P ERKEMB ANGAN EKONOMI KEUANGAN
DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL
TRIWULAN I 2 0 0 2
P a s a r K e u a n g a n d a n
P a s a r K o m o d i t a s
Artikel
Perkembangan Ekonomi
Dunia
P e r k e m b a n g a n K e r j a
S a m a I n t e r n a s i o n a l
PERKEMBANGAN EKONOMI KEUANGAN
DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL
TRIWULAN I 2002
Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia
Perkembangan Ekonomi
Dunia
Pasar Keuangan dan
P a s a r K o m o d i t a s
Perkembangan Kerja
S a m a I n t e r n a s i o n a l
Tulisan dalam Tinjauan Triwulanan Perkembangan Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional ini bersumber dari berbagai publikasi dan pendapat pribadi para penulis dan bukan merupakan pendapat dan kebijakan Bank Indonesia. Pengutipan diizinkan dengan menyebutkan sumbernya.
Redaksi sangat mengharapkan komentar, saran, dan kritik demi perbaikan terbitan ini. Redaksi juga mengharapkan sumbangan artikel, karangan, atau laporan untuk dapat dimuat dalam terbitan ini.
Pengantar Redaksi
Perekonomian global dalam triwulan I 2002 mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan
yang ditandai oleh membaiknya kondisi dua kekuatan ekonomi dunia yaitu ekonomi Amerika
Serikat dan negara-negara Euro. Kombinasi antara kebijakan moneter dan fiskal yang sangat
ekspansif serta rendahnya harga minyak dunia sepanjang tahun 2001 telah memberikan stimulus
terhadap bangkitnya ekonomi Amerika Serikat. Sementara itu, bangkitnya kembali perekonomian
Amerika Serikat telah membantu pulihnya kondisi ekonomi Euro antara lain melalui pangsa
ekspor Euro di Amerika Serikat. Sementara itu, ditengah membaiknya kinerja ekonomi di Amerika
Serikat dan Euro, kondisi ekonomi Jepang masih dihadapkan ketidakpastian menyusul kontraksi
yang terjadi pada tiga triwulan terakhir tahun 2001. Kendati perekonomian Jepang pada tahun
2001 masih tumbuh positif sebesar 0,4%, namun kontraksi yang mulai terjadi sejak triwulan II
2001 terus meningkat hingga triwulan IV 2001 dan diperkirakan akan terus berlangsung hingga
triwulan I 2002.
Sejalan dengan membaiknya ekonomi Amerika Serikat dan Euro, perekonomian
negara-negara di Asia dan Amerika Latin juga memperlihatkan kondisi yang semakin membaik, kecuali
Argentina. Di negara-negara Asia terutama yang terkena imbas oleh melemahnya perekonomian
global, indikasi pemulihan semakin terlihat terutama pada sektor industri elektronik yang
mengalami “rebound”, yang ditunjang oleh kebijakan moneter dan fiskal yang longgar. Sementara
itu, perekonomian di negara-negara Amerika Latin, khususnya Meksiko, Brazil dan Chili juga
menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor negara
tersebut ke Amerika Serikat selama dua bulan pertama tahun 2002. Dapat ditambahkan bahwa
sebagian besar ekspor Meksiko, Brazil dan Chile ditujukan ke Amerika Serikat. Berbeda dengan
negara-negara Amerika Latin lainnya, kontraksi yang terjadi di Argentina pada triwulan IV 2001
diperkirakan akan terus berlanjut hingga triwulan I 2002. Perubahan kepemimpinan yang terjadi
pada bulan Januari 2002 yang mendevaluasi mata uang peso sebesar 29% dan mengakhiri
sistem Currency Board System (CBS) telah menimbulkan ketidakpastian terhadap
per-ekonomian Argentina.
Selanjutnya Bab II akan membahas dampak perkembangan ekonomi dan kebijakan
Bab II juga mengulas perkembangan harga komoditas internasional terutama minyak dan emas.
Mulai pulihnya perekonomian dunia yang ditopang oleh kebijakan moneter dan fiskal yang
ekspansif yang diterapkan sebelumnya di berbagai negara telah menyebabkan stance kebijakan
moneter dan fiskal di berbagai negara bergeser dari longgar menjadi lebih netral. Namun,
pelaku pasar ternyata memberikan reaksi yang berlainan di berbagai negara terhadap
pergeseran stance kebijakan tersebut.
Dalam Bab III, dibahas hasil sidang pada berbagai lembaga dan fora regional dan
internasional. Sepanjang triwulan I 2002, Indonesia telah menghadiri berbagai forum
internasional mengenai kerja sama ekonomi, moneter, dan keuangan internasional; kerja sama
pembangunan ekonomi regional/internasional; dan integrasi perekonomian dan perdagangan
internasional. Kerja sama ekonomi, moneter, dan keuangan internasional dalam periode tersebut
telah dibahas dalam forum SEACEN dan EMEAP. Kerja sama pembangunan ekonomi regional/
internasional dibahas dalam Konferensi Financing for Development. Sementara integrasi
perekonomian dan perdagangan internasional dibahas dalam forum APEC Economic Committee
dan G-15 Expert Group.
Bab terakhir (Bab IV) menyajikan beberapa artikel yang berjudul Fostering Sustained
Growth, Melemahnya Yen Serta Dampaknya Terhadap Ekonomi Asia, dan Tinjauan Umum
Dampak “the New Basel Accord” Terhadap Perekonomian.
Dalam kesempatan ini tim penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak khususnya rekan-rekan di Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional, Direktorat
Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter-Bank Indonesia, mahasiswi dari Universitas Sam
Ratulangi Menado, Sdri. Christine Henny Lydia Pepah dan Sdri. Indira Maya Kader, dan
Direktorat Luar Negeri serta satuan kerja lain yang telah membantu dan berperan serta dalam
penyusunan laporan PEKKI triwulan I 2002.
PENDAHULUAN
Lesunya perekonomian dunia yang terjadi sejak pertengahan tahun 2000 mulai
menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Perkembangan ini ditandai dengan mulai membaiknya
kondisi dua kekuatan ekonomi dunia yaitu ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara Euro.
Sejalan dengan membaiknya ekonomi Amerika Serikat, perekonomian negara-negara Amerika
Latin kecuali Argentina dan beberapa negara Asia juga semakin memperlihatkan kondisi yang
membaik. Sinyal membaiknya perekonomian dunia juga ditandai oleh menguatnya kembali
harga saham dan komoditas dalam skala global. Sementara itu, di tengah membaiknya kinerja
ekonomi di berbagai kawasan, kondisi ekonomi Jepang masih dihadapkan ketidakpastian
menyusul kontraksi ekonomi yang terjadi pada triwulan IV 2001. Mulai terlihatnya indikasi
pemulihan ekonomi dunia pada triwulan laporan terutama merupakan dampak positif dari
ditempuhnya kebijakan moneter dan fiskal yang sangat ekspansif di berbagai kawasan terutama
di Amerika Serikat dan beberapa negara industri baru di Asia. Ruang gerak bagi ekspansi
kebijakan makroekonomi tersebut semakin terbuka karena beberapa indikator memperlihatkan
kondisi yang kondusif seperti, inflasi yang rendah, posisi fiskal yang kuat, serta berkurangnya
tingkat kerentanan (vulnerability). Kondisi tersebut telah memungkinkan otoritas moneter dan
fiskal melakukan respon terhadap situasi yang sangat sulit khususnya paska tragedi 11
September 2001.
Pada tahun 2001, perekonomian dunia tumbuh sebesar 2,5%, dimana negara-negara
maju sebagai penyumbang utama mengalami pertumbuhan sebesar 1,1%. Sementara itu,
negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan sebesar 4,0%. Selanjutnya, pada tahun
2002 perekonomian dunia diperkirakan akan terus membaik dengan tumbuh sekitar 2,7%. Dalam
hal ini, negara industri maju diperkirakan akan tumbuh sekitar 1,4%, sementara
negara-negara berkembang diperkirakan akan tumbuh sekitar 4,3%. Di negara-negara-negara-negara industri maju,
kebijakan moneter dan fiskal diperkirakan masih akan diarahkan guna mempertahankan
kesinambungan pemulihan ekonomi.
Kendati mulai
mem-perlihatkan perbaikan,
po-tensi risiko (downside risk)
yang dihadapi perekonomian
dunia masih tetap perlu
diwaspadai1. Pertama,
ma-sih terjadinya ketimpangan
(economic imbalance) dalam
perekonomian global yang
terutama ditandai dengan
masih tingginya defisit
tran-saksi berjalan dan rendahnya
saving rate di Amerika
Serikat, nilai tukar US dollar
yang overvalue dan nilai
tukar euro yang undervalue,
serta tingginya tingkat utang
rumah tangga dan korporasi
di sejumlah negara. Dengan
mulai pulihnya ekonomi
Amerika Serikat, kondisi
ketimpangan tersebut dalam jangka pendek diperkirakan akan semakin melebar. Oleh karena
itu, diperlukan berbagai langkah struktural dan kerjasama internasional guna mengatasi
ketim-pangan tersebut sehingga dapat mempertahankan kesinambungan pemulihan ekonomi global.
