• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Permukiman Berpindah Menuju Menetap

PERSEPSI PENYAKIT MENURUT GEBA BUPOLO

4.1. Dari Permukiman Berpindah Menuju Menetap

Kondisi kesehatan Geba Bupolo terutama di daerah pegunungan jika dilihat dari kaca mata kesehatan modern sangat mengkhawatirkan. Jarangnya kehadiran tenaga kesehatan ke daerah tersebut membuat warga bertahan dengan alam yang melingkupinya. Faktor kesehatan, terutama sakit dan kematian menjadi salah satu penyebab utama masyarakat Bupolo di pegunungan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sakit dan kematian merupakan pertanda bagi masyarakat Buru terutama di pegunungan bahwa kondisi lingkungan yang melingkupinya sudah tidak sehat lagi. Jika ditilik lebih jauh,

164

kondisi ini menunjukkan bahwa Geba Bupolo memiliki kearifan kultural yang baik dalam hal kesehatan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidak saja didasarkan pada keberadaan binatang buruan, hasil hutan dan lokasi untuk berkebun namun kondisi lingkungan yang membuat kesehatan terganggu.

Gambar 4. 1.

Huma Bupolo: Rumah Orang Buru Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Pengetahuan lokal mengenai kondisi lingkungan yang baik berdasarkan standart kesehatan sebenarnya melekat dalam keseharian kehidupan Geba Bupolo yang berlangsung dari jaman dulu hingga sekarang. Kondisi seperti ini sebenarnya umum bagi masyarkat yang masih menggunakan sistem ladang berpindah, tak terkecuali di Pulau Buru. Luas lahan, wilayah yang bergunung-gunung dan jumlah penduduk di masa lalu masih memungkinkan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pola permukiman berpindah ini pun tergerus oleh waktu. Masuknya pemerintah dengan program permukiman kembali masyarakat terasing di Pulau Buru, pada tahun 80-an, menyebabkan kehidupan tradisional yang selama ini diwariskan secara terus

165

menerus dari generasi ke generasi semakin terkikis. Sebelumnya, masuknya Tapol dan Napol 65 di tahun 70-an di Pulau Buru mengakibatkan dataran Lembah Waeapo yang semula menjadi tumpuan wilayah berburu dan penghasil sagu bagi masyarakat pegunungan semakin berkurang. Lahan di sekitar Lembah Waeapo berangsur berubah menjadi lahan persawahan yang luas. Disusul dengan masuknya transmigrasi di tahun 80-an yang turut pula menyertakan masyarakat Buru asli sebagai bagian dari transmigran lokal yang diberi lahan dan perumahan. Pemerintah melalui Kementrian Sosial setelah tahun 2000-an mengusahakan kembali pembangunan perumahan dalam program perumahan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Pembangunan perumahan-perumahan baru di pegunungan yang diinisiasi oleh pemerintah lewat rumah KAT inilah yang memulai babak baru permukiman menetap di hampir seluruh wilayah pegunungan di Pulau Buru.

Gambar 4.2. Permukiman Orang Buru Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

166

Seorang Informan menuturkan bahwa penduduk belum cukup lama mulai menetap di kampung yang sekarang ditempati.

“Tradisi orang sini dulu itu dimana disitu bikin kebun ya sudah di situ bikin rumah. Pindah di lokasi baru tahun 2006. Mendapatkan bantuan dari rumah KAT tahun 2009. Dibangun sekolah SD tahun 2006. Awalnya akan dibangun 25 rumah KAT, tetapi kemudian ada konflik antar keluarga lalu, ada yang dicabut, pindah ke kampung sebelah. Disini hanya dapat 10 rumah KAT. KAT dibangun dari kementrian social, langsung dari kontraktor. Ada juga 50 buah rumah KAT dibangun di dusun yang lain.”

Senada dengan ungkapan informan diatas, informan yang lain menuturkan bahwa permukiman yang ditinggalinya sudah final dan tidak akan berpindah-pindah tempat lagi.

