ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD
TRADE ORGANIZATION PADA SENGKETA BIODIESEL ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
FADHILAH SYARA PRATIKNO NIM: 160200320
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020
Acc. Sudah diperiksa dan setuju untuk diuji
Medan, 16 Juni 2020
Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena- Nya penelitian yang berjudul “ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION PADA SENGKETA BIODIESEL
ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA” dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini akibat keterbatasan kemampuan Penulis. Oleh karenanya, Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang konstruktif demi memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini.
Penulis juga ingin menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya atas bantuan, bimbingan serta dukungan yang diberikan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam perjalanan Penulis untuk menjadi seorang yang terpelajar:
1. Prof Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU juga selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sepenuh hati telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran di sela kesibukan dalam membimbing Penulis menyelesaikan skripsi ini;
7. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan setulus hati bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan serta pengarahan dalam proses penyelesaian skripsi ini;
8. Dr. Afnila, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis;
9. Seluruh dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta pegawai administrasi, khususnya Ibu Rosmalinda, S.H., LLM dan Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum., selaku supervisor Penulis dan rekan-rekan di Klinik Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, atas segala ilmu, kesempatan dan pengalaman berharga yang Penulis dapatkan selama menempuh mata kuliah tersebut;
10. Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Penulis terutama kedua orang tua Penulis, Ayahanda Sugeng Pratikno dan Ibunda Heni Yuli Setyowati serta adik Penulis, Naufal
Fadhil Pratikno, atas segala bentuk dukungan dan kasih sayang yang diberikan tanpa henti kepada Penulis;
11. Sahabat-sahabat Penulis, terutama dan yang paling utama, Anggi Rehulina Sitepu dan Sri Handayani Nasution (Bolby), yang selalu mendukung dan menemani Penulis dalam keadaan apapun, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk Penulis berbagi suka, canda, serta keluh kesah. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan pula kepada Sylvia Tjiunata, S.H., Amanda Astinigtyas, S.H., dan Rehulina Dwitanty Sitepu, atas kebersamaan, bantuan, dan dukungannya selama Penulis menempuh masa perkuliahan;
12. Teman-Teman yang terhimpun dalam International Student Association (ILSA) 2016, teman-teman Grup D Angkatan 2016 serta seluruh pihak yang telah membantu Penulis selama masa perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi ilmu pengetahuan serta seluruh pihak yang membaca.
Medan, Juni 2020 Hormat Penulis,
FADHILAH SYARA PRATIKNO NIM: 160200320
ABSTRAK
Fadhilah Syara Pratikno*) Sutiarnoto**) Mahmul Siregar***)
World Trade Organization (WTO) menjadi satu-satunya organisasi internasional yang mengatur kegiatan perdagangan antar negara dengan kekuasaan sebagai penegak rule of law yang bertindak sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Untuk itu, WTO dilengkapi dengan badan khusus bernama Dispute Settlement Body (DSB) sebagai lembaga penyelesaian sengketa dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur di dalam Dispute Settlement Understanding (DSU). Penelitian ini mengkaji metode penyelesaian sengketa internasional secara damai, latar belakang sengketa perdagangan internasional terkait produk biodiesel antara Indonesia dan Uni Eropa, serta mekanisme penyelesaian sengketa di bawah WTO melalui DSB dengan berpedoman pada DSU.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder melalui studi pustaka (library research). Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode analisis data normatif-kualitatif.
Penyelesaian sengketa internasional secara damai dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: secara diplomatik (diplomatic political means) dan secara hukum (adjudicational-legal means). Dispute Settlement Body WTO termasuk ke dalam lembaga peradilan khusus di bawah kerangka GATT/WTO yang berwenang menyelesaikan sengketa perdagangan internasional secara damai antara negara- negara yang menjadi anggota WTO. Sengketa biodiesel antara Indonesia dan Uni Eropa ke WTO ditenggarai adanya tuduhan dumping yang dilayangkan Uni Eropa kepada Indonesia terkait biodiesel, yang mengakibatkan diberikannya hambatan perdagangan oleh Uni Eropa berupa pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
Indonesia memanfaatkan peran WTO sebagai forum penyelesaian skala global untuk menyelesaian sengketa ini. WTO melalui DSB menyelesaikan sengketa dengan mekanisme yudisial (adjudicatory) yang menghasilkan kewajiban dan konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang bersengketa. Panel memutus Uni Eropa melanggar Pasal 2.2; 2.2.1.1; 2.2.2(iii); 2.3; 3.1; 3.2; dan 9.3 Anti-Dumping Agreement serta Pasal VI:1(b)(ii) dan Pasal VI:2 GATT 1994 sehingga Uni Eropa berkewajiban menghapus BMAD yang dikenakan terhadap biodiesel Indonesia.
Kata kunci: penyelesaian sengketa, DSB-WTO, anti-dumping, Biodiesel.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan kepustakaan ... 11
F. Metode Penelitian ... 18
1. Jenis Penelitian ... 18
2. Data Penelitian ... 19
3. Teknik Pengumpulan Data ... 21
4. Analisis Data ... 21
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II. TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 24
A. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ... 24
B. Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ... 30
C. Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ... 35
1. Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatik ... 35
1.1. Negosiasi ... 35
1.2. Penyelidikan Fakta (Enquiry) ... 36
1.3. Mediasi dan Jasa-jasa Baik ... 37
1.4 Konsiliasi ... 39
2. Penyelesaian Sengketa Secara Hukum ... 39
2.1 Arbitrase ... 39
2.2 Pengadilan Internasional ... 41
BAB III. SENGKETA BIODIESEL ANTARA INDONESIA DAN UNI EROPA ... 43
A. Latar Belakang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Produk Biodiesel Indonesia oleh Uni Eropa ... 43
B. Dampak Pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping terhadap Produk Biodiesel Indonesia ... 49
C. Kebijakan Anti-Dumping dalam Kerangka GATT-WTO ... 52
BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM KASUS SENGKETA BIODIESEL ANTARA INDONESIA DENGAN UNI EROPA ... 58
A. Dispute Settlement Body WTO sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional ... 58
1. Ketentuan WTO yang menjadi Objek Sengketa ... 62
2. Subjek Sengketa WTO ... 69
3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui Dispute Settlement Body ... 70
4. Kekuatan Hukum Putusan Panel ... 78
B. Rangkaian Proses Penyelesaian Sengketa Biodiesel antara Indonesia dan Uni Eropa melalui Dispute Settlement Body WTO ... 80
1. Tahap Konsultasi ... 80
2. Tahap Pembentukan Panel ... 81
3. Kesimpulan dan Rekomendasi Panel ... 85
4. Pelaksanaan Putusan Panel oleh Uni Eropa ... 94
BAB IV. PENUTUP ... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kebijakan Anti-Dumping yang Dikenakan pada Beberapa
Perusahaan Indonesia ... 49 Tabel 2. Statistik Produksi, Penawaran dan Permintaan Biodiesel Indonesia ... 51
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pertumbuhan serta kemajuan ekonomi suatu negara sesungguhnya tidak terlepas dari keberhasilan negara tersebut dalam aktivitas perdagangan internasional.
