• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET KESEHATAN

3.1. Pra Hamil

3.1.1. Remaja Usia 10 Sampai 24 tahun

Interaksi sosial remaja pada dasarnya beraneka ragam. Biasanya remaja putri akan berkelompok dengan remaja putri,

sebaliknya remaja laki akan berkelompok dengan remaja laki-laki. Di Desa Nafrua, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru sebagian besar remaja usia 10-24 tahun membantu orang tuanya

64

untuk bekerja mencari nafkah. Penghidupan sehari-hari orang Buru, sebenarnya sangat tergantung kepada minyak kayu putih. Mereka sejak kecil terbiasa membantu orang tuanya mencari daun kayu putih di hutan untuk dijadikan minyak kayu putih.

Gambar 3. 1.

Kegiatan Remaja Bermain “Bekel” Dari Batu Kerikil Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Masyarakat Buru menyebutnya “urut daun“, pekerjaan yang biasa dilakukan selama hampir 2 bulan di ketel, atau tempat penyulingan minyak kayu putih. Tidak hanya laki-laki saja yang bekerja tetapi juga perempuan dan anak-anak. Mereka membawa semua keluarga untuk pergi ke ketel dan biasanya membutuhkan waktu selama 4-5 hari, diselingi satu hari kembali ke kampung untuk belanja bekal di ketel . Banyaknya warga pergi ke ketel ini menjadikan lokasi permukiman di kampung sepi, tidak ada orang, hanya tertinggal perempuan dan anak-anak saja ataupun hanya keluarga yang sedang tidak beradadi ketel. Penghasilan yang diperoleh dari menjual satu liter minyak kayu putih bisa mencapai harga Rp. 160.000,-. Minyak kayu putih merupakan salah satu produk andalan Kabupaten Buru. Minyak

65

atsiri hasil destilasi atau penyulingan daun kayu putih (Melaleuca

leucadendron Linn), ini memiliki bau dan khasiat yang sangat

khas, sehingga banyak dipakai oleh setiap orang, terutama pada bayi. Minyak kayu putih dapat tumbuh di daerah tandus, tahan panas dan tumbuh kembali setelah dibakar pohonnya. Pohon kayu putih terdapat secara alami di Desa Nafrua, yang tumbuh di daerah pegunungan. Permukaan daun minyak kayu putih berambut, warna hijau kelabu sampai hijau kecoklatan. Jika daun dimemarkan berbau minyak kayu putih. Perbungaan majemuk bentuk bulir, bunga berbentuk seperti lonceng, daun mahkota warna putih, kepala putik berwarna putih kekuningan, keluar di ujung percabangan. Daunnya, melalui proses penyulingan, akan menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih, yang warnanya kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan. Daun kayu putih perbanyakan dengan biji atau tunas akar.

Gambar 3. 2.

Pohon Kayu Putih Yang Tumbuh Di Pegunungan Sumber: Dokumentasi Internet

66

Gambar 3. 3.

Tumpukan Daun Kayu Putih Siap Masak Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Berikut adalah tahapan membuat minyak kayu putih: 1) Daun kayu putih di urut terlebih dahulu dari pohonnya

kemudian baru dilakukan penyulingan secara sederhana 2) Hal pertama yang dilakukan setelah urut daun yaitu

mengisi air dalam ketel kemudian api di tungku dinyalakan. Kayu bakar di dalam tungku selalu diperiksa dalam keadaan menyala, agar air dalam ketel mendidih. 3) Setelah air dalam ketel mendidih, selanjutnya daun kayu

putih dimasukkan ke ketel hingga penuh dan ditekan-tekan agar padat. Setelah itu ketel ditutup dengan rapat. 4) Setelah waktu 2-3 jam maka uap air mengalir melalui

cerobong di penutup ketel menuju ke pendingin, selanjutnya cairan yang berisi campuran minyak kayu putih dan air menetes ke jerigen.

67

5) Proses penyulingan memakan waktu sampaikurang lebih 12 jam, dan tetap dijaga agar api tetap besar dan uap air terus menetes.

