• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI DAN METODE PEMBELAJARAN PENDIDI (1)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

(2)

Pasal 2:

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:

Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(3)

STRATEGI DAN METODE

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

Diterbitkan oleh:

Program Studi

Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Bekerjasama dengan:

(4)

viii + 175 hlm: 19 cm x 27 cm Cetakan 2, Maret 2017 ISBN: 978-602-61179-1-5

Penulis: Drs. Mangun Budiyanto, M.S.I & Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I

Editor: Imam Machali

Lay Out: Sui Suhami Desain Sampul: Zainal Ariin

© Copyright 2017 Diterbitkan oleh :

Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Jln. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281

Tlp. 0274 – 513056 Fax: 0274 - 519732 http://www.mpi.uin-suka.ac.id

Bekerjasama dengan:

Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta (STAIYO) Jln. Ki Ageng Giring Trimulyo II Bansari Kepek Wonosari

(5)

PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim

Hanya berkat karunia Allah SWT. kami berdua bisa menyelesaikan buku ini. Dari itu, puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kepada-Nya. Sholawat dan salam semoga dicurahkan Allah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabatnya dan seluruh pengikut setianya. Amin.

Buku Strategi dan Metode Pembelajaran Pendidi kan Agama Islam ini kami susun berdasarkan silabi yang dikembangkan Sekolah Tinggi Agama Islam Yogya-karta (STAIYO) di Wonosari Gunungkidul Yogya Yogya-karta, yang dengan mata kuliah ini diharapkan mahasiswa memiliki bekal keahlian untuk menjadi guru Pendidikan Agama Islam yang professional. Namun demikian tidak menutup kemungkinan para mahasiswa Tarbiyah dan para guru Pendidikan Agama Islam pada umumnya, bisa memanfaatkan buku ini.

(6)

H. Mardiyo, M.Si. (Ketua STAIYO di Wonosari) yang menyambut baik kehadiran buku ini. Tegur sapa dan kritik untuk perbaikan buku ini, masih tetap senantiasa diharapkan.

Semoga sekecil apapun percikan pemikiran yang tersaji di dalam buku ini dapat berguna bagi pengem-bangan keilmuan, pendidikan dan kemajuan bangsa, nusa dan agama. Amin.

Yogyakarta, 15 Maret 2017 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

PENGANTAR ...v

BAB I: AKTIVITAS PEMBELAJARAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM ...1

A.Hakikat Pembelajaran ...2

B. Interaksi Pembelajaran sebagai Proses Komunikasi Pendidikan ...5

C. Prinsip-prinsip Pembelajaran ...7

1. Prinsip konteks ...8

2. Prinsip menarik perhatian ...9

3. Prinsip memberikan suasana kegembiraan ....9

4. Prinsip penyesuaian perkembangan anak didik ...9

5. Prinsip prasyarat ...11

6. Prinsip peragaan ...11

7. Prinsip motoris ...12

8. Prinsip motivasi ...12

BAB II: FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN ...14

A. Faktor dari Luar ...15

(8)

2. Faktor instrumental ...16

B. Faktor dari Dalam ...20

1. Kondisi isiologis anak ...21

2. Kondisi psikologis anak ...22

BAB III: STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ...26

A. Hakikat Strategi Pembelajaran ...26

B. Klasiikasi Strategi Pembelajaran ...32

1. Konsep dasar strategi pembelajaran ...33

2. Pembelajaran sebagai suatu sistem ...33

3. Hakikat proses belajar ...34

4. Sasaran kegiatan belajar ...35

5. Entering behavior anak didik ...36

6. Pola-pola belajar anak didik ...38

7. Pemilihan sistem pembelajaran...48

8. Pengorganisasian kelompok belajar ...51

C. Dasar-dasar Pengklasiikasian ...52

1. Pengaturan guru-anak didik ...52

2. Struktur peristiwa pembelajaran ...53

3. Peranan guru-anak didik dalam pengolahan pesan ...54

4. Proses pengolahan pesan ...56

5. Tujuan-tujuan belajar ...58

(9)

BAB IV: METODE PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ...66

A. Hakikat Metode Pembelajaran. ...66

B. Macam-macam Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ...68

1. Ceramah ...70

2. Tanya Jawab ...74

3. Listening Teams (Tim Pendengar) ...76

4. Diskusi ...79

5. Debat Aktif ...86

6. Team Quiz (Pertanyaan kelompok) ...92

7. Reading Aloud (Membaca dengan keras) ...95

8. Pemberian Tugas Belajar (Resitasi) ...99

9. Demonstrasi dan Eksperimen ...101

10. Writing In The Here And Now (Menulis Penga la man Secara Langsung) ...103

11. Catatan Terbimbing ...106

12. Karyawisata ...108

13. Sosiodrama dan Bermain Peran ...109

(10)
(11)

BAB I:

AKTIVITAS PEMBELAJARAN DALAM

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

PENDIDIKAN Islam merupakan salah satu bidang studi yang banyak mendapat perhatian dari ilmuan. Hal ini karena di samping perannya yang amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks. Bagi mereka yang terjun ke dunia pendidikan Islam, mereka harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman (Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, 2009: 1).

(12)

Berkenaan dengan itu, pada bab ini akan dibahas: (1) Hakikat pembelajaran; (2) Interaksi pembelajaran sebagai proses komunikasi pendidikan; dan (3) Prinsip-prinsip pembelajaran.

A. Hakikat Pembelajaran

Proses pembelajaran adalah suatu keniscayaan yang mesti terwujud dalam aktivitas keseharian pendidikan (lihat Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, 2009: 213). Dengan demikian, hakikat pembelajaran dalam perspektif pendidikan Islam perlu dipahami terlebih dahulu sehingga bangunan pemikiran kependidikan ke depan dan implementasinya dapat diwujudkan dalam pendidikan secara khusus dan dalam kehidupan secara umum (Andreas Harefa, 2004: 85-86).

Dalam kamus bahasa Inggris (lihat John M. Echols dan Hassan Shadhily, 1993: 352), learn berarti mempelajari dan learning artinya pengetahuan. Dalam pengertian kamus ini, belajar diorientasikan pada sebuah proses

transfer of knowledge yang berlangsung di kelas.

Dalam perspektif pendidikan Islam, ilosoi belajar

dida sa ri pada satu konsep ilmu yang muncul dari perin-tah membaca.

ْأَرْـقا

2

ٍقَلَع ْنِم َناَسْنإا َقَلَخ

1

َقَلَخ يِذَلا َكِّبَر ِمْساِب ْأَرْـقا

5

ْمَلْعَـي َْلاَم َناَسْنإا َمَلَع

4

ِمَلَقْلاِب َمَلَع يِذَلا

3

ُمَرْكأا َكُبَرَو

(13)

pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al ‘Alaq: 1-5).

Perintah membaca pada ayat di atas secara umum menurut Basuki dan M. Miftahul Ulum (2007: 125) memerintahkan umat Islam untuk selalu belajar.

Belajar mempunyai makna ilosoi yang sangat dalam

sekali. Belajar sekaligus sebagai jendela menuju dunia pengetahuan. Oleh karenanya Islam menjadikan “belajar” sebagai perintah wajib yang harus dilakukan oleh setiap muslim sebagai jalan menuju pengetahuan.

Rasulullah SAW bersabda:

Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim (HR Al Baihaqi)

Belajar adalah sebuah proses untuk mencari, mene-mukan, dan memaknai (Mahfudh Shalahuddin, 1990: 29-30). Belajar adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk mengerti hakikat sesuatu, sehingga terjadi perubahan pada diri peserta didik, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti.

