Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012
Etnik Toraja Sa’dan
Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan
Kabupaten Toraja Utara,
Provinsi Sulawesi Selatan
Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Toraja Sa’dan
Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan
Penulis : 1. Weny Lestari 2. Maratu Soleha 3. Ismail Ibrahim 4. Ruwaedah 5. Betty Roosihermiatie Editor : 1. Betty Roosihermiatie
Disain sampul : Agung Dwi Laksono
Setting dan layout isi : Sutopo (Kanisius)
Indah Sri Utami (Kanisius)
Erni Setiyowati (Kanisius)
ISBN : 978-602-235-231-0
Katalog :
No. Publikasi :
Ukuran Buku : 155 x 235 Diterbitkan oleh :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Dicetak oleh : Percetakan Kanisius
Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi
Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut:
Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese
hatan Kemkes RI
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Sekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKes
Anggota Mardiyah SE, MM
Drie Subianto, SE Mabaroch, SSos
Ketua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes
Anggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA
Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHM Ketua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSi
Anggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi
Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum
Drs. FX Sri Sadewo, MSi
Koordinator wilayah
1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,
MScPH
2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,
MSPH, PhD
3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,
MKes
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila
kukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di
Indo nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.
Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous know ledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masingmasing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna me nyingkap kembali dan menggali nilainilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.
Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih
penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Desember 2012 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI
SAMBUTAN
Kepala Badan Litbang Kesehatan
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk
-rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis
ilmiah.
Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian
masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai
target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan,
sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktorfaktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.
Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak
-sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masingmasing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema
-hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai
dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.
tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes.
Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.
Jakarta, Desember 2012 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya buku Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak
2012 Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan bisa diselesaikan.
Buku ini adalah hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka riset khusus budaya untuk menggali kearifan lokal yang mendukung penurunan AKI/
AKB di Indonesia, khususnya di Kabupaten Toraja Utara.
Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak sejak awal penelitian sampai penulisan buku ini, sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan buku ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
kepada
1. Kepala Badan Litbangkes, Kemenkes RI;
2. Kepala PHK2PM Badan Litbangkes, Kemenkes RI; 3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan;
4. Kepala Subbidang KIA, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan;
5. Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar;
6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara beserta seluruh
staf;
7. Sekretaris Daerah Kabupaten Toraja Utara;
8. Kepala Puskesmas Sa’dan Malimbong dan seluruh jajarannya; 9. Camat Kecamatan Sa’dan;
10. Lurah Kelurahan Sa’dan Malimbong;
11. Bidan Ineften M. dan para bidan di wilayah kerja Puskesmas Sa’dan Malimbong;
12. Warga masyarakat di lingkungan To’ Barana (Ma’ Ari, Ma’ Bimo, Ne’ Eppi, Ne’ Bualolo, Ne’ Pang, Ne’ Pika, Ne’ Ratti, Po’ Davita, Ne’ Aran, Ma’ Sondana, Ma’ Sabi, Ma’ Roni, Ma’ Dana, Ma’ Anggi, Po’ Rai, Pak Pendeta M.T. Sallubonga, Pak Tasman, Uci,
Sang Kombong (Ne’ Ita, Ma’ Vista, Ne’ Jaya, Appi, Ibu Berti, dan lainlain), Tangge (Po’ dan Ma’ Nita, Ne’ Esra, Ne’ Diana, Ma’ Suadal, Rida, dan lainlain), Minanga (Po’ dan Ma’ Windi, Po’ dan Njo’ Rain, Njo’ Roi, Njo’ Kandillo, Po’ dan Ma’ Tollin, Ma’ Reval, Kristi, Windi, Ella, Febri, Fitra, dan lainlain), Matallo (Ibu Isna dan keluarga, Ne’ Dira, Po’ Herman) , Pulin Sangkaropi, Peawaran Ulusalu, Pebulian di wilayah Kecamatan Toraja Sa’dan Utara yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu namanya. 13. Secara khusus kepada Tim peneliti Toraja Utara dengan dina
mikanya sehingga laporan ini bisa terselesaikan.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini membawa manfaat bagi pengambil kebijakan dalam penanganan kese hatan ibu dan anak yang berbasis kearifan lokal sehingga dapat menu runkan AKI/AKB secara signifikan.
