• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harga diri dan agresif PDF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Harga diri dan agresif PDF"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara dalam menata dan mengatur sistem pemerintahannya pasti

mempunyai cita-cita yang ingin dicapai. Negara Indonesia mempunyai tujuan

seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

khususnya alinea IV yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka sehubungan dengan

adanya kondisi ketentraman dan ketertiban, perlu diadakan pembinaan terhadap

ketentraman dan ketertiban di daerah secara terencana dan terpadu. Dalam

penanggulangan ancaman gangguan ketentraman dan ketertiban diterapkan suatu

sistem pembinaan ketentraman dan ketertiban menurut pola-pola tertentu, baik

melalui usaha-usaha masyarakat maupun pemerintah melalui pendekatan

prosperity (Kemakmuran) dan security (keamanan) (Noor, 2007) .

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2010 (PP No.

6/2010) menyatakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) adalah bagian

perangkat daerah dalam penegakan peraturan daerah, penyelenggaraan ketertiban

umum dan ketenteraman masyarakat.

Satpol PP pertama kali dibentuk di Yogyakarta pada 3 Maret 1950 dengan

(2)

kemerdekaan yang belum menentu. Satuan yang terpisah dari kepolisian ini

dibentuk sebagai bagian perangkat pemerintah daerah (Pemda) dalam

menegakkan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum serta

ketenteraman masyaraka. Dalam berbagai upayanya 'menertibkan wilayah' Pemda

biasanya mengerahkan Satpol PP untuk menutup lokasi usaha, mengusir pedagang

kaki lima, dan menggusur masyarakat yang dianggap tinggal di tanah milik

Pemda. Sebagai senjata Satpol PP dilengkapi pentungan dan pisau, namun untuk

kegiatan seperti penggusuran, pasukan ini seringkali dilengkapi pula alat berat

(BBC Indonesia, 15 April 2010).

Pelaksanaan penertiban wilayah yang dilaksanakan satpol PP tak jarang

menimbulkan berbagai aksi bentrok antara masyarakat dengan petugas satpol PP.

Kasus yang baru-baru ini terjadi saat Petugas Satpol PP berupaya membongkar

makam Mbah Priok pada 14 April 2010 di Koja, Jakarta Utara yang

mengakibatkan bentrok hingga tercatat menewaskan tiga orang anggota Satpol PP

dan ratusan korban luka dari pihak masyarakat dan aparat yang pada saat kejadian

disebutkan Satpol PP memukuli anak-anak dan juga wanita (Detiknews, 17

Oktober 2010).

Kasus bentrok lainnya, antara masyarakat dengan petugas Satpol PP juga

banyak terjadi di daerah Medan. Misalnya, kutipan berita berikut yang

menguraikan kasus kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP saat menertibkan

pedagang kaki lima di Binjai.

(3)

Kutipan berita berikut juga menguraikan bentrok yang terjadi antara satpol PP

dengan masyarakat saat penertiban pedagang kaki lima di Pasar Marelan, Medan.

“...puluhan pedagang kaki lima terlibat bentrok dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Medan, pada Selasa (05/01/2010). Akibat bentrokan tersebut, tiga orang pedagang kaki lima pasar Marelan luka-luka dipukul oknum Satpol PP kota Medan. Ketiga korban yakni Sena, Ros, dan Fuji. Tidak hanya pedagang, Kepala Lingkungan bernama Seno, tak luput menjadi korban pemukulan oknum Satpol PP Kota Medan. Dalam aksi penggusuran ini, sempat terjadi adu mulut hingga berujung saling lempar jeruk dari sejumlah pedagang yang lapaknya tak ingin digusur. Aksi tersebut, memancing amarah petugas Satpol PP untuk mengambil tindakan tegas. Tiga orang menderita luka-luka akibat kena pukul petugas satpol PP. Pedagang menilai, penertiban itu dilakukan tanpa alasan yang jelas, mengingat Pemko Medan tidak memberikan solusi atas pembongkaran lapak pedagang dikawasan itu...”