(14)

appreciations (penghargaan), dan knowledge. Bertolak dari pengertian ini, keberhasilan mengajar tentunya harus diukur dari bagaimana partisipasi anak didik dalam proses pembelajaran dan seberapa jauh hasil yang dicapainya.

Sebagai makhluk, manusia menurut Al Qur‘an mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk yang lain, ialah karena mempunyai akal untuk meraih ilmu dan mengembangkannya (lihat QS Al Baqarah: 30-34). Dengan akalnya, manusia dapat memiliki dan mencapai kebebasan dari berbagai belenggu yang dapat menurunkan derajat atau martabatnya seperti kebodohan dam keragu-raguan. Dengan sifatnya yang dinamis, kreatif dan dengan kecerdasannya sebagai manusia, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problema.

(15)

kebu-dayaan (Imam Barnadib, 1994: 35).

Dalam rangka usaha mencapai efisiensi dalam belajar, menggerakkan kognisi (mengetahui), afeksi (merasa), dan konasi (berbuat), merupakan kegiatan yang perlu mendapat perhatian yang cukup. Tujuannya tidak lain adalah agar anak didik mengalami perkembangan kepribadian yang utuh (integral) dan seimbang.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perwu judan proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian guru dan anak didik atas dasar hubungan timbal balik yang berlang-sung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan anak didik itu merupakan syarat utama bagi ber lang sungnya aktivitas pembelajaran. Interaksi dalam aktivitas pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekadar hubungan antara guru dan anak didik, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri anak didik yang sedang belajar.

B. Interaksi Pembelajaran sebagai Proses Komunikasi Pendidikan

(16)

yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan (Winarno Surachmad, 1984: 7).

Interaksi edukatif dapat berlangsung baik di lingku-ngan keluarga, masjid, sekolah, maupun masyarakat. Interaksi edukatif yang berlangsung secara khusus dengan ketentuan-ketentuan tertentu di lingkungan sekolah lazim disebut interaksi pembelajaran. Interaksi pembelajaran mengandung pengertian adanya kegiatan interaksi dari guru yang melaksanakan tugas mengajar di satu pihak, dengan anak didik yang sedang melaksanakan kegiatan belajar di pihak lain (Sardiman AM., 1989: 2).

Adapun ciri-ciri interaksi pembelajaran adalah sebagai berikut: (1) Ada tujuan yang jelas akan dicapai; (2) Ada bahan yang menjadi isi interaksi; (3) Ada anak didik yang aktif mengalami; (4) Ada guru yang melaksanakan; (5) Ada metode tertentu untuk mencapai tujuan; (6) Ada situasi yang subur yang memungkinkan proses interaksi berlangsung dengan baik; dan (7) Ada penilaian terhadap hasil interaksi tersebut (Winarno Surachmad, 1984: 16).

(17)

(Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 119).

Interaksi pembelajaran diarahkan agar aktivitas berada pada pihak anak didik. Hal ini menjadi keharusan, karena memang anak didik merupakan orientasi dari setiap proses atau langkah kegiatan pembelajaran. Peranan guru Pendidikan Agama Islam di sini sebagai pembimbing, yang dapat mengarahkan anak didik dan memberikan motivasi, untuk mencapai hasil yang optimal.

Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan diper-lukan prosedur atau metode yang merupakan langkah-langkah sistematis dalam proses pembelajaran. Prosedur atau cara ini ada kemungkinan berbeda antara satu proses pembelajaran dengan tujuan tertentu dan proses pembelajaran dengan tujuan yang lain. Jadi, prosedur ini menyesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam suatu aktivitas pembelajaran juga dibutuhkan situasi yang mendukung, seperti sarana dan prasarana maupun suasana yang akrab, demokratis yang memungkinkan berkembangnya proses pembelajaran.

Pada akhirnya kegiatan dalam rangka proses pembe-lajaran perlu dilihat hasilnya dengan cara mengadakan evaluasi. Hal ini perlu dilakukan karena kegiatan pendidikan melalui aktivitas pembelajaran ini mengalami batas waktu sehingga keterikatan kepada waktu juga menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan pembelajaran (Suharyono dkk., 1991: 135).

C. Prinsip-prinsip Pembelajaran

(18)

samping menggunakan strategi dan metode yang tepat juga harus memperhatikan dan melaksanakan prinsip-prinsip pembelajaran (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 45). Prinsip pembelajaran yaitu kaidah-kaidah atau rambu-rambu bagi guru agar lebih berhasil dalam mengajar. Jadi, dalam uraian ini yang dimaksud dengan prinsip pembelajaran adalah prinsip-prinsip, kaidah mengajar yang dilaksanakan oleh guru secara maksimal agar lebih berhasil (Suharyono dkk., 1991: 6)

Agar anak didik mudah dan berhasil dalam belajar, guru Pendidikan Agama Islam harus memperhatikan sekurang-kurangnya delapan prinsip berikut dalam mengajar:

1. Prinsip konteks

Mengajar dengan memperhatikan prinsip ini, guru Pendidikan Agama Islam dalam menyajikan pelajaran hendaknya dapat menciptakan berma-cam-macam hubungan dalam kaitan bahan pela

-jaran. Menghubungkan bahan pelajaran dapat menggunakan bermacam-macam sumber, misalnya surat kabar, majalah, perpustakaan, atau lingkungan sekitar.

(19)

2. Prinsip menarik perhatian

Bila dalam mengajar, anak didik memiliki perhatian penuh kepada bahan pelajaran, maka hasil belajar akan lebih meningkat sebab ada konsentrasi yang pada gilirannya hasil belajar akan lebih berhasil dan tidak mudah lupa.

3. Prinsip memberikan suasana kegembiraan

Prinsip ini dijabarkan dari sabda Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy‘ari untuk berdakwah kepada Gubernur Romawi di Damaskus sebagai berikut:

Permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan berbuat yang menyebabkan mereka menjauhi kamu.

Prinsip ini sesuai dengan irman Allah:

185

َرْسُعْلا ُمُكِب ُديِرُي اَو َرْسُيْلا ُمُكِب َُلا ُديِرُي

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan ti-dak menghenti-daki kesukaran bagimu... (QS Al Baqarah: 185)

4. Prinsip penyesuaian perkembangan anak didik

(20)

Pemahaman yang benar tentang perkembangan anak didik akan membantu untuk memberi perlakuan yang tepat kepada anak-anak didik. Perkembangan anak didik pada dasarnya adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam seluruh bagian diri anak, baik fisik, sosial, emosi, dan kognitif (berpikir). Anak didik akan lebih tertarik perhatiannya bila bahan pelajaran yang diterimanya sesuai dengan perkembangannya.

(21)

mengajar anak didik di Sekolah Menengah Umum. Mengajar anak didik kelas I Sekolah Dasar berbeda dengan ketika mengajar anak didik kelas VI. Di dalam mengajar, guru Pendidikan Agama Islam harus mengajar dari yang mudah kepada yang kompleks, dari yang telah diketahui kepada yang belum diketahui, dari yang kongkret kepada yang abstrak, dan seterusnya.

5. Prinsip prasyarat

Prinsip ini menunjukkan pentingnya appersepsi sebelum memulai suatu aktivitas pembelajaran. Prinsip ini memberikan petunjuk kepada guru Pendidikan Agama Islam bahwa dalam mengajar hendaknya selalu mengaitkan dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan cara tersebut, anak akan lebih tertarik sehingga bahan pelajaran mudah diserap. Prinsip ini dilaksanakan pada permulaan pembelajaran.