6) Selama proses memasak, air didalam ketel diganti sebanyak dua kali. Setelah selesai memasak, selanjutnya hasil dalam gen dipisahkan antara minyak kayu putih dan air.

7) Daun kayu putih di dalam ketel dibongkar setelah api padam dan ketel mulai dingin. Setelah proses pembuatan minyak selesai.

Gambar 3. 4.

Tempat Penyulingan Minyak Kayu Putih Yang Biasa Disebut Ketel Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

68

Gambar 3. 5.

Minyak Kayu Putih Keluar Dari Ketel Sumber: Dokumentasi Internet

Minyak kayu putih mempunyai sifat antiseptik dan antibakteri. Minyak kayu putih juga bermanfaat dalam kasus sakit gigi, membantu dalam mengendalikan kadar gula darah dan juga dapat sebagai bahan penyedap pada produk-produk makanan seperti pembuatan kembang gula atau makanan yang dipanggang (www.merdeka.com, 2014). Dari daun hingga batang kayu putih memiliki khasiat yang beragam dan mampu mengobati berbagai gangguan kesehatan antara lain:

1) Daun kayu putih yang masih segar memiliki khasiat dapat mengobati demam, flu, batuk dan radang kulit

2) Daun kayu putih yang sudah kering memiliki khasiat untuk sakit rematik dan nyeri tulang

3) Kulit kayu putih yang sudah kering dapat mengobati penyakit insomnia

4) Kulit kayu putih yang masih muda dapat mengobati luka yang bernanah (obatnaturals.blogspot.com).

69

Sosialisasi antar remaja biasanya terjadi pada kegiatan yang dilakukan di rumah ibu desa. Kegiatan yang dilakukan biasanya mendengarkan musik dengan suara yang nyaring, memutar video dan bernyanyi sambil berjoget bersama.

Anak-anak remaja juga akan melakukan hal yang sama ketika ada acara pernikahan atau acara adat. Lagu yang selalu mereka bawakan berjudul “Pulau Buru Manise”, syairnya adalah sebagai berikut :

“Pulau buru manise

Tanah asal beta eyang beta cinta Lama beta pigi e tinggal negri manise sio asik nawange

Biar jauh dimata tapi dalam hati e beta seng lupa sio mama deng bapa di pulai manise

Hari hari rindue malam malammimpie ingat pulau buru manise

Beta ingin pulange kumpul ba sudarae makan kasbi bakar pisang

Air mata jatuh dipipi

Mengapa beta membuang badan jauh disini e asinge...

Lagu tersebut merupakan lagu ungkapan bagi masyarakat Buru yang sedang merantau dan merindukan kampung halamannya. Biasanya lagu tersebut dinyanyikan menggunakan pengeras suara pada malam hari dengan suara yang nyaring yang mampu memecah keheningan malam di tanah Buru.

Pergaulan antara laki-laki dan perempuan di Desa Nafrua memiliki batasan, mereka dilarang untuk berkumpul sampai larut malam. Tidak boleh berduaan di tempat yang sunyi, tidak boleh melakukan aktifitas seksual sebelum menikah. Namun demikian meskipun ada batasan tersebut, ada juga remaja yang melanggar. Apabila mereka berpacaran sampai sang wanita hamil maka

70

mereka akan dinikahkan. Di Desa Nafrua, wanita yang sudah menikah tidak mengenal alat kontrasepsi. Dari pengamatan peneliti selama pengumpulan data memang belum pernah ada penyuluhan tentang alat konstrasepsi dari Puskesmas keliling (Pusling) yang hanya memberikan pelayanan pengobatan setiap 2 tahun sekali ke Dusun Mesayang Desa Nafrua ini. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Desa Nafrua memiliki lebih dari 2 anak, sehingga program keluarga berencana belum terlaksana dengan baik di desa ini.

Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi juga kurang. Mereka tidak memahami dampak tentang Penyakit Menular Seksual. Remaja disana tidak memahami faktor penyebab terjadinya Penyakit Menular Seksual dan dampak yang terjadi apabila berganti-ganti pasangan. Dari hasil wawancara mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi, semua informan tidak mengetahui apa itu AIDS, bagaimana penularannya, siapa yang berisiko terkena penyakit AIDS serta bagaimana cara mencegahnya.