(Ekspos News, 05 Januari 2010)

Maraknya aksi bentrok antar Satpol PP dengan masyarakat yang dikenai

penertiban, juga diakui oleh salah seorang anggota Satpol PP melalui wawancara

dengan peneliti.

“…kalau bentrok ya memang sering sekali terjadi, itu karena warganya bandel, dan mereka sering yang mulai, kita dilempari batu, malah dikeroyok, kami kan juga manusia biasa, kalau mendapat perlakuan buruk ya kami nyoba pertahanin diri…..” (komunikasi personal, 12 November 2010)

Kekerasan fisik yang dilakukan satpol PP terhadap masyarakat saat

menjalankan tugas dalam kasus-kasus tersebut dapat digolongkan sebagai perilaku

agresif. Hal ini merujuk pada definisi agresi Barbara krahe (2005) yang

menyatakan agresi disajikan berdasarkan fokusnya terhadap tiga aspek yaitu,

(4)

keinginan orang yang menjadi sasaran agresi untuk menghindari stimulus yang

merugikan itu. Kemudian juga didukung oleh definisi agresi Robert A. Baron

(2003) yaitu tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau

mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku

tersebut.

Perilaku agresif Satpol PP terhadap masyarakat yang dikenai penertiban

adalah perilaku agresif kolektif, karena terjadi dalam situasi kelompok massa,

dimana menurut Krahe (2005), perilaku kolektif mencakup berbagai macam

bentuk perilaku yang dilakukan kelompok atau individu sebagai bagian kelompok.

Selanjutnya menurut Hewstone dan Stroebe (2001) perilaku kolektif adalah

perilaku yang dilakukan secara serentak oleh sejumlah besar orang, kelompok

atau massa, baik yang terjadi secara spontan maupun yang terencana.

Beberapa teori massa menjelaskan adanya keseragaman aksi pada

individu-individu didalam kelompok massa. Misalnya Gustave Le Bon (dalam

Forsyth, 1990) yang menyatakan individu-individu didalam massa akan bereaksi

diarahkan oleh single collective mind/ group mind. Le Bon menyatakan

bagaimanapun individu-individu yang berada dalam massa, apapun pekerjaannya,

karakteristiknya, inteligensinya, mereka akan bereaksi mengikuti pemikiran

kelompok dan menghasilkan perilaku yang berbeda dengan perilaku saat mereka

terpisah dari kelompok. Menurut Le Bon adanya efek contagion yang

menyebarkan emosi dan perilaku dari satu kepala ke lainnya, sehingga

(5)

Selanjutnya teori emergent norm Ralph turner and lewis killian (dalam Forsyth, 1990) yang menyatakan adanya keseragaman aksi individu dalam massa,

dimana mereka menyatakan massa, kerumunan, dan kelompok lainnya terlihat

bersatu dalam emosi dan aksi karena anggotanya mematuhi norma yang relevan

dalam situasi tersebut. Karena norma ini muncul dalam situasi kelompok, ini

menghasilkan pengaruh yang besar terhadap perilaku.

Dalam kasus bentrok yang terjadi antar Satpol PP dengan masyarakat yang

dikenai penertiban sendiri, terlihat adanya perbedaan individu yakni tidak semua

petugas satpol PP bereaksi sama saat terjadi bentrok antar Satpol PP dengan

masyarakat yang dikenai penertiban, beberapa menunjukan reaksi agresi, namun

ada juga yang tidak. hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan salah satu

petugas satpol PP.