6. Prinsip peragaan

(22)

7. Prinsip motoris

Mengajar hendaknya dapat menimbulkan aktivitas motorik anak didik. Belajar yang melibatkan aktivitas motorik, menyebabkan anak didik tidak cepat lupa dan menimbulkan hasil belajar yang tahan lama.

8. Prinsip motivasi

Motivasi ialah dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Motivasi memegang peranan penting dalam pembelajaran. Makin kuat motivasi seseorang dalam belajar, makin optimal dalam melakukan aktivitas pembelajaran. Dengan kata lain, intensitas (kekuatan) belajar sangat ditentukan oleh motivasi (dorongan).

(23)

dan gemar belajar.

Dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip di atas, guru Pendidikan Agama Islam dapat: (1) Menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan anak didik; (2) Menghubungkan pelajaran dengan pengalaman anak didik; (3) Memilih strategi dan metode pembelajaran yang tepat. Prinsip-prinsip tersebut dalam pelaksanaannya hendaklah dapat diterapkan secara integral. Hal itu dapat dijelaskan bahwa belajar yang berhasil adalah bila anak didik dalam melakukan kegiatan belajar dapat berlangsung secara intensif dan optimal, sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku yang lebih bersifat permanen (tetap) (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 44).

Untuk itu, guru Pendidikan Agama Islam dalam mengajar harus dapat menimbulkan aktivitas mental

dan isik. Proses pembelajaran yang demikian itu akan

(24)

BAB II:

FAKTOR - FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PROSES DAN HASIL

PEMBELAJARAN

ADAPUN uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, skemanya dapat disusun dalam diagram sebagai berikut:

Gambar 1.1.

(25)

A. Faktor dari Luar

Faktor dari luar terdiri dari dua bagian penting, yaitu:

1. Faktor environmental input (lingkungan)

Kondisi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil belajar. Basuki dan M. Miftahul Ulum (2007: 145) berpendapat bahwa lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap anak didik. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik/ alam dan lingkungan sosial.

a. Lingkungan isik/alami termasuk di dalamnya

adalah seperti suhu, kelembaban, kepengapan udara, dan sebagainya. Belajar pada keadaan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap. Di Indonesia misalnya, orang cenderung berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih baik hasilnya daripada belajar pada siang atau sore hari.

(26)

pabrik, hiruk-pikuk lalu lintas, gemuruhnya pasar, dan sebagainya juga berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Karena itulah disarankan agar lingkungan sekolah didirikan di tempat yang jauh dari keramaian pabrik, lalu lintas, dan pasar.

2. Faktor instrumental

Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancangkan sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang telah dirancangkan (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 105-106).

Faktor-faktor instrumental ini dapat berwujud, seperti:

(27)

Muhaimin dan Abdul Mujid (1993: 185), konsep dasar kurikulum tidak hanya sebatas makna kata, akan tetapi juga menekankan pada aspek fungsinya yang ideal: (1) Kurikulum sebagai program studi, yaitu seperangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh anak didik di sekolah atau di instansi pendidikan lainnya; (2) Kurikulum sebagai content, yaitu memuat sejumlah data atau informasi lainnya yang memungkinkan timbulnya proses pembelajaran; (3) Kurikulum sebagai kegiatan terencana, yaitu yang memuat kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal tersebut dapat diajarkan

secara efektif dan eisien; (4) Kurikulum sebagai

hasil belajar, yaitu memuat seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu, tanpa menspesifikasikan cara-cara yang dituju untuk memperoleh hasil-hasil yang dimaksud. Dalam pengertian lain, memuat seperangkat hasil belajar yang direncanakan dan diinginkan; (5) Kurikulum sebagai reproduksi

kultural, yaitu proses transformasi dan releksi

(28)

harus dilakukan untuk mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dahulu.

b. Program/ bahan yang harus dipelajari, yaitu seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Program/ bahan yang harus dipelajari secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai. Ditinjau dari pihak guru, program/ bahan yang harus dipelajari itu harus diajarkan atau disampaikan dalam kegiatan pembelajran. Ditinjau dari pihak siswa, program/ bahan yang harus dipelajari itu harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dinilai dengan menggunakan instrumen penilaian yang disusun berdasar indikator pencapaian pembelajaran.

(29)

ketersediaan sarana dan fasilitas jelas diperlukan. Sebab sarana dan fasilitas mempunyai peranan yang besar dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran.

d. Guru, yaitu orang yang kerjaannya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas (Hadari Nawawi, 1989: 123). Guru memegang peranan penting dalam aktivitas pembelajaran. Para ahli sepakat bahwa di antara kunci keberhasilan aktivitas pembelajaran adalah berada pada faktor guru (Mangun Budiyanto, 2010: 61). HAR Tilaar, seperti dikutip Agus Maimun (2001: 29) berpendapat bahwa profesionalisme seorang guru baik secara intelektual, moral, dan spiritual sangat memegang peranan penting dalam memajukan atau berkembangnya Pendidikan Agama Islam. Guru, memiliki dua peran sekaligus, yaitu sebagai transfer of knowledge

(30)

bersama-sama. Kemampuan untuk mengambil apa yang baik dari masa lalu dan menimbang apa yang baik pada masa kini merupakan sebuah keterampilan analisis dan sintesis secara bersama-sama yang harus dimiliki oleh seorang guru, sehingga anak didik tidak alergi dengan masa lalu dan phobia terhadap modernitas, akan tetapi dapat menimbang dan menakar serta menempatkannya secara adil, proporsional, dan balance antara keduanya (Moh. Haitami dan Syamsul Kurniawan, 2009: 172-173).

Kiranya jelas bahwa faktor-faktor yang disebutkan di atas dan faktor-faktor lain yang sejenis, besar pengaruhnya terhadap hasil dan proses mengajar. Oleh karena itu, dalam kegiatan evaluasi mengenai keberhasilan usaha pembelajaran, maka faktor-faktor instrumental tersebut harus ikut diperhitungkan.

B. Faktor dari Dalam

Faktor dari dalam adalah kondisi individu atau anak yang belajar itu sendiri. Faktor individu dapat

dibagi menjadi dua bagian: (1) Kondisi isiologis anak;

dan (2) Kondisi psikologis anak.

Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, maka sebenarnya kondisi individu anak didiklah yang memegang peranan paling

(31)

1. Kondisi isiologis anak

Secara umum kondisi fisiologis, seperti kese-hatan yang prima, tidak dalam keadaan capai, tidak dalam keadaan cacat jasmani, seperti kakinya atau

tangannya (karena ini mengganggu kondisi

isio-logis), dan sebagainya, akan sangat membantu dalam proses dan hasil belajar.

Anak yang kekurangan gizi, misalnya, kemam-puan belajarnya berada di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi, sebab mereka yang keku-rangan gizi biasanya cenderung lekas lelah, capai, mudah mengantuk dan akhirnya tidak mudah dalam menerima pelajaran.

Di samping kondisi yang umum tersebut, yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah kondisi panca indera, terutama indera penglihatan dan pendengaran. Sebagian besar orang melakukan aktivitas belajar dengan mempergunakan indera penglihatan dan pendengaran.

Membaca, melihat contoh atau model, mela-kukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengar keterangan guru, mendengarkan cera-mah, mendengarkan keterangan orang lain dalam diskusi, dan sebagainya hampir tidak dapat lepas dari indera penglihatan dan pendengaran.

(32)

menemukan bentuk dan cara menggunakan alat peraga yang dapat dilihat sekaligus didengar (audio-visual aids). Guru Pendidikan Agama Islam yang baik tentu akan memperhatikan bagaimana keadaan panca indera, khususnya penglihatan dan pendengaran anak didiknya (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 106-107).