“…ya di sini menetap, tidak bisa dipindahkan lagi, ini sudah final, walau apapun yang terjadi tidak bisa dipindahkan lagi, pindah bagaimana, sekolah sudah berdiri, sudah masuk air bersih, kita mau pindah kemana lagi kalau sudah begini. Kalau waktu dulu, kita (orang Buru), masih teteh nenek moyang itu mereka tidak betah pak. mereka tidak berkampung seperti begini, paling dalam satu teteh itu dong keluarga itu 3 orang itu satu kampung, 3 orang lagi satu tempat lagi, pokoknya mereka tinggal pisah-pisah, mereka tidak pernah berkampung. itu di rumah kebun, di rumah kebun, anggap saja situ rumah kebun itu mereka punya kampung, itu kalau dulu. Kalau sekarang sudah tidak lagi. Itu memang prinsip itu dan pengalaman teteh nenek moyang kan katong anak-anak sekarang itu sudah mulai tiru, ya sudah mulai teliti ya dunia sekarang punya kemajuan peningkatan dan perubahan kita sudah bisa merasakan bahwa kalau kita tinggal satu tempat atau

167 masing-masing, atur kita punya tempat di kebun-kebun, ya kita tidak bisa maju dan tidak bisa layak. Tapi kalau memang kita berkampung seperti ini itu ya pemerintah bisa perhatikan kita, tuk buka jalan, sekolah kesehatan dan lain-lain, jadi kalau memang kampung ini sudah tidak bisa dipindahkan lagi.”

Gambar 4. 3.

Rumah Proyek Komuntas Adat Terpencil (KAT) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Perubahan dari pola hidup berpindah ini membawa konsekuensi yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Buru terutama yang tinggal di daerah pegunungan. Memulai dari kelompok kecil dalam satu kerabat dengan 3-4 rumah, kemudian berangsur menetap berkumpul menjadi wilayah permukiman kecil dalam wilayah administratif dusun atau kampung berkumpul lebih dari 20 rumah.Tentu kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan alam yang menjadi tumpuan kehidupan warga. Kehidupan tradisional masih cukup sulit untuk ditinggalkan. Mulai dari bentuk rumah yang masih bertahan dengan kulit kayu dan atap ilalang, sumber air yang dijadikan kebutuhan utama pun harus diambil cukup jauh dari permukiman, serta kehidupan

168

komunal yang masih terasa kuat dalam keseharian. Konteks kehidupan ini tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat.

Berdasarkan penuturan salah satu informan diperoleh keterangan bahwa salah satu rumah KAT yang dibuat oleh pemerintah di tahun 2006 sudah mulai ditinggalkan oleh penghuninya, kemudian pindah ke kampung lain. Perpindahan warga dari lokasi permukiman KAT disebabkan karena di lokasi permukiman tersebut sering terjadi wabah penyakit. Bahkan ada beberapa orang warga yang meninggal di tempat tersebut. Kondisi kesehatan ini dijadikan alasan utama warga untuk meninggalkan rumah KAT yang dibangun pemerintah. Secara umum bangunan rumah KAT terbuat dari papan dan beratap seng.

Gambar 4.4. Kran Air di Permukiman KAT Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Di wilayah permukiman KAT juga dibangun aliran sumber air, namun di dua lokasi yang ada di wilayah penelitian, saranan

169

air minum yang dibangun tidak berfungsi. Kesalahan konstruksi pembangunan saluran air oleh pemegang proyek menjadi penyebab utama tidak tersedianya air di wilayah permukiman. Kebutuhan air bersih bagi warga di permukiman KAT kembali mengandalkan air yang ada di kaki bukit. Warga harus berjalan menuruni tebing yang terjal hanya untuk membawa 20 liter air sekali angkut untuk kebutuhan memasak dan minum keluarga. Matinya saluran air ini sangat dikeluhkan warga terutama bagi anak-anak mereka yang harus menempuh pendidikan.