Kedua, menyusul terjadinya “rebound” sejak akhir tahun 2001, harga saham secara global
memperlihatkan kembali gejala ke arah “overpricing” atau dihargai terlalu tinggi sebagai akibat
terjadinya ekspektasi yang berlebihan terhadap kemungkinan peningkatan laba yang diraih
perusahaan di sejumlah negara. Apabila realisasi perolehan laba
perusahaan-perusahaan tersebut mengecewakan, maka sangat besar kemungkinan terjadi kemerosotan
kepercayaan di pasar keuangan yang sangat tajam, yang pada gilirannya akan kembali
menimbulkan negative wealth effect secara mendadak. Hal ini karena di negara-negara industri,
harga asset khususnya harga saham semakin berperan penting sebagai determinan pengeluaran Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Proyeksi
1999 2000 2001 2002 2003
Output Dunia 3,6 4,7 2,5 2,7 4,1
Negara Industri Maju 3,0 3,5 1,1 1,4 2,8
Amerika Serikat 4,1 4,1 1,2 2,3 3,4 Jepang 0,8 2,2 0,4 1,0 0,8 Jerman 1,8 3,0 0,6 0,7 2,7 Perancis 3,0 3,4 2,0 1,3 3,0 Italia 1,6 2,9 1,8 1,2 2,8 Inggris 2,3 3,0 2,4 2,0 2,8 Kanada 5,1 4,4 1,5 2,0 3,8
Negara Berkembang 3,9 5,7 4,0 4,3 5,7
Afrika 2,5 2,9 3,7 3,4 4,2
Asia 6,1 6,7 5,6 5,8 6,6
China 7,1 8,0 7,3 7,0 7,8
India 6,8 5,4 4,1 5,1 5,5
ASEAN-4 2,8 5,0 2,5 3,1 4,4
Laju Inflasi
Negara Maju 1,4 2,3 2,2 1,2 1,8 Negara Berkembang 6,8 6,1 5,7 5,7 4,6
Volume Perdagangan Dunia 5,3 12,4 0,3 2,1 6,6
Impor
Negara Maju 7,7 11,6 -1,1 1,9 6,4 Negara Berkembang 2,1 15,9 3,2 6,0 7,9
Ekspor
Negara Maju 5,0 11,7 -1,1 0,6 6,2 Negara Berkembang 4,6 15,2 3,0 4,4 7,0
Sumber : World Economic Outlook (Maret 2002)
konsumsi. Di sejumlah negara maju, perkembangan harga saham tersebut semakin memegang
peranan penting dalam perumusan kebijakan makroekonomi. Ketiga, risiko regional dan global
yang timbul karena dampak negatif (adverse effect) dari kesulitan ekonomi yang masih dihadapi
Jepang dan Argentina, meskipun masing-masing tengah menghadapi permasalahan ekonomi
yang berbeda. Melemahnya yen secara berkelanjutan sebagai respon terhadap resesi ekonomi
yang dihadapi Jepang semakin mengurangi daya saing produk beberapa negara industri baru
di Asia.
Pada triwulan laporan, perekonomian Amerika Serikat sebagai lokomotif ekonomi dunia
mulai memperlihatkan indikasi pemulihan yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Hal ini terlihat dari semakin menguatnya kepercayaan dunia usaha dan konsumen (business
and consumer confidence) serta pasar modal, meningkatnya konsumsi rumah tangga secara
signifikan, meningkatnya kembali penyerapan tenaga kerja, serta semakin stabilnya kinerja
produksi industri sektor manufaktur.
Kombinasi antara kebijakan moneter dan fiskal yang sangat ekspansif serta rendahnya
harga minyak dunia sepanjang tahun 2001 telah memberikan stimulus terhadap bangkitnya
ekonomi Amerika Serikat tersebut. Sebagaimana diketahui, kebijakan moneter yang ekspansif
tersebut ditempuh dengan penurunan suku bunga Fed Fund oleh Federal Reserve sepanjang
tahun 2001 dari 6.5% menjadi 1.75%. Sedangkan, kebijakan fiskal yang ekspansif ditempuh
antara lain melalui penurunan pajak.
Meskipun berbagai indikator dalam perekonomian Amerika Serikat mulai membaik,
kewaspadaan masih diperlukan terhadap kemungkinan timbulnya beberapa risiko yang dapat
membuat proses pemulihan ekonomi Amerika Serikat terganggu (unsustainable). Hal ini
terutama apabila perolehan laba perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat tidak setinggi dari
yang diharapkan, ekses kapasitas produksi yang dapat menimbulkan hambatan terhadap
peningkatan investasi, serta kesinambungan peningkatan harga saham tidak dapat
dipertahankan. Menyikapi kondisi ekonomi seperti itu, Federal Reserve diperkirakan akan tetap
menempuh kebijakan moneter yang cenderung netral sampai terlihat perbaikan kondisi ekonomi
cukup sustainable. Sementara itu, kebijakan fiskal dipekirakan akan lebih dititik beratkan pada
upaya untuk mencapai keseimbangan fiskal dalam jangka menengah dan mengatasi
tekanan-tekanan yang berasal dari sistem jaminan sosial.
Di kawasan Euro, tanda-tanda perbaikan ekonomi terlihat dari tingkat kepercayaan
peningkatan. Pada triwulan I 2002 pertumbuhan ekonomi kawasan Euro meningkat sebesar
0,7%, jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan kontraksi sebesar 0,2% yang terjadi pada
triwulan sebelumnya. Menyikapi perkembangan situasi ekonomi terakhir, stance kebijakan
moneter bank sentral Eropa (ECB) dalam beberapa bulan mendatang diperkirakan akan tetap
“neutral bias” dengan tetap mempertahankan suku bunga pada tingkat 3,25% sementara
menunggu arah perkembangan ekonomi selanjutnya. Di sisi fiskal, negara-negara yang
mengalami defisit diperkirakan akan berupaya untuk memperkuat posisi fiskal pada saat
pemulihan ekonomi semakin kuat. Hal ini ditempuh guna menyediakan ruang gerak agar proses
“automomatic stabilizer” dapat berfungsi ketika perekonomian kembali mengalami perlambatan.
Berbeda dengan membaiknya kondisi perekonomian di dua kekuatan ekonomi dunia di
atas, kinerja perekonomian Jepang justru semakin terpuruk, —menyusul kontraksi sebesar
2,2% pada triwulan IV 2001—, yang ditandai dengan semakin melemahnya tingkat kepercayaan
dan memburuknya kondisi sektor perbankan. Kemajuan restrukturisasi sektor perbankan dan
perusahaan tetap menjadi kunci utama bagi pemulihan kepercayaan dan terciptanya prospek
pertumbuhan ekonomi Jepang yang sustainable.
Dalam skala makro, kemerosotan ekonomi Jepang disebabkan oleh masih lemahnya
permintaan baik domestik maupun eksternal. Melemahnya permintaan domestik tersebut antara
lain tercermin dari perkembangan retail sales yang mengalami kontraksi dalam kurun waktu
satu tahun terakhir, dimana kontraksi terbesar terjadi pada bulan Februari 2002 sebesar 6,8%.
Melemahnya permintaan domestik tercermin pula pada kecenderungan deflasi yang hingga
kini masih terus berlangsung. Kondisi ini tidak mendorong sektor produksi untuk meningkatkan
produksinya. Disisi lain, kemerosotan ekonomi Jepang juga diakibatkan oleh melemahnya
permintaan dunia terhadap produk Jepang, yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan
surplus neraca perdagangan Jepang secara terus menerus dalam dua tahun terakhir.
Mulai membaiknya kondisi ekonomi di negara-negara industri maju berperan besar
dalam menopang kegiatan ekonomi di negara-negara berkembang, sejalan dengan berbagai
langkah yang terus ditempuh guna memperkuat struktur fundamental ekonomi, mengurangi
kerentanan terhadap kejutan (shock), serta meningkatkan produktivitas. Tanda-tanda pemulihan
ekonomi semakin tampak di beberapa negara Asia, seperti Cina, Korea Selatan dan beberapa
negara ASEAN. Selain itu, beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Chili, Brazil dan
Meksiko juga menunjukkan perkembangan positif. Demikian pula dengan Rusia, Australia dan
Di negara-negara Asia terutama yang terkena imbas oleh melemahnya perekonomian
global –kecuali Cina dan India—, indikasi pemulihan ekonomi semakin terlihat terutama pada
sektor industri elektronik yang mengalami rebound, yang ditopang dengan kebijakan moneter
dan fiskal cukup longgar di sejumlah negara. Hal yang paling menonjol dari kondisi perekonomian
Asia adalah semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina yang mengalami pertumbuhan
spektakuler yakni sebesar 7,5% pada triwulan laporan, menyusul ekspansi sebesar 6,6% pada
triwulan IV 2001. Kendati demikian, kekhawatiran mulai merebak di dalam negeri Cina
sehubungan dengan masuknya Cina menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (World
Trade Organization) yang diperkirakan akan meningkatkan jumlah pengangguran karena
meningkatnya tuntutan efisiensi, yang pada gilirannya akan berdampak pada rendahnya
pengeluaran konsumen.
Sementara itu, sejalan dengan mulai membaiknya perekonomian Amerika Serikat —
sebagai tujuan utama ekspor—, sejumlah negara Amerika Latin juga menunjukkan perbaikan,
kecuali ekonomi Argentina yang pada tahun 2002 diperkirakan masih akan mengalami kontraksi.
Dampak penularan (contagion effect) akibat krisis ekonomi yang mengguncang Argentina
terhadap perekonomian negara-negara di kawasan Amerika Latin dan kawasan lainnya dalam
kenyataannya sangat terbatas. Perekonomian Meksiko dan Brazil yang memiliki hubungan
perdagangan yang sangat erat dengan Amerika Serikat memperlihatkan kinerja mulai membaik.
Pada tahun 2002, perekonomian Meksiko dan Brazil masing-masing diperkirakan tumbuh
sebesar 1,7% dan 2,5%. Sedangkan perekonomian Argentina diperkirakan masih akan
mengalami kontraksi sebesar 8,4%, setelah berturut-turut mengalami kontraksi sebesar 0,8%
dan 3,7% pada tahun 2000 dan 2001.
Dalam pada itu, perekonomian di negara-negara Oceania khususnya perekonomian
Australia dan Selandia Baru juga memperlihatkan perbaikan melalui pertumbuhan yang sama
sebesar 2,4%. Membaiknya perekonomian Australia pada triwulan laporan terutama sebagai
akibat meningkatnya permintaan domestik yang ditopang oleh tingkat suku bunga yang sangat
rendah.