2. Kondisi psikologis anak

Di bawah ini akan diuraikan beberapa faktor psikologis yang dianggap utama dalam mempe-ngaruhi proses dan hasil belajar:

a. Minat. Minat sangat mempengaruhi proses dan hasil belajar. Tanpa adanya minat untuk belajar, anak didik tidak akan bergairah untuk menyerap materi. Seseorang yang menaruh minat yang tinggi pada mata pelajaran tertentu, biasanya cenderung untuk memperhatikan dan termotivasi terhadap mata pelajaran tersebut. Sebaliknya, bila minat dan motivasi belajar rendah maka perhatian terhadap materi yang sedang diajarkan akan sangat berkurang. Jika hal ini terjadi berlarut-larut dan terus-menerus tanpa adanya upaya seorang guru untuk membangkitkannya maka bisa jadi anak didik tidak akan pernah memahami dan menaruh perhatian terhadap materi pelajaran.

(33)

sesuatu program pendidikan. Anak didik yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih mampu belajar daripada anak didik yang kurang cerdas. Kecerdasan anak didik biasanya dapat diukur dengan menggunakan alat tertentu. Hasil dari pengukuran kecerdasan biasanya dinyatakan dengan angka yang menunjukkan perbandingan kecerdasan yang terkenal dengan sebutan

Intelligence Quotient (IQ). Berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara IQ dengan hasil belajar di sekolah. Dengan memahami taraf IQ setiap anak didik, maka guru akan dapat memperkirakan tindakan yang harus diberikan kepada anak didiknya secara tepat.

c. Bakat. Di samping kecerdasan, bakat merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat akan memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Anak didik yang memiliki bakat yang tinggi pada bidang tertentu, disebut anak

berbakat. Secara deinitif, anak didik berbakat

(34)

pendidikan berdiferensiasi dan pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa, untuk merealisasikan sumbangannya terhadap masyarakat maupun terhadap dirinya.

d. Motivasi. Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan penelitian mengungkap bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Oleh karena itu, meningkatkan motivasi belajar anak didik memegang peranan penting untuk mencapai hasil belajar yang optimal.

(35)

kemampuan-kemampuan kognitif akan tetap merupakan faktor penting dalam belajar para siswa atau anak didik.

(36)

BAB III

STRATEGI PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNTUK melaksanakan tugas secara profesional, guru Pendidikan Agama Islam memerlukan wawasan yang mantap tentang kemungkinan-kemungkinan strategi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dirumuskan, baik tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara eksplisit, maupun hasil ikutan yang didapat dalam proses pembelajaran, misalnya kemampuan berpikir kritis, kreatif, sikap terbuka setelah anak didik mengikuti diskusi kecil kelompok dalam proses belajar. Berangkat dari pemikiran di atas, maka pembahasan dalam bab ini mencakup: (1) Hakikat Strategi

Pembelajaran; (2) Klaksiikasi Strategi Pembelajaran;

dan (3) Pelaksanaan Strategi Pembelajaran.

A. Hakikat Strategi Pembelajaran

(37)

strategi mula-mula dipakai di kalangan militer dan diartikan sebagai seni dalam merancang (operasi) peperangan, terutama yang erat kaitannya dengan gerakan pasukan dan navigasi ke dalam posisi perang yang dipandang paling menguntungkan untuk memperoleh kemenangan. Penetapan strategi tersebut harus didahului oleh analisis kekuatan musuh yang meliputi jumlah personal, kekuatan persenjataan, kondisi lapangan, posisi musuh, dan sebagainya. Dalam perwujudannya, strategi itu akan dikembangkan dan dijabarkan lebih lanjut menjadi tindakan-tindakan nyata dalam medan pertempuran (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 11).

Dewasa ini istilah strategi banyak dipinjam oleh bidang-bidang ilmu lain, termasuk ilmu pendidikan. Dalam kaitannya dengan aktivitas pembelajaran, strategi bisa diartikan sebagai pengetahuan atau seni mendayagunakan semua faktor/ kekuatan untuk mengamankan sasaran pembelajaran yang hendak dicapai melalui perencanaan dan pengarahan dalam operasionalisasi sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan yang ada, termasuk pula perhitungan tentang hambatan-hambatan baik fisik maupun non fisik (seperti mental, spiritual, dan moral baik dari subyek, obyek, maupun lingkungan sekitar) (lihat Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, 2009: 214-215).

(38)

lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran. Maksudnya agar tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dirumuskan dapat tercapai secara berdaya guna dan berhasil guna, guru Pendidikan Agama Islam dituntut memiliki kemampuan mengatur secara umum komponen-komponen pembelajaran Pendidikan Agama Islam sedemikian rupa sehingga terjalin keterkaitan fungsi antara komponen pembelajaran dimaksud.

Menurut Newman dan Logan, seperti dikutip Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 12), strategi dasar arti setiap usaha mencakup 4 masalah, yaitu:

(1) Pengidentiikasian dan penetapan spesiikasi dan kualiikasi hasil yang harus dicapai dan menjadi sasaran

usaha tersebut, dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang memerlukannya. (2) Pertimbangan dan pemilihan pendekatan utama yang ampuh untuk mencapai sasaran. (3) Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak awal sampai akhir. (4) Pertimbangan dan penetapan tolok ukur dan ukuran baku yang akan digunakan untuk menilai keberhasilan usaha yang dilakukan.

Kalau diterapkan dalam konteks aktivitas pembe-lajaran dalam Pendidikan Agama Islam, keempat strategi tersebut bisa diterjemahkan menjadi: (1)

Mengi dentiikasikan serta menetapkan spesiikasi dan kualiikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian

(39)

menetapkan metode pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh para guru Pendidikan Agama Islam dalam kegiatan mengajarnya. Dan (4) Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria dan standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan pembelajaran, yang selanjutnya menjadi umpan balik bagi penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.

Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dijadikan pedoman dalam keberhasilan pelaksanaan kegiatan pembelajaran:

(40)

pembelajaran tanpa sasaran yang jelas, berarti aktivitas tersebut dilakukan tanpa arah atau tujuan yang pasti. Suatu usaha atau aktivitas yang tidak mempunyai arah atau tujuan yang pasti, dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan tidak tercapainya hasil yang diharapkan.

Kedua, memilih cara pendekatan pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Bagaimana kita memandang suatu persoalan, konsep, pengertian, dan teori apa yang kita gunakan dalam memecahkan suatu kasus akan mempengaruhi hasil yang dicapai. Satu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda bahkan mungkin bertentangan jika cara pendekatannya menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian, konsep ekonomi tentang baik, benar, atau adil, tidak sama dengan baik, benar, atau adil menurut pengertian, konsep dan teori dalam ilmu hukum, juga akan tidak sama bila kita menggunakan pendekatan agama karena pengertian, konsep, dan teori agama mengenai baik, benar, atau adil itu jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga dengan cara pendekatan yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran dalam Pendidikan Agama Islam.

(41)

diskusi atau seminar. Juga akan lain hasilnya andaikata topik yang sama dibahas dengan menggunakan kombinasi berbagai teori.

Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur dan metode pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode atau teknik penyajian untuk memotivasi anak didik agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau metode untuk mendorong para anak didik mampu berpikir dan memiliki cukup keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, dengan sasaran yang berbeda, guru hendaknya jangan menggunakan teknik penyajian yang sama. Bila beberapa tujuan ingin diperoleh, kita dituntut untuk memiliki kemampuan menggunakan berbagai metode atau mengkombinasikan beberapa metode yang relevan.