Laju globalisasi yang meniadakan batasan serta hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa menyebabkan timbulnya keterkaitan dan ketergantungan antara satu negara dengan negara lain. Hal ini dilakukan karena beberapa faktor, salah satunya adalah guna memenuhi kebutuhan atas komoditas maupun jasa yang tidak mampu dan belum diproduksi sendiri oleh suatu negara maupun karena adanya perbedaan faktor produksi antara negara-negara tersebut.
Indonesia sebagai negara dengan sistem perekonomian terbuka mengandalkan interaksi dan transaksi yang berkaitan dengan sektor perekonomian negara lain, seperti kegiatan perdagangan internasional berupa ekspor-impor. Perekonomian Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 1980-an masih bersifat inward-looking, yaitu strategi pembangunan yang mengedepankan pembangunan industri domestik sebagai substitusi produk impor.1 Baru setelah pertengahan tahun 1980-an Indonesia menerapkan strategi kebijakan pembangunan yang bersifat outward-looking, yaitu pengembangan industri yang berorientasi pada sektor ekspor. Pergeseran ini terjadi sejak kebijakan ekonomi Indonesia dalam mendorong pertumbuhan industrial
1 Dara Resmi Asbiantari, Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Bandung: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Vol. 5 No. 2, 2016, hal. 10.
terbebas dari bayang-bayang pandangan export pessimism. 2 Pandangan ini menyatakan bahwa perdagangan internasional justru akan semakin menurunkan tingkat kesejahteraan negara-negara berkembang yang berperan di dalamnya. Dalam
hal diterapkannya kebijakan ini, perdagangan internasional khususnya dalam se ktor ekspor menjadi mesin penggerak bagi pertumbuhan ekonomi nasional.3
Dalam hal ini perekonomian nasional menjadi peka terhadap laju perkembangan yang terjadi pada perekonomian global terutama terhadap gejolak yang ditimbulkan oleh perekonomian negara mitra dagang Indonesia. Perdagangan internasional dalam iklim globalisasi ini tentunya berpotensi memimbulkan resiko terjadinya sengketa terkait dengan perdagangan internasional antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu World Trade Organization (selanjutnya disebut dengan WTO) hadir sebagai rezim internasional yang secara khusus menjadi wadah untuk mendorong liberalisasi iklim perdagangan internasional yang tertib, adil dan bertujuan untuk menciptkan kondisi yang bersifat timbal-balik. Kegiatan perdagangan antar-negara ini dilakukan dengan hanya dibatasi oleh tatanan peraturan perdagangan yang bersifat multilateral, yang telah disepakati bersama oleh negara-negara peserta (contracting parties).
Pendirian WTO sebagai organisasi penerus merupakan hasil kesepakatan bersama dari negara-negara anggota General Agreement on Tariffs and Trade
2 Lihat H.S Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2002, hal. iv.
3 Lihat Ari Mulianta Ginting, Analisis Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuha Ekonomi Indonesia, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 11 No. 1, 2017, hal. 15.
(selanjutnya disebut dengan GATT) yang sebelumnya hanya merupakan sseperangkat perjanjian kontraktual. Pendirian WTO pada tanggal 1 Januari 1995 tidak terlepas dari adanya masalah yang mengancam kelancaran dan ketertiban iklim perdagangan internasional karena tidak patuhnya (non-compliance) negara- negara anggota dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan GATT. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang efektifnya mekanisme penyelesaian sengketa di tubuh GATT, di mana pada umumnya penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses konsultasi antara pihak-pihak yang bersengketa. 4
Permasalahan ini menjadi agenda utama pada Tokyo Round yang akhirnya meghasilkan sejumlah perjanjian-perjanjian internasional dengan mekanisme penyelesaian sengketa pada masing-masing bidang. Agenda perbaikan dan pembaharuan norma GATT baik dalam aspek substantif maupun prosedural, seperti salah satunya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa, berlanjut hingga putaran terakhir yaitu Uruguay Round yang menjadi cikal-bakal lahirnya WTO.
Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam WTO menjadi panduan bagi pelaku bisnis internasional yang mencakup atas aturan materil dan aturan prosedural. Salah satu aturan perdagangan internasional dalam kerangka WTO yang disepakati bersama oleh negara-negara peserta adalah peraturan prosedural mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terkait perdagangan internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal III Agreement of Establishing the Multilateral Trade
4 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO: Aspek-aspek Hukum & Non Hukum, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hal. 2.
Organization, WTO berperan sebagai forum negosiasi bagi para anggotanya untuk menyelesaiakan sengketa terkait dengan perdagangan multilateral dan untuk memfasilitasi pemberlakuan dari hasil negosiasi tersebut.
Dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa di bidang perdagangan internasional secara damai, WTO memiliki badan khusus bernama Dispute Settlement Body (selanjutnya disebut dengan DSB), dengan prosedur penyelesaian sengketa yang diatur di dalam Dispute Settlement Understanding (selanjutnya disebut dengan DSU) yang dianeksasi dalam Final Act dan ditandatangani di Marrakesh pada tahun 1994. Prosedur ini merupakan penjabaran dari pasal utama yang menjadi acuan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu Pasal XXII (Konsultasi) dan Pasal XXIII (Penghilangan dan Pengurangan Keuntungan) GATT.
DSB memiliki wewenang antara lain untuk membentuk panel, menerima dan mengadopsi laporan Panel dan laporan Badan Banding (Appellate Body), melaksanakan pengawasan terhadap implementasi rekomendasi dan putusan panel, mengotorisasi penangguhan konsesi (suspension of concessions), serta kewajiban- kewajiban lain yang terdapat di dalam perjanjian.5
Dengan dibentuknya DSB, sistem penyelesaian sengketa di bidang perdagangan internasional menunjukkan progresivitas dalam memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa di bidang perdagangan internasional dan dinilai memberi hasil yang efektif dalam mengklarifikasi serta mengevaluasi pemenuhan hak dan penegakan kewajiban negara-negara anggota. Terbukti dengan jumlah
5 Pasal 2:1 Dispute Settlement Understanding.
kasus yang telah diajukan sebanyak 520 kasus terkait permasalahan aktivitas perekonomian antar-negara sejak 1995, dengan sebagian besar kasus diselesaikan melalui DSB. 6 Hal ini menjadikan WTO sebagai organisasi internasional dengan posisi strategis dan penting dalam menyelesaikan sengketa internasional.
Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel terbesar di dunia, menjadikan produk tersebut sebagai komoditas utama ekspor pertanian Indonesia. Sejak dikeluarkannya kebijakan biofuel melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2006 mengenai pengadaan dan penggunaan biofuel, produksi biodiesel Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 2008, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mandatori mengenai pencampuran biodiesel melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 32 Tahun 2008, yang terakhir kali direvisi melalui PERMEN ESDM No. 12 Tahun 2015 yang mewajibkan untuk meningkatkan campuran wajib biodiesel dari 10% menjadi sebanyak 15% untuk keperluan di sektor transportasi dan industri, serta sebanyak 25% untuk sektor pembangkit tenaga listrik. Hal ini dilakukan seiring dengan upaya Indonesia yang berusaha mengurangi konsumsi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta mendorong penggunaan dan pemanfaatan energi terbarukan.
Perkembangan dalam produksi dan konsumsi biodiesel di Indonesia juga tidak terlepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberlakukan subsidi untuk biodiesel dan produk turunannya melalui CPO Supporting fund. Dana program ini
6 World Trade Organization, Annual Report 2017.
berasal dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya sebesar 50 USD per ton yang masuk ke pasar ekspor.7 Hal ini meningkatkan produksi biodiesel di Indonesia dan tentunya meningkatkan kinerja ekspor yang sangat pesat. Untuk itu produk turunan minyak sawit merupakan salah satu komoditas terpenting di Indonesia sebagai penghasil devisa yang menggerakkan perekonomian negara.
Salah satu tujuan ekspor terbesar ke-2 Indonesia adalah Uni Eropa. Namun untuk melindungi produsen domestiknya, Uni Eropa menerapkan hambatan akses pasar terhadap produk biodiesel Indonesia berupa pengenaan bea masuk anti- dumping (BMAD). Dumping diartikan sebagai sebuah praktik dagang di mana eksportir komoditi di pasaran internasional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di pasar domestik, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya.8 Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan menguasai pasar di luar negeri.
GATT melalui Pasal IV memberikan negara-negara peserta wewenang untuk menerapkan pungutan anti-dumping (anti-dumping duty) kepada negara yang telah melakukan praktik dumping atas komoditi ekspornya. Anti-dumping duty hadir dalam memberikan proteksi kepada industri domestik dari dampak merugikan dari
7 Rafika Sari, Rencana Kebijakan Crude Palm Oil Supporting Fund, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI: Info Singkat Ekonomi dan Kebijakan Publik, 2015, hal. 13.
8 AF. Elly Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris – Indonesia, sebagaimana dikutip Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia: Analisis dan Panduan Praktis, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 32.
praktik diskriminasi harga secara internasional yang tidak adil.9 Namun, anti- dumping duty hanya bisa diberlakukan apabila telah dibuktikan bahwa dampak dari praktik dumping tersebut mengancam maupun telah menimbulkan kerugian material terhadap pasar dan industri domestik.10
Penerapan BMAD oleh Uni Eropa yang didasari atas tuduhan dumping ini telah melemahkan kinerja ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Produk biodiesel Indonesia dikenakan bea masuk anti-dumping sebesar 76,94-178,85 Euro per ton-nya, dengan margin dumping sebesar 8,8% - 23,3%. Hal ini mengakibatkan nilai ekspor biodiesel Indonesia mengalami penurunan tajam sebesar 72,34% atau turun dari $635 juta pada 2013 menjadi hanya $9 juta pada 2017.11
Untuk itu, berdasarkan atas praktik dumping yang dituduhkan oleh Uni Eropa terhadap produk biodiesel, Indonesia berusaha mencari keadilan atas permasalahan ini dengan mengajukan sengketa biodiesel ke WTO. Indonesia memohon untuk diselesaikan melalui tahap konsultasi ke DSB sebagai langkah pertama dari prosedur penyelesaian sengketa WTO pada 10 Juni 2014. Indonesia menilai kebijakan anti-dumping yang diambil oleh Uni Eropa mencerminkan ketidakadilan dan inkonsistensi dengan Anti-Dumping Agreement (Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994). Dalam Pasal 1 Anti-Dumping Agreement disebutkan bahwa kebijakan anti-dumping hanya dapat diterapkan dalam keadaan
9 Soheyb Salah Kahlessenane, Anti-Dumping Regulations and Policies: Some Insights from Algeria, Athens Journal of Law Vol. 5 Issue I, hal. 49.
10 Lihat Pasal VI paragraf 6(a) General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
11 PT Perkebunan Nusantara V, Kalah di WTO, Tarif Anti Dumping Biodiesel Eropa Ditunda, dalam http://www.bumn.go.id/ptpn5/berita/1-Kalah-Di-WTO-Tarif-Anti-Dumping-Biodiesel-Eropa- Ditunda, diakses pada 15 Februari 2020.
tertentu yang diatur dalam Pasal VI GATT dan sesuai dengan investigasi yang dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian ini.
Konsultasi diadakan pada 23 Juli 2014 namun gagal dalam mencapai kesepakatan untuk menyelelesaikan sengketa ini. Akhirnya setelah melalui serangkaian proses penyelesaian sengketa di DSB, pada 26 Oktober 2017 Indonesia memenangkan sengketa biodiesel yang ditandai dengan terbitnya final report panel pada 26 Oktober 2017 dan dilegalisasi melalui Report of the Panel DS480, dengan enam dari tujuh keberatan yang dilayangkan Indonesia terhadap tuduhan dumping Uni Eropa diakomodir oleh WTO.
Berdasarkan uraian singkat yang telah dikemukakan di atas, penulis terdorong untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan internasional melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization, khususnya pada sengketa biodiesel yang melibatkan Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka pembahasan akan difokuskan kepada bagaimana peran serta mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan oleh badan penyelesaian sengketa Dispute Settlement Body World Trade Organization terhadap sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah penyelesaian sengketa internasional secara damai?