PERKONOMIAN NEGARA-NEGARA INDUSTRI MAJU Amerika Serikat
Perekonomian Amerika Serikat (AS) pada triwulan pertama tahun 2002 diperkirakan
Grafik Perkembangan Indeks PMI di AS (%) 0 10 20 30 40 50 60 70 Ju n-90 Ap
r-91 Feb-92
De s-9 2 Ok t-9 3 Ag s-94 Ju n-95 Ap
r-96 Feb-97
De s-9 7 Ok t-9 8 Ag s-99 Ju n-00 Ap
r-01 Feb-02 Grafik
PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran AS (%)
ekonomi tersebut meningkat lebih pesat
dibandingkan pertumbuhan pada triwulan
IV 2001 yang mencapai 1,7% (q-o-q). Hal
tersebut didukung oleh kebijakan moneter
dan fiskal yang ekspansif, yang
men-dorong pengeluaran konsumsi
masya-rakat, investasi, dan ekspor. Peningkatan
kegiatan investasi ini terlihat terutama di
sektor manufaktur dan pendukungnya.
Fenomena ini di dukung pula oleh
penurunan inventory yang lebih kecil yang
mengindikasikan pulihnya aktivitas bisnis
setelah pada triwulan IV 2001 mengalami
stagnasi. Pada triwulan II 2002, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi
sebesar 5,0% (q-o-q). Walaupun dalam triwulan III dan IV 2002 laju pertumbuhan ekonomi
akan mengalami penurunan, pengeluaran konsumen diharapkan masih akan meningkat pada
paruh kedua tahun 2002 seiring dengan meningkatnya lapangan pekerjaan dan pendapatan
masyarakat.
Laju inflasi - Indeks Harga Konsumen (IHK)- pada triwulan I 2002 diperkirakan
mencapai 1,3% (y-o-y), lebih rendah dibanding inflasi pada triwulan IV 2001 yang naik sebesar
1,9% (y-o-y). Inflasi ini merupakan terkecil sejak tahun 1986. Untuk tahun 2003, inflasi
-IHK-diprakirakan akan mengalami kenaikan
sebesar 2,5%. Sementara itu, indeks
harga produsen diperkirakan akan
me-ningkat sebesar 0,7% (m-o-m) di bulan
Maret 2002 melesat tajam dibandingkan
bulan Desember 2001 yang mengalami
deflasi sebesar 0,6% (m-o-m).
Pening-katan harga pada bulan Maret tersebut
terutama dipengaruhi oleh melonjaknya
harga minyak mentah seiring dengan
situasi yang memanas antara Palestina
dengan Israel. Selain itu, peningkatan
-2 0 2 4 6 8 10 J u n-90 Ma r-9 1 De s -9 1 S ep-92 J u n-93 Ma r-9 4 De s -9 4 S ep-95 J u n-96 Ma r-9 7 De s -9 7 S ep-98 J u n-99 Ma r-0 0 De s -0 0 S ep-01 P D B , I n fl a s i, Ti n g k a t P e nga n ggur a n
harga juga dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas dan perkiraan menguatnya permintaan.
Pengeluaran masyarakat pada triwulan I 2002 terlihat meningkat cukup tajam
dibandingkan triwulan sebelumnya, meskipun kembali menunjukkan penurunan terutama
menjelang akhir bulan Maret 2002 akibat naiknya harga minyak mentah dunia dan perkiraan
naiknya suku bunga seiring dengan menguatnya tekanan inflasi. Namun demikian pengeluaran
konsumsi masyarakat yang merupakan dua pertiga dari perekonomian Amerika Serikat
diharapkan masih akan cukup baik seiring dengan tetap tingginya keyakinan akan pemulihan
ekonomi Amerika Serikat mulai triwulan I 2002.
Di sisi tenaga kerja, kondisi pada bulan Maret 2002 masih belum menggembirakan
karena tingkat pengangguran masih mencapai level 5,7% dari jumlah angkatan kerja atau
tidak berubah dibandingkan bulan Desember 2001. Kondisi ini diperkirakan berada pada posisi
yang sama pada bulan April sampai Juni 2002 dan selanjutnya akan membaik dalam
bulan-bulan berikutnya.
Di sisi eksternal, posisi neraca
berjalan Amerika Serikat untuk tahun 2002
diperkirakan masih mengalami defisit
sebe-sar –4,0%, sedikit lebih baik dari tahun 2001
yang mengalami defisit sebesar –4,1%.
Meskipun ekonomi dunia yang mulai
membaik pada triwulan I 2002 akan
men-dorong peningkatan ekspor Amerika
Serikat, di sisi lain impor di Amerika juga
akan meningkat tajam. Pola ini diperkirakan
akan terus berlanjut hingga tahun 2003. Jika
kondisi ini menjadi kenyataan, maka
diperkirakan defisit neraca berjalan
mencapai US$ 413 miliar pada tahun 2002
(sama dengan level pada tahun 2001) dan
terus meningkat menjadi US$ 477 miliar
pada tahun 2003 (4,2% dari nilai PDB).
Dengan memperhatikan recovery
ekonomi yang masih berlangsung, dan
-40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 Ja n-92 Se p-92 Me i-9 3 Ja n-94 Se p-94 Me i-9 5 Ja n-96 Se p-96 Me i-9 7 Ja n-98 Se p-98 Me i-9 9 Ja n-00 Se p-00 Me i-0 1 Ja n-02
Grafik Neraca Perdagangan AS
Grafik Suku Bunga Fed Fund April 1999 - Maret 2002
1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 4 /30/ 199 9 6 /30/ 199 9 8 /31/ 199 9 29 /1 0/ 9 9 12 /3 1/ 1 99 9 2 /29/ 200 0 4 /28/ 200 0 6 /30/ 200 0 8 /31/ 200 0 10 /3 1/ 2 00 0 12 /3 0/ 2 00 0 2 /28/ 200 1 30 /0 4/ 0 1 29 /0 6/ 0 1 31 /0 8/ 0 1 31 /1 0/ 0 1 31 /1 2/ 0 1 28 /0 2/ 0 2 P er sen
Fed Fund Target
diwarnai oleh angka pengangguran yang masih tinggi, maka hingga pertengahan tahun 2002
ini diperkirakan Fed Res masih belum menaikkan suku bunga Fed Fund yang saat ini mencapai
1,75%. Fed Res diperkirakan akan mempertimbangkan kenaikan Fed Fund sebesar 25 bp
pada FOMC tanggal 27 Juni 2002 mendatang untuk mencegah perekonomian mengalami
overheating.
Eropa Barat
Negara-negara Euro
Pada triwulan laporan, kinerja ekonomi negara-negara yang tergabung dalam Euro
mulai menunjukkan perbaikan ditandai oleh ekspansi sebesar 0,7%, setelah kontraksi sebesar
-0.2% pada triwulan IV 2001. Membaiknya kondisi ekonomi Euro tidak terlepas dari bangkitnya
kembali perekonomian Amerika Serikat, yang pada dasarnya merupakan negara tujuan ekspor
utama sebagian besar negara-negara Euro, yaitu menyerap sekitar seperlima ekspor Euro.
Tanda-tanda perbaikan ekonomi terlihat dari kepercayaan dunia usaha dan konsumen yang
menguat, yang salah satunya tercermin dari peningkatan German IFO index secara
berturut-turut dalam empat bulan sejak Desember 2001.
Secara keseluruhan tahun 2002 perekonomian Euro diperkirakan tumbuh sebesar
1,2%, lebih rendah dibanding tahun 2001 yang tumbuh sebesar 1,5%. Pada tahun 2003
perekonomian diperkirakan akan mengalami percepatan dengan laju pertumbuhan sekitar
2,3%. Membaiknya perekonomian Euro terutama pada pertengahan tahun 2002 ditopang oleh
kebijakan moneter yang longgar dan kondisi eksternal yang menguntungan. Meskipun stimulus
kebijakan moneter dalam perekonomian Euro tidak sebesar perekonomian Amerika Serikat,
perekonomian Euro secara umum menghadapi ketimpangan makroekonomi yang lebih ringan
sehingga risiko yang dapat mengganjal proses pemulihan ekonomi yang sustainable
diper-kirakan relatif akan lebih kecil. Sementara itu tingkat profitabilitas perusahaan-perusahaan di
Euro relatif lebih kuat dibandingkan di Amerika Serikat, yang pada gilirannya diperkirakan akan
menjadi penopang bangkitnya kembali kegiatan investasi. Kendati demikian, beberapa risiko
diperkirakan berpotensi menghadang proses pemulihan ekonomi seperti, kemungkinan
tertundanya kebangkitan ekonomi Jerman, serta berbagai kelemahan struktural terutama di
pasar tenaga kerja.
Sementara itu tekanan laju inflasi tampak masih cukup kuat. Dalam tiga bulan pertama
Eropa sebesar 2,0% (y-o-y). Pada
bulan Januari 2002 laju inflasi
mencapai 2,7% (m-o-m), yang
merupakan level tertinggi sejak
bulan Juni 2001. Tingginya laju
inflasi tersebut terutama
disum-bang oleh meningkatnya pajak,
harga makanan, serta harga
barang dan jasa yang terkait
dengan pemanfaatan momentum
pengenalan penggunaan uang
kertas Euro, seperti harga
maka-nan di restoran dan tiket bioskop.
Pada bulan Februari 2002, inflasi mengalami penurunan menjadi 2,4%, dan selanjutnya
mening-kat kembali mencapai 2,5% pada bulan Maret 2002, sebagai akibat melonjaknya harga minyak
sebesar 38%. Secara keseluruhan, laju inflasi diperkirakan akan mencapai 1,5% (y-o-y) pada
tahun 2001 dan akan menurun menjadi 1,2% (y-o-y) pada tahun 2002. Menyikapi kegiatan
ekonomi yang mulai membaik dan tekanan laju infalsi yang masih kuat, bank sentral Eropa
(ECB) diperkirakan akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga pada tingkat 3,25% dalam
triwulan II 2002. Peningkatan suku bunga diperkirakan akan terjadi apabila harga minyak terus
melambung.
