• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

2.6. Religi Geba Bupolo : Hindu Adat

Orang Bupolo memandang kosmologi mereka dengan istilah bumilale. Istilah ini untuk menyebut Gunung Date dan Danau Rana sebagai pusat berdiamnya orang Bupolo.Bumilale sendiri berarti tanah besar atau tanah luas. Hal ini memunculkan kepercayaan diri yang kuat dan kebanggaan atas diri mereka sebagai orang bumilale diantara pulau-pulau di Kepulauan Maluku. Nilai sentral dan sakral dalam konteks bumilale membungkus empat unsur dasar kehidupan. Oplastala sebagai sumber dari kehidupan yang memberikan Date dan Rana sebagai sumber penghidupan, tanah dari Gunung Date, air dari Danau Rana dan manusia yang tinggal dan menetap disekitarnya.Oleh karena itu bumilale harus dijaga dari unsur luar yang masuk,

sebab dapat merusak keseimbangan lingkungan dan

keharmonisan yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik di jiwa masing-masing orang Bupolo.

Dalam perspektif orang Buru, Pulau Buru digambarkan sebagai seorang laki-laki yang terlentang, kepala perut, kaki dan tangan adalah gunung dan air. Bagian kepala adalah Gunung Kapalatmada sebagai gunung tertinggi di Pulau Buru.Tangan kiri diiBaratkan sebagai Waenibe yang bersumber dari Danau Rana. Tangan kanan adalah Sungai Waemala, sungai terbesar yang mengalir di Pulau Buru bagian Selatan. Punggung adalah hutan garam, perut dan alat kelamin adalah Danau Rana dan Gunung Date. Kaki kiri adalah Sungai Waeapo dan kaki kanan adalah Gunung Batabual. Kosmologi ini menunjukkan bahwa gunung,

43

hutan dan air merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia.

Kepercayaan sebagian besar masyarakat Buru di Kayeli Kaku (pegunungan) menurut beberapa referensi masih menganut animisme atau kepercayaan kepada roh nenek moyang. Walaupun begitu warga sendiri menganggap bahwa kepercayaan yang dianutnya adalah agama hindu. Orang Bupolo menyebut sebagai agama Hindu Adat. Hindu Adat ada juga yang menyebut sebagai Hindu Adam, hal ini karena orang Bupolo yang meyakini bahwa manusia pertama kali tercipta di dunia adalah Adam. Walaupun begitu predikat Hindu ini pada awalnya disematkan oleh penduduk yang tinggal di pesisir untuk menyebut agama yang dianut oleh warga Buru di pegunungan.

Dalam konteks masyarakat Buru di Kayeli Kaku mereka mengenal bahwa ada tiga agama besar yang ada di dunia ini yaitu agama Islam, Kristen dan Hindu. Hindu merupakan agama yang mereka sematkan dalam kartu identitas mereka. Penyamaan dengan agama Hindu memang tidak bisa serta merta dilakukan. Perbedaaan tentu ada, namun secara umum praktek kepercayaan orang Bupolo yang diwujudkan dalam keseharian menunjukkan kesamaan tersebut. Kepercayaan kepada Opalasta sebagai pencipta bumi dan segala sesuatu yang berdiam di Danau Rana dan Gunung Date. Dalam istilah orang Bupolo menyebut “Opolastala juane Ina ama ro, Kam fuka neten na la nim opo ro

defuk tu muan modan” yang berarti Tuhan Pencipta langit dan

bumi berdiam ditempat ini dengan kekayaan alam yang menghidupi anak cucu dengan sejuk dan damai.

Selain percaya kepada Opalastala, kepercayaan kepada benda-benda di alam seperti sungai, gunung, air, pohon besar, batu dan sebagainya memiliki kekuatan ghaib dan berjiwa sebagai penjelmaan dari roh. Roh manusia yang telah meninggal menurut mereka masih terus hidup dan akan menemani setiap

44

langkah keseharian anak keturunannya. Oleh karena itu mereka selalu mengadakan pemujaan dan penghormatan kepada roh-roh maupun teteh nenek moyang yang sudah meninggal. Persembahan diberikan kepada teteh nenek moyang mereka yang sudah meninggal agar selalu diberikan kemudahan dan kebaikan dalam menjalani kehidupannya. Persembahan yang diberikan oleh warga biasanya memberikan sirih pinang, pisang, air dan tembakau di makam orang tuanya. Jika anak keturunannya melupakan mengirim sesuatu persembahan semisal lupa memberikan sirih pinang kepada orang tua yang sudah meninggal, dikawatirkan roh orang tua yang sudah meninggal akan melakukan tuntutan kepada anak keturunannya yang masih hidup.

