• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PENYAKIT MENURUT GEBA BUPOLO

4.2. Konsep Penyakit

4.2.1. Wabah Penyakit: Ina Kabuki

Dalam percakapan sehari-hari diantara orang Buru di lokasi penelitian,penulis sering mendengar ucapan ‘kabuki’. Beberapa informan menerangkan ‘kabuki’ dalam bahasa lokal hanya sebuah ungkapan kekagetan dan tidak ada artinya secara khusus, informan yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang dianggap penyakit. Penggunaan ungkapan kabuki ini tidak saja digunakan oleh warga yang tinggal di pegunungan namun juga digunakan oleh warga yang tinggal di dataran rendah dan Pesisir Kayeli.

Penulis menemukan beberapa referensi yang ditulis oleh para Tapol 65 mengenai cerita rakyat masyarakat Buru. Salah

174

satunya Hersri Setiawan dalam bukunya “Aku Eks Tapol” (2003: 67-84). Ia menuliskan cerita mengenai ‘Ina Kabuki’ perempuan penguasa Teluk Kayeli yang dipercaya memberikan obat penyembuhan untuk seorang lelaki bernama Malesi. Menurut Hersri;

“Ina Kabuki. Harfiah kata "ina" berarti "ibu"; sedangkan "kabuki" sepatah kata yang tak bermakna alias "anu", yang mengandung angan-angan tentang kesucian atau kekeramatan. Ina Kabuki ialah Ibu Anu Yang Keramat. Seperti halnya Nyai Lara Kidul. Seorang "nyai lara" alias "ibu dara" yang tak bernama, selain diketahui ia tinggal di "kidul" atau di "Selatan"."Kabuki" dalam percakapan sehari-hari sering terdengar diucapkan sebagai semacam kata penyeru atau "interjeksi", atau "rasa wedhar" dalam istilah Jawa. Yaitu diucapkan serta-merta ketika orang terkejut atau kagum, seperti halnya kata "astaga!" atau "duile" kata orang Betawi (walaupun kata ini berasal dari "alhamdulillah") (Setiawan, Hersri:2003)”

Hersri Setiawan berhasil menceritakan, ada seorang pemburu bernama Malesi dari fam Besan. Ada wabah menyerang hampir semua kampung di dataran Waeapo, tak terkecuali keluarga Malesi. Demam tinggi tidak bisa diturunkan dengan daun lolano [cocor bebek], daun kapuk randu dan daun futfena [sembukan]. Muntaber dan perut mulas tak kunjung reda. Juga minuman dari air seduan bubuk arang pisang mentah tak lagi berdaya. Malesi berjalan kearah matahari tenggelam. Bertemulah ia dengan Ina Kabuki, dengan tubuh yang bau seperti bangkai babi atau rusa. Lalu terjadilah percakapan antara keduanya. Ina Kabuki mengetahui kalau Malesi akan mencari obat untuk keluarganya. Maka Ina Kabuki menjanjikan jika Malesi mau mengantarkan ke teluk Kayeli maka Ina Kabuki akan memberikan obat-obatan. Malesi pun mengantarkannya, tidak

175

ada pilihan lain. Atas anjuran Ina Kabuki, Malesi memejamkan mata, dalam sekejap ia bersama Ina Kabuki dalam gendongannya sudah sampai di Kayeli. Atas janji Ina Kabuki maka ia diberikan 41 botol kecil-kecil. Ina Kabuki memberikan pesan kepada Malesi, jika ada orang yang sakit di kampung, usaplah si sakit dengan air dalam botol ini. Selain itu, jika ada wabah penyakit di kampung, maka Malesi diminta oleh Ina Kabuki untuk memberitahukan kepadanya dengan menghanyutkan rakit berisi buah-buahan, hewan dan semua hasil bumi, agar anak-anak Ina Kabuki (penyebar wabah penyakit) menaiki rakit dan kembali ke teluk kayeli. Berdasarkan cerita yang ditulis Hersri Setiawan, JJ. Kusni juga memparafrasekan cerita tersebut kedalam sebuah corat-coret sederhana berjudul Na Kabuki. Hersri Setiawan selain berhasil mendapatkan cerita mengenai Ina Kabuki, ia juga turut menyaksikan proses bagaimana rakit dihanyutkan melalui sungai

Waeapo. Berdasarkan keterangan beberapa Informan

menyebutkan bahwa upacara mengalirkan rakit terakhir dalam ingatan mereka terjadi pada tahun 70-an. Waktu itu menyebar wabah filariasis dan diare di hampir seluruh kampung di dataran Waepao.