Perekonomian Jerman pada tahun 2001 mengalami ekspansi sebesar 0,6%, yang
merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 1993. Pada tahun 2002, perekonomian
diperkirakan akan tetap melaju lambat pada tingkat sekitar 0,75%. Pemulihan ekonomi
diharapkan akan terjadi mulai semester kedua tahun 2002, sehingga dapat mendorong kegiatan
ekonomi pada tahun 2003 yang diperkirakan akan tumbuh 2,2%. Salah satu penyebab lambatnya
pertumbuhan ekonomi tahun 2002 ini adalah merosotnya manufacturing order yang dipicu oleh
lemahnya permintaan factory dan demand goods.
Sementara itu, laju inflasi di Jerman pada bulan Januari 2002 memperlihatkan tekanan,
mencapai 2,2% (y-o-y), lebih tinggi dibandingkan bulan Desember 2001 yang mencapai 1,5%
(y-o-y). Tekanan inflasi tersebut terutama bersumber dari kondisi cuaca yang mempengaruhi
harga buah dan sayur. Untuk tahun 2003, tingkat inflasi diperkirakan akan sedikit mengalami
peningkatan menjadi 1,5%.
Grafik
PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Kawasan Euro (%)
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 Se p-96 Ma r-9 7 Se p-97 Ma r-9 8 Se p-98 Ma r-9 9 Se p-99 Ma r-0 0 Se p-00 Ma r-0 1 Se p-01 Ma r-0 2 P DB, I n fl a s i 0 2 4 6 8 10 12 Ti ng k a t P e ng a n g gu ra n
Tingkat pengangguran di
Jerman diperkirakan mengalami
penu-runan pada bulan Maret 2002, pertama
kalinya dalam 15 bulan terakhir.
Penu-runan tingkat pengangguran
disebab-kan oleh antisipasi
perusahaan-perusahaan terhadap kemungkinan
pulihnya ekonomi. Jumlah
pengang-gur turun sebanyak 140.000 orang,
menjadi 4,16 juta orang. Keyakinan
makin menurunnya tingkat
pengang-guran juga diperkuat dengan semakin membaiknya business confidence di Jerman. Tingginya
business confidence ini didorong oleh semakin membaiknya perekonomian Amerika Serikat
yang merupakan 10% pasar ekspor Jerman.
Perekonomian Perancis pada tahun 2001 hanya tumbuh 2%, selanjutnya untuk tahun
2002 diperkirakan tumbuh sebesar 1,5%, yang merupakan pertumbuhan paling lambat sejak
tahun 1996. Sementara itu, pada triwulan I 2002, ekonomi Perancis diperkirakan tumbuh 0,3%,
dan pada triwulan II 2002 diperkirakan tumbuh sebesar 0,5%.
Sementara itu, pada tahun 2001 laju inflasi mencapai 1,6%. Laju inflasi diperkirakan
menurun menjadi 1,4% pada tahun 2002 dan meningkat lagi menjadi 1,8% pada tahun 2003.
Di sektor eksternal, setelah mengalami penurunan drastis sejak tahun 1998, neraca
perdagangan Perancis pada tahun 2001 mengalami surplus dan diperkirakan akan terus
berlanjut. Bahkan untuk periode 2002-2003, surplus tersebut diperkirakan akan meningkat seiring
dengan membaiknya terms of trade. Sementara itu, surplus neraca transaksi berjalan
diperkirakan akan tetap berlangsung, didukung oleh surplus pendapatan jasa dan investasi.
Surplus transaksi berjalan Perancis diperkirakan mengalami kenaikan dari 2% (dari PDB) pada
periode 2001-2002, menjadi 2,7% pada tahun 2003.
Pada tahun 2002 perekonomian Italia diperkirakan hanya akan tumbuh 1,2%, dan
selanjutnya akan meningkat menjadi 2,8% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2000 dan
2001, perekenomian Italia tumbuh masing-masing sebesar 2,9% dan 1,8%. Penyebab utama
melambatnya pertumbuhan ekonomi pada perode 2001-2002, yaitu lesunya perekonomian
Grafik Produksi di Sektor Industri Kawasan Euro (%)
dunia dan lambatnya pertumbuhan
investasi akibat belum jelasnya insentif
yang diberikan oleh pemerintahan baru.
Sementara itu, permintaan domestik
tetap ditopang oleh peningkatan
konsumsi swasta, akibat naiknya tingkat
penyerapan tenaga kerja dan dampak
pemotongan pajak oleh pemerintah.
Pada bulan Maret 2002, laju
infla-si Italia mencapai 2,6% (y-o-y) dan 0,2%
(m-o-m), meningkat dari 2,5% (y-o-y)
pada bulan Februari. Tekanan inflasi terutama bersumber dari melonjaknya harga minyak,
harga makanan, serta pengenalan mata uang Euro. Kendati demikian, untuk keseluruhan tahun
2002 laju inflasi diperkirakan akan mencapai 2,1%, lebih rendah dari tahun 2001 yang mencapai
2,7%.
Defisit perdagangan Italia untuk Januari 2002 mencapai 1,643 miliar euro, naik dari
posisi 1,143 miliar euro pada bulan Januari 2001. Sementara itu, surplus transaksi berjalan
untuk tahun 2001 mencapai 0,3%, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 0,6% pada tahun
2002.
Pada tahun 2001 perekonomian Belgia melambat menjadi 1,1% dan diperkirakan akan
terus melambat mencapai 0,7% pada tahun 2002. Melambatnya ekonomi Belgia salah satunya
merupakan akibat melemahnya kinerja sektor perdagangan di mana surplus transaksi berjalan
tahun 2001 mengalami penurunan menjadi 3,8% dari PDB, dibandingkan dengan surplus tahun
2000 yang mencapai 4,6%.
Di pihak lain, tekanan laju inflasi terus meningkat, mencapai 2,4% pada tahun 2001.
Sementara itu, sejalan dengan melonjaknya harga minyak dan makanan, tekanan laju inflasi
diperkirakan akan terus menguat pada tahun 2002.
Tingkat pengangguran di Belgia pada bulan Maret 2002 mencapai 10,8%. IMF telah
mendesak pemerintah Belgia untuk berusaha mengurangi tingginya tingkat pensiun awal dan
memastikan bahwa program tenaga kerja pemerintah tidak merugikan program tenaga kerja
sektor swasta. -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 Ja n-92 Se p-92 Ma y-93 Ja n-94 Se p-94 Ma y-95 Ja n-96 Se p-96 Ma y-97 Ja n-98 Se p-98 Ma y-99 Ja n-00 Se p-00 Ma y-01 Ja n-02
Pada tahun 2001, perekonomian Belanda tumbuh 1,1% dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 1,4% pada tahun 2002. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun
2002 ditopang oleh kemungkinan perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa. Rendahnya
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 terutama akibat dari biaya upah yang tinggi dan resesi
dunia yang menyebabkan berkurangnya permintaan untuk barang dan jasa Belanda.
Sementara itu, laju inflasi Belanda pada tahun 2001 mencapai 5,1%, namun diperkirakan
akan menurun menjadi 2,7% pada tahun 2002. Sumber utama penyebab inflasi adalah
melonjaknya harga minyak dan tingginya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Belanda. Sementara
itu, tingkat pengangguran tahun 2001 berada pada level 2% dan diperkirakan akan terus
mengalami kenaikan, mencapai 2,4% untuk tahun 2002.
Inggris
Dalam triwulan I 2002, perekonomian Inggris mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan,
terutama sejak bulan Februari 2002. Hal ini tercermin dari pertumbuhan produksi industri
manufaktur yang mulai tercatat positif (0,4%) pada bulan Februari 2002. Kenaikan di bulan
Februari ini adalah awal kenaikan tingkat produksi yang selama lima bulan terakhir ini mengalami
penurunan terus-menerus. Hal tersebut disebabkan semakin banyaknya perusahaan di Inggris
memproduksi bahan kimia dan komputer. Produksi bahan kimia mengalami kenaikan sebesar
2,4% pada bulan Februari 2002. Tanpa kenaikan tersebut, keuntungan keseluruhan untuk
manufaktur hanya mencapai 0,1%. Sementara itu produksi komputer dan peralatan proses
informasi (information-processing equipment) lainnya mengalami pertumbuhan 1,7% untuk
Februari 2002 (m-o-m). Kondisi ini
meningkatkan optimisme produsen atas
pemulihan ekonomi yang lebih cepat.
Dengan perbaikan produksi pada
bebe-rapa sektor penting, terutama produksi
bahan kimia, dan information related
equipment, laju pertumbuhan PDB pada
triwulan I 2002 diperkirakan sebesar
0,2% (q-o-q). Pelaku usaha optimis
bahwa pertumbuhan ekonomi pada
tri-wulan II akan lebih baik, seiring dengan
Grafik PDB dan Inflasi Inggris (%)
Grafik
PDB, Inflasi dan Tingkat Pengangguran Jepang (%)
kecenderungan perbaikan perekonomian dunia, khususnya Amerika Serikat yang akan
mendorong kenaikan permintaan terhadap barang-barang produksi Inggris. Amerika Serikat
merupakan negara tujuan ekspor utama Inggris yang menyerap 14% dari ekspor Inggris. Amerika
Serikat juga merupakan investor asing terbesar di Inggris. Dengan perkembangan yang
menggembirakan ini, Bank of England memprediksi bahwa perekonomian Inggris akan tumbuh
sekitar 2% dalam paruh pertama tahun 2002.
Tanda-tanda percepatan pertumbuhan ekonomi Inggris meningkatkan ekspektasi bahwa
BOE akan meningkatkan suku bunga benchmark-nya dalam tahun ini, setelah sejak bulan
November 2001 hingga akhir Maret 2002 suku bunga benchmark Inggris bertahan pada tingkat
4%. Sementara itu, laju inflasi tahunan Inggris dalam triwulan I 2002 cenderung lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya, dimana pada bulan Januari dan Februari 2002
masing-masing sebesar 2,6% (y-o-y) dan 2,2% (y-o-y), mendekati target laju inflasi yang ditetapkan
Pemerintah sebesar 2,5% (y-o-y).