“………..kalau daerah tempat penertiban itu diketahui rawan, biasanya sampai seratus petugas diturunkan, ...kalau terjadi bentrok itu ya karena lihat kawan diserang gitu kan, ya ikut nolong juga, tapi kan tidak semua juga terlibat pemukulan, ya ada juga yang melerai itu……” (komunikasi personal, 12 Oktober 2010)

Kemudian melalui observasi video berita televisi yang menayangkan aksi

bentrok masyarakat dengan satpol PP saat penggusuran makam mbah priok,

terlihat ternyata hanya sebagian satpol PP yang terlihat brutal memukuli

masyarakat, tampak juga beberapa yang menahan teman-temannya agar berhenti

memukuli. Disini peneliti melihat ternyata terdapat perbedaan aksi pada

individu-individu dalam massa pada kasus ini. Artinya dalam kasus ini peneliti melihat

(6)

terhadap masyarakat saat melakukan penertiban, faktor individual yang

menyebabkan adanya perbedaan individu dalam perilaku agresif.

Membicarakan individualitas dalam kelompok massa bukanlah suatu hal

yang tidak mungkin, merujuk pada teori individualistic tradition oleh Floy Allport

(dalam Hogg, 2001) yang menyatakan:

“There is no psychology of groups which is not essentially and entirely a psychology of individual” (Allport, 1924 : p.4)

Kemudian, dalam kaiatannya terhadap aksi kolektif, Alport (dalam Hogg, 2001)

menyatakan:

“The individual in the crowd behaves just as he would behave alone only more so” (Allport, 1924 : p.295)

Alport (dalam Hogg, 2001) menolak istilah group mind yang dinyatakan

oleh Le Bon, menurutnya fikiran yang terpisah dari jiwa individu memiliki arti

yang abstrak.

Tokoh lain yang mendukung konsep individualitas dalam crowd adalah

the logic of collective action oleh Olson (dalam Hogg, 2001). Olson berpendapat bahwa didalam massa, anggota-angggotanya beraksi dengan tujuan meningkatkan

keuntungan individual hanya saja dibawah kondisi kelompok. Pendekatan lain

yang konsisten dengan pendekatan ini adalah model rational calculus oleh

Richard Berk (dalam Hogg, 2001). Dimana ia menyatakan aksi massa melibatkan

5 tahapan. Pertama, anggota massa mencari informasi, kedua, mereka

menggunakan informasi ini untuk memprediksi kejadian yang mungkin, ketiga,

(7)

membentuk urutan kemungkinan hasil dari aksi alternatif, serta yang kelima

mereka memutuskan aksi yang paling meminimalisir kerugian dan meningkatkan

keuntungan. Selanjutnya Berk (dalam Hogg, 2001) menyatakan efek dari massa

adalah mengubah perilaku dengan tetap mempertahankan standart individual dan

kecendrungan perilaku dasar.

Berdasarkan uraian diatas, maka disini peneliti ingin melihat faktor-faktor

individual yang berperan dalam perilaku agresif Satpol PP, faktor individual yang

menyebabkan adanya perbedaan individu dalam perilaku agresif, disini peneliti

mengabaikan faktor situasional dengan asumsi bahwa ketika terjadi perilaku

agresif dalam pelaksanaan penertiban, anggota satpol PP berada dalam situasi

yang sama.

Berkaitan dengan pemahaman terhadap perbedaan individu dalam perilaku

agresif, terdapat 6 aspek kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam

agresi yaitu, iritabilitas, Kerentanan emosional, pikiran kacau versus perenungan,

kontrol diri, harga diri serta gaya atribusi bermusuhan (Krahe, 2005).

Iritabilitas, kerentanan emosional, dan pikiran Kacau vs perenungan adalah

konsep kepribadian yang mempengaruhi perilaku agresif yang dikemukan oleh

Caprara (dalam Krahe, 2005), dimana Caprara menyatakan definisi iritabilitas

mengacu pada kecendrungan untuk bereaksi secara impulsif, kontroversial, atau

kasar terhadap provokasi atau sikap tidak setuju yang bahkan paling ringan

sekalipun. Selanjutnya kerentanan emosional didefinisikan sebagai kecendrungan

individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa, tidak adekuat dan

(8)

mana seseorang yang mendapatkan stimulus agresi langsung menanggapi secara

negatif atau mampu memikirkan pengalaman tersebut.