Kisah yang dituturkan di atas membawa peneliti untuk mengungkap secara lebih mendalam cerita mengenai Ina Kabuki di Lembah Waeapo terutama di Kampung Waelo. Cerita mengenai Ina Kabuki didapatkan dari beberapa tua-tua adat di Petuanan Kayeli. Cerita itu sudah jarang diceritakan kembali ke anak cucunya. Berdasarkan rasa keingintahuan tersebut bertemulah penulis dengan kepala adat yang menjaga rumah koin atau rumah pamali Ina Kabuki. Tersebutlah nama O. Besan, penjaga rumah koin Ina Kabuki.

176

Ina Kabuki Catatan Wawancara O. Besan

Kepala Adat dan Penunggu Rumah Pamali Ina Kabuki

Tersebut seorang laki-laki bernama Malesi. O. Besan adalah salah satu cucu dari Malesi. “Menurut cerita ini mas, bukan dari catatan atau buku. Karena kita punya pulau ini belum berfungsi tulis menulis, jadi bentuk buku belum ada. Jadi lewat wasiat saja. Tetapi kita punya ada begitu mas. Seandainya ini pohon duren saya, kalau bapak saya tunjuk itu duren seng boleh di makan, seng boleh di ambil, seng boleh memiliki karena saya sudah tunjuk kepada keponakan kamu. Itu sudah lebih berat dari sertifikat, dari segel dari tanda tangan, itu begitu mas. Kita di sini dibilang orang adat, kita punya adat begitu tidak harus bikin surat, harus memperpanjangkan suat itu saja. Hanya satu kali saja, jari syahadat menunjukkan buat sudara, ini ipar atau anak mantu memiliki dari sini sampai situ. Seperti wilayah tanah buru ini ada batas diantara air dengan air itu begitu” Oling Besan mengawali cerita setelah saya jelaskan maksud dan tujuan saya untuk bertemu beliau.

“Nah masalah cerita itu, orang tua saya itu menemukan entah hari apa, tahun berapa, bulan apa itu tidak di tulis. Cuma paa saat itu. Maluku itu kan makan pokok dari sagu. Dia habis dari cari sagu sekitar jam 6 atau setengah 7 dia sampai di tempat itu. Dia arahnya dari Timur itu sesuatu dari Barat. Waktu dia naik sampai di atas, dia melihat menurut pandangan mata dia Babi. Kalau babi itukan kita punya makanan di sini babi. Terus dia lihat, oh ada babi. Dia punya sagu itu di bekas timba-timba untuk mengolah sagu itu, nah dia taruh di situ sagunya dia pikul dan jaga sendiri. Dia turun tombaknya satu. Dia jaga begini dia angkat tombak, sehingga gunung itu diberi nama Jaga Anan atau dalam bahasa Indonesia itu Jaga kecil. Karena tidak memanjangkan jaga langsung dapat tegur. Itu babi berubah wujud menjadi manusia, tetapi berupa nenek.

Dia menegur “eh malesi kamu bikin apa?”

Dia langsung melepas tumbak, lalu mengatakan begini;

177 saya tahu babi itukan makanan saya, kalau saya tahu itu nenek untuk apa saya mau jaga nenek pakai tombak.

Dia bilang, “Tidak apa-apa, kamu mau antar saya?” Jawab Malesi, “antar kemana nenek?”

Nenek pun menjawab minta diantar ke Hutan Jati di Kayeli. Padahal itu posisinya itu dari Barat mau ke Timur, kalau kita di sini itu dari posisi matahari masuk mau ke matahari naik. Lokasinya di Ipalahin. Terus dia katakana kepada nenek ini “aduh nenek saya tidak berani tolak” hal ini karena Malesi tahu bahwa orang ini bukan orang jadi takut.

Kalau kita di sini kalau dapat setan Mati.