Sa’dan, Juni 2012
DAfTAR ISI
KATA PENGANTAR ... v
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ... vii
UCAPAN TERIMA KASIH... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 4
1.3 Proses Penelitian ... 4
BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA ... 7
2.1 Sejarah ... 7
2.2 Geografi dan Kependudukan ... 18
2.3 Religi ... 23
2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ... 40
2.5 Pengetahuan ... 45
2.6 Bahasa ... 46
2.7 Kesenian ... 49
2.8 Mata Pencarian ... 62
2.9 Teknologi dan Peralatan ... 63
BAB III BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK ... 69
3.1 Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak ... 69
3.2 Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ... 75
3.3 Perilaku Pencarian Kesehatan (Health Seeking Behavior) ... 102
BAB IV KEPERCAYAAN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN
IBU DAN ANAK ... 105
BAB V BUDAYA KIA DALAM KETERKAITAN KONSEP SEHATSAKIT DAN KEHIDUPANKEMATIAN BAGI ORANG TORAJA SA’DAN .... 117
5.1 Konsep Sehat dan Sakit Orang Toraja Sa’dan terkait dengan Konsep tentang Persalinan dan Anak ... 117
5.2 Konsep Kematian, Kematian Ibu, dan Kematian ... bagi Orang Toraja Sa’dan ... 122
5.3 Potensi dan Kendala Budaya KIA Orang Toraja Sa’dan dalam Teori Model Perilaku Kesehatan ... 125
BAB VI SIMPULAN ... 129
6.1 Simpulan ... 129
6.2 Saran ... 130
GLOSARIUM ... 133
DAfTAR TABEL
Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian
Riset Etnografi Budaya KIA 2012 ... 3
Tabel 2.2 Penduduk menurut Agama per Lembang/Kelurahan
di Kecamatan Sa’dan, 2010 ... 38
Tabel 2.3 Perbedaan Bahasa Tomina’a dengan Bahasa
Toraja Biasa ... 48
Tabel 3.4 Jumlah Kematian Bayi dan Balita di Kabupaten
Toraja Utara, Tahun 2009-2010 ... 70
Tabel 3.5 Jumlah Kematian Ibu di Kabupaten Toraja Utara,
Tahun 2009 dan 2010... 70
Tabel 3.6 Jumlah Tenaga Medis dan Paramedis per Puskesmas
di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010 ... 71
Tabel 3.7 Cakupan Kunjungan Bumil, Persalinan Ditolong Nakes, dan Yankes Ibu Nifas di Kabupaten Toraja Utara
dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010 ... 72
Tabel 3.8 Bumil dan Neonatal Risti/Komplikasi Ditangani
di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010 ... 72
Tabel 3.9 Cakupan Kunjungan Neonatus di Kabupaten Toraja Utara dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010 ... 73 Tabel 3.10 Banyaknya Dokter, Paramedis Dan Dukun Bayi Dirinci
per Lembang/Kelurahan di Kecamatan Toraja Sa’dan
Utara, 2011 ... 73
Tabel 3.11 Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sa’dan
DAfTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara ... 15
Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput dan tanaman liar.