2. Bagaimana latar belakang sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa?
3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bahan kepustakaan secara umum bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan secara khusus memberi sumabangan akademis bagi ilmu hukum terkait penyelesaian sengketa internasional secara umum dan sengketa perdagangan internasional secara khusus melalui lembaga internal penyelesaian sengketa organisasi internasional, dalam hal ini lembaga Dispute Settlement Body dalam World Trade Organization.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan memberikan gambaran umum bagi masyarakat mengenai mekanisme penyelesaian sengketa internasional terutama penyelesaian sengketa perdagangan internasional melalui World Trade Organization.
D. Keaslian Penulisan
Orisinalitas skripsi yang berjudul "Analisis Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional melalui Dispute Settlement Body World Trade
Organization pada Kasus Sengketa Biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa"
dapat dibuktikan melalui surat tertanggal 04 Februari 2020 yang dikeluarkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang menyatakan bahwa tidak ditemukannya judul yang sama pada Arsip Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Namun ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterikatan dengan judul penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Bermita Sembiring, tahun 2016, mahasiswi Fakultas Hukum Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara dengan judul "Prosedur Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam Kerangka GATT dan WTO". Penelitian tersebut membahas penyelesaian sengketa perdagangan internasional dalam kerangka GATT dan WTO secara umum. Sedangakan penelitian ini membahas mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan melalui badan penyelesaian sengketa Dispute Settlement Body WTO dalam sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Niken Larasati Adhystya, 2019, mahasiswi Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dengan judul "Peran WTO dalam Penyelesaian Sengketa Biodiesel antara Indonesia dan Uni Eropa Tahun 2014-2017". Penelitian tersebut membahas peran WTO dalam
menyelesaikan sengketa perdagangan internasional khususnya sengketa biodiesel antara Indonesia dan Uni Eropa menggunakan Konsep Peran Organisasi Internasional dan Konsep Global Governance.
Dengan demikian, judul skripsi ini merupakan karya tulis asli sebagai refleksi dan pemahaman yang dipelajari selama menempuh pendidikan perguruan tinggi terutama saat berada di Departemen Hukum Internasional.
E. Tinjauan Kepustakaan
Perdagangan internasional merupakan hubungan perniagaan antara para pihak yang berada di dua negara berbeda, yang secara garis besar dilakukan dalam bentuk ekspor dan impor. 12 Untuk menciptakan hubungan antarnegara di bidang perdagangan dan ekonomi yang berjalan baik, lancar dan saling menguntungkan guna tercapainya kesejahteraan, maka masyarakat internasional membentuk suatu rezim internasional, yaitu GATT pada 1947. Stephen Krasner mendefinisikan rezim internasional sebagai seperangkat prinsip, norma, peraturan serta prosedur pengambilan keputusan di mana harapan dari aktor yang terlibat di dalamnya terpusat pada isu tertentu.13
GATT hadir sebagai instrumen hukum dan persetujuan di bidang perdagangan internasional terkait penghapusan hambatan (trade barrier) dalam perdagangan internasional, untuk menyusun sebuah rezim ekonomi internasional yang bebas dan
12 Eddie Rinaldy, Denny Ikhlas & Ardha Utama, Perdagangan Internasional: Konsep &
Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2018, hal. 5.
13 Stephen Krasner, Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables, sebagaimana dikutip David Galbreath, International Regimes and Organizations dalam Issues in International Relations, UK: Routledge, 2008, hal. 123.
terbuka.14 Lahirnya GATT dilatarbelakangi oleh cita-cita masyarakat internasional untuk menciptakan iklim perdagangan yang memiliki sasaran untuk meningkatkan standar hidup, adanya jaminan atas lapangan kerja, meningkatkan penghasilan, adanya pemanfaatan secara penuh terhadap sumber daya yang ada di dunia, serta memperluas produksi dan pertukaran barang.15
Dari waktu ke waktu, ketentuan GATT terus disempurnakan melalui beberapa perundingan yang dikenal dengan istilah round atau putaran. Sebanyak delapan putaran perundingan telah diselesaikan. Putaran terakhir yang berhasil diselesaikan yaitu Uruguay Round yang dimulai di Uruguay pada 1986 dan diakhiri di Marakesh pada 1994 dengan menghasilkan sebuah kesepakatan berupa perjanjian pembentukan sebuah organisasi internasional WTO yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization.
Putaran atau round terakhir yang diselenggarakan oleh WTO adalah Putaran Doha, yang dimulai sejak November 2001 di Doha, Qatar. Melalui Putaran Doha WTO berupaya melahirkan suatu sistem perdagangan global yang adil dan berimbang (fair and market-oriented trading system), memberikan kesempatan serta akses lebih kepada negara berkembang dan fokus pada aspek pembangunan daripada perdagangan bebas (free trade).16 Melalui Putaran Doha, WTO menjadi forum negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah Doha Development Agreement
14 Gofar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, Jakarta: Djambatan, 2001, hal. 1
15 Lihat Preambule The General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
16 Husein Sawit, Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia, Analisis Kebijakan Pertanian Vol. 6 No. 3, 2008, hal. 201.
(DDA). Berbagai upaya telah dilakukan demi mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari Konferensi Tingkat Menteri di Cancún, Meksiko (2003), Hong Kong (2005), hingga perundingan Juli 2008 di Jenewa, Swiss tanpa membuahkan hasil. Namun Konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali pada 2013 berhasil melahirkan kesepakatan Bali Ministerial Declaration atau yang lebih dikenal dengan Bali Package. Pertemuan ini menghasilkan suatu rumusan perjanjian baru yaitu Trade Facilitation Agreement serta disepakatinya fleksibilitas dalam isu public stockholding for food security.17
Salah satu latar belakang pelaksanaan Uruguay Round adalah penurunan terhadap pentaatan GATT 1947 sebagai peraturan perjanjian internasional utama di bidang perdagangan internasional. Salah satu penyebab penurunan pentaatan terhadap GATT 1947 adalah lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa GATT 1947. Putusan penyelesaian sengketa GATT sering diabaikan oleh negara-negara peserta GATT, karena mekanisme penyelesaian sengketa GATT dianggap tidak kredibel, tidak memiliki kesatuan prosedur penyelesaian sengketa melainkan termuat dalam mekanisme yang terpisah-pisah dalam pasal-pasal yang berbeda.
Sehingga dalam hal ini negara-negara anggota sering megambil tindakan unilateral yang justru akan menghambat pencapaian tujuan utama GATT. Dibentuknya WTO telah melahirkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang berbasis pada pendekatan
17 Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI, Sekilas WTO, http://ditjenppi.kemendag.go.id/index.php/multilateral/tentang-wto/sekilas-wto, 2018, diakses pada 18 Mei 2020.
hukum (rule based approach) daripada power based approach yang terlihat lebih dominan pada sistem penyelesaian sengketa sebelumnya.