Menurut Caprara (dalam Geen & Doneirstein, 1998) beberapa studi

eksperimental menunjukan bahwa efek utama dari agresi terhadap ketiga aspek

kepribadian ini yakni iritabilitas, kerentanan emosianal, dan pikiran kacau versus

perenungan, sejajar dengan efek utama dari frustasi seperti kegagalan tugas. Studi

yang menunjukan kaitan antara variabel-variabel ini dengan agresi menimbulkan

pernyataan bahwa status mereka hanya sebagai variabel moderator yakni menjadi

aspek penyebab agresi secara tak langsung.

Aspek kepribadian selanjutnya menurut Krahe (2005) yang relevan untuk

memahami perbedaan individu dalam agresi adalah kontrol diri. Kontrol diri

menurut Krahe (2005) mengacu pada hambatan internal yang seharusnya

mencegah keterlepasan kecendrungan respon agresif.

Tokoh lain yang menjelaskan kaitan kontrol diri dengan perilaku agresif

adalah Gottfredson dan Hirschi (dalam Miller, 2009) yang menyatakan level yang

rendah pada kontrol diri adalah penyebab dari kriminalitas, kenakalan remaja,

agresi, dan tindakan-tindakan sejenis lainnya. Selanjutnya Baumeister & Boden

(dalam Geen & Donnerstein, 1998) juga menyatakan lemahnya kontrol diri

menjadi penyebab yang sangat dekat dengan perilaku kekerasan dan agresi yang

terjadi secara spontan. Kemudian Miller (2005) menyatakan kegagalan dalam

kontrol diri merupakan penyebab penting dari agresi.

Krahe (2005) selanjutnya juga menyatakan bahwa harga diri (self esteem)

(9)

dalam agresi. Harga diri Menurut Coopersmith (1981) adalah evaluasi yang dibuat

oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan

dalam suatu bentuk sikap dan menunjukan tingkat dimana individu meyakini

dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Secara tradisional diasumsikan bahwa rendahnya harga diri akan memicu

perilaku agresif, yakni bahwa perasaan negatif mengenai diri sendiri membuat

orang lebih berkemungkinan menyerang orang lain. Menurut Krahe (2005)

sebagian peneliti mendukung konsepsi ini, namun Baumeister dan Boden (dalam

Krahe, 2005) menyatakan bahwa individu-individu dengan harga diri yang

tinggilah yang lebih rentan terhadap perilaku agresif, terutama saat stimulus agresi

berupa umpan balik negatif yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap harga

diri mereka yang tinggi.

Aspek kepribadian terakhir yang dijelaskan krahe (2005) sebagai faktor

yang mempengaruhi perbedaan individu dalam agresi adalah gaya atribusi

bermusuhan (hostile atributional style). Gaya atribusi bermusuhan sendiri

menurut Krahe (2005) mengacu pada kecendrungan kebiasaan seseorang untuk

menginterpretasi stimulus ambigu secara agresif. Variabel ini merupakan

satu-satunya yang ditemukan peneliti sebagai aspek kepribadian yang juga dinyatakan

tokoh lain sebagai faktor kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam

agresi. Seperti Baron (2003) yang menyatakan 4 faktor personal yang menjelaskan

perbedaan individu dalam agresi, yaitu tipe kepribadian A dan B, Narcissism,

(10)

menyatakan ada 3 faktor dari dalam diri yang menyebabkan agresi, yaitu frustasi,

mood yang tidak baik, dan gaya atribusi bermusuhan.