(42)

sama. Tujuan instruksional yang ingin dicapai itu tidak selalu tunggal, bisa terdiri dari beberapa tujuan atau sasaran. Untuk itu, guru Pendidikan Agama Islam membutuhkan variasi dalam penggunaan teknik penyajian supaya kegiatan pembelajaran yang berlangsung tidak membosankan.

Keempat, menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru Pendidikan Agama Islam mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang dilakukannya. Suatu program baru bisa diketahui keberhasilannya, setelah dilakukan evaluasi. Evaluasi dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan dengan strategi dasar yang lain.

Apa yang harus dievaluasi dan bagaimana evaluasi itu harus dilakukan termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru Pendidikan Agama Islam. Seorang anak didik dapat dikategorikan sebagai anak didik yang berhasil bila dilihat dari berbagai segi. Bisa dilihat dari aspek kerajinannya mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku sehari-hari di sekolah, hasil ulangan, hubungan sosial, kepemimpinan, keterampilan, dan sebagainya, atau dilihat dari gabungan berbagai aspek.

B. Klasiikasi Strategi Pembelajaran

Ada berbagai masalah sehubungan dengan strategi

pembelajaran, yang secara keseluruhan diklasiikasikan

(43)

1. Konsep dasar strategi pembelajaran

Strategi pembelajaran merupakan pola umum tindakan guru-anak didik dalam manifestasi aktivitas pembelajaran (Lihat Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, 1991:31).

Konsep dasar strategi pembelajaran ini

meli-puti: (1) Menetapkan spesiikasi dan kualiikasi

peru bahan perilaku; (2) Menentukan pilihan berke-naan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, dan memilih prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar; dan (3) Norma dan kriteria keberhasilan kegiatan pembelajaran.

2. Pembelajaran sebagai suatu sistem

Pembelajaran sebagai suatu sistem instruksional mengacu pada pengertian seperangkat komponen yang saling bergantung antara satu dan lainnya untuk mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, pembelajaran meliputi sejumlah komponen antara lain: tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan itu tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga antar setiap komponen itu terjadi kerjasama. Karena itu, guru Pendidikan Agama Islam tidak boleh hanya memperhatikan komponen tertentu saja, misalnya: metode, bahan dan evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.

(44)

Pendidikan Agama Islam apa yang perlu diajarkan; (3) Metode dan alat apa yang harus dipakai; dan (4) Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan evaluasi. Secara khusus dalam proses pembelajaran, guru Pendidikan Agama Islam berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator, dan lain-lain.

Untuk itu wajar bila guru Pendidikan Agama Islam harusnya bisa memahami segenap aspek pribadi anak didik. Beberapa aspek pribadi anak didik menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 17), seperti: (1) Kecerdasan dan bakat khusus. (2) Prestasi sejak permulaan sekolah; (3) Perkembangan jasmani dan kesehatannya; (4) Kecenderungan emosi dan karakternya; (5) Sikap dan minat belajar; (6) Cita-cita; (7) Kebiasaan belajar dan bekerja; (8) Hobi dan penggunaan waktu senggang; (9) Hubungan sosial di sekolah dan di rumah; (10) Latar belakang keluarga; (11) Lingkungan tempat tinggal; dan (12) Sifat-sifat khusus dan kesulitan anak didik.

Usaha guru Pendidikan Agama Islam untuk memahami anak didik ini bisa melalui evaluasi. Selain itu, guru Pendidikan Agama Islam mempunyai kewajiban untuk melaporkan perkembangan hasil belajar para anak didik tersebut ke kepala sekolah dan orang tua murid.

3. Hakikat proses belajar

(45)

perila-ku berkat pengalaman dan pelatihan. Artinya tujuan kegiatan belajar ialah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap, bahkan meliputi segenap aspek pribadi.

Faktor yang sangat penting dalam proses belajar adalah anak didik atau subjek belajar. Sebagai subjek belajar, anak didik mempunyai kepribadian yang unik. Ia mempunyai kapasitas mental yang berbeda untuk mencapai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diharapkan oleh guru. Keunikan lain yang ada pada anak didik ialah mereka mempunyai bakat dan inteligensi yang berbeda (DN Adjai Robinson, 1980: 13).

Hal lain, mereka mempunyai motivasi belajar yang tidak sama. Motivasi ini sangat berperan dalam menggerakkan anak didik untuk melakukan aktivitas belajar. Seperti yang juga sudah diuraikan

di bab II sebelumnya, kondisi isik subjek belajar

juga berpengaruh sekali terhadap hasil belajar. Anak yang kekurangan gizi, misalnya, kemampuan belajarnya berada di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi, sebab mereka yang kekurangan gizi biasanya cenderung lekas lelah, capai, mudah mengantuk dan akhirnya tidak mudah dalam menerima pelajaran.

4. Sasaran kegiatan belajar

(46)

kongkret, yaitu tujuan instruksional khusus dan tujuan instruksional umum, tujuan kurikuler, tujuan institusional, tujuan nasional, sampai kepada tujuan yang bersifat universal. Persepsi guru Pendidikan Agama Islam atau persepsi anak didik mengenai sasaran akhir aktivitas pembelajaran akan mempengaruhi tujuan yang akan dicapai. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan.

Pada tingkat sasaran dan tujuan yang univer sal, manusia yang diidamkan tersebut harus mempunyai

kualiikasi: (1) Pengembangan bakat secara optimal; (2) Hubungan antar manusia; (3) Eisiensi ekonomi;

dan (4) Tanggung jawab selaku warga negara (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 16).

5. Entering behavior anak didik

(47)

pembelajaran, itulah yang dimaksud dengan

entering behavior.

Entering behavior dapat diidentiikasi dengan

cara berikut: (1) Secara tradisional, para guru mulai dengan pertanyaan tentang bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru. (2) Secara inovatif, guru tertentu diberbagai lembaga pendidikan mampu mengembangkan instrumen pengukuran prestasi belajar dengan mengadakan pra-tes sebelum anak didik mengikuti program pembelajaran.

(48)

atas hasil pencapaian yang nyata sebagai pengaruh dari aktivitas pembelajaran.

Ada tiga dimensi dari entering behavior yang perlu diketahu guru Pendidikan Agama Islam: (1) Batas-batas ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai anak didik; (2) Tingkatan tahapan materi pengetahuan terutama kawasan pola-pola sambutan atau kemampuan yang telah dimiliki anak didik; dan (3) Kesiapan

dan kematangan fungsi-fungsi psikoisik.

Di samping itu, seorang guru Pendidikan Agama Islam sebelum merencanakan dan melak sanakan aktivitas pembelajaran harus dapat menjawab pertanyaan: (1) Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah diketahui dan dikuasai oleh anak didik yang akan diajari; (2) Tingkat dan tahap serta jenis kemampuan manakah yang telah dicapai dan dikuasai anak didik yang bersangkutan; (3) Apakah anak didik sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola perilaku yang akan diajarkan; dan (4) Seberapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki anak didik sebelum pembelajaran dimulai.

6. Pola-pola belajar anak didik

(49)

adalah: 1) Signal learning (belajar isyarat), 2) Stimulus- response learning (belajar stimulus-respons), 3)

Chaining (rantai atau rangkaian), 4) Verbal associa tion

(asosiasi verbal), 5) Discrimination learning (belajar kriminasi), 6) Concept learning (belajar konsep), 7)

Rule learning (belajar aturan), dan 8) Problem solving

(memecahkan masalah).

Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut:

a. Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat) Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat

(50)

Contoh: Aba-aba “Siap!” merupakan suatu signal atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa jijik. Melihat ular itu merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.

b. Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus-Respons)

Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical condition, maka tipe belajar 2 ini terma suk ke dalam instrumental conditioning, atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforce ment.