Di dusun Mesayang tidak terdapat sekolah.Sekolah satu atap hanya ada di Dusun Ukalahin dan letaknya cukup jauh untuk diakses oleh masyarakat Mesayang. Hal ini menyebabkan masyarakat Dusun Mesayang tidak ada yang sekolah. Namun hal tersebut tidak jauh berbeda dengan masyarakat Dusun Ukalahin yang memiliki sekolah satu atap namun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat disana seperti yang disampaikan oleh informan P berikut:

“...kalau di bidang pendidikan, anak-anak itu supaya urus pergi ke sekolah, kalau di sini tidak, biar saja begitu, mau pergi ke sekolah atau tidak anak-anak tidak mau urus kasih mandi, urus makan minum teh. kalau sekolah ya sekolah. anak-anak itu berusaha sendiri kalau tidak masih juga begitu. dia menghilang kemana-kemana

71 tidak tahu anak ini siapa yang atur dia. tetapi kalau orang yang sudah pengalaman pagi-pagi urus anak, atur dia ke sekolah, baru mereka laksanakan aktivitas di kebun kah di tempat lain. tetapi di sini tidak. jadi ya tadi saya katakan kita setiap hari dari rumah cari anak-anak. kalau tidak begitu saja, karena orang tua tidak punya pemahaman mengenai pendidikan itu untuk maju... Anak-anak juga dalam pendidikan belum terlalu mereka perhatikan, jadi kalau mau sekolah ya sekolah, kalau seng sekolah ya kasih biar begitu. Jadi kita yang cari dari rumah ke rumah. Kalau orang tua belum mampu urus anak. Mereka juga belum mengerti mengenai pendidikan. Kalau anak itu tidak sekolah ya biar saja begitu saja. Dia tidak kasih tekan atau antar ke sekolahkah, bagaimana urus dia pagi-pagi, tidak, kalau malah ia mau ikut ke kebun ia mau lagi.. ikut. Jadi maklum kita punya keadaan begitu...”

Gambar 3. 6.

Remaja Dan Anak-Anak Bermain Sepak Bola Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

72

Remaja yang belum menikah yang ditemui peneliti berusia antara 10 sampai 15 tahun. Pada umumnya remaja didesa ini tidak mengenyam pendidikan formal.Hal ini sangat berpengaruh terhadap pengetahuan remaja tentang kesehatan. Usia pernikahan cenderung sangat muda, berkisar antara 13 tahun sampai 18 tahun. Biasanya mereka akan melakukan pertunangan terlebih dahulu sebelum mereka melangsungkan pernikahan.

Karena tidak adanya sekolah di dusun ini maka pada umumnya remaja maupun penduduknya berpendidikan sangat rendah seperti yang dituturkan Kepala Desa Nafrua,

Latar belakang pendidikan rata-rata masyarakat disini masih sangat rendah sekali, rata-rata masyarakat Nafrua itu tidak memiliki latar pendidikan dasar yang cukup. Kemudian ada satu… apa itu ya?...dibilang… saya juga kurang memahami apa itu organisasi atau lembaga, tapi saya mengetahui Desa Nafrua ini ada pemberantasan buta aksara dari MISI itu disegala umur…”

Awal menstruasi merupakan tanda kedewasaan pada perempuan dan untuk laki-laki ditandai dengan telah mengalaminya mimpi basah. Ketika ditanyakan tentang pengetahuan seputar menstruasi, kebanyakan remaja putri tidak memiliki pengetahuan tentang apa itu mentruasi meskipun mereka telah mengalami menstruasi. Pada waktu ditanyakan tentang penggunaan pembalut saat menstruasi semua informan remaja putri mengaku menggunakan kain, hal ini disebabkan karena didesa ini tidak terdapat warung atau toko yang menjual pembalut yang biasa beredar di pasaran sesuai dengan pengamatan peneliti selama penelitian. Sedangkan untuk sunat perempuan dalam tradisi Etnik Buru memang terdapat sunat perempuan dan pada umumnya dilakukan pada saat anak perempuan berusia 3 sampai 4 tahun begitu juga dengan sunat