Aspek-aspek kepribadian yang menjelaskan perbedaan individu dalam

agresi dan kasus agresi satpol PP dilapangan yang menunjukan adanya perbedaan

anggota dalam bereaksi agresif dimana sebagian terlibat agresi namun ada juga

yang tidak menimbulkan pertanyaan penelitian adakah peran faktor-faktor

kepribadian yang telah disebutkan Krahe terhadap perilaku agresif satpol PP saat

melakukan penertiban. 3 faktor kepribadian yakni kontrol diri, harga diri dan gaya

atribusi bermusuhan telah dijelaskan sebagai faktor yang paling dekat sebagai

penyebab agresi. Sementara 3 faktor lainnya yakni iritabilitas, kerentanan

emosional, dan pikiran yang kacau versus perenungan dijelaskan hanya sebagai

variabel moderator yang tidak secara langsung menyebabkan agresi. Maka disini

peneliti ingin melihat bagaimana peran ketiga aspek kepribadian yaitu kontrol diri,

harga diri dan gaya atribusi bermusuhan dalam menyebabkan perilaku agresif

(11)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah: ”Adakah peran kontrol diri, harga diri

dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk

melihat peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap

perilaku agresif petugas Satpol PP.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa

manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi sosial,

mengenai adakah peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi

bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP

b. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar

pengetahuan bagi peneliti lain yang juga ingin meneliti mengenai

peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi bermusuhan

(12)

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai wacana bagi setiap mahasiswa maupun masyarakat luas

mengenai peran peran kontrol diri, harga diri dan gaya atribusi

bermusuhan terhadap perilaku agresif petugas Satpol PP?”

b. Sebagai masukan bagi pemerintah, sehingga dapat meminimalisir

kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan Satpol PP

dalam melaksanakan tugas.

c. Bagi peneliti untuk lebih mengetahui peran peran kontrol diri,

harga diri dan gaya atribusi bermusuhan terhadap perilaku agresif

petugas Satpol PP.

d. Bagi peneliti lain dapat dijadikan referensi dalam melakukan kajian

atau penelitian dengan pokok permasalahan yang sama serta

sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan

(13)

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan teori yang mendasari masalah yang menjadi variabel

dalam penelitian. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai Satpol

PP, perilaku kolektif, perilaku agresif, Kontrol diri, Harga diri, dan gaya

atribusi bermusuhan.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi

operasional, Subjek penelitian dan metode pengambilan sampel, alat ukur

yang digunakan, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan, dan metode

analisa data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini memuat hasil analisa data penelitian, berisi tentang gambaran

subjek penelitian, gambaran variabel penelitian dan hasil penelitian utama

serta ditutup dengan pembahasan berdasarkan teori.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian, Kemudian berdasarkan

kesimpulan dan pembahasan akan diajukan saran metodologis serta

Referensi

Dokumen terkait

Ketika telah diketahui persyaratannya maka akan dapat diidentifikasi metode tepat yang bisa digunakan untuk dapat memperoleh calon pelamar yang sesuai dengan kebutuhan..

Dari beberapa pengertian biaya modal di atas, dapat simpulkan bahwa biaya modal merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh suatu perusahaan untuk memperoleh

Menampilkan informasi tentang berita-berita yang berhubungan dengan produk-produk industri, pilihan menu-menu yang terdiri dari sentra industri, toko-toko sentra,

Apakah jenis bahan yang sesuai digunakan untuk meminyakkan bahagian gear dan pengetuk dalam loceng basikal.. A Minyak tanah B Minyak pelincir C

Leudeking-piret model was used to study the product formation kinetics for the production of ethanol and the model parameters were evaluated using experimental data. Keywords:

Pengolahan sampah organik menjadi liquid smoke juga memberikan manfaat, antara lain: menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), mengurangi penimbunan sampah, dapat

Tidak ada yang lebih berarti dalam iman Kristen yang sehat selain pengertian orang percaya yang benar, tepat dan menyeluruh mengenai konsep “anugerah”. Mengikut Yesus pasti

Dalam situasi ini, biasanya orang yang menjadi subjek kelima akan memberikan jawaban yang keliru, setuju dengan jawaban yang lain meskipun mengetahui bahwa jawaban itu salah Tentu