Gambar 2. 9.

Tengkorak Keramat Di Museum Sewalima Sumber : Dokumentasi Peneliti 2014

45

Pada masa lalu, kepercayaan terhadap roh-roh orang yang sudah meninggal tersebut membuat setiap ada keluarga yang meninggal berturut-turut dalam sebuah kampung, maka mereka harus meninggalkan kampung tersebut dan mencari tempat permukiman baru. Dengan meninggalkan orang yang sudah meninggal di perkampungan lama maka mereka meyakini bahwa hidupnya tidak akan diganggu oleh roh-roh jahat tersebut. Setelah jasad tinggal tulang belulang, keturunannya mengambil kembali tengkorak kepala untuk dibawa bersama keturunannya ditempat yang baru. Tujuan membawa tengkorak kepalanya agar roh dari teteh moyang yang meninggal tersebut dapat melindungi keturunannya di tempat yang baru.

Gambar 2. 10.

Persembahan Untuk Orang Yang Sudah Meninggal Sumber : Dokumentasi Peneliti 2014

Komunikasi dengan roh-roh nenek moyang dalam istilah keseharian disebut semake atau secara umum di Maluku di kenal dengan istilah Babeto. Semake pada intinya adalah berdoa memohon kepada teteh nenek moyang untuk dimudahkan dalam

46

menjalani kehidupan. Semake juga dilaksanakan pada saat ada keluarga yang meninggal yang dilakukan oleh Gebamtuam atau

Gepuji (tua-tua adat) untuk berkomunikasi dengan alam arwah

dengan maksud menanyakan sebab-sebab kematian si korban.

Gebamtuam memintakan maaf atas kesalahan-kesalahan orang

yang meninggal, kalau misalnya ia dimarahi atau meniggal karena tuntutan nenek moyangnya maka Gemamtuam memintakan maaf kepada roh-roh teteh nenek moyang. Gebamtuam memohon pula agar roh orang yang telah meninggal tersebut nantinya tidak mengganggu sanak keluarga yang ditinggalkannya. Orang Bupolo di wilayah Kayeli Kaku menyelenggarakan upacara “bikin adat” untuk setiap kegiatan terkait dengan ekonomi, ritus hidup semisal kelahiran, besunat dan kematian. “Bikin adat” biasanya dilakukan oleh kepala adat dan kepala soa atas permintaan dari kepala rumah tangga. Upacara adat dimaksudkan agar proses kerja kayu putih, proses kerja kebun dan pencarian yang lain diberikan kelancaran dan tanpa gangguan yang berarti. Upacara “bikin adat” biasanya dilakukan dengan mengorbankan ayam atau babi untuk dimakan seluruh anggota soa.

Selain kepercayaan kepada roh dan upacara bikin adat, disetiap pemukiman orang Bupolo dalam satu kampung memiliki satu rumah adat yang disebut sebagai rumah pamali. Rumah

pamali ini berisi barang-barang pamali seperti kain putih, kain

merah atau berang, parang, tombak yang digunakan pada waktu peperangan. Kepercayaan kepada rumah pamali sebagai rumah para roh dan leluhur yang sudah meninggal bersemayam juga digunakan untuk sumpahan adat. Sumpahan adat ini dilakukan dengan membawa ayam atau uang kepeng ke rumah pamali. Sumpahan adat dilakukan ketika salah satu warganya kehilangan barang yang dimilikinya ataupun direndahkan martabatnya oleh orang lain. Dengan melakukan sumpahan adat diharapkan roh

47

teteh nenek moyang mengembalikan barang yang hilang atau memberikan hukuman kepada orang yang telah membuat sakit hati kepada anak keturunannya.