Organisasi internasional menurut Bowett D.W adalah sebuah organisasi permanen yang didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional yang kebanyakan merupakan perjanjian bilateral dengan disertai kriteria dan tujuan tertentu.18
WTO dibentuk pada 1 Januari 1995. Aturan-aturan GATT kini diintegrasikan ke dalam sistem WTO, yang tidak hanya meregulasi perdagangan barang, namun juga perdagangan jasa, perdagangan yang berkaitan dengan hak milik intelektual, dan aspek penanaman modal, yang terdapat dalam salah satu perjanjian yang merupakan annex perjanjian WTO yaitu Multilateral Agreement on Trade in Goods.19
WTO dilengkapi dengan beberapa organ, yaitu:20
1. Ministerial Conference, terdiri dari seluruh representatif negara-negara anggota. Organ ini kewenangan untuk mengambil keputusan atas persoalan yang diatur di dalam Multilateral Trade Agreements apabila dikehendaki oleh anggotanya sesuai dengan syarat khusus pengambilan keputusan.
18 DW. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal. 3.
19 Syahmin, Hukum Dagang Internasional: dalam Kerangka Studi Analitis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 12.
20 Lihat Pasal IV Agreement Establishing the World Trade Organization 1994.
2. General Council, terdiri dari representatif negara anggota yang akan melaksanakan tugas DSB sesuai dengan yang diatur dalam DSU.
3. Council for Trade in Goods, bertugas mengawasi pelaksanaan perjanjian Multilateral Trade Agreement.
4. Council for Trade in Service, bertugas mengawasi pelaksanaan General Agreement on Trade in Services.
5. Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS), bertugas mengawasi pelaksanaan perjanjian TRIPS.
GATT/WTO dalam mencapai tujuannya berpedoman pada prinsip-prinsip utama yang tercantum dalam perjanjian GATT. Dalam GATT, pendekatan yang diambil merupakan pendekatan yang pragmatis dengan memusatkan pada prinsip umum berupa kewajiban, yang juga didampingi dengan pengecualian21 yang sesungguhnya mengandung beberapa penyimpangan dari prinsip umum tersebut.
Adapun prinsip-prinsip dalam GATT adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Most-Favoured-Nation atau Nondiskriminasi
Prinsip most-favoured-nation atau MFN merupakan prinsip utama dalam GATT, yang menhendaki bahwa aktivitas perdagangan internasional harus terbebas dari kegiatan yang bersifat diskriminatif.22 Negara-negara anggota pada prinsipnya tunduk pada aturan yang sama,
21 H.S Kartadjoemena, Op. Cit., hal. 108.
22 Lihat Pasal I General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
yang secara skematis harus memberikan perlakuan yang sama ke negara lain seperti yang diberikan kepada negara ketiga.23
Namun dalam pelaksanaannya, terdapat pengecualian atas diterapkannya prinsip ini pada kasus-kasus tertentu. Misalnya saja terhadap negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan regional (regional trade arrangement) berupa Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi Pasal XXIV GATT, tidak diwajibkan untuk memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya.
Pengecualian lainnya terdapat pada Pasal XIX GATT yang merupakan sebuah kebijakan proteksi (safeguard rule). Pasal ini ditujukan untuk melindungi produsen domestik dan komoditas domestik yang kompetitif dari peningkatan kuantitas impor yang mengancam atau mengakibatkan kerugian serius (serious injury). Dalam hal ini, negara yang berada dalam keadaan darurat seperti ini bebas untuk menangguhkan kewajibannya sebagian atau seluruhnya, menarik kembali atau memodifikasi konsesinya.24
2. Prinsip National Treatment
Prinsip national treatment melarang negara untuk memberikan perlakuan yang berbeda terhadap produk yang diimpor dengan produk domestik. Prinsip ini termuat dalam Pasal III GATT dan Pasal 3
23 Suzy H. Nikiema, The Most-Favoured-Nation Clause in Investment Treaties, IISD Best Practices series, 2017, hal. 2.
24 Hata, Op. Cit., hal. 104.
Perjanjian TRIPS (The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan bagian dari WTO.
3. Larangan Restriksi Kuantitatif
Restriksi atau pembatasan terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun, misalnya penetapan kuota ekspor atau impor, penggunaan lisensi ekspor atau impor, pengawasan pembayaran komoditas ekspor atau impor, pada dasarnya dilarang berdasarkan Pasal IX GATT.25 Namun tetap ada pengecualian penerapan prinsip ini apabila dalam suatu hal negara berkembang menghadapi masalah terkait neraca pembayarannya. Pada Pasal XII, pengecualian yang diterapkan tidak diperbolehkan melewati jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah penurunan cadangan moneter dan memulihkan kembali neraca perdagangan negara tersebut.
4. Proteksi melalui Tarif
Prinsip ini mengizinkan adanya proteksi atas produk domestik melalui penaikan tingkat tarif bea masuk, namun tidak boleh melalui upaya atau hambatan perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures). Tujuan dari penerapan tarif ini adalah untuk memberikan transparansi atas hambatan perdagangan dan dampak distorsi akibat dari adanya kebijakan proteksi tersebut.26
5. Prinsip Resiprositas
25 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 113.
26 Kartadjoemena, Op. Cit., hal. 110.
Prinsip ini dapat ditemui pada pembukaan GATT paragraf ketiga yang berbunyi:27
“Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tariffs and other barriers to trade and to the elimination of discriminatory treatment in international commerce...”
Prinsip resiprositas merupakan prinsip timbal-balik, yang mewajibkan adanya konsesi seimbang dan saling menguntungkan antara dua negara yang melakukan aktivitas perdagangan internasional.
F. Metode Penelitian
Metodologi menurut Robert Bogdan & Steven J. merupakan suatu proses, kaidah, dan prosedur dengan melakukan pendekatan kepada rumusan masalah untuk memperoleh jawabannya, yang mana hal ini berlaku untuk bagaimana seseorang melakukan sebuah penelitian.28 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian hukum dikenal dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah suatu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
27 27
Pembukaan General Agreement on Tariffs and Trade 1994.
28 Robert Bogdan & Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research, sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2005, hal. 46.
pustaka atau data sekunder belaka.29 Penelitian yuridis normatif bertumpu pada inventarisasi hukum positif, asas dan doktrin hukum, perbandingan hukum, dll.30 Sedangkan pendekatan yuridis empiris metode penelitian yang menggunakan hasil observasi di lokasi penelitian sebagai sumber data penelitian.31
Adapun penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk meneliti dan mengkaji mekanisme penyelesaian sengketa DSB WTO dalam menyelesaikan sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa berdasarkan perangkat hukum terkait dan putusan panel DSB DS480.
2. Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan- bahan kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap 3 (tiga) sumber bahan hukum, yaitu:32
1. Bahan hukum primer (Primary resource atau authoritative records), yaitu: dokumen peraturan yang sifatnya mengikat terhadap masyarakat. Bahan hukum primer dalam tulisan ini mencakup berbagai perjanjian seperti Piagam PBB (United Nations Charter),
29 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001 hal. 13-14.
30 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 52.
31 Ibid., hal. 54.
32 Sri Mamudji dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hal. 9-10.
Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice Statute), Agreement of Establishing the Multilateral Trade Organization, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 (Anti- Dumping Agreement), putusan panel DSB DS480, Dispute Settlement Understanding (DSU), serta peraturan terkait seperti Commision Regulation (EU) No. 490/2013 tentang pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping sementara terhadap produk impor biodiesel yang berasal dari Argentina dan Indonesia (imposing a provisional anti- dumping duty on imports of biodiesel originating in Argentina and Indonesia) dan Council Implementing Regulation (EU) No.
1194/2013 19 November 2013 tentang pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping dan pemungutan Bea MAsuk Anti-Dumping Sementara terhadap produk biodiesel yang berasal dari Argentina dan Indonesia (imposing a definitive anti-dumping and collecting definitevely the provisional duty imposed on imports of biodiesel originating in Argentina and Indonesia).
2. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records), yaitu: yaitu bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer yang mencakup buku-buku ilmiah terkait, hasil penelitian, artikel, dll.
3. Bahan hukum tersier (tetiary resource), yaitu: bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, mencakup kamus hukum dan kamus bahasa, surat kabar, dll.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa secara sistematis referensi yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.
4. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Dalam menganalisis data digunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Metode pereduksian data, merupakan proses merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan pada hal yang penting serta membuang yang tidak perlu.33
2. Metode penyajian data, yaitu proses menyusun informasi-informasi yang telah didapatkan yang memberikan kemungkinan dilakukannya penarikan kesimpulan.34
33 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009, hal. 338.
3. Metode penarikan kesimpulan, merupakan tahap akhir penulisan di mana kesimpulan yang didapatkan bersifat kualitatif yang dituangkan dalam bentuk pernyataan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, penulisan skripsi ini diuraikan secara sistematis yang terbagi ke dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan, yaitu:
Bab I Pendahuluan
Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Internasional
Bab II akan menjelaskan konsep dasar penyelesaian sengketa internasional termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa perdagangan internasional secara damai. Bab ini memaparkan tentang definisi, pengaturan penyelesaian sengketa internasional menurut hukum internasional, prinsip, serta jenis-jenis penyelesaian sengketa internasional.
Bab III Sengketa Biodiesel antara Indonesia Dan Uni Eropa
34 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Jakarta: Erlangga, 2009, hal. 151.
Bab III membahas mengenai sengketa biodiesel antara Indonesia dengan Uni Eropa yang mencakup latar belakang sengketa, kerugian- kerugian yang dialami Indonesia, serta bagaimana kebijakan anti- duping menurut kerangka GATT-WTO
Bab IV Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Dispute Settlement Body World Trade Organization dalam Kasus Sengketa Biodiesel
antara Indonesia dengan Uni Eropa
Bab IV berisi tentang analisis penyelesaian sengketa biodiesel Indonesia dengan Uni Eropa melalui DSB WTO, mencakup mekanisme DSB sebagai lembaga penyelesaian sengketa, proses pengangkatan dan panel, serta hasil keputusan panel DSB terhadap sengketa ini.
Bab V Penutup
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang mencakup gagasan serta usulan atas permasalahan yang dibahas.
BAB II
TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Pada hakikatnya, kehidupan manusia dalam masyarakat internasional tidak terlepas dari dua faktor, yaitu adanya kerja sama antar negara dan hidup berdampingan dalam damai serta adanya perselisihan antar negara yang menimbulkan sengketa internasional. 35 Mahkamah Internasional Permanen mendefinisikan sengketa sebagai sebuah perselisihan terkait persoalan hukum atau fakta, terkait pertentangan atas pandangan hukum atau kepentingan antara dua orang.36 Pada dasarnya sebuah sengketa dikatakan sebagai sengketa internasional apabila sengketa tersebut didasarkan dan diajukan berdasarkan hukum internasional.37 Dalam hal ini, International Court of Justice atau Mahkamah Internasional dalam kasus Interpetation of Peace Treaties menjelaskan bahwa sengketa internasional merupakan suatu situasi di mana dua negara atau dua pihak memiliki pandangan yang bertentangan terkait dilaksanakan atau tidaknya kewajiban yang terdapat dalam suatu perjanjian.38 Penjelasan ini terdapat dalam
35 Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2006, hal. 1.
36 Permanent Court of International Justice, The Mavrommatis Palestine Concessions, Collection of Judgements, Leyden A.W. Sijthoff’s Publishing Company, 1924, hal. 11.
37 Anne Peters, International Dispute Settlement: A Network of Cooperational Duties, European Journal of International Law Vol. 14 No.1, 2003, hal. 3.
38 International Court of Justice, Interpretation of Peace Treaties with Bulgaria, Hungary and Romania, Reports of Judgements, Advisory Opinions and Orders of March 30th, 1950, hal. 74.
dalam kasus Interpetation of Peace Treaties yang selengkapnya dinayatakan sebagai berikut:39
“... whether there exists an international dispute is a matter for objective determination. There mere denial... There has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposite views concerning the question of the performance or non-performance of certain treaty obligations.
Confronted with such a situation, the Coourt must conclude that internatioal disputes have arisen.”
Dalam hukum internasional publik dikenal dua jenis sengketa internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes). Namun pada prinsipnya, belum ada kesepakatan universal terkait perbedaan dari dua istilah tersebut. Bisa atau tidaknya suatu sengketa diajukan dan diselesaikan melalui pengadilan internasional kerap menjadi tolok ukur suatu sengketa diklasifikasikan sebagai sengketa hukum atau tidak. Pandangan ini dinilai sulit diterima karena sengketa internasioal secara teoritis pada dasarnya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional yang akan berpegang pada prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) dalam memutus dan menyelesaikan sengketa.40
Banyak sengketa yang dapat diajukan ke Mahkamah Internasional, namun pihak yang bersengketa enggan untuk mengajukannya. Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional menjelaskan bahwa mahkamah memiliki kewenangan terbatas.