73

laki-laki sudah menjadi tradisi dalam Etnik ini secara turun-temurun. Pada saat ditanya tentang sunat perempuan, semua informan remaja putri mengaku telah mengalami sunat perempuan, seperti yang diungkapkan seorang informan remaja D,

“3 sampai 4 tahun anak parampuan disunat atau kami hitung bulan no 3 sampai 4 tahun butun sia labe pe pi (lebih dari itu juga bisa)”

Tokoh masyarakat P juga menjelaskan tentang budaya sunat di Etnik Buru,

“ Bahasa buru itu disebut besunat, laki-laki maupun perempuan baik Islam, Kristen, Hindu semua harus, karena itu budaya yang tidak bisa dihilangkan...”

Tidak terdapat potensi wisata di dusun Mesayang Desa Nafrua ini, sehingga jarang sekali pendatang dari luar datang ke desa ini. Peneliti dari universitas ataupun dari instansi lainpun tidak pernah ada yang menjadikan desa ini sebagai lokasi penelitian. Di samping itu belum adanya sekolah didesa ini membuat hal-hal yang ingin diketahui peneliti seputar remaja, mengalami kendala karena dikalangan remaja pertanyaan seputar menstruasi maupun mimpi basah dianggap masih tabu dan remaja di sini pada umumnya merasa malu menjawab dan masih menutup diri.

Didesa ini, ketersediaan pangan yang ada dan ditanam di ladang penduduk dari hasil observasi peneliti antara lain Papeda

kasbi (singkong), pisang, jagung, pakis, Keladi (Ubi talas), kacang

panjang, cabe rawit, kacang tanah, Petatas (ubi jalar), dan papaya. Makanan pokok masyarakat dan remaja khususnya adalah Papeda kasbi (singkong yang diolah menjadi sagu) dan

Mangkausehan (ampas dari kasbi), terkadang lauk bila ada sayur

74

ikan jarang dikonsumsi karena letak desa merupakan daerah pegunungan, jauh dari pantai serta akses transportasi dan jalan yang sulit. Daging hewan yang sering dikonsumsi dari hasil berburu dan beternak sendiri seperti babi hutan, rusa, Kusu (kelelawar) dan ayam.

Gambar 3. 7.

Papeda Kasbi

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 3. 8.

Mangkausehan (Ampas dari Perasan Singkong/Kasbi)

75

Pola makan remaja disana pada umumnya, makan tiga kali dalam sehari yaitu di waktu pagi antara jam 08.00-09.00, siang sekitar jam 13.00 dan malam sekitar jam 19.00 setelah matahari terbenam. Untuk camilan yang biasa dikonsumsi remaja adalah pisang bakar dan singkong goreng yang ditaburi dengan gula merah. Untuk remaja putra pada umumnya memiliki kebiasaan meminum “Sopi” (minuman khas Etnik Buru yang terbuat dari pohon enau, mengandung alkohol sehingga tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah banyak karena memabukkan), karena minuman tersebut dipercaya dapat menambah stamina. Ada aturan khusus yang mengatur norma waktu makan pada remaja Etnik Buru yaitu mereka tidak boleh makan sebelum orang tua mereka selesai makan baik makan pagi, siang maupun sore. Seperti yang dituturkan oleh informan P,

“...sudah mulai atur makanan itu tiga kali ada minum pagi sore. Tetapi kalau asli, tidak teratur begitu, paling satu hari satu kali makan, disini bilang kasbi atau mangkausehan kita punya makan asli, itu ubi itu diolah diparut, dia punya santannya itu diolah, papeda namanya. Lalu dia punya ampasnya itu dikeringkan diatas api, kalau kering itu keras sekali, nah itu dia yang punya makanan khasnya. dia tumbuk atau seperti goreng itu tetapi tidak pakai minyak, mangkau sehan, mangkau itu ubi, sehan itu ampas, lalu dia makan itu santan jadi papeda. Itu makanan khas....”