Jepang
Perkembangan ekonomi Jepang masih belum menunjukkan tanda-tanda
meng-gembirakan, bahkan nampaknya semakin memburuk. Kondisi perekonomian Jepang semakin
menurun sejak pertengahan tahun 2000, bahkan dalam tiga triwulan terakhir tahun 2001
terus-menerus mengalami kontraksi. Kontraksi terbesar terjadi dalam triwulan IV 2001 yang mencapai
-2,2% (y-o-y) setelah dalam dua triwulan sebelumnya berturut-turut mengalami kontraksi sebesar
-0,4% (y-o-y) dan -0,5% (y-o-y). Dengan
demikian, sepanjang tahun 2001 ekonomi
Jepang mengalami kontraksi sebesar
-0,4%. Kontraksi ekonomi Jepang semakin
diperparah dengan berlanjutnya
kecen-derungan deflasi yang dalam bulan Januari
dan Februari 2002 masing-masing
men-capai –0,8% (y-o-y), sedikit membaik
dibandingkan dengan bulan Desember 2001
sebesar –0,9% (y-o-y).
Memburuknya perekonomian
Jepang terutama disebabkan oleh
rendah--3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 Ma r-9 7 S ep-97 Ma r-9 8 S ep-98 Ma r-9 9 S ep-99 Ma r-0 0 S ep-00 Ma r-0 1 S ep-01 Jan-02
nya permintaan domestik. Melemahnya
permintaan domestik antara lain tercermin
dari pertumbuhan retail sales yang
terus-menerus mengalami kontraksi dalam kurun
waktu satu tahun terakhir, dimana kontraksi
terbesar terjadi dalam bulan Desember
2001 dan Februari 2002 masing-masing
sebesar -6,8% (y-o-y).
Dalam hal ini, terdapat beberapa
faktor penyebab masih lemahnya
permin-taan domestik. Pertama, fungsi intermediasi
perbankan belum sepenuhnya pulih. Terhambatnya fungsi intermediasi perbankan disebabkan
oleh besarnya kredit bermasalah yang mengakibatkan bank-bank mengalami kerugian besar
sehingga memaksa mereka lebih bersikap hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Tahun lalu,
perbankan dan pemerintah Jepang telah menghapusbukukan kredit bermasalah sekitar 70 triliun
yen atau 12% dari PDB Jepang sehingga posisinya tinggal 33 triliun yen per 31 Maret 2001.
Kedua, beban utang baik utang swasta maupun utang pemerintah masih cukup besar. Kelesuan
ekonomi membuat dunia usaha semakin sulit untuk mengembalikan utang kepada perbankan
sehingga meningkatkan jumlah kredit macet. Sementara itu, utang pemerintah juga semakin
bertambah guna membiayai ekspansi fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.
Besarnya utang tersebut menyebabkan dunia usaha dan pemerintah lebih bersikap hati-hati
dalam mengalokasikan pengeluarannya. Dengan pembatasan utang pemerintah sebesar 30
triliun yen untuk tahun fiskal 2002/2003 yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan Jepang,
maka total outstanding utang pemerintah
pada bulan Maret 2003 diperkirakan
mencapai 693 triliun yen atau lebih dari 40%
PDB Jepang. Ketiga, kondisi
ketenaga-kerjaan kian memburuk. Resesi ekonomi
berkepanjangan telah menyebabkan
peningkatan jumlah pengangguran
sehing-ga menurunkan potensi pendapatan sektor
rumah tangga. Hal ini pada gilirannya
Grafik Pertumbuhan Retail Sales Jepang April 1997 - Februari 2002 (%YoY)
-10.0 -8.0 -6.0 -4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 30/ 04/ 1997 31/ 08/ 1997 31/ 12/ 1997 30/ 04/ 1998 31/ 08/ 1998 31/ 12/ 1998 30/ 04/ 1999 31/ 08/ 1999 31/ 12/ 1999 30/ 04/ 2000 31/ 08/ 2000 31/ 12/ 2000 30/ 04/ 2001 31/ 08/ 2001 31/ 12/ 2001
Grafik Tankan Manufacturing Survey Index
menurunkan daya beli masyarakat dan selanjutnya berdampak pada menurunnya tingkat
konsumsi yang menyumbang 60% terhadap PDB Jepang.
Dari sisi sektor produksi, merosotnya perekonomian Jepang dipicu oleh melemahnya
aktivitas produksi industri teknologi informasi dan industri manufaktur yang berorientasi ekspor.
Penurunan aktivitas di kedua sektor industri tersebut menimbulkan dampak negatif berantai
terhadap kinerja sektor-sektor lainnya terutama industri nonmanufaktur. Implikasi selanjutnya
adalah menurunnya pendapatan dunia usaha, menurunnya pengeluaran investasi, meningkatnya
pengangguran, berkurangnya pendapatan pekerja, dan akhirnya tingkat konsumsi juga
mengalami penurunan. Dunia usaha nampaknya masih pesimis terhadap prospek ekonomi
Jepang. Hal ini terlihat dari hasil survei Tankan dalam bulan Maret 2002 yang menghasilkan
indeks –38, tidak berubah dibandingkan bulan Desember 2001 dan merupakan indeks terendah
dalam 3 tahun terakhir.
Selain melemahnya permintaan domestik, menurunnya permintaan luar negeri juga
berdampak buruk terhadap perekonomian Jepang. Menurunnya permintaan luar negeri terhadap
produk-produk ekspor Jepang terlihat dari pertumbuhan surplus neraca perdagangan Jepang
yang masih mengalami kontraksi dan mencapai –11,3% (y-o-y) dalam bulan Februari 2002.
Penurunan permintaan tersebut merupakan dampak dari kondisi ekonomi dunia yang sedang
lesu khususnya ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat sebagai pasar terbesar
produk-produk ekspor Jepang. Namun demikian, melihat trend pertumbuhan surplus neraca
perdagangan Jepang sejak awal tahun 2001 yang menunjukkan kecenderungan kontraksi yang
mengecil, ke depan nampaknya dimungkinkan untuk tumbuh positif. Hal ini sejalan dengan
mulai pulihnya perekonomian Amerika
Serikat, Eropa, dan beberapa negara
emerging lainnya dalam triwulan I 2002
sehingga kinerja sektor eksternal Jepang
diharapkan terus membaik.
Berbagai kebijakan telah ditempuh
baik oleh Pemerintah maupun Otoritas
Moneter Jepang dalam rangka membawa
Jepang keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Dari sisi fiskal, pemerintah
terus-menerus melakukan ekspansi melalui
Grafik Pertumbuhan Neraca Perdagangan Jepang April 1997 - Februari 2002 (%)
paket stimulus fiskal yang dibiayai dengan penjualan obligasi pemerintah. Akibatnya, defisit
fiskal terus membengkak dan menempatkan Pemerintah Jepang sebagai pengutang terbesar
di dunia sehingga peringkat obligasi Pemerintah Jepang terancam turun. Dari sisi moneter,
Bank of Japan juga telah berupaya menempuh kebijakan moneter yang longgar dengan
menurunkan official discount rate menjadi 0,1%, sementara suku bunga antarbank diarahkan
mendekati level 0% (near-zero interest rate policy). Namun, berbagai langkah kebijakan tersebut
nampaknya belum mampu mengeluarkan Jepang dari krisis ekonomi sehingga Pemerintah
Jepang mencanangkan program reformasi secara menyeluruh dari mulai sektor fiskal, keuangan,
dunia usaha, dan birokrasi.
PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASIA (NON-JEPANG) C i n a
Perekonomian Cina –negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia—
diperkirakan akan mengalami kenaikan cukup signifikan pada triwulan I 2002, sehingga target
pertumbuhan sebesar 7% sepanjang tahun 2002 akan terpenuhi. Pertumbuhan ekonomi
sepanjang triwulan I 2002 tersebut diperkirakan akan mencapai 7,5% (y-o-y), naik dibandingkan
pertumbuhan triwulan IV 2001 yang mencapai sebesar 6,6%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi
Cina terutama didorong oleh membaiknya kondisi perekonomian Amerika Serikat, serta
meningkatnya investasi asing yang masuk ke Cina setelah negara tersebut masuk dalam
keanggotaan World Trade
Organiza-tion. Selain kedua aspek tersebut,
tingginya pertumbuhan ekonomi Cina
pada triwulan I 2002 juga didukung
oleh relatif tingginya pengeluaran
pemerintah dan masyarakat. Namun
demikian, pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan tersebut nampaknya
masih belum cukup besar untuk
menyerap seluruh tenaga kerja.
Seiring dengan membaiknya
per-ekonomian, tingkat pengangguran di
Cina juga menunjukkan peningkatan
Grafik PDB dan Inflasi Cina (%)
cukup signifikan. Pemerintah Cina mencatat kenaikan pengangguran di perkotaan sebesar
3,6% pada akhir tahun 2001. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah Cina untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi adalah dengan menurunkan suku bunga pada bulan Februari 2002.
Penurunan tingkat suku bunga tersebut merupakan yang pertama kalinya, setelah lebih dari
dua setengah tahun, dalam rangka meningkatkan pengeluaran dan investasi pada paruh kedua
tahun 2002.
Membaiknya kondisi perekonomian Amerika akhir-akhir ini berdampak cukup signifikan
terhadap kinerja ekspor Cina. Pada dua bulan pertama triwulan I 2002, ekspor Cina tumbuh
pesat. Pada periode Januari-Februari 2002, ekspor mengalami pertumbuhan sebesar 14,1%
dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, pada periode yang sama impor tumbuh 3,2%,
jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 8,2%. Dengan perkembangan
ekspor dan impor tersebut, surplus neraca perdagangan Cina pada triwulan I 2002 tercatat
sebesar USD 6 milyar. Kenaikan ekspor tersebut diperkirakan akan mendorong kenaikan tingkat
harga akibat berkurangnya kelebihan supply yang dapat dijual di pasar lokal.
Problem deflasi yang selama beberapa periode dialami Cina, nampaknya masih akan
terjadi pada triwulan I 2002, bahkan pada bulan Januari 2002, Indeks Harga Konsumen turun
sebesar 1%, yang merupakan penurunan terbesar dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Kecenderungan turunnya harga tersebut berlanjut pada bulan kedua triwulan I 2002, Laju inflasi
di Cina, pada awal triwulan I 2002 menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya.