Contoh: Anjing dapat diajar “memberi salam” dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan “Kasih tangan!” atau “Salam”. Ucapan ‘kasih tangan’ merupakan stimulus yang menimbulkan respons ‘memberi salam’ oleh anjing itu.

(51)

tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respons dapat diatur dan dikuasai. Respons bersifat-spesifik, tidak umum dan kabur. Respons diperkuat atau di-reinforce dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus-respons ini seorang pelajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan “Mama”.

c. Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian) Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Slimulus-Respons) yang satu dengan lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforce-ment tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

(52)

d. Belajar Tipe 4: Verbal Association (Asosiasi Verbal)

Baik chaining maupun verbal association, kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal ‘bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, ‘saya’, dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsur-unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi (contiguity).

e. Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)

(53)

Contoh: Anak dapat mengenal berbagai merk mobil beserta namanya, walaupun tampaknya mobil itu banyak bersamaan. Demikian pula ia dapat membedakan manusia yang satu dari yang lain; juga tanaman, binatang, dan Iain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu beserta namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya chain baru, dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi.

Makin banyak yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.

f. Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)

Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan obyek-obyeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan adalah mengua-sai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamen tal sebelumnya.

(54)

dapat melakukan demikian, akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk

isik, melainkan dalam bentuk yang abstrak.

Misalnya kita dapat menyuruh anak dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah!” Untuk mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Dalam pada itu ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.

g. Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)

(55)

konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” : prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah. dan sebagainya.

Belajar aturan adalah tipe belajar yang banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, (a + b) (a - b) = a2 - b2, untuk menjamin keselamatan negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya. Ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus “menemukan sendiri” aturan-aturan itu. Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan “memberitahukannya” kepada anak didik disertai dengan contoh-contoh. dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang efektifnya. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan “verbal chain” saja dan ini hanya menunjukkan cara belajar yang salah.

h. Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)

(56)

problematic, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah, adalah sebagai berikut:

1) Merumuskan dan menegaskan masalah Individu melokalisasi letak sumber kesuli tan, untuk memungkinkan mencari jalan peme ca-hannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan.

2) Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis

Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang

serupa. Kemudian mengidentiikasi berbagai

alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).

3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan

(57)

segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.

4) Mengadakan pengujian atau veriikasi

Mengadakan pengujian atau veriikasi secara

ekspe ri mental alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.

Dengan demikian proses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai, menurut kondisi lain yang diperlukan adalah bahwa kepada anak didik hendaknya:

1) Diberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam diri anak didik. 2) Diberikan kesempatan untuk memilih dan

berlatih merumuskan dan mencari alternatif pemecahannya.

3) Diberikan kesempatan untuk berlatih dan mengalami sendiri melaksanakan pemecahan dan pembuktiannya. Dengan proses

pengiden-tiikasian entering behavior seperti dijelaskan

(58)

itu guru dapat memilih alternatif strategi pengorganisasiannya bahan dan kegiatan pembelajaran.

7. Pemilihan sistem pembelajaran

Titik tolak untuk penentuan strategi pembela-jaran Pendidikan Agama Islam tersebut adalah perumusan tujuan pembelaran Pendidikan Aga ma Islam secara jelas. Agar anak didik dapat melaksa-na kan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam secara optimal, selanjutnya guru Pendidikan Agama Islam harus memikirkan pertanyaan berikut:

“Strategi manakah yang paling efektif dan eisien

untuk membantu tiap anak didik dalam pencapaian tujuan yang telah dirumuskan?”

Pertanyaan di atas sangat sederhana namun sukar untuk dijawab, karena tiap anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi strategi memang harus dipilih untuk membantu anak didik mencapai tujuan secara efektif dan produktif.

Langkah yang harus ditempuh mula-mula menentukan tujuan dalam arti merumuskan tujuan dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang diharapkan dapat dilakukan anak didik, dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat keberhasilan yang diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab, sebab selain setiap anak didik berbeda, juga tiap guru Pendidikan Agama Islam

(59)

berbeda pula. Di samping itu tujuan yang bersifat afektif seperti sikap dan perasaan, lebih sukar untuk diuraikan (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif biasanya lebih mudah. Strategi yang dipilih guru Pendidikan Agama Islam untuk aspek ini didasarkan pada perhitungan bahwa strategi tersebut akan dapat membentuk sebagaian besar anak didik mencapai hasil yang optimal.

Namun guru Pendidikan Agama Islam tidak boleh berhenti sampai di situ, dengan kemajuan teknologi, guru Pendidikan Agama Islam dapat mengatasi perbedaan kemampuan anak didik melalui berbagai jenis media instruksional. Misalnya, sekelompok anak didik belajar materi yang berhubungan dengan gerakan-gerakan dan bacaan shalat melalui modul atau kaset audio, sementara guru Pendidikan Agama Islam membimbing kelompok lain yang dianggap masih lemah.

Kriteria pemilihan strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam, adalah: (1) Efisiensi. Contohnya, seorang guru Pendidikan Agama Islam akan mengajar baca tulis Al-Qur‘an. Tujuan pengajarannya berbunyi: Siswa dapat membaca Al Qur‘an surat Al Baqarah ayat 2 dan 185 dengan fasih beserta tajwidnya dengan benar. Untuk mencapai

tujuan tersebut, strategi yang paling eisien ialah

(60)

benar, dan anak didik diminta mengikuti dan memperhatikan. Selanjutnya para anak didik diminta mengulang-ulangnya di rumah sampai hapal, sehingga waktu diadakan tes mereka dapat membaca surat Al Baqarah ayat 2 dan 185 dengan fasih beserta tajwidnya dengan benar. Dengan kata lain mereka dianggap telah mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dengan biaya yang murah.

(2) Efektiitas. Strategi yang paling eisien tidak

selalu merupakan strategi yang efektif. Jadi eisiensi

akan tetap merupakan pemborosan bila tujuan akhir tercapai dalam waktu yang lama. Jadi bila tujuan tercapai, masih harus dipertanyakan seberapa jauh

efektiitasnya. Suatu cara untuk mengukur efektiitas

ialah dengan jalan menentukan transferbilitas (kemampuan memindahkan) prinsip-prinsip yang dipelajari dalam waktu yang singkat. Kalau tujuan dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat dan lebih murah biayanya, maka strategi itu efektif dan

eisien.

(61)

discovery, melainkan campuran. Guru yang kreatif akan melihat tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dimiliki anak didik, kemudian

memilih strategi lain yang lebih efektif dan eisien

untuk mencapainya.

8. Pengorganisasian kelompok belajar

Mansyur (1991: 20) menyarankan pengorga-nisasian kelompok belajar anak didik sebagai berikut:

a. N = 1. Pada sistuasi yang ekstrim, kelompok belajar itu mungkin hanya seorang. Jika peserta hanya seorang, metode yang sesuai mungkin konsep pembelajaran tutorial atau

independent study.

b. N = 2-20. Untuk kelompok kecil sekitar dua sampai dua puluh orang, metode belajarnya bisa dengan diskusi atau seminar.

c. N = 20-40. Kelompok besar (sebesar 20-40 orang), biasanya digunakan metode klasikal atau classroom teaching. Tekniknya mungkin bervariasi sesuai dengan kemampuan guru untuk mengelolanya.