Kondisi perumahan KAT yang ditinggalkan warganya jika ditelusur lebih lanjut bukan saja diakibatkan oleh faktor kesehatan saja. Namun lebih dari itu, pemahaman terhadap kondisi kelompok permukiman warga yang semula mengumpul dalam kelompok kecil, kemudian disatukan dalam kelompok kampung sebanyak 50 rumah tentu bukan hal yang mudah bagi warga untuk bisa beradaptasi dengan cepat. Belum lagi kaitan kepemilikan lahan dengan fam, potensi konflik yang akan muncul membuat warga merasa tidak nyaman tinggal di wilayah tersebut dan mencari lokasi kampung lain yang masih ditinggali kerabat satu famnya. Kondisi ini juga tidak ditunjang dengan fasilitas kesehatan yang cukup dari pemerintah sebagai pihak penyedia layanan kesehatan. Faktor jauhnya lokasi tempat tinggal dari Puskesmas, jalan ke pegunungan yang susah untuk dijadikan jalan pintas apalagi pada musim hujan, serta kondisi sarana dan prasarana yang ada di Puskesmas tidak memungkinkan untuk melakukan pendampingan kesehatan secara intensif. Minimnya pelayanan kesehatan yang diberikan ini mengakibatkan setiap kejadian luar biasa seperti munculnya wabah penyakit di permukiman baru masyarakat Buru tidak tertangani dengan baik. Kunjungan ke pegunungan hanya dimungkinkan jika cuaca mendukung.

170

Berbagai kasus kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi di wilayah pegunungan biasanya akan segera tertangani ketika pihak Puskesmas mendapatkan informasi adanya kasus. Seperti salah satu kasus KLB penyakit campak yang terjadi di salah satu kampung terisolir di wilayah kerja Waelo. Puskesmas baru mengetahui kejadian wabah campak di kampung tersebut ketika salah satu warga membawa anaknya ke Puskesmas untuk berobat. Perjalanan dari kampung ke Puskesmas harus dilalui dengan menyeberang sungai dengan aliran air cukup deras, melewati jalan tanah yang sangat licin dan naik turun gunung. Setelah mendapatkan keterangan dari warga yang berobat bahwa di kampungnya penyakit sarampa (campak) banyak diderita oleh semua anak-anak di kampung tersebut, barulah tim dari Puskesmas turun untuk melakukan pusling. Pada saat pusling hampir seluruh divisi di Puskesmas turun ke lokasi. Untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, memberikan imunisasi, memeriksa ibu hamil dan mengambil sampel darah semua warga yang ada di kampung tersebut. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penyakit yang derita oleh warga kampung.

Kondisi kesehatan di masyarakat pegunungan yang kurang penanganan ini pun dikeluhkan banyak pihak. Salah seorang guru di lokasi penelitian menuturkan bahwa kedatangan petugas Puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di wilayah penelitian terhitung sangat jarang. Dalam satu tahun hanya 2-3 kali kunjungan Puskesmas keliling. Kunjungan Puskesmas selalu tanpa koordinasi dengan kepala dusun atau kepala soa, sehingga sewaktu kunjungan pusling sampai di dusun, warga dusun sudah banyak yang pergi ke kebun dan lokasi ketel. Pemeriksaan yang dilakukan Puskesmas saat melakukan Puskesmas keliling hanya terbatas pada orang yang ada di rumah dan kebanyakan orang tua dan anak-anak. Kondisi

171

yang sama juga dikeluhkan di dusun-dusun lain di wilayah Kayeli Kaku.

Gambar 4. 5.

Tim Pusling Puskesmas Waelo Melewati Sungai untuk Menuju Ke Kampung Lokasi Pemeriksaan

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Minimnya pelayanan kesehatan bagi masyarkat Buru di pegunungan menurut Kepala Puskesmas Waelo bukan karena ketidakmauan pegawai Puskesmas untuk memberikan layanan kesehatan. Luasan wilayah kerja Puskesmas Waelo yang meliputi 14 desa diwilayah dataran dan pegunungan dengan akses yang semuanya sulit membuat pelayanan menjadi terhambat. Belum lagi hampir 80% petugas di Puskesmas perempuan, hal ini sedikit mempersulit jika harus selalu memberikan pelayanan bulanan di wilayah-wilayah yang susah akses jalannya. Kerja Puskesmas bisa terbantu ketika warga secara aktif bisa berkunjung ke Puskesmas untuk memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan di kampungnya. Jika terjadi kasus luar biasa atau wabah penyakit yang melanda kampung tersebut maka Puskesmas akan segera

172

melakukan penanganan dan turun ke dusun untuk melakukan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan.

Konteks kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan di wilayah pegunungan ini membawa dampak yang besar bagi kesiapan warga yang baru mulai menetap. Pengaturan air, penggunaan air, pembuangan limbah rumah tangga dan pola hidup yang baik harus terus menerus diperhatikan agar wabah penyakit tidak menghinggapi dan menyerang warga.