Untuk menu makan remaja pada umumnya sama dalam sehari untuk makan pagi, siang sampai sore. Untuk makan siang kebiasaan mereka membawa bekal makanan dan dimakan di kebun tempat mereka bekerja membantu orang tua. Bekal yang biasa mereka bawa disimpan didalam wadah plastik dan terkadang dibungkus dengan daun pisang lalu dimasukkan kedalam “Fodo” (tas keranjang yang diletakkan di punggung

76

terbuat dari anyaman rotan) yang biasa dibawa remaja maupun masyarakat yang hendak pergi kekebun untuk membawa bekal makanan, atau hasil kebun seperti pisang, papeda kasbi, jagung, kayu bakar, daun kayu putih dll.

Tidak ada aturan khusus yang mengatur pergaulan remaja di desa ini. Seperti yang disampaikan di atas bahwa pada kesehariannya kebiasaan remaja putra dan putri akan berkumpul bersama untuk sekedar bermain kartu ataupun bersantai sambil mendengarkan musik atau sambil berjoged. Kebiasaan lain yang sering dilakukan remaja didesa ini menonton film bersama di rumah Kepala Desa yang memiliki DVD player. CD film ini di peroleh oleh kepala desa dengan membeli di Unit (sebutan untuk Desa Wagernangan yang kondisi perekonomiannya lebih maju daripada Desa Nafrua).

Gambar 3. 9.

Remaja yang Sedang Berkumpul di Rumah Ibu Desa untuk Berjoget dan Berkumpul

77 3.1.2 Pasangan Suami Istri Belum Pernah Hamil

Pada saat penelitian, peneliti tidak menemukan pasangan suami istri yang belum pernah hamil, kebanyakan pasangan suami istri telah memiliki anak lebih dari 2. Sistem kekerabatan didesa ini menganut patrilinear (yaitu anak laki-laki meneruskan garis keturunan), sehingga pasangan suami istri didesa ini tidak akan berhenti hamil sebelum mendapatkan anak laki-laki. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan Bapak P berikut,

“Anak laki-lakilah... Seperti orang Jawa panggil mas, kalau orang Buru sini laki-laki itu, itu anak yang berharga itu. Kalau istilah mas itu kalau di Buru ini setuju dengan anak laki-laki kalau dipanggil mas, karena memang mas itu anak laki-laki. Seperti kawin tadi, walaupun dia punya anak perempuan terus walau dia sudah punya istri 3 atau 4 dia harus cari istri lain supaya ada anak laki-laki, itu salah satu faktornya. Kalau dia kawin perempuan itu dia cari perempuan lagi sampai dapat anak laki-laki, jadi bukan saja dari keinginan dia, tetapi yang perempuan juga.Karena mungkin musyawarah, kamu harus cari perempuan satu. Itu juga baik tetapi dia juga ada embel-embel juga, harus diperbaiki, bukan diubah tetapi ya kawin banyak-banyak itu. Di gunung ini diatas sini ada orang punya istri tujuh, yang saya bilang kampung diatas ini...”

Hal serupa juga dituturkan oleh informan lainnya yaitu Ibu H,

“Anak parampuan kalo sudah besar sudah menikah pindah ke rumah suami tapi kalo anak laki-laki nikah tetap tinggal dikeluarga dan hanya anak laki-laki yang meneruskan nama keluarga (marga)”

Karena yang akan meneruskan garis keturunan maka anak laki-laki dianggap lebih berharga daripada anak perempuan, selain itu anak laki-laki kelak dihari tua akan tinggal mengurus

78

harta dan orangtuanya. Sedangkan anak perempuan akan tinggal di rumah keluarga laki-laki yang menjadi suaminya dan menjaga orang tua suaminya. Seperti juga yang dituturkan oleh informan P,

“...ya laki-laki, dan di Buru ini kalau perempuan dianggap tidak berhak itu warisan. Karena sebentar dia akan keluar dari rumah. sedangkan yang laki-laki itu membawa keluarga, marga, nama Etnik itu bertambah, jadi yang menerima warisan itu laki-laki...”