Malesi bilang dia tidak menolak tetapi nenek boleh lihat waktu. Matahari itu sudah sandar gunung. Hutan jati itu bukan gampang nek, jalan itu masuk hutan keluar kampung tetapi jauh-jauh jaraknya kampung. dulu itu bukan seperti sekarang ini mas. Dia bilang okey, kalau kamu mau antar saya yang penting kamu mau mengaku antar saya. Mau melawan bagaimana mas, kalau dengan setan itu kan ya kelemahan kita manusia. Dia bilang duduk, suruh duduk itu pak malesi, kuda gitu to, tangannyanya di pegang di pundak. Dengan sekejap saja, lihat Malesi. Dengan sekejap saja kok sudah sampai di sana, posisinya ada di depan rumah. Tapi rumah yang menurut orang dulu-dulu kalau istana presiden itu sudah paling bagus. Rumahnya kayak istana. Tunggu Malesi, dia ambil bungkusan yang kayak di film-film itukan, isinya itu botol, kainnya kain putih. Botol itu sebanyak 44 botol. Jadi dia bilang sama orang tua saya itu di sini ada berupa 44 macam penyakit. Semua penyakit yang ada di tubuh manusia itu ada 44 penyakit obatnya ada di botol itu. Lalu dia bawa pulang itu botol. Lalu orang tua beritahukan kepada saudara-saudaranya. Sebelum kejadian itu di sini penyakit itu berjalan berombongan kayak ada hajat apa begitu. Penyakit itu kalau musim panas, itu orang-orang di sini itu lari mas. Saya lari tinggalkan adik, adik lari tinggalkan kakak. Nggak boleh abawa anjing, nggak boleh bawa ayam. Di hutan itu kita berlindung dibawah pohon. Itu macam rotan apa tidak boleh di potong. Kalau di potong itu rotan, rotannya itu layu, penyakit lewat dia kasih tahu. “hei turun di sini, ada manusia di bawah, coba lihat saya sudah layu ini karena di potong” ceritanya

178

begitu. Setelah saya punya orang tua menemukan itu, dan mungkin dia kasih tau tentang cara-caranya sehingga penyakit itu dia reda dari pulau buru ini. Seorang nenek itu, akhirnya sudah diumumkan pada masyarakat pulau buru, diberikan nama dengan bapak hinolong di Kubalahin di beri gelar Tongkat Buru. Arti dari tongkat buru itu kan dia bantu Sesuatu yang mau rubuh to. Jadi dia itu menongka masalah penyakitan di Buru. Jadi setelah itu, kalau keluarga saya ada musim-musim penyakit seperti diare, penyakit-penyakit yang lain itu bisa menyerang di anak-anak yang lain. Itu di keluarga saya pasti tidak kena begitu.

Dulunya, kalau orang mata sakit itu, nggak tahu kalau di jawa, kalau di sini satu orang mata sakit itu satu desa kena. Istri saya itu kan di kampung maitua itu semua terserang penyakit mata itu. Jadi ada dia punya pangkat keponakan, hari-hari itu pakai handuk to, maitua saya itu suka gurau, kamu ini paling sombong, siang-siang kok pakai sapu tangan. Kan gurau gitu, kamu jangan kata sombong begitu, ee penyakit ini dari turun temurun kalau sudah kena satu orang dalam kampung itu semua kena. Dia bilang, kan saya sudah pernah kasih tahu setelah ada penyakit begitu, saya bilang nanti kamu tidak kena penyakit mata sakit. Kenapa? Nggak kalau kamu jadi istri saya kamu tidak kena. Lalu dia sampaikan pada suadaranya..ee suami saya bilang saya tidak boleh terkena itu, karena saya sudah jadi istrinya tidak kena lagi mata sakit. Dalam berapa bulan itu mas, hampir semua orang kampung tidak bisa kemana-mana. Saya dengan istri tidak, akhirnya mereka balik akui to. Ee kamu ngomong begitu, kamu tidak kena sama suami sakit mata itu kenapa itu. Dia bilang seng..dia bilang sama saya kalau kamu sudah menjadi istri saya kamu tidak boleh kena penyakit mata sakit, karena penyakit mata sakit itu saya sudah pegang rajanya atau tuannya gitu. Akhirnya kita lolos, padahal sebetulnya kita tidak boleh sombong-sombong begitu, cumin maitua saya itu kebablasan.

Ceritanya botol, itu sampai saat ini mas tinggal satu. Itu ada keluarga, dia bakar rumah pamali ada 43 botol ada di dalam. Sedangkan yang satu ini sedang di titip di orang sakit di luar dari keluarga saya, titip di orang Dawan. Di pinjam waktu orang sakit, di suruh jaga oleh orang

179 sakit, itu yang tidak terbakar. Padahal bukan botol unik mas, hanya botol-botol biasa saja kayak bekas minyak wangi, parfum gitu itu. Akhirnya sampai sekarang itu ya digunung tadi, dijadikan rumah pamali.