Kewenangan dalam mengadili dan menyelesaikan sengketa internasional tersebut
39 Ibid.
40 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 3.
bergantung pada kehendak negara yang bersengketa untuk menyerahkan sengketanya ke Mahkamah Internasional. Sehingga, apabila pihak atau negara yang bersengketa tidak mengajukan sengketanya, Mahkamah Internasional menjadi tidak memiliki kewenangan.
Menurut Sir Humprey Waldock, suatu sengketa dinyatakan sebagai sengketa hukum atau politik ditentukan sepenuhnya oleh bagaimana para pihak yang bersangkutan memandang sengketa tersebut. Apabila para pihak menentukan sengketa sebagai sengketa hukum, maka sengketa tersebut merupakan sengketa hukum. Namun apabila sengketa tersebut menurut para pihak memerlukan sebuah patokan khusus yang tidak terdapat dalam hukum internasional, maka sengketa tersebut diklasifikasikan sebagai sengketa politik.41
Sedangkan Boer Mauna membedakan sengketa politik dan hukum menurut tuntutannya.42 Sengketa hukum merupakan sengketa yang tuntutannya didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional. Sedangkan sengketa politik merupakan sengketa yang tuntutannya didasarkan pada pertimbangan non-yuridis, misalnya kepentingan politik atau kepentingan nasional lainnya.
41 Ibid., hal. 5.
42 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, 2005, hal. 195-196.
Secara umum, dalam menyelesaikan sengketa internasional dapat digolongkan dalam dua metode yaitu:43
1. Cara penyelesaian sengketa secara damai, yaitu di mana para pihak terlibat telah menyepakati untuk menemukan suatu penyelesaian yang bersahabat; dan
2. Cara penyelesaian sengketa secara paksa atau dengan jalan kekerasan dan perang.
Dalam masyarakat internasional, kegagalan dalam menyelesaikan sengketa telah memunculkan konflik dan perang. Memberikan suatu penyelesaian alternatif yang efektif selain perang untuk menyelesaikan sengketa demi memelihara perdamaian dan keamanan internasional merupakan tujuan utama dari hukum internasional. Hal ini pula yang menjadi dasar tujuan dibalik pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1919 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945.
Piagam PBB dalam Pasal 2 ayat (3) mengharuskan setiap sengketa internasional untuk diselesaikan secara damai. Perintah untuk menempuh penyelesaian sengketa secara damai juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi:44
“All members shall refrain in their international relations from the threat and the use of force against the terriorial intergrity and political independence of
43 J.G Starke, Introduction to International Law, 10th edition, London: Butterworths, 1989, hal. 485.
44 Piagam PBB 1945.
any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”
Pasal ini menyatakan bahwa negara dalam hubungan internasional harus menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain yang bertentangan dengan Tujuan PBB.
Sebelumnya, masyarakat internasional telah membuat berbagai instrumen internasional dengan maksud untuk mengatur cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara damai. Instrumen pertama mengenai penyelesaian sengketa secara damai adalah the Convention on the Pacific Settlement of International Dispute tahun 1899, yang lahir dari Konferensi Perdamaian Den Haag (the Hague Peace Conference) 1899 dan direvisi dengan Konferensi Perdamaian Den Haag kedua pada 1907. Konferensi ini memberikan sumbangan penting berupa instrumen hukum terkait penyelesaian sengketa internasional secara damai. Berdasarkan konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Den Haag negara-negara anggota berupaya untuk menggunakan segala upaya guna menyelesaikan sengketa internasional secara damai.
Lahirnya Convention on the Pacific Settlement of International Dispute kemudian diikuti oleh disahkannya beberapa konvensi mengenai penyelesaian sengketa internasional, seperti:45
45 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Op.Cit., hal. 9.
1. The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations tahun 1919;
2. The Statue of the Permanent Court of international Justice (Statuta Mahkamah Internasional Permanent) tahun 1921;
3. The General Treaty for the Renunciation of War tahun 1928;
4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1928;
5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945;
6. Deklarasi Bandung (Bandung Declaration) tahun 1955;
7. The Declaration of the United Nations on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of the United Nations pada 24 Oktober 1970; dan
8. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States pada 15 November 1982.
Namun konvensi-konvensi tersebut tetap tidak memberikan suatu kewajiban mutlak kepada negara anggota untuk menyelesaikan sengketa secara damai, melainkan hanya bersifat rekomendatif. Kewajiban minimum untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai yang ditetapkan kepada seluruh anggota PBB bukan berarti mengikat secara mutlak. Hal ini disebabkan karena negara sebagai subjek hukum internasional dengan kedaulatan penuh tetap meiliki kewenangan
mutlak untuk menentukan metode penyelesaian sengketanya sendiri dengan tetap tunduk pada kesepakatan negara lain yang bersangkutan.46
Dalam istilah sengketa internasional bukan hanya mencakup sengketa antara satu negara dengan negara lain, melainkan juga sengketa lain yang berada dalam lingkup pengaturan hukum internasional yang melibatkan negara dengan individu, badan korporasi serta badan bukan negara lainnya.47
B. Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa internasional diterapkan beberapa prinsip. Prinsip penyelesaian sengketa secara damai telah ditegaskan kembali di dalam beberapa Resolusi Majelis Umum PBB, termasuk diantaranya adalah General Assembly Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations (Deklarasi MU-PBB mengenai Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan-hubungan Bersahabat dan Kerjasama di antara Negara-negara sesuai dengan Piagam PBB) dan Manila Declaration on the Peaceful Settlement of International Disputes (Deklarasi Manila mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai).
46 Ibid., hal. 11.
47 J. G. Starke, Loc.Cit.
Prinsip-prisip penyelesaian sengketa internasional memiliki keterkaitan dengan prinsip hukum internasional tertentu lain. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsip Itikad baik merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip ini terdapat dalam Bagian I ayat 1 Deklarasi Manila yang mewajibkan semua negara untuk bertindak dengan itikad baik yang sesuai dengan tujuan dan prinsip dari Piagam PBB guna menghindari sengketa antara negara-negara yang bersangkutan, yang dapat mempengaruhi hubungan persahabatan antara negara-negara tersebut. Penerapan prinsip itikad baik juga dapat ditemui pada ayat 11, di mana negara harus menerapkan prinsip itikad baik sesuai dengan hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa.