(62)

C. Dasar-dasar Pengklasiikasian

Dasar-dasar yang dapat dipergunakan untuk

mengklasiikasikan strategi pembelajaran Pendidikan

Agama Islam:

1. Pengaturan guru-anak didik

Pengaturan guru-anak didik dapat dibedakan sebagai berikut: Pertama, dari segi pengaturan guru Pendidikan Agama Islam, dapat dibedakan pengajaran Pendidikan Agama Islam oleh seorang guru atau oleh suatu tim guru Pendidikan Agama Islam. Yang dimaksud dengan tim guru Pendidikan Agama Islam adalah suatu sistem mengajar yang dilakukan oleh dua orang guru Pendidikan Agama Islam atau lebih dalam satu kelas atau lebih. Para guru Pendidikan Agama Islam tersebut bersama-sama mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar anak didik. Pelaksanaannya secara bergilir dengan cara metode ceramah atau bersama-sama dengan metode diskusi panel.

Kedua, dari segi pengaturan anak didik, dapat dibedakan menjadi tiga bentuk pengajaran:

a. Pengajaran klasikal, yaitu bila seorang guru Pendidikan Agama Islam menghadapi kelompok besar anak didik di dalam kelas dan memberi pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan satu jenis metode mengajar.

(63)

masing-masing kelompok diberi tugas untuk menyelesaikan tugas.

c. Pengajaran perseorangan, bila masing-masing anak didik secara pribadi diberi beban belajar secara mandiri, misalnya dalam bentuk pengajaran modul.

Ketiga, Dari segi hubungan guru-anak didik, dapat dibedakan menjadi tiga:

a. Hubungan langsung guru-anak didik melalui bentuk tatap muka.

b. Hubungan langsung guru-anak didik dalam bentuk tatap muka dengan bantuan media pengajaran sebagai alat bantu mengajar Pendidikan Agama Islam, baik media cetak (modul/buku) maupun media elektronik. c. Hubungan tak langsung, bila penyampaian

pesan disampaikan dengan perantara media baik melalui media cetak (modul/buku) maupun elektronik (radio kaset, suara, atau video).

2. Struktur peristiwa pembelajaran

Struktur peristiwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dibedakan menjadi dua:

(64)

Islam tidak berani menyimpang dari persiapan mengajar yang telah dibuat. Kedua, struktur peristiwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang bersifat terbuka, di mana tujuan, materi, dan strategi yang akan ditempuh ditentukan pada saat aktivitas pembelajaran berlangsung. Contoh pengajaran yang bersifat terbuka menurut Engkoswara seperti dikutip Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 27) adalah pengajaran unit, yaitu suatu sistem mengajar yang berpusat pada suatu masalah dan dipecahkan secara keseluruhan yang mempunyai arti.

3. Peranan guru-anak didik dalam pengolahan pesan

Pesan adalah materi pembelajaran yang dipakai sebagai masukan untuk pencapaian suatu tujuan, dapat berupa pengetahuan, wawasan, keterampilan, atau isi pembelajaran lainnya. Maka pesan juga bisa diartikan semua informasi yang perlu diketahui oleh anak didik.

(65)

Agama Islam (sifatnya sama dengan struktur peristiwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang bersifat tertutup).

(66)

4. Proses pengolahan pesan

Dapat dimafhumi, proses berpikir anak didik di dalam menjalani pengalaman belajar Pendidikan Agama Islam tidak selalu sama bergantung pada strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang diprogram guru Pendidikan Agama Islam. Atas dasar proses pengolahan pesan, strategi pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dibedakan sebagai berikut:

Pertama, Strategi pembelajaran induktif, yaitu pembelajaran Pendidikan Agama Islam di mana proses pengolahan pesan bertolak dari contoh-contoh kongkret kepada generalisasi atau prinsip yang bersifat umum, dari fakta-fakta yang nyata kepada konsep yang bersifat abstrak. Strategi induktif berkembang dari suatu dasar konseptual bahwa cara belajar seorang anak didik akan mantap jika dimulai dari data empirik menuju konsep sampai pada generalisasi.

(67)

luka atau meninggal; fakta lainnya, banyak rumah yang terendam dan banyak sarana dan prasarana rusak akibat musibah banjir; kerugian yang diderita akibat banjir cukup besar, dan sebagainya. Data adalah ciri karakteristik dari benda-benda, hal-hal atau kejadian-kejadian yang diamati. Konsep

merupakan deinisi atau batasan pengertian dari hal

yang diamati, sedangkan generalisasi merupakan hasil kesimpulan hubungan korelatif antara konsep-konsep. Dari contoh di atas misalnya, peristiwa musibah banjir diajarkan kepada anak didik sebagai

kudrah dan iradah dari Allah SWT. Orang-orang beriman akan selalu membaca kejadian-kejadian dan peristiwa sebagai sebuah pertanda. Ia bisa berarti teguran atau ujian, bisa azab bisa pula laknat. Bagi orang-orang yang melakukan maksiat, mungkin ini adalah sebuah teguran dan peringatan. Dan bisa menjadi azab bagi orang-orang yang kufur. Bagi mereka, orang-orang kufur, kematian dan segala kejadian buruk yang menimpa mereka adalah azab. Tapi bagi orang beriman, semua peristiwa musibah adalah ujian.

(68)

misalnya anak didik diperkenalkan pada konsep Islam tentang hari kiamat, yaitu peristiwa di mana alam semesta beserta isinya hancur luluh yang membunuh semua makhluk di dalamnya tanpa terkecuali. Kemudian anak didik diperkenalkan pada macam-macam/jenis-jenis kiamat, dan tanda-tanda hari kiamat akan tiba.

5. Tujuan-tujuan belajar

Ada lima tipe hasil belajar menurut Robert M. Gagne seperti dikutip Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 30):

Pertama, Kemampuan inteletual. Yaitu sejum-lah kemampuan mulai dari membaca, menulis, menghitung sampai dengan kemampuan memper-hitungkan kekuatan sebuah jembatan atau akibat devaluasi. Kedua, Strategi kognitif yaitu kemam-puan mengatur “cara belajar dan berpikir” seseorang, dalam artian yang seluas-luasnya, terma suk kemampuan memecahkan masalah.

Ketiga, Informasi verbal, yaitu kemampuan menye rap pengetahuan dalam arti informasi dan fakta termasuk kemampuan untuk mencari dan mengolah informasi sendiri. Keempat, keterampilan motorik, yaitu kemampuan yang erat dengan

keterampilan isik seperti keterampilan menulis,

(69)

sikap dan nilai ini, seperti sikap menghormati orang lain, kesediaan bekerjasama, tanggung-jawab atau keinginan untuk terus menerus belajar dan sebagainya.

D. Pelaksanaan Strategi Pembelajaran

Proses pembelajaran adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang terorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai tujuan pendidikan. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para anak didik untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di dalam suatu kelas adalah job describtion proses pembelajaran yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anak didik. Sehubungan dengan hal ini, job describtion guru Pendidikan Agama Islam dalam pelaksanaan aktivitas pembelajaran adalah:

1. Perencanaan instruksional, yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar.

2. Organisasi belajar yang merupakan usaha mencipta-kan wadah dan fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya proses pembelajaran.

(70)

motivasi belajar anak didik. Penggerak atau motivasi di sini pada dasarnya mempunyai makna lebih daripada memerintah, mengarahkan, mengaktualkan, dan memimpin.

4. Supervisi dan pengawasan, yaitu usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan mengarahkan aktivitas pembelajaran sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah didesain sebelumnya.

5. Penelitian yang bersifat assesment yang mengandung pengertian yang dibandingkan dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan (Mansyur, 1991: 27).