Kecenderungan turunnya indek harga konsumen tersebut tidak berlanjut pada bulan Februari,
sebagai dampak naiknya permintaan konsumen berkaitan dengan perayaan tahun baru. Namun,
untuk bulan-bulan selanjutnya Cina diperkirakan masih akan dilanda deflasi sejalan dengan
kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan tabungan dan mengurangi konsumsi menyusul
masuknya Cina dalam WTO, serta meningkatnya jumlah pengangguran. Sebagai ilustrasi, Cina
Petroleum & Chemical Corp. atau Synopec, telah merencanakan untuk mem-PHK-kan sekitar
37,000 pekerja pada tahun 2002, Province Liaoning di Cina akan mem-PHK-kan lebih dari
separuh pegawai sipil (540,000 pekerja) akibat ditutupnya perusahaan metal dan tambang.
Kondisi tersebut diperburuk dengan tindakan dunia usaha menurunkan tingkat harga untuk
mempertahankan daya saing produk mereka.
Upaya meningkatkan pengeluaran masyarakat untuk menahan meningkatnya
pengangguran dan mengatasi pertumbuhan ekonomi yang menurun telah mendorong anggaran
tahun laporan. Pemerintah pusat Cina merencanakan akan melakukan pengeluaran sebesar
1,37 triliun yuan pada tahun 2002 atau 10,1% lebih besar dari tahun 2001. Penerimaan pajak
diharapkan tumbuh sebesar 7,7% menjadi 1,06 triliun yuan, melambat dari 21% kenaikan pada
tahun lalu. Penerimaan pajak Pemerintah Cina pada dua bulan pertama 2002 tercatat meningkat
13% menjadi 266 miliar yuan ($32 miliar). Selama dua bulan pertama, Pemerintah Cina telah
menerima 18,8 miliar yuan dari pajak pendapatan perorangan, lebih besar 29,3% dari tahun
lalu dan, sebesar 11,9 miliar yuan dari pajak pendapatan perusahaan, lebih besar 45,9% dari
tahun lalu.
Menyadari bahwa akan terjadi kelebihan penawaran di pasar, maka dalam rangka
mendorong pengeluaran, Pemerintah Cina akan terus menaikkan gaji pegawai berpendapatan
rendah dan para petani. Disamping itu upaya Pemerintah Cina untuk mendorong permintaan
domestik juga dilakukan dengan menambah uang di proyek-proyek publik dan kesejahteraan
masyarakat. Konsekuensi utama dari kebijakan tersebut adalah membesarnya defisit anggaran
pemerintah, yang diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar 19% dari tahun sebelumnya,
hingga mencapai USD37,4 miliar, senilai 3% dari PDB.
Hong Kong
Setelah mengalami kinerja yang buruk dalam dua triwulan terakhir tahun 2001, kinerja
ekonomi Hong Kong pada triwulan I 2002 tampaknya belum menunjukkan perkembangan yang
signifikan, meskipun tanda-tanda pemulihan ekonomi mulai terlihat di Hong Kong. Hal tersebut
antara lain di tandai oleh belum
pulih-nya kinerja ekspor dan consumer
spending, yang mendorong
tertahan-nya pemulihan ekonomi Hong Kong
pada triwulan I 2002. Namun,
muncul-nya tanda-tanda pemulihan ekonomi
di Hong Kong terutama pada bulan
terakhir triwulan I 2002 dan
membaik-nya perekonomian global tahun ini
tampaknya telah mendorong
keyaki-nan pemerintah bahwa ekonomi Hong
Kong akan tumbuh 1% tahun 2002,
Grafik PDB dan Inflasi Hong Kong (%)
lebih tinggi dari angka pertumbuhan tahun lalu sebesar 0,1%. Tanda pemulihan ekonomi tersebut
dicerminkan antara lain oleh membaiknya beberapa indikator ekonomi seperti membaiknya
aktivitas bisnis, maupun mulai meningkatnya output, order dan purchasing.
Dari sisi domestik, kegiatan ekonomi yang menurun yang dialami Hong Kong selama
tiga triwulan terakhir tahun lalu serta melemahnya domestic demand yang terus berlangsung
sampai dengan triwulan I 2002, mendorong tingkat harga di Hong Kong kembali mengalami
penurunan. Setelah mengalami periode deflasi sejak tahun 1998, pada bulan Februari tahun
2002 Composite Price index (CPI) masih menunjukkan kecenderungan menurun dan mencapai
-2,3 % (y-o-y) pada periode tersebut.
Kecenderungan menurunnya tingkat harga tersebut tidak terlepas dari semakin
memburuknya kondisi lapangan kerja seiring dengan penurunan kegiatan ekonomi selama ini.
Meningkatnya angka pengangguran, yang pada dua bulan pertama tahun 2002 mencapai angka
tertinggi yakni 6,7% dan 6,8% pada bulan Januari dan Februari 2002, serta melemahnya
permintaan terhadap sektor properti telah mendorong domestic demand di Hong Kong semakin
melemah.
Sementara itu, di sisi eksternal, kinerja ekonomi Hong Kong yang belum membaik
pada triwulan I 2002 tercermin pada kinerja ekspor yang belum menunjukkan perbaikan yang
signifikan. Sampai dengan bulan Februari tahun ini, ekspor Hong Kong masih terus mengalami
penurunan meskipun sedikit melambat dan mencatat penurunan 9,1% (y-o-y) pada periode
tersebut. Penurunan ekspor pada bulan tersebut merupakan penurunan terendah sejak bulan
Agustus tahun lalu. Namun demikian, membaiknya kondisi ekonomi global tahun ini diharapkan
akan mendorong ekspor Hong Kong semakin membaik.
Di sisi lain, dalam bulan yang sama, impor mencatat penurunan sebesar 19,8% dibanding
periode yang sama tahun lalu didorong oleh menurunnya permintaan konsumen menyusul
tingginya angka pengangguran di Hong Kong. Dengan perkembangan tersebut, defisit
perdagangan Hong Kong pada bulan Februari mencapai HK$2,8 miliar, menurun dari HK$17,6
miliar pada periode yang sama tahun lalu. Menurunnya ekspor Hong Kong yang terus
berlangsung saat ini, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap neraca transaksi
berjalan. Salah satu penyebab kecilnya pengaruh tersebut adalah struktur ekspor Hong Kong
yang sebagian besar merupakan import-dependent. Dengan kondisi tersebut, neraca
pembayaran diperkirakan akan tetap mengalami surplus sebesar 2,6% tahun 2002 dan sedikit
Sementara itu, seiring dengan kegiatan ekonomi yang menurun, defisit anggaran
pemerintah Hong Kong terus meningkat hingga mencapai dua puluh kali lebih besar dari
perkiraan semula. Dalam tahun anggaran yang berakhir tanggal 31 Maret 2002, defisit anggaran
mencapai HK$65,6 (USD8,4 miliar) atau mencapai 5,2% dari PDB. Angka tersebut membengkak
dari defisit tahun fiskal sebelumnya yang hanya mencapai HK$7,8 miliar. Diperkirakan defisit
anggaran akan terus berlangsung dalam tahun-tahun mendatang setelah pemerintah
mengisyaratkan akan menunda kenaikan pajak sampai dengan tahun 2006 seiring dengan
kegiatan ekonomi yang masih melemah dan angka pengangguran yang tinggi. Dalam rangka
memperkecil defisit anggaran, selain menerapkan kenaikan pajak, pemerintah juga telah
merencanakan untuk : (i) memotong pembayaran pegawai sipil sebesar 4,75% pada 1 Oktober
2002, (ii) menaikkan pajak minuman keras, (iii) menghapus duty-free pada tembakau dan
minuman keras lainnya, serta (iv) mengenakan pajak HK$18 bagi mereka yang datang maupun
pergi dari wilayah kepabean Hong Kong. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah mengharapkan
dapat memperkecil defisit sampai dengan HK$45,2 miliar pada tahun anggaran 2002/2003.
Korea Selatan
Perekonomian Korea menunjukkan pertumbuhan yang semakin membaik. PDB triwulan
IV 2001 tumbuh sebesar 3,7% (y-o-y), jauh di atas laju pertumbuhan triwulan sebelumnya yang
hanya mencapai 1,8%, sehingga sepanjang tahun 2001 PDB tumbuh sebesar 3%. Walaupun
pertumbuhan PDB Korea melambat, setelah pada tahun 2000 mampu tumbuh sebesar 9,3%,
namun perekonomian Korea termasuk salah satu yang dapat ‘survive’ di tengah terjadinya
global economic slowdown. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2001 tersebut didorong
oleh pengeluaran domestik yang kuat, termasuk pengeluaran pemerintah, sehingga secara
agregat pengeluaran domestik mampu mengkompensasi penurunan ekspor yang terjadi pada
periode yang sama.
Perkembangan ekonomi Korea pada triwulan I 2002 diwarnai oleh penurunan aktivitas
perdagangan internasional. Nilai ekspor Korea sepanjang triwulan I 2002 kembali terkontraksi
walaupun dengan laju yang melambat, yaitu sebesar 10,4% (y-o-y), sementara impor terkontraksi
11,4% (y-o-y). Dengan perkembangan tersebut surplus neraca perdagangan Korea pada 2
bulan pertama triwulan I 2002 mencapai US$760,3 juta.
Setelah menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2001, angka
Indeks penjualan retail menurun dari
144,4 pada akhir tahun 2001 menjadi
131,8 pada bulan Januari 2002, dan
menurun lagi menjadi 130,7 pada bulan
Februari 2002. Indeks penjualan
wholesale juga menurun dari 134,5
menjadi 128,6 pada bulan Januari
2002, dan menjadi 118,8 pada bulan
Februari 2002. Menurunnya penjualan
retail dan wholesale juga diikuti oleh
turunnya produksi sektor manufaktur.
Indeks produksi melambat dari 164,7
pada akhir tahun 2001 menjadi 142,5
pada bulan Februari 2002.