Bila tidak tinggal dalam satu huma (sebutan rumah di Etnik Buru) bersama orang tua laki-laki mereka akan membuat

huma disekitar atau berdekatan dengan huma orang tua laki-laki.

Perempuan yang tinggal bersama orang tua laki-laki dalam kesehariannya akan membantu ibu mertuanya memasak di dapur, mengurus huma maupun bekerja di kebun atau di ketel. Sepertiyang disampaikan oleh informan P,

“...jadi harta warisnya tetap laki-laki seperti dusun, kalau usaha begitu. harus dimiliki olrh laki-laki, karena dianggap perempuan itu orang punya nantinya. Kalau istilah di sini bilang kawin keluar itu fhenwaet nake atau taga huma fenen.Fhenwaet artinya Etnik lain punya, perempuan itu Etnik lain punya.Taga huma fenen itu dia ikut di orang lain. nanti dia menghidupkan asap api di orang lain. Bukan dia punya Etnik sendiri...”

Anak laki-laki dan perempuan didesa ini pada umumnya bekerja di kebun atau di ketel membantu orang tua. Anak perempuan selain bekerja di kebun atau di ketel, mereka juga harus membantu ibu mereka memasak makanan, mencari kayu bakar dihutan atau digunung serta membersihkan rumah. Sedangkan anak laki-laki membantu ayahnya berburu babi atau

79

rusa dihutan dan membuat kandang dan mengurus ternak ayam atau babi.

Di waktu senggang, perempuan Etnik Buru biasanya menghabiskan waktunya untuk bercengkerama di depan rumah tetangganya atau saudaranya dan juga kegiatan mencari kutu untuk menghabiskan waktu luang mereka.

Gambar 3. 10.

Kegiatan Perempuan Etnik Buru Mencari Kutu Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Bagi masyarakat yang belum pernah hamil karena sulit memiliki keturunan, masyarakat Buru memiliki keyakinan bahwa sang suami memiliki “doa panas” atau yang biasa disebut ilmu panas. Pemilik doa panas/ilmu panas menyebabkan bahwa seorang lelaki tidak bisa memiliki keturunan. Maka ia harus melepaskan ilmu panas jika ingin memiliki keturunan. Ada kasus satu orang warga di daerah unit yang menikah dengan 8 orang perempuan namun dari 8 orang perempuan itu ia tidak mendapatkan anak. Konteks mandul atau sperma laki-laki tidak

80

mampu membuahi ovum perempuan tidak dipahami atau tidak dimiliki oleh Etnik Buru.

Kasus lain juga dialami oleh pak Y, suami ibu kepala desa. Berdasarkan cerita dari ibu kepala Desa, suaminya sebelumnya sudah menikah selama 12 tahun, namun tidak memiliki anak. Setelah ia menikah lagi dengan istri yang sekarang yaitu ibu kepala Desa Nafrua, satu setengah bulan kemudian perut ibu desa mulai terisi janin, namun mengalami keguguran ketika naik pesawat dari Manado ke Ambon, karena pendaratan yang sulit. Selanjutnyaia pergi ke dokter untuk konsultasi. Keluargasuami berkumpul di Ambon setelah mengetahui bahwa istrinya mengalami keguguran. Mereka menyarankan untuk tidak dikiret namun akan dibuatkan ramuan-ramuan untuk membersihkan kandungan agar kembali cepat hamil. Secara rinci ibu desa tidak mengetahui komposisi ramuan tersebut, namun setelah minum ramuan tersebut pagi harinya ketika ke kamar mandi gumpalan darah tersebut keluar selanjutnya gumpalan darah tersebut di buang di saluran pembuangan kamar mandi hotel.

Beberapa bulan kemudian istri kepala desa kembali hamil, namun saat hamil tersebut ia merasakan sakit yang luar biasa. Sebelum menikah dengan Pak Y ibu desa sudah memiliki 3 orang anak yang tinggal di Jogja. Pengalaman hamil kedua dengan pak Y ini merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi dirinya. Muntah-muntah dan merasakan sakit yang luar biasa. Mendengar ibu desa mengalami sakit yang sangat luar biasa, mama mantu akhirnya turun ke unit. Ia melakukan babeto atau