Mendila adalah cikal bakal keturunan orang Toraja
Sa’dan di To’ Barana Sa’dan Malimbong ... 16
Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir dari selatan ke utara
Kabupaten Toraja Utara ... 17
Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan... 18
Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’ ... 22
Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) ‘untuk upacara
rambu solo’ ... 23
Gambar 2.7 Kompleks makam Islam dengan bangunan serupa
pattane di Toraja, merupakan bukti adanya
akulturasi budaya Islam dengan budaya Toraja ... 39 Gambar 2.8 Tongkonan Galugu 2 merupakan salah satu dari
Tongkonan tua di Sa’dan, yang berusia hampir
lima abad ... 51 Gambar 2.9 Alang (lumbung) dalam satu rumpun keluarga ... 52 Gambar 2.10 Pattane untuk menyemayamkan jenazah keluarga
sebagai tempat peristirahatan terakhir ... 53
Gambar 2.11 Motif paqlolo tabang, berbentuk daun tabang sebagai
simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan
rohani serta jauh dari berbagai penyakit ... 57
Gambar 2.12 Motif ukir paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit
dan marabahaya lain ... 57 Gambar 2.13 Tari pa’gellu yang ditarikan dalam upacara
Gambar 2.14 Seorang perempuan Toraja sedang menenun
kain tradisional khas Toraja ... 64 Gambar 2.15. Tawwani Sere’ (ariari kucing) yang digunakan
to mappakianak untuk melancarkan persalinan ... 66
Gambar 2.16 Kariango yang disematkan pada bayi baru lahir
untuk mengusir makhluk halus ... 67 Gambar 2.17 Daun sualang dibawa ke mana-mana oleh ibu
yang memiliki balita untuk menghindari gangguan
makhluk halus ... 68
Gambar 3.18. Tanggung jawab anak yang lebih besar terhadap
perawatan balita (adik dan/atau anak asuhnya) ... 102
Gambar 4.19 Antusiasme warga dalam menghadiri Posyandu yang diadakan satu bulan sekali di Peawaran Sa’dan Ulusalu (kiri) dan Minanga Sa’dan Ballopasange
(kanan) ... 108
Gambar 4.20. Perjuangan tenaga kesehatan mencapai salah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktorfaktor so sial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Disadari atau tidak, faktorfaktor kepercayaan dan pengetahuan tradisional, seperti konsepsikonsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehatsakit, dan kebiasaan sering kali membawa dampak positif atau negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Salah satu sebab mendasar masih tingginya kematian ibu dan anak adalah budaya, selain faktorfaktor seperti kondisi geografis, penyebaran
penduduk, atau kondisi sosial ekonomi.
Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan RI tahun 20102014 tentang Program Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menyebutkan bahwa indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 meliputi persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90%, kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90%, dan persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85% (Kemenkes RI, 2010).
Tujuan penelitian ini adalah menggali kearifan lokal budaya yang mendukung penurunan Angka Kematian Ibu/Angka Kematian Bayi (AKI/ AKB) di Indonesia. Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan di pilih sebagai salah satu dari 12 daerah penelitian berkenaan dengan riset etnografi budaya KIA 2012.Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM) Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, Provinsi Sulawesi
Selatan rata-rata sudah cukup baik, di atas rerata normal, yaitu <0,415987.
Tana Toraja (sebelum pemekaran, tahun 2008). Sebelum pemekaran pa da tahun 2008, IPKM menggambarkan bahwa Toraja berada di angka 0,409028 atau sedikit di bawah rerata normal (<0.415987), namun tidak termasuk dalam ranking IPKM 20 besar terbaik maupun 20 besar terburuk. Kabupaten Tana Toraja berada di kategori tengah, yaitu kabupaten ber masalah non kemiskinan (KaD) (Kemenkes RI, 2010).
Bila dibandingkan dengan usia harapan hidup tingkat Provinsi Su la wesi Selatan dan tingkat nasional Indonesia, usia harapan hidup di Ka
bupaten Tana Toraja sebelum pemekaran tahun 2008 masih berada di atas
rerata provinsi dan nasional, yaitu berada di angka 74,06 (Kemenkes RI, 2010). Data BPS RI tahun 2010 menunjukkan bahwa usia harapan hidup penduduk tingkat nasional diestimasikan berada pada angka 70,4 pada
tahun 2007 menjadi 71,3 pada tahun 2010. Di Provinsi Sulawesi Selatan,
usia harapan hidup diestimasikan berada pada angka 70,2 pada tahun 2007 menjadi 71,3 pada tahun 2010 (BPS RI, 2010).
Sementara Human Development Index (HDI) Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 4 tahun (20042007) meningkat secara signifikan dari 67,8 (tahun 2004), 68,1 (tahun 2005), 68,8 (tahun 2006), hingga 69,62 (tahun 2007). Sementara HDI Kabupaten Tana Toraja (sebelum pemekaran) berada di angka 70,18 pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2010).
Riset Etnografi Budaya diambil berdasarkan IPKM, kecuali Kabupaten Tana Toraja (sebelum pemekaran) dan Kabupaten Pohuwato. Ke8 daerah lain yang menjadi kajian riset merupakan daerah dengan IPKM rendah, yaitu 20 besar IPKM terbawah, ditambah 2 daerah dengan IPKM baik yang termasuk 20 besar dengan IPKM terbaik Gianyar (berada di rangking 2) dan Bantul (di ranking 5). Kategori wilayah pembagian berdasar IPKM terbagi menjadi enam kategori, yaitu:
1. KaA (Kabupaten Bermasalah Berat Miskin), 2. KaB (Kabupaten Bermasalah Berat Non Miskin), 3. KaC (Kabupaten Bermasalah Miskin),
4. KaD (Kabupaten Bermasalah Non Miskin), 5. KaE (Kabupaten Tidak Bermasalah Miskin), 6. KaF (Kabupaten Tidak Bermasalah Non Miskin).
Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian Riset Etnografi Budaya KIA 2012
No. Kabupaten IPKM Ranking Kategori Daerah
1. Gianyar 0,706451 2 KaF
2. Bantul 0,691480 5 KaF
3. Tana Toraja (Tahun 2007
sebelum pemekaran)
0,409028 379 KaD
4. Pahuwato 0,363029 419 KaA
5. Murung Raya 0,352756 423 KaA
6. Sampang 0,327692 426 KaA
7. Mamasa 0,301325 430 KaA
8. Seram Bagian Timur 0,294741 433 KaA
9. Nias Selatan 0,291263 435 KaA
10. Manggarai 0,283220 437 KaA
11. Gayo Luwes 0,271275 439 KaA
12. Pegunungan Bintang 0,247059 440 KaA
Sumber: IPKM Badan Litbang Kemenkes RI, 2010.
Pada tahun 2008, Kabupaten Tana Toraja mengalami pemekaran
men jadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Antara Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara
memiliki 32 aliansi masyarakat adat. Budaya Toraja yang lebih kental be
-rada di wilayah Kabupaten Toraja Utara. Pengaruh modernisasi di Kabu paten Tana Toraja kebanyakan dibawa oleh masyarakat Toraja yang me
rantau keluar wilayah Toraja.
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Tana Toraja (laporan intern Program KIA), pada tahun 2010 di Kabupaten Tana Toraja terdapat 8 ke matian ibu, 5 ibu meninggal karena perdarahan (3 ibu meninggal di rumah dan 2 ibu meninggal di rumah sakit) dan 3 ibu meninggal karena sebab lain, yaitu karena penyakit jantung dan keterlambatan dirujuk.
Di Kabupaten Toraja Utara, kasus kematian bayi (011 bulan) yang dilaporkan pada tahun 2010 sebanyak 12 bayi, dengan penyebab kematian
asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan lainlain. Kasus kematian balita (059 bulan) sebanyak 3 balita, dengan penyebab umum kematian
yaitu asfiksia dan BBLR. Laporan KIA data kematian ibu di Kabupaten Toraja Utara tahun 2010 sebanyak 3 ibu, masingmasing di Puskesmas
Rantepao, Sopai, dan Sa’dan Malimbong. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi yang dialami ibu selama kehamilan dan persalinan, yaitu perdarahan (Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara, 2010).
1.2 Tujuan
Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial, budaya, maupun lingkungan setempat. Orientasi budaya menggambarkan sikap, pandangan, persepsi, dan perilaku mengenai masalah kehidupan, termasuk kesehatan yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap status kesehatan masyarakat secara umum. Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan programprogram kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
individu maupun masyarakat.
Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami segala yang berlaku di dalam masyarakat. Berdasarkan budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara penting dan tidak bisa
diabaikan.
Dari uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran aspek potensi dan kendala budaya masyarakat terkait kesehatan
ibu dan anak di Kabupaten Toraja Utara. Secara terperinci dijabarkan
unsur budaya masyarakat Toraja Utara sebagaimana terdapat dalam gam baran kondisi alam, kependudukan, dan tempat tinggal, organisasi sosial dan sistem kekerabatan, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencarian, sistem religi, dan kesenian yang terkait dengan
budaya kesehatan ibu dan anak. Gambaran tersebut akan memunculkan
gambaran tentang perilaku pencarian kesehatan masyarakat Toraja dan tentang tingkat kepercayaan masyarakat setempat terhadap pelayanan
KIA.
