• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET KESEHATAN

3.1. Pra Hamil

3.2.1 Masa kehamilan

Masa kehamilan adalah masa ketika ibu hamil menjalani

proses awal hamil hingga menjelang kehamilan. Pada umumnya ibu-ibu di desa ini menganggap masa kehamilan adalah hal yang biasa, pada saat hamil mereka tetap akan melakukan aktifitas yang sama dengan saat sebelum hamil. Menurut mereka, kehamilan merupakan hal seperti biasanyadan bukan sesuatu yang membutuhkan perawatan khusus dalam menjaga kehamilan tersebut. Faktor risiko tinggi dalam kehamilan tidak pernah mereka hiraukan. Seperti yang dialami oleh salah satu informan L, yang sedang hamil tua, beliau sudah terbiasa menggendong anaknya yang masih berusia 1 tahun menuju ketel, jarak dari tempat tinggal mereka sejauh 5 km dengan kondisi jalan naik turun gunung dan melewati sungai. Berikut penuturannya,

“Suda biasa katong parampuang-parampuang di sini semua katong begitu. Iya rata rata parampuang begitu habis kalau pi kabong itu kang sapa tiap hari mau jaga se pung ana kalau di tinggal na tinggal kalau dia seng mau tinggal na bawa dia bagandeng dia kalau ada motor katong bisa gendong dia di atas motor kalau se nada motor ya suda berjalan”

Hal sama juga dituturkan oleh informan, Pieter Latbual pekerjaan perempuan disana lebih berat dibandingkan laki-laki,

“...itu kalau sudah punya nak perempuan itu yang gendong anak pergi ke kebun ada gendong beban di belakang ada bawa kayu di sini sedangkan suami

enak-84

enak saja pegang parang, bawa tombak tas pinang, enak-enak saja. pagi-pagi perempuan mau timba air, mau urus anak, mau masak, laki itu duduk saja. Nah itu satu sifat yang tidak baik, tidak mau maju. Nanti hanya duduk makan pinang, hisab tembakau, kalau ada orang duduk-duduk cerita yang dulu-dulu. Itu saja. Dia punya sifat di sini, kalau di sini masih...”

Gambar 3. 11. Aktivitas Ibu Hamil

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Pekerjaan mereka menuntut untuk selalu kuat dan bergerak cepat, karena pekerjaan perempuan-perempuan disana adalah urut daun kayu putih. Untuk menuju ketel tempat penyulingan kayu putih yang merupakan pekerjaan umumnya masyarakat desa ini, mereka harus berjalan sejauh kurang lebih 5 Km jarak dari rumah mereka menuju ketel dan lokasinya ada di pegunungan. Perempuan-perempuan hamil disana juga terbiasa mengambil kayu di gunung untuk memasak yang jaraknya cukup

85

jauh dari pemukiman mereka dan beban yang berada di kepala dan punggung mereka bisa mencapai 30 kg.

Gambar 3. 12.

Seorang Ibu Hamil 9 Bulan yang Sedang Membawa “Fodo” Berisi Kayu Bakar. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Dengan mengambil kayu diatas gunung dalam kehamilan yang sudah memasuki kehamilan tua sudah terbiasa dilakukan oleh perempuan-perempuan Etnik Buru yang di pegunungan. Mereka tidak menghiraukan faktor risiko tinggi pada kehamilan mereka.

Pengetahuan yang kurang tentang kehamilanmembuat mereka mengganggap masa kehamilan sangatlah biasa dan tidak ada beda dengan masa sebelum hamil. Menurut informan ibu O mengatakan bahwa ketika hamil pertama kali mengetahui bahwa dirinya hamil setelah dia tidak mendapat menstruasi dan juga diberitahu orang tua yang dianggap berpengalaman mengetahui

86

ciri-ciri orang hamil bahwa terdapat tanda-tanda kehamilan di wajahnya, seperti yang dituturkannya,

“Ada seorang nenek yang melihat raut wajah ku lalu dia mengatakan bahwa saya sedang hamil... ea kalau hitungannya (menstruasi) pas ya kita bisa tahu tetapi kalau kita salah hitung ya kita tidak tahu, anak pertama saya tidak tahu kalau saya hamil setelah anak ke 2, 3, dan 4 baru saya tahu saya hamil (kalo tidak mendapat menstruasi).”