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan (Principle of non-use of force in international relations)
Keterkaitan antara prinsip larangan penggunaan kekerasan dengan prinsip penyelesaian sengketa internasional selain disebutkan dalam Pasal 2 Piagam PBB, juga terdapat dalam paragraf keempat pembukaan Deklarasi Manila dan dalam ayat 13 yang menjelaskan bahwa penggunaan kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan dapat
diperbolehkan sebagai cara penyelesaian sengketa atau karena adanya kegagalan prosedur penyelesaian sengketa secara damai.48
3. Prinsip Kebebasan Memilih Metode Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pihak yang bersengketa untuk menentukan dan memilih sendiri metode atau mekanisme penyelesaian sengketanya. Prinsip ini termuat di dalam Pasal 33 Piagam PBB serta Bagian I ayat 3 dan 10 Deklarasi Manila. Ayat 3 Deklarasi Manila menyatakan sebagai berikut:
“International disputes shall be settled on the basis of the sovereign equality of States and in accordance with the principle of free choice of means in conformity with obligations under the Charter of the United Nations and with the principles of justice and international law.”
Menurut ayat ini, sengketa internasional harus diselesaikan berdasarkan kesetaraan kedaulatan negara dan sesuai dengan prinsip kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa sesuai dengan kewajiban yang terdapat dalam Piagam PBB serta dengan prinsip keadilan dan hukum internasional.
4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip ini memberikan kebebasan kepada pihak yang bersengketa untuk menentukan sendiri pilihan hukum yang akan menjadi dasar dalam menyelesaikan sengketa oleh badan peradilan (arbitrase). Kebebasan
48 United Nations, Handbook on the Peaceful Settlement of Disputes between States, New York: United Nations Publications, 1992, hal. 4
untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan ini termasuk pula kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono) sesuai dengan yang tertera pada Pasal 38 ayat 2 Statuta Mahkamah Internasional.49
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip ini pada awalnya lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa prosedur penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh sebelum mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional.
Prinsip ini juga terdapat dalam paragraf kesepeluh pembukaan Deklarasi Manila yang berbunyi sebagai berikut:
“...Mindful of existing international instruments as well as respective principles and rules concerning the peaceful settlement of international disputes, including the exhaustion of local remedies whenever applicable...”
Deklarasi Manila ini juga menghendaki penerapan hukum nasional terkait langkah-langkah penyelesaian sengketa internasional.
6. Prinsip Hukum Internasional Mengenai Kedaulatan, Kemerdakaan dan Integritas Wilayah Negara
49 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.Cit., hal. 197.
Prinsip ini terdapat dalam Bagian I ayat 4 Deklarasi Manila menyatakan sebagai berikut:
“States parties to a dispute shall continue to observe in their mutual relations their obligations under the fundamental principles of international law concerning the sovereignty, independence and territorial integrity of States, as well as other generally recognized principles and rules of contemporary international law.”
Deklarasi Manila melalui ayat ini mengharuskan negara-negara sebagai pihhak yang bersengketa untuk terus mematuhi dan melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum internasional terkait kedaulatan, kemerdekaan dan integritas teritorial negara serta prinsip dan aturan dalam berhubungan dengan negara lain.
Selain itu, Office of Legal Affairs PBB juga memuat beberapa prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu: (1) prinsip larangan intervensi terhadap masalah dalam maupun luar negeri negara yang bersangkutan;
(2) prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri; (3) prinsip persamaan kedaulatan negara; (4) prinsip kemerdekaan dan hukum internasional yang merupakan manifestasi lebih lanjut atas prinsip hukum internasional mengenai kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah negara.50
50 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Op.Cit., hal. 18.
C. Forum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Penyelesaian sengketa secara damai menurut Pasal 33 Piagam PBB diklasifikasikan ke dalam dua cara yaitu: (1) penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara diplomatik (diplomatic-political means) berupa negosiasi, penyelidikan fakta (enquiry), mediasi dan konsiliasi; dan (2) penyelesaian sengketa secara hukum melalui pengadilan atau arbitrase (adjudicational-legal means).
Perbedaan ini didasarkan pada sifat final dan mengikatnya proses serta hasil keputusan sengketa. Cara penyelesaian secara diplomatik berupaya untuk menyesuaikan kepentingan pihak yang bersengketa dan hasil dari keputusannya tidak mengikat. Sedangkan penyelesaian secara hukum melalui pengadilan atau arbitrase menerapkan hukum internasional yang menghasilkan keputusan yang mengikat (legal and binding) di mana hasil keputusan tersebut tidak dapat dihindari oleh satu pihak.51
Sedangkan menurut Collier. J., metode penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu secara diplomatik, ajudikatif melalui badan arbitrase atau pengadilan dan melalui lembaga seperti PBB atau organisasi regional.52
1. Penyelesaian Sengketa Secara Diplomatik 1.1 Negosiasi
51 Anne Peters, Op.Cit., hal. 4.
52 Abdualla Mohamed dan Miomir Todorovic, Peaceful Settlement of Disputes, Global Journal of Commerce & Management Perspective, 2017, hal. 11.
Negosiasi merupakan metode penyelesaian sengketa secara diplomatik yang sederhana dan salah satu yang tertua dan paling banyak digunakan.53 Negosiasi merupakan perundingan yang diadakan langsung secara bilateral antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa memerlukan intervensi dari pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa untuk mencapai hasil yang menguntungkan. Hasil yang menguntungkan ini dapat berupa hasil yang menguntungkan bagi seluruh pihak yang terlibat, atau hanya satu atau beberapa pihak saja. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan maksud atau tujuan yang bertentangan, untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak baik secara individual maupun kolektif, atau untuk mencapai hasil yang dapat memenuhi berbagai kepentingan dari para pihak.54
Namun negosiasi memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah:
(1) ketimpangan kedudukan antara para pihak yang menempatkan pihak yang lebih lemah dalam posisi yang rentan untuk ditekan oleh pihak lainnya; (2) proses yang memakan waktu yang relatif lama; serta (3) salah satu pihak yang kontraproduktif karena terlalu keras dengan pendiriannya.55 1.2 Penyelidikan Fakta (Enquiry)
Salah satu kendala umum yang mencegah penyelesaian sengketa internasional melalui negosiasi adalah sulitnya memastikan fakta-fakta yang
53 Gheorghe PINTEALĂ, The Peaceful Settlement of International Disputes, Quaestus Multidisciplinary Research Journal, hal 97.
54 Abdualla Mohamed dan Miomir Todorovic, Op.Cit., hal. 12.
55 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Op.Cit., hal 203.