1.3 Proses Penelitian
Proses penelitian etnografi di Kabupaten Toraja Utara diawali de ngan persiapan daerah. Peneliti mendapati bahwa Kabupaten Tana Toraja sudah mengalami pemekaran daerah pada tahun 2008 menjadi dua ka
-bupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao. Untuk memutuskan wilayah Toraja Utara atau Tana Toraja yang hendak dijadikan lokasi pene
-litian, peneliti mendiskusikannya dengan tim peneliti teknis. Fokus diskusi adalah memilih daerah kasus KIA dengan budaya yang masih kental atau daerah dengan budaya yang sudah mulai membaur dengan modernisasi. Akhirnya tim peneliti memutuskan bahwa peneliti harus mengambil dae rah dengan kasus KIA yang masih kental budayanya sehingga Kabupaten Toraja Utara diambil sebagai daerah penelitian. Selanjutnya, Kecamatan Sa’dan dipilih berdasarkan rujukan dari Dinas Kesehatan Toraja Utara, karena masyarakatnya masih kental dalam memegang kuat adat budaya
Toraja.
Peneliti melaksanakan kegiatan dari Puskesmas Sa’dan Malimbong yang melayani seluruh wilayah Sa’dan. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa seharihari kami bisa melihat siapa saja yang menggunakan fasilitas layanan kesehatan, dan cara/perilaku para petugas
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan baik di puskesmas
setempat maupun di daerah pelosok yang memerlukan upaya untuk menjangkau daerahdaerah sulit di wilayah Kecamatan Sa’dan.
Tim peneliti terdiri atas empat orang peneliti. Tim ini melakukan penelitian dengan tinggal selama dua bulan di Kecamatan Sa’dan, mulai tanggal 30 April 2012 sampai dengan 28 Juni 2012. Tim mengkaji tentang unsurunsur budaya yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak, pola
pencarian kesehatan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan di lokasi penelitian. Kajian ini dilakukan dengan cara etnografi, yaitu tinggal bersama masyarakat dan mempelajari semua hal yang melatarbelakangi warga masyarakat melakukan apa yang mereka yakini dalam koridor budayanya. Metode pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan aktor (actor based), yakni penggalian fokus pada individu individu dalam kelompok budaya yang berperan, mengalami, dan mela kukan tindakan yang terkait dengan tema yang dikaji. Tim peneliti mem bina hubungan baik (rapport) dengan cara bergaul dengan warga sekitar, mendengarkan gosipgosip terkait tema, wawancara mendalam baik itu terstruktur (dengan pedoman wawancara) maupun non terstruktur (melalui obrolan sambil lalu sesuai tema), dan observasi partisipan, yakni metode yang peneliti gunakan dalam proses penggalian dan pengumpulan
data.
catatan lapangan tim dalam analisis data. Beberapa kajian literatur tentang penelitianpenelitian sebelumnya yang terkait dengan kebudayaan To raja juga peneliti lakukan untuk melakukan analisis kajian historis dan menambah informasi yang terkait dengan tema kajian.
Analisis data dilakukan secara berkesinambungan. Dalam pengum pulan data dilakukan triangulasi data. Analisis penulisan dijabarkan secara deskriptif dan interpretatif dalam rangka penggalian makna dan simbol
BAB II
TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA
2.1 Sejarah
2.1.1 Cerita di Balik Nama Toraja
Sebuah nama tak hanya menyiratkan makna, tetapi juga memiliki sejarah tersendiri. Sebelum dikenal luas hingga ke mancanegara sebagai kota wisata dunia, Toraja yang terletak di dataran tinggi Sulawesi Selatan bagian utara, dulu adalah sebuah negeri yang berdiri sendiri yang tidak saja memiliki bentang alam nan eksotis, tetapi memiliki budaya dan nama yang unik, yaitu Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo.
Nama panjang tersebut bukan saja indah, melainkan sebuah metafora yang digunakan orang Toraja untuk menyatakan prinsip hidup mereka. Berbagai unsur dalam kebudayaan Toraja turut membentuk kepribadian
masyarakatnya. Semua itu bersumber pada satu hal, yaitu aturan hidup
yang menjadi pedoman yang bersumber pada ajaran kepercayaan purba nenek moyang mereka, bernama Aluk Todolo. Orang Toraja memegang teguh prinsip untuk senantiasa mengutamakan kebersamaan, kesatuan,
dan kebulatan dalam tata kemasyarakatannya.