Namun penurunan angka penjualan dan produksi tersebut tidak menurunkan persepsi
dan ekspektasi konsumen dan kalangan bisnis di Korea, karena penurunan tersebut merupakan
fenomena musiman. Indeks consumer confidence yang menggambarkan persepsi konsumen
terhadap kondisi perekonomian menunjukkan peningkatan dari 89,2 pada bulan Desember
2001 menjadi 100,5 pada bulan Februari 2002. Sementara itu indeks consumer expectation
meningkat dari 100,9 menjadi 107,7.
Optimisme kalangan bisnis juga meningkat dengan melonjaknya indeks business
confidence. Indeks yang pada akhir 2001 sebesar 105,1 bahkan sempat meningkat mencapai
141,90 pada bulan Februari 2002, sebelum sedikit terkoreksi menjadi 140,8 pada bulan Maret
2002. Indikator sektor bisnis lainnya, jumlah persediaan barang (inventories) menunjukkan
penurunan yang cukup signifikan, yaitu menurun menjadi 118 dari level 124,5. Kombinasi
perkembangan meningkatnya consumer confidence, consumer expectation, dan business
confidence, serta menurunnya persediaan barang mengindikasikan bahwa aktivitas produksi
sektor industri manufaktur akan segera meningkat.
Perkembangan sektor moneter diwarnai dengan meningkatnya jumlah uang beredar.
M1 sepanjang triwulan I 2002 meningkat sebesar 5,06%, sementara M2 meningkat 2,77%.
Peningkatan jumlah uang beredar tersebut mendorong kenaikan harga barang-barang konsumsi
sebesar 1,63%. Sementara itu, Bank of Korea tetap mempertahankan benchmark suku bunga
Grafik PDB dan Inflasi Korea (%)
pada level 4%, dan diperkirakan akan menaikkan suku bunga untuk meredam laju inflasi segera
setelah perekonomian semakin membaik.
Indikasi akan meningkatnya aktivitas sektor riil yang didukung oleh perkembangan di
sektor moneter tersebut akan sangat menunjang pencapaian perkiraan Pemerintah mengenai
pertumbuhan ekonomi Korea sebesar 4% pada tahun 2002.
Singapura
Perkembangan ekonomi Singapura pada triwulan IV 2001 diwarnai dengan pertumbuhan
PDB sebesar 5,6% (qoq) atau lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebesar 4,3%. Dengan
demikian PDB sepanjang tahun 2001 terkontraksi sebesar 2%.
Membaiknya perekonomian pada triwulan IV didorong oleh permintaan domestik dan
sedikit membaiknya ekspor. Kuatnya permintaan domestik tercermin pada meningkatnya
penjualan retail. Indeks penjualan retail meningkat dari 133,6 pada akhir triwulan III menjadi
166,8 pada akhir triwulan IV. Meningkatnya penjualan retail mendorong aktivitas produksi sektor
manufaktur dimana indeks produksi pada periode yang sama meningkat dari 99,5 menjadi
100,3. Lebih jauh lagi, persepsi kalangan bisnis juga menjadi semakin optimis yang tercermin
pada meningkatnya purchasing manager index dari 45,6 menjadi 48,3.
Ekspor Singapura pada triwulan IV meningkat 3,43% (qoq) dibandingkan triwulan III
terkontraksi sebesar 5,96%, namun dibanding tahun sebelumnya masih terkontraksi 18,13%.
Sementara itu, impor masih terkontraksi walaupun dengan laju kontraksi yang menurun, yaitu
dari 2,70% menjadi 1,05%. Dengan perkembangan ini, surplus neraca perdagangan Singapura
meningkat dari S$7.495 juta menjadi S$8.026 juta, sehingga posisi neraca pembayaran membaik
dari defisit S$2.230 juta menjadi surplus S$3.959 juta. Posisi cadangan devisa juga meningkat
dari S$137,55 miliar menjadi S$140 miliar.
Namun perkembangan positif tersebut tidak diikuti secara langsung oleh angka
pengangguran. Perusahaan-perusahaan masih terus melakukan pengurangan tenaga kerja
sejalan dengan masih lesunya ekspor, sehingga angka pengangguran tetap meningkat menjadi
4,7% pada akhir tahun 2001 dari sebesar 3,8% pada akhir triwulan III 2001.
Perkembangan ekspor, yang merupakan kontributor utama terhadap seluruh
pere-konomian Singapura, yang masih lemah mengakibatkan Pemerintah memperkirakan PDB masih
terkontraksi sebesar 19,2% (y-o-y).
Menurunnya ekspor, disamping karena
masih lemahnya permintaan pasar
inter-nasional, juga disebabkan oleh apresiasi
dollar Singapura yang mengakibatkan
harga barang-barang Singapura relatif lebih
mahal. Dollar Singapura pada sepanjang
bulan Januari – Februari 2002 terapresiasi
0,76% menjadi S$1,8314/USD, sebelum
kembali melemah menjadi S$1,8432/USD
pada akhir triwulan I 2002. Menurunnya ekspor secara tidak langsung menekan impor, mengingat
sebagian besar impor Singapura merupakan impor bahan baku dari produk ekspor, sehingga
impor bulan Februari 2002 ikut menurun sebesar 18,2% (y-o-y). Disamping itu, hadirnya
produk-produk serupa dari negara pesaing, seperti Cina yang memiliki biaya produk-produksi relatif rendah
sehingga harga produknya lebih murah, semakin menekan ekspor Singapura.
Faktor-faktor lain yang menunjukkan kecenderungan akan terjadinya kontraksi PDB
tersebut adalah sedikit menurunnya penjualan retail yang pada triwulan IV 2002 merupakan
penggerak perekonomian. Indeks penjualan retail bulan Februari 2002 menurun menjadi
91,9.
Namun, Pemerintah tetap optimis perekonomian akan segera bangkit pada
triwulan-triwulan berikutnya sejalan dengan perkiraan membaiknya perekonomian Amerika, sehingga
sepanjang tahun 2002 ini perekonomian akan tumbuh antara 1% - 3%. Optimisme pemerintah
tersebut didasari oleh sedang dilakukannya negosiasi kesepakatan perdagangan bebas dengan
Amerika yang memasuki tahap akhir. Proses negosiasi yang dimulai pada bulan November
2001 tersebut diperkirakan akan mencapai kesepakatan yang penandatanganannya akan
dilakukan oleh kedua pihak dalam waktu dekat. Sebelumnya Singapura telah menjalin
perdagangan bebas dengan Jepang, Australia, New Zealand, Canada, Mexico dan Eropa
(European Free Trade Area).
Dalam kesepakatan tersebut pihak Amerika akan melonggarkan persyaratan “rules of
origin” (produk ekspor harus diproduksi di dalam negeri) bagi eksportir Singapura, sehingga
eksportir Singapura dapat menekan biaya produksi dengan merelokasi pabriknya ke luar negeri
yang upah buruh dan sewa tanahnya lebih murah, seperti Indonesia, Vietnam, Kamboja, dan
Grafik PDB dan Inflasi Singapura (%)
sebagainya. Selain itu Singapura juga akan membuka pasar industri jasa, termasuk perbankan,
pendidikan dan kesehatan, terhadap perusahaan-perusahaan Amerika, sehingga investasi di
sektor jasa diperkirakan akan meningkat. Implementasi kesepakatan perdagangan bebas dengan
Amerika diperkirakan akan mendongkrak PDB Singapura sebesar 0,7 percentage point.
Disamping itu, pemerintah juga sedang mempersiapkan kebijakan untuk melakukan
pemotongan pajak atas perusahaan dan perorangan. Hal ini ditujukan untuk menarik investasi
baru, terutama investasi di sektor jasa. Dengan mendorong sektor jasa, pemerintah mencoba
memperbaiki struktur perekonomian Singapura untuk mengurangi ketergantungan
perekonomian terhadap ekspor produk IT, yang terbukti rentan terhadap external shocks.
Monetary Authority of Singapore atau bank sentral Singapura secara paralel juga
melakukan upaya untuk mendorong aktivitas perekonomian dengan terus memompa likuiditas
ke dalam perekonomian. Jumlah uang beredar, baik M1, M2 dan M3 mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 7,95%, 2,79% dan 2,59% (y-o-y), pada bulan Februari 2002.
Pertumbuhan jumlah uang beredar tersebut sedikit meningkatkan harga barang-barang konsumsi
sebesar 0,1% dalam dua bulan pertama triwulan I 2002. Namun, dibandingkan tahun sebelumnya
masih terjadi deflasi sebesar 0,6% (y-o-y), sedikit lebih tinggi dibandingkan deflasi bulan
sebelumnya sebesar 1,1%.
Taiwan
Setelah mengalami kontraksi pada tahun 2001, perekonomian Taiwan pada tahun 2002
ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 2,5%. Optimisme bahwa perekonomian Taiwan akan
semakin membaik mulai terlihat di awal triwulan I 2002, yang ditandai dengan meningkatnya
ekspor di bulan Januari sebesar 9,2% (y-o-y) dibandingkan tahun sebelumnya. Membaiknya
kinerja ekspor Taiwan tersebut sempat terganggu dengan terhentinya pengiriman barang ke
luar negeri berkaitan dengan libur tahun baru. Meningkatnya ekspor tersebut ternyata tidak
berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Ekspor Taiwan cenderung semakin turun sepanjang
bulan Februari akibat turunnya pengiriman barang ekspor karena libur tahun baru. Dampak
libur tahun baru tersebut adalah turunnya ekspor Taiwan di bulan Februari sebesar 28,1% dari
tahun sebelumnya. Penurunan tersebut lebih besar dari yang diperkirakan, yaitu sebesar 20,5%.