Dulu itu ya saya nggak boleh bercerita tetapi cerita itu ada di saya tetapi semua tahu cerita itu. Cuma saya dengan adik ini belum pernah kita laksanakan. Kan posisinya kayak orang jawa dengan kuda lumping begitu, suka datang kalau diperlukan. Saat musim penyakit itu kita bikin sajen-sajen biasa seperti kuda lumping itulah. Pokoknya dia punya sedekah kalau di jawa itu kayak Nyai Roro Kidul kan, nah begitu sudah. Dia punya sedekahkah, itu di sini itu, telur, ayam, uang, terus tanaman yang dimakan manusia itu semua yang masih sedang muda berbunga, seperti jagung, tebu, pisang, pokoknya semualah, buah-buahan. Semua diambil itu, ditaruh di rakit. Rakit itu ada pohon bambunya juga, dan tidak dipotong sembarang orang. Ceritanya rakit kalau diambil itu oleh marga Wael. Jadi yang kena cerita itu marga Wael, marga Besan dan marga Nurlatu. Itu orang wael dia ambil dari satu bantaran sungai ke bantaran sungai yang lain itu tidak boleh lanjut. Marga Nurlatu dari titik tertentu ke titik yang lain baru marga besan yang terima. Sesudah besan terima, baru semua lain dari pada itu, semua marga jemput di masing-masing punya tempat pertemuan. seperti dari sini ke unit 11 dari unit 11 ke unit 6 lanjut-lanjut sampai di muara waeapo sana itu dilepaskan oleh orang Besan juga. Dia punya Kampung di Kampung Baman itu sama mata rumah lagi orang besan juga. Itu dari sana kan dari sini pakai kole-kole untuk pulang, jadi kalau sudah sampai di muara sana itu dilepaskan itu kita sudah naik di sampan itu dikasih balik. Biar kita itu mandi semua, kita kasih basah semua. Dalam arti kita antar penyakit itu dia ikut itu rakit sampai, pulang dalam keadaan bersih. Jadi rakit itu tidak boleh diganggu gugat di dalam laut itu. Dulu itu banyak orang tidak tahu, orang bugis itu pernah ambil, banyak sekali hasilnya, ayam jago, ayam babon telur ayam itu sampai sudah paling banyak. Rakit itu Cuma 17 batang. Rakit itu tidak digalah-galah begini, pokoknya jalan sendiri, ada tuer itu tidak nabrak. Itu rakit mas, dia laju seperti ada mesinnya ada orangnya dia berhenti di pulau Bau-bau di pulau

180

Buton sana. Terus tahu pulau bau-bau dimana posisinya itu kita tidak tahu, Cuma tahu bahwa rakit itu harus sampai di situ. Tanpa layar tanpa mesin. Di rakit dibikin kayak kamar begitu to di dinding kain putih, di hiasi dengan daun kelapa dan ada ketupatnya ahaiii full itu rakit. Maaf saya merokok dulu ya”. Pak Oling menutup cerita dengan menyalakan rokoknya. Di akhir pembicaraan ia menyimpulkan bahwa ketika nenek tua itu memberikan obat kepada Malesi, maka orang buru menganggap bahwa pemilik obat adalah juga rajanya penyakit karena dia punya penawar untuk penyakit tersebut, maka banyak orang menyimpulkan bahwa Ina Kabuki merupakan rajanya penyakit yang tinggal di Ipalahin di Teluk Kayeli.

Berdasarkan penuturan O. Besan peneliti berusaha mencari lokasi Gunung Jaga Anan tempat pertemuan antara Malesi dengan Ina Kabuki. Di Gunung Jaga Anan tersebut kini dibangun rumah koin atau rumah pamali untuk menghormati Ina

Kabuki. Selain masyarakat Buru asli, para transmigran yang

memiliki lahan pertanian di sekitar rumah koin Ina Kabuki juga sering memberikan sesaji sebagai persembahan kepada Ina

Kabuki atas terjaganya tanaman pertanian dari serangan hama

tikus maupun wereng. Dalam khasanah cerita rakyat di Jawa juga dikenal adanya Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut Selatan. Cerita mitologi tentang Ina Kabuki menandakan bahwa di Pulau Buru juga terdapat cerita mengenai perempuan penguasa lautan seperti juga di Jawa.

