Waeapo sampai dengan Kaki Air Waeapo.Geba Bupolo di Petuanan Kayeli membagi penduduknya menjadi tiga bagian berdasarkan ruang hidupnya. Dalam istilah lokal disebut Kayeli Peta Telo yaitu:

1) Kayeli Kaku adalah orangKayeli yang tinggal di pegunungan 2) Kayeli Rata Lalen adalah orang Kayeli yang tinggal di daratan

rendah terutama di lembah Sungai Waeapo

3) Kayeli Sea Wait adalah orang Kayeli yang tinggal di pesisir pantai

Secara Administratif Petuanan Kayeli meliputi Kecamatan Namlea, Waeapo, Waelata, Teluk Kayeli dan Lolong Guba.Secara khusus studi ini mengambil lokasi di salah satu desa di Kecamatan Lolong Guba untuk mendapatkan gambaran kondisi kehidupan Geba Bupolo yang tinggal di Pegunungan.

33 2.3. Penyebaran Permukiman Geba Bupolo :Air Kelahiran

Pada awalnya permukiman asli orang Buru berada di sekitar Danau Rana, dan orang Bupolo menyebut dirinya sebagai orang dari Rana atau Fili Rana. Pendudukan Kesultanan Ternate, Portugis, Belanda, Jepang, datangnya Tapol, dan transmigrasi membuat orang-orang Rana tersebar ke beberapa wilayah untuk menjaga kekuasaan yang dititipkan kepada mereka. Di pegunungan Danau Rana sisi Selatan, Fili Rana turun mengikuti aliran sungai yang mengalir dari Danau Rana. Sementara itu orang-orang di pegunungan bagian Utara berdiam di kepala air22 disekitar pegunungan dan turun mengikuti aliran sungai tersebut. Ikatan warga dengan air cukup erat bagi orang Buru, dalam bahasa Buru sungai disebut dengan wae. Secara khusus orang-orang Buru di Petuanan Kayeli tinggal di kepala air yang bermuara di Waeapo. Orang Buru menyebut daerah tempat tinggal di sekitar air tersebut sebagai Air Kelahiran. Hal ini membedakan istilah orang Maluku secara umum yang menyebut lokasi awal tempat tinggal teteh nenek moyang mereka sebagai mata rumah.

Air kelahiran ini kemudian dikeramatkan oleh anak keturunannya. Air kelahiran juga disebut sebagai “air pamali/keramat” oleh salah satu fam atau Etnik tertentu yang berbeda air pamalinya dengan Etnik yang lain. Sehingga orang Buru akan menjaga titipan dari orang tuanya yang menyebut bahwa air kelahiran ini harus dijaga terus kelestariaannya. Wilayah di sekitar air kelahiran inilah yang kemudian dijadikan pusat permukiman dan wilayah berkebun dan berladang sehingga anak turunnya akan tinggal dan menetap di sekitar air

22Kepala air adalah sebutan lokal untuk menyebut hulu-hulu sungai, sementara muara sungai disebut dengan istilah kaki air

34

kelahiran tersebut. Asal-usul Geba Buru bisa ditelusur dari air kelahiran mana dia berasal. LN menuturkan :

“Eee waepertama, wae kitam lomon bani, wae pertama yang wae kitam lomon waeni. kitam lomon wae li wae.

Itu disingkat kelahiran ini memang kita lahir di sini tapi karena disusun dari teteh nenek moyang kan lahir di situ makanya disebut kan air kelahiran. Jadi kita itu merantau kemanapun tetap ingat bahwa kita punya air keramat itu karena katong punya keturunan dari situ, pertama tinggal di situ makanya disebut itu air kelahiran. Katong terpancar ke ujung dunia pun, katong tahu bahwa

katong punya kelahiran di sini di Waetet. maka katong

semua tetap pulang ke Waetet.”

Di masa lalu, pola hidup orang pegunungan terutama di sekitar Danau Rana masih bersifat nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kondisi ini seperti dituturkan oleh salah satu informan bahwa pada awalnya orang Buru tinggal berkelompok-kelompok berdasarkan famnya. Perpindahan antara satu tempat ke tempat lain biasanya disebabkan oleh pertengkaran antar keluarga, peperangan antar kelompok dan umumnya karena wabah penyakit yang menyerang sebagian besar anggota kelompok atau ketua kelompok tersebut meninggal dunia. Perpindahan tempat tinggal pun masih tidak akan jauh dari air moyang mereka.