• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

2.7. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan

Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat adat di Indonesia didasari oleh faktor genealogis atau keturunan dari moyang yang sama. Sistem kekerabatan masyarakat Buru menggunakan sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan yang anggotanya menarik garis keturunan dari pihak laki-laki saja. Berikut penyebutan kekerabatan Geba Bupolo dalam bahasa Buru:

Tabel 2. 1. Penyebutan Kekerabatan Geba Bupolo Dalam Bahasa Buru 1. Ego : Diri 2. Kakek : Teteh 3. Nenek : Nenek 4. Ayah : Ngama 5. Ibu : Ngina 6. Kakak : Kaim(h)ana 7. Adik : Wai

8. Kakak perempuan : Kai

Fina

9. Adik Perempuan : Wai

Fina

10. Ipar laki-laki : Wali

11. Kakak laki-laki Ibu :

Memelahi

12. Istri kakak laki-laki ibu :

Watelahi

13. Kakak perempuan ibu : 14. Suami kakak perempuan

ibu : Wate

15. Kakek dan nenek dari ibu : Opolahi

16. Kakek dari bapak : Bobo 17. Nenek dari bapak : 18. Buyut : Opo Osi

19. Mama mantu : Ngina

Kete

20. Bapak Mantu : Ngama

Kete

Sumber: Data Primer

Dalam kepercayaan masyarakat Buru menyebut nama asli orang tua dan mertua baik laki-laki maupun perempuan dianggap sebagai pamali. Penyebutan harus menggunakan ngama dan

48

ngina untuk memanggil mereka berdua. Namun ketika terpaksa

harus menyebutkan nama ayah dan ibu kandung, orang Buru harus meminta ijin dan maaf terlebih dahulu kepada leluhur. Hal ini menunjukkan bahwa penghargaan kepada orang tua baik laki-laki dan perempuan sebagai orang tua yang mengasuh dan membesarkan anak-anaknya.

Proses perkawinan masyarakat Bupolo melalui

persyaratan adat yang cukup ketat. Dalam membentuk sebuah keluarga, sangat terkait dengan sistem perkawinan yang dianut yaitu berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Di wilayah Kayeli Kaku, masih banyak ditemukan kepala keluarga yang memiliki istri lebih dari satu. Adat melarang perkawinan satu Etnik/fam. Lelaki dari satu fam harus mengambil perempuan dari fam lain atau dalam istilah antropologis berciri patrilokal dan bersifat eksogami.

Sistem kekerabatan patrilineal mengharuskan istri masuk ke dalam klan suami. Proses masuknya calon istri ke klan suami ini mengharuskan pihak laki-laki untuk membayar sejumlah harta kawin. Dalam istilah orang Kayeli menyebut perkawinan mereka sebagai kawin harta. Lelaki harus menyediakan harta adat dan

harta gandong atau dalam referensi yang lain menyebut sebagai

‘kupang’. Harta adat merupakan bagian yang diperuntukkan untuk membeli perempuan salah satu fam kepada kepala adat dan kepala soa. Sementara harta gandong adalah harta sebagai pengganti air susu dan keringat orang tuanya dalam mendidiknya hingga besar. Besaran harta kawin yang dikenakan kepada pihak laki-laki tergantung dari permintaan keluarga perempuan. Harta kawin ini antara lain: gong, piring makan, cangkir, kain putih, kain merah, kuali, parang, tombak dan babi. Jumlah harta kawin yang harus disetorkan ke pihak perempuan kadang sampai berjumlah ribuan, misalnya gong 100 buah, piring 1000 buah, tombak dan parang 1000 buah. Meskipun harta kawin itu cukup banyak

49

namun bagi seorang pria yang akan kawin tidak merasa berat karena semua ditanggung bersama-sama oleh keluarga satu fam. Proses perkawinan masyarakat Bupolo menunjukkan bahwa ada aliran harta antara satu kelompok fam ke fam yang lain. Jumlah harta kawin akan menentukan status seseorang dalam kelompok sosial tersebut. Adanya aliran harta yang relatif besar dari kelompok satu ke kelompok yang lain maka perkawinan juga karena negoisasi agar beban yang dipikul oleh anggota kerabat tidak begitu besar. Pihak keluarga laki-laki harus menunjuk negoisator yang ulung dalam proses penentuan jumlah harta yang akan diajukan oleh pihak perempuan. Perempuan yang sudah terbeli dengan harta kawin masuk ke klan suaminyadan ikatan perkawinan ini dalam istilah adat disebut

safemati dan belimati artinya perempuan tersebut dikawini

sampai mati. Besarnya harta yang harus ditanggung oleh lelaki ini mengakibatkan jarangnya kasus perceraian. Jika perempuan lari dari keluarga laki-laki maka suami bisa menuntut kepada keluarga pihak perempuan untuk mengembalikan harta yang telah diberikan oleh pihak laki-laki. Jika tuntutan tidak terpenuhi maka pilihan lainnya hanyalah mati di ujung tombak.

Masyarakat Buru dikenal bentuk–bentuk perkawinan dan cara-cara perkawinan yang menentukan besaran harta kawin yang dikenakan. Bentuk perkawinan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kawin Himlau

Bentuk perkawinan meminang gadis. Perkawinan didahului dengan lamaran oleh pihak laki-laki ke keluarga perempuan

2. Kawin Hakafina

Bentuk perkawinan dengan cara melarikan gadis. Pemuda melarikan gadis dari soa lain karena sama-sama jatuh cinta sedangkan keluarga perempuan tidak menyetujuinya. Setelah itu pihak perempuan akan mencari anak gadisnya

50

dan kemudian terjadi negoisasi harta kawin yang dikenakan kepada pihak laki-laki yang telah melarikan anak gadisnya. Pihak laki-laki harus menyanggupi dan membayar berapapun harta yang diminta oleh pihak perempuan, selanjutnya baru proses pernikahan dilangsungkan.

3. Kawin Bauta

Bentuk perkawinan mengabdi. Laki-laki telah mengabdi terlebih dahulu kepada orang tua perempuan, umumnya hal ini dilakukan ketika usia perempuan masih kecil. Panjar harta kawin dan tenaga telah diberikan berdasarkan persetujuan orang tua perempuan. Dalam bentuk lain, pihak laki-laki telah membeli anak perempuan tersebut semenjak kecil dan bahkan ada juga pihak laki-laki yang menaruh harta kawin kepada pihak perempuan semenjak perempuan yang akan dinikahi masih berada di kandungan.

4. Kawin Tukar

Perkawinan saling tukar menukar saudara yang berbeda fam. Misalnya laki-laki dari fam a mengambil perempuan dari fam b, dan salah satu anggota kerabat fam b mengambil perempuan dari fam a.

5. Kawin Osorono

Perkawinan masuk ke fam tertentu hal ini dilakukan untuk mempertahankan keturunan dan jaminan hidup karena usia sudah tua.

6. Kawin Folu

Yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki-laki mendiang suaminya.

Terkait dengan harta warisan, apabila seorang ayah meninggal dunia maka hartanya tidak langsung dibagikan kepada anak-anaknya. Harta warisan terutama harta adat harus diurus oleh anak laki-laki yang tertua atau anak laki-laki yang dipercaya untuk memegang titipan keluargannya. Anak laki-laki pemegang

51

harta adat berkewajiban untuk memelihara dan mengawinkan

adik-adiknya sebagai pengganti kedudukan ayahnya yang sudah meninggal.