Di samping itu, berbagai usaha juga perlu dilakukan untuk menganalisis proses pengolahan pembelajaran Pendidikan Agama Islam ke dalam unsur-unsur komponennya. Komponen-komponen tersebut menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 34), mencakup:

1. Merencanakan, yaitu mempelajari masa mendatang dan menyusun rencana kerja.

2. Mengorganisasikan, yaitu membuat organisasi usaha, manager, tenaga kerja, dan bahan.

3. Mengkoordinasikan, yaitu menyatukan dan mengkorela-sikan semua aktivitas.

4. Mengawasi dan memeriksa agar segala sesuatu dikerjakan sesuai dengan peraturan yang digariskan dan instruksi-instruksi yang diberikan.

(71)

dan untuk mengarahkan pengaruh pengiring terhadap hal-hal yang positif dan berguna bagi anak didik, guru Pendidikan Agama Islam harus pandai memilih isi pengajaran serta bagaimana proses belajar itu harus dikelola dan dilaksanakan di sekolah.

Ada dua jenis belajar yang perlu dibedakan, yaitu belajar konsep dan belajar proses. Belajar konsep lebih menekankan hasil belajar kepada pemahaman fakta dan prinsip, banyak bergantung pada apa yang diajarkan guru, yaitu bahan atau isi pelajaran, dan lebih bersifat kognitif. Sedangkan belajar proses atau keterampilan proses lebih menekankan pada masalah bagaimana bahan pelajaran itu diajarkan dan dipelajari.

Bila persoalan belajar keterampilan proses itu dikaitkan dengan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), maka tampak kesamaan konseptual. Baik belajar konsep maupun belajar keterampilan proses, keduanya mempunyai ciri-ciri: (1) Menekankan pentingnya makna belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai; (2) Menekankan pentingnya keterlibatan anak didik di dalam proses belajar; (3) Menekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang dapat dicapai oleh anak didik; dan (4) Menekankan hasil belajar secara tuntas dan utuh.

(72)

pemahaman fakta, dan prinsip. Belajar keterampilan proses tidak mungkin terjadi bila tidak ada materi atau bahan pelajaran yang dipelajari. Sebaliknya belajar konsep tidak mungkin terjadi tanpa keterampilan proses anak didik.

Dalam aktivitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam terdapat dua hal yang ikut menentukan keberhasilannya, yaitu pengaturan proses pembelajaran dan pengajaran itu sendiri yang keduanya mempunyai saling ketergantungan. Kemampuan mengatur proses pembelajaran yang baik akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak didik belajar sehingga menjadi titik awal keberhasilan pengajaran. Anak didik dapat belajar dalam suasana yang wajar. Dengan demikian, dalam aktivitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam, anak didik memerlukan sesuatu yang memungkinkan dia berkomunikasi secara baik dengan guru, teman, maupun dengan lingkungannya. Kebutuhan akan bimbingan, bantuan, dan perhatian guru akan berbeda untuk setiap individu anak didik.

(73)

kelas, serta pengelompokan anak didik dalam aktivitas belajar (Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 2005: 35-36).

Tujuan pembelajaran merupakan pangkal tolak keber hasilan dalam pembelajaran. Makin jelas rumu-san tujuan, makin mudah menyusun rencana dan mengimplementasikan aktivitas pembelajaran dengan bimbingan guru. Dalam perumusan tujuan instruksional khusus menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (2005: 36) perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Kemampuan dan nilai-nilai apa yang diinginkan

dipertimbangkan pada diri anak didik.

2. Bagaimana cara mencapai tujuan itu, apakah secara bertahap atau sekaligus.

3. Apakah perlu menekankan aspek-aspek tertentu. 4. Seberapa jauh kebutuhan itu dapat memenuhi

kebutuhan perkembangan anak didik.

5. Apakah waktu yang tersedia cukup untuk mencapai tujuan-tujuan itu.

(74)

aktivitas bermakna dan dapat memberikan hasil belajar produktif.

Pengaturan ruang kelas juga perlu diperhatikan, seperti: ukuran dan bentuk kelas, bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik, jumlah anak didik dalam satu kelas, jumlah anak didik dalam kelompok belajar, jumlah kelompok belajar dalam satu kelas, dan komposisi anak didik dalam kelompok belajar (yang pandai, yang kurang pandai, jenis kelamin laki-laki dan perempuan).

Agar aktivitas belajar itu sesuai dengan kebutuhan cara belajar anak didik, diperlukan pengelompokan anak didik dalam belajar. Dalam penyusunan anggota kelompok perlu dipertimbangkan antara lain: (1) Kegiatan belajar apa yang akan dilaksanakan; (2) Siapa yang menyusun anggota kelompok, apakah guru, anak didik, atau guru dan anak didik secara bersama-sama; (3) Atas dasar apa kelompok belajar itu dibentuk; dan (4) Apakah kelompok belajar itu selalu tetap atau berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan cara belajar.

(75)
(76)

BAB IV

METODE PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Hakikat Metode Pembelajaran.

Ditinjau dari segi kebahasaan, kata metode berasal dari kata Yunani “methodos”, yang terdiri dari kata “meta” yang berarti “melalui” dan “hodos” yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti jalan yang dilalui

(HM Ariin, 1994: 97). Secara lebih sederhana, metode

dapat berarti cara kerja (Osman Rabily, 1982: 351), atau cara yang tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu (Soergarda Poerbakawatja dan H.A.H Harahap, 1992: 351; Ahmad Tafsir, 1991: 9).

(77)

Agama Islam kepada anak didik di dalam kelas, baik secara individual atau secara kelompok/klasikal, agar pelajaran itu dapat diserap, dipahami, dan dimanfaatkan oleh anak didik dengan baik. Makin baik metode pembelajaran, makin efektif pula pencapaian tujuan.

Di dalam kenyataannya, cara atau metode mengajar yang digunakan untuk menyampaikan informasi berbeda dengan cara yang ditempuh untuk memantapkan anak didik dalam menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap (kognitif, psikomotor, afektif). Khusus metode mengajar di dalam kelas, menurut Abu Ahmadi dan

Joko Tri Prasetya (2005: 52), efektiitas suatu metode

dipengaruhi oleh faktor tujuan, faktor anak didik, faktor situasi, dan faktor guru itu sendiri.

Penetapan suatu metode belajar mengajar harus dikuasai guru Pendidikan Agama Islam, sebab berhu-bungan erat dengan kode etik guru, di mana seorang guru harus menciptakan suasana sekolah yang sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses

pembe-lajaran (Soetjipto dan Ralis Kosasi, 2004: 34).

Gambar

Gambar 1.1.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) antara metode pembelajaran aktif tipe quiz team dengan metode ceramah

Skripsi ini membahas tentang “Pengaruh Metode Resitasi pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam terhadap Hasil Belajar Peserta Didik di SMP Negeri 43

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui penerapan metode pembelajaran aktif team quiz

terhadap penerapan metode resitasi dan motivasi belajar mereka pada mata pelajaran. Pendidikan

Metode ceramah adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan. Metode ini senantiasa bagus bila pengunaannya betul-betul disiapkan dengan baik, didukung alat dan

Jadi strategi pembelajaran pendidikan agama Islam dengan menggunakan metode cerita untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam adalah cara guru menyampaikan nilai-nilai pendidikan

Peneliti telah menerapkan metode team quiz di SMP Negeri 11 Parepare, karena metode pembelajaran team quiz tersebut belum digunakan oleh guru dalam pembelajaran pendidikan agama Islam,

Setelah melakukan penelitian penggunaan metode team quiz dalam meningkatkan hasil belajar pendidikan agama Islam, jika dikaitkan dengan teori-teori terhadap variabel, baik variabel