Kemudahan di dalam menjangkau tempat pelayanan

antenatal juga sangat menentukan seseorang untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik. Kawasan desa-desa yang masih banyak terisolir, akses jalan rusak dan jarak yang jauh menyebabkan ibu hamil sulit memeriksakan kehamilannya ke petugas pelayanan antenatal. Oleh sebab itu, masyarakat Desa Nafrua lebih melakukan proses persalinan sendiri. Hal tersebut sudah menjadi suatu hal yang biasa di kalangan mereka. Pada umumnya saat hamil ibu-ibu di desa ini tidak memeriksakan kehamilannya sampai bayi lahir. Karena disana tidak ada fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan seperti praktek bidan swasta maupun dukun bayi. Seperti yang dituturkan informan Ibu L berikut:

“Iya habisnya mau periksa dimana soalnya tidak ada yang bisa kita minta periksa,kalau ada ya kita bisa periksa tiap hari, biarpun kita tidak tau hitung tetapi kalau ada bidan pasti kita di periksa ya kita tau, tapi kalau tidak ada bidan ya kita mau tahu gimana bulan saja kita tidak tahu”

Terdapat beberapa pantangan selama masa kehamilan, sebagian ibu mematuhi pantangan tersebut namun ada juga yang sudah tidak melakukan anjuran pantangan-pantangan selama

87

masa kehamilan tersebut. Pantangan makanan yang berlaku dalam adat budaya Etnik Buru antara lain:

a) Tidak boleh makan makanan yang panas, karena dipercaya akan menyebabkan sakit pada bayi yang dikandung

b) Tidak boleh makan daging babi karena dipercaya dapat menyebabkan bayi yang dikandung sakit,

c) Tidak boleh makan sayur bayam, karena dipercaya dapat menyebabkan sakit pada bayi yang dikandung,

d) Tidak boleh makan kacang nanti anaknya luka kulit bersisik

e) Tidak boleh makan papeda panas, ditakutkan jangan sampai keguguran

f) Tidak boleh makan enak ditakutkan nanti bayinya besar sehingga susah pada proses melahirkan

Sedangkan pantangan perbuatan bagi ibu yang sedang hamil yaitu:

a) Jika ada orang tua sedang duduk, ibu hamil tidak boleh lewat di belakangnya karena akan menyebabkan sang anak nantinya tidak patuh terhadap orang tuanya.

b) Ibu hamil tidak boleh memegang kunci karena nanti bisa berakibat proses melahirkan menjadi sulit.

c) Tidak boleh memotong tali fodo atau menyobek fodo karena bayi bisa lahir dengan bibir sumbing.

d) Dilarang mandi pada malam hari di sungai sendiri karena ditakutkan akan diganggu oleh setan-setan penunggu. Obat tradisional yang dipercaya dapat menguatkan kandungan dan biasanya sering digunakan oleh ibu sedang hamil di Etnik Buru adalah akar lapit atau beringin. Akar tersebut diikatkan di perut bagian bawah, dan ada aturan saat

88

pengambilannya yaitu mengambilnya harus dari arah Timur dengan mantra-mantra.

Pola makan ibu didesa ini pada saat hamil cenderung sama sepertiketika sebelum hamil. Mereka akan makan 3 kali sehari dengan makanan pokok papeda kasbi (sagu yang terbuat dari singkong yang diparut dan diperas diambil sari patinya lalu direbus). Lauk jarang terdapat dimenu makan mereka, hanya sesekali mereka makan dengan lauk sayur daun singkong atau pakis atau daun pepaya jika ada diladang mereka.

Saat ibu sedang hamil mengalami sakit seperti terkena parang, ibu hamil akan merawat dirinya sendiri tanpa bantuan suami ataupun keluarga. Aktifitas sehari-hari pun tetap dilakukan oleh ibu hamil. Untuk pengobatan, pola pencarian pengobatan cenderung akan memilih mengobati sendiri (self treatment atau

self medication) dengan meramu daun-daunan (obat tradisional).

Berdasarkan hasil observasi dengan ibu hamil yang sedang sakit dikaki karena terkena parang dia menggunakan daun

sunggah-sunggah dan kapur untuk mengobati bengkak yang disebabkan

karena terkena parang tersebut dan mengurangi pengeluaran darah yang banyak. Cara pemakaiannya dengancara sebagai berikut: daun tersebut diremas lalu dicampur kapur, setelah itu ditempel pada luka yang bengkak.

3.3. Persalinan dan Nifas