Dengan demikian, pada dua bulan pertama triwulan I 2002 ekspor Taiwan turun sebesar 11,1%
Memasuki bulan Maret, kinerja
ekspor Taiwan diprediksikan akan
membaik didorong oleh perkiraan
naiknya permintaan perangkat
kom-puter dan telepon seluler seiring
dengan membaiknya kondisi
pereko-nomian Amerika Serikat. Berdasarkan
perkiraan pemerintah Taiwan,
kenai-kan permintaan tersebut akenai-kan
men-dorong pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2002 ke level 2,3%. Optimisme
terhadap kenaikan permintaan ekspor
semakin besar di akhir triwulan I 2002 hingga akhir triwulan II 2002. Meningkatnya permintaan
ekspor dari Amerika Serikat tersebut, diperkirakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi
pada triwulan I 2002 sebesar 0,5%.
Memasuki triwulan I 2002, laju inflasi di Taiwan menunjukkan kenaikan menyusul
kebijakan pemerintah Taiwan untuk menurunkan subsidi bagi alkohol dan rokok, sebagai
konsekuensi keanggotaan Taiwan dalam World Trade Organization. Indeks harga konsumen
pada Januari 2002 naik 0,5% dari bulan Desember 2001, namun jika dibandingkan tahun
sebelumnya, laju inflasi di bulan Januari tersebut turun sebesar 1,7%. Pada bulan Februari,
laju inflasi di Taiwan masih menunjukkan kenaikan sebesar 0,4% dari bulan Januari atau naik
1,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terutama didorong oleh kenaikan permintaan
konsumen menjelang perayaan Tahun Baru Cina (Imlek).
Meskipun sempat mengalami kenaikan pada dua bulan pertama tahun 2002, laju inflasi
di Taiwan diperkirakan akan mengalami penurunan pada beberapa bulan mendatang, akibat
belum pulihnya kondisi perekonomian sebagian besar negara di dunia dan relatif tingginya
angka pengangguran di Taiwan. Kondisi tersebut mulai nampak di akhir triwulan I 2002, dimana
pada bulan Maret terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen di Taiwan sebesar 0,3%
dibandingkan bulan Februari. Prediksi bahwa Indeks Harga Konsumen akan cenderung turun
sepanjang tahun 2002, memberikan peluang bagi bank sentral Taiwan untuk melanjutkan
kebijakan penurunan tingkat suku bunga pada tahun 2002, atau minimal mempertahankan
tingkat suku bunga untuk tidak berubah.
Grafik PDB dan Inflasi Taiwan (%)
Malaysia
Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam dua triwulan terakhir tahun lalu, ekonomi
Malaysia pada triwulan I 2002 tampaknya akan sedikit membaik. Indikasi membaiknya ekonomi
Malaysia semakin kuat menyusul membaiknya lingkungan eksternal seiring dengan
tanda-tanda pemulihan ekonomi global. Sementara itu, pengaruh positif dari serangkaian kebijakan
yang berorientasi pada pertumbuhan (pro-growth policy) yang diterapkan pemerintah sejak
akhir tahun 1998, serta kebijakan untuk mendorong domestic demand sejak tahun lalu menyusul
perlambatan ekonomi global, telah menjadi faktor lainnya yang mendorong optimisme tersebut.
Menyusul perkembangan tersebut, Bank Negara Malaysia (BNM) memperkirakan ekonomi
akan tumbuh 3,5% tahun 2002, meningkat dari angka pertumbuhan tahun lalu sebesar 0,4%.
Optimisme atas pemulihan ekonomi Malaysia tersebut didukung oleh perkembangan
ekonomi global yang semakin membaik pada triwulan pertama tahun ini, terutama di Amerika
Serikat dan negara maju lainnya. Membaiknya lingkungan ekonomi global diharapkan akan
memperbaiki kinerja ekspor barang semi-konduktor dan barang-barang elektronik lainnya yang
selama ini menjadi tumpuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Meskipun
sektor eksternal dalam triwulan pertama tahun ini belum menunjukkan perbaikan signifikan,
namun tanda-tanda membaiknya kinerja ekspor mulai tampak seiring dengan mulai
meningkatnya order barang-barang elektronik yang merupakan produk unggulan ekspor
Malaysia. Kenaikkan order tersebut dicerminkan oleh meningkatnya produksi industri pada
bulan Februari 2002 setelah dalam satu tahun terakhir terus mengalami penurunan. Pada bulan
Februari, produksi industri tumbuh 2,9% (y-o-y) meningkat dibanding bulan sebelumnya yang
mengalami kontraksi sebesar 6,7% (y-o-y). Sementara itu, pada bulan yang sama sektor
manufaktur, yang menyumbang 2/3 terhadap produk industri, mengalami pertumbuhan 3,8%.
Dari sisi domestik, tekanan permintaan yang masih lemah akibat belum membaiknya
kinerja ekonomi domestik secara signifikan, telah mendorong tingkat inflasi di negara tersebut
tetap berada pada level yang rendah. Rendahnya tingkat inflasi tersebut juga didorong oleh
nilai tukar yang stabil dan harga barang-barang impor yang menurun. Meskipun inflasi pada
bulan terakhir triwulan I 2002 meningkat menjadi 2,1% (y-o-y) dari 1,2% (y-o-y) pada bulan
sebelumnya, inflasi selama tahun 2002 diperkirakan akan berada pada level 1,8%, lebih rendah
dibanding target inflasi bank sentral sebesar 2%. Dengan tingkat inflasi yang moderat tersebut,
Bank Negara Malaysia (BNM) mengesampingkan kekhawatiran pengaruh kenaikan harga
Meskipun tanda-tanda
mem-baiknya kinerja ekspor semakin kuat,
namun penurunan ekspor yang telah
berlangsung sejak satu tahun terakhir
masih berlangsung sampai dengan
bulan Februari tahun ini. Pada bulan
Februari, ekspor mengalami
penuru-nan sebesar 15% dibanding periode
yang sama tahun lalu. Sementara itu,
seiring dengan perkembangan
eko-nomi domestik masih lemah, impor
mengalami penurunan 8,1% (y-o-y)
pada periode yang sama. Penurunan ekspor yang lebih besar dibanding penurunan impor
tersebut telah menyebabkan mengecilnya surplus perdagangan Malaysia. Selama dua bulan
pertama tahun 2002, surplus perdagangan menurun 11,4% menjadi 8,2 miliar ringgit. Namun,
meningkatnya order atas barang ekspor diperkirakan akan memberi pengaruh positif atas kinerja
ekspor Malaysia dalam triwulan mendatang. Menyusul perkembangan tersebut, serta pemulihan
ekonomi global yang semakin menguat, pemerintah Malaysia memperkirakan ekspor akan
tumbuh 4,4% tahun 2002.
Pada sisi lain, meningkatnya arus investasi ke negara tersebut pada triwulan I 2002,
menyusul meningkatnya kegiatan FDI maupun porfolio investment terutama di pasar saham
serta repatriasi hasil ekspor, telah mendorong surplus meningkatnya capital account. Seiring
dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Malaysia per 30 Maret 2002 mengalami
kenaikan hingga mencapai USD 32,7 miliar, angka tertinggi sejak September 2000. Cadangan
devisa yang mencapai angka tersebut cukup untuk meng-cover lima kali utang luar negeri
jangka pendek pemerintah.
Dengan jumlah cadangan devisa yang semakin meningkat, lembaga pemeringkat utang
Moodys’s telah menaikkan outlook utang luar negeri Malaysia “Baa2” dari “stable” menjadi
‘positif’. Kenaikan rating sebelumnya juga telah dilakukan lembaga pemeringkat lain yaitu S&P
setelah pemerintah Malaysia dinilai berhasil mempertahankan kebijakan nilai tukar ringgit yang
di-peg terhadap US dollar maupun kemajuan yang telah dicapai negara tersebut dalam
me-restrukturisasi sektor korporasi.
Grafik PDB Konstan dan Inflasi Malaysia (%)
Membaiknya rating Malaysia tersebut akan berdampak positif bagi perusahaan dalam
rangka memperoleh sumber pembiayaan di pasar modal internasional menyusul rencana
Malayan Banking, bank terbesar di negara tersebut, dan perusahaan lainnya menjual obligasi
dalam waktu dekat. Rencana tersebut dilakukan setelah Mahathir mendorong perbankan
dan perusahaan lain untuk melakukan akuisisi dalam rangka meningkatkan daya saing.
Sebelumnya, pada awal bulan Maret 2002, pemerintah telah menjual obligasi senilai USD750
juta.
Dari sisi fiskal, penjualan obligasi pemerintah tersebut merupakan bagian dari
kebijakan ekspansi fiskal yang dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk tahun 2002, pemerintah akan melanjutkan kebijakan ekspansi fiskal tersebut dengan
tetap memperhatikan “fiscal prudence”. Kebijakan ekspansi fiskal yang berhati-hati tersebut
tercermin dari rencana pemerintah untuk melakukan konsolidasi posisi fiskal pemerintah
serta menurunkan target defisit fiskal dari 6,5% terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi
5,1% tahun 2002.
Filipina
Filipina sempat mengalami penurunan PDB pada tahun 2001 namun masih lebih baik
dibandingkan dengan ekonomi negara-negara Asia timur lainnya. PDB Filipina tahun 2001
mencapai 3,4% sedangkan perkiraan tahun ini mengalami sedikit penurunan yaitu sebesar
2,5% yang disebabkan oleh melemahnya ekspor. Pada dasarnya Filipina tidak bergantung
pada ekspor hasil industri tapi bergantung pada sektor jasa dan pertanian, sehingga menurunnya
ekspor industri tidak terlalu berdampak buruk terhadap perekonomian Filipina. PDB Filipina
tahun 2003 diprakirakan akan meningkat sebesar 3,6% yang disebabkan oleh kenaikan ekspor
dan menguatnya permintaan Amerika Serikat serta perbaikan pada sektor teknologi informasi
(TI).
Inflasi bulanan terus menerus menurun pada paruh kedua tahun 2001, yang tercatat
sebesar 6.1%. Inflasi Filipina pada tahun 2002 diperkirakan akan lebih rendah dari pada inflasi
tahun 2001, yaitu sebesar 4-5%. Namun inflasi diperkirakan akan meningkat pada tahun 2003
sebesar 5,7%. Instabilitas mata uang peso, tingginya harga minyak dan meningkatnya biaya
makanan sebagai ak