Penyelenggaraan sedekah dengan mengalirkan rakit berisi segala macam buah-buahan hasil kebun seperti kelapa, pisang, pinang, mangga, durian; bahan pangan seperti sagu tepung, kasbi (singkong atau ketela pohon), patatas (ubijalar), keladi, kacang tanah, makanan kering dari sagu, daging babi hutan atau rusa, ternak hidup seperti ayam, kambing, babihutan terakhir kali diadakan pada tahun 70-an. Hal ini dituturkan S. Nurlatu, bahwa upacara melepas rakit tersebut terakhir ia lihat ketika dia masih

181

kecil, sekitar tahun 70-an. Waktu itu sedang terjadi wabah kaki gajah/filariasi di wilayah Petuanan Kayeli. Untuk menawarkan wabah yang melanda perkampungan di Petuanan Kayeli maka diselenggarakan upacara mengalirkan rakit menuju ke Teluk Kayeli melewati Sungai Waeapo. Rakit dan segala sesaji di atasnya dianggap sebagai barang-barang keramat.Tidak setiap orang boleh mendekat ke rakit atau sesaji, selain para pengawal rakit juga mereka yang telah ditunjuk oleh kepala soa atau kepala adat. Sebab bersama sesaji yang ada di atas rakit tersebut terdapat ruh anak-anak Ina Kabuki hendak pulang ke kediaman mereka di dasar Teluk Kayeli. Ruh anak-anak Ina Kabuki inilah yang bergentayangan berupa wabah penyakit di kampung-kampung. Oleh karena itu dipantangkan berbicara dengan para pengawal rakit, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk kepala adat.

Gambar 4. 6.

Rumah Koin (pamali) Ina Kabuki di Gunung Jaga Anan Sumber: Dokumentasi Peneliti , 2014

182

Ada perbedaan cerita mengenai jumlah botol yang diberikan oleh Ina Kabuki terhadap Malesi. Jika Hersri Setiawan menyebutkan ada 41 botol digunakan untuk menyembuhkan 41 kampung di wilayah petuanan Kayeli, O. Besan menyebut ada 44 botol untuk menyebuhkan 44 penyakit yang sering melanda warga Buru. Walaupun sulit untuk dibuktikan karena botol peninggalan Ina Kabuki hanya tinggal satu buah. Penulis berusaha untuk mencari 44 nama penyakit dalam bahasa Buru. Penyebutan penyakit dalam Bahasa Buru ada beberapa macam yaitu menyebut langsung ke nama penyakit; neman (batuk),

sarampa (campak) dan menggabungkan antara sebutan anggota

tubuh dengan kata sakit (pei); sakit kepala (ulun pei) sakit perut (fukan pei).

Bagi masyarakat Buru di masa lalu, menganggap penyakit adalah wabah yang dibawa oleh anak-anak Ina Kabuki yang dibawa dari laut. Seperti penuturuan O. Besan berikut:

“…di sini penyakit itu berjalan berombongan kayak ada hajat apa begitu. Penyakit itu kalau musim panas, itu orang-orang di sini itu lari mas. Saya lari tinggalkan adik, adik lari tinggalkan kakak. Nggak boleh bawa anjing, nggak boleh bawa ayam. Di hutan itu kita berlindung di bawah pohon. Itu macam rotan apa tidak boleh di potong. Kalau di potong itu rotan, rotannya itu layu, penyakit lewat dia kasih tahu. ‘Hei turun di sini, ada manusia di bawah, coba lihat saya sudah layu ini karena di potong’ ceritanya begitu.”

183

Tabel 4. 1. Nama-Nama Penyakit dalam Bahasa Buru

No Nama Indonesia Nama Buru

1 Batuk Neman

2 Beringus Ngengihut

3 Pilek Ngen waen

4 Mata merah Raman mihat

5 Campak Sarampa

6 Panu Sihan

7 Sakit kepala Ulun pei

8 Sakit perut Fukan pei

9 Diare Iko wae

10 Frambosia Apat

11 Panas Putut/raran

12 Hernia Yobo

13 Ambeyen Fubohi toho

14 Gatal Etet

15 Kulit bersisik Kaskado

16 Muntah darah Guma taha

17 Maag Fusun pei

18 Sakit mata Raman pei

19 Hepatitis Mpei koni

20 Asma Bahe

21 Muntaber Iko wae tu gumat

22 Bengkak Poso

23 Gila Ula

24 Bisu Moumou

25 Tuli Kewen

26 Bibir sumbing Fifi bokon

27 Buta Raman gafa

28 Pusing Biglifu

29 Nyeri Mpei

30 Melilit Fukan ka