Secara harfiah kata tondok dalam Bahasa Toraja diartikan sebagai “negeri”, sedangkan lepongan berarti “kebulatan” atau “kesatuan”, dan
bulan berarti “bulan”. Sementara, kata tana juga diartikan sebagai “ne geri”, matarik berarti “bentuk”, dan allo berarti “matahari”. Jadi, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dapat diartikan sebagai negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatan yang merupakan sebuah kesatuan yang bulat, bak bentuk bulan dan matahari.
Kebulatan tersebut merupakan manifestasi dari tiga prinsip utama terbentuknya wilayah kekuasaan Toraja sebagai suatu negeri. Terdapat
sama yang dinamakan Aluk Todolo,yang ajarannya bersumber dari Negeri Marinding Banua Puan atau yang dikenal dengan Aluk Sanda Pitunna.
Terdapat satu dasar adat yang digunakan bersama, yang berasal dari satu sumber. Ini diibaratkan seperti pancaran sinar bulan atau matahari. Meskipun wilayah kekuasaan ini dibangun oleh beberapa daerah adat, dibentuk oleh satu suku yang mendiami daerah pegunungan di wilayah
utara Sulawesi Selatan, yakni suku Toraja.
Mengenai nama Toraja sendiri, ada tiga versi cerita tentang asal usul nama itu. Versi pertama mengatakan bahwa nama Toraja sudah terde ngar pada permulaan abad ke17, ketika Tondok Lepongan Bulan menjalin
hubungan dengan kerajaankerajaan Bugis di sekitarnya, seperti Kerajaan Bugis Sidenreng, Kerajaan Bugis Bone, dan Kerajaan Bugis Luwu. Beberapa budayawan Toraja, seperti Tangdilintindalam bukunya Toraja dan Kebu da yaannya, pernah menyatakan bahwa penamaan Toraja diberikan oleh
orangorang Bugis terhadap negara tetangganya yang berada di daerah dataran tinggi itu. Nama tersebut seperti sebuah petunjuk yang menjelas
-kan daerah asal orangorang tersebut jika dilihat dari wilayah Tana Bugis.
Kata To Riaja merupakan nama yang diberikan oleh orang Bugis Luwu.
Kata ini berasal dari kata To Rajang (To = orang, Rajang = Barat), yang berarti orang dari daerah barat, karena memang Kerajaan Luwu berada di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan (Tangdilintin, 1974).
Cerita tersebut turut dibenarkan dalam hikayat dalam syair-syair
orang Toraja yang menyebutkan bahwa Kerajaan Luwu yang berada di timur disebut Kedatuan Mata Allo (kerajaan sebelah timur) dan menye
-but kerajaankerajaan Toraja sebagai Kedatuan Matampu’ (kerajaan sebe
-lah barat). Jadi, orangorang Toraja disebut To Riajang (orang barat) oleh orang Luwu, sedangkan orang Luwu disebut To Wara’ (orang timur) oleh orangorang Toraja.
Versi kedua mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari cerita tentang seorang keturunan raja bernama Lakipadada yang pergi berkelana hingga tiba di Kerajaan Gowa pada akhir abad ke13. Menurut sejarah,
ia adalah cucu Puang Tomanurung Tamboro’ Langi atau anak Puang Sanda Boro dari Tongkonan (istana) Bat Boron di bagian selatan Tondok Lepongan Bulan. Menurut mitos orang Toraja, Lakipadada pergi berkelana mencari keabadian. Ia kemudian muncul di Gowa sebagai orang yang tidak diketahui pasti asal usulnya, namun tampak seperti seorang bangsawan besar. Pendapat umum di Gowa mengatakan bahwa bangsawan asing itu berasal dari sebelah selatan. Jadi, mereka menyebutnya Tau Raya
(dalam bahasa Makassar Tau berarti “orang”, Raya berarti “selatan”) dan menyebut pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya, yang kemudian menjadi Tana Toraja. Cerita di atas seperti yang diceritakan salah seorang informan, Bapak M, kepada peneliti berikut.
”Nenek pertama di Tana Toraja menurut legenda namanya Lakipadada. Bermaksud mengembara untuk mencari hidup
su paya tidak bisa mati. Itu yang sejarahnya itu, Lakipadada
(manusia pengembara) itu katanya ke Gowa. Lakipada katanya merantau ke Gowa, naik kerbau bule.
Di Gowa ini si Lakipadada kawin di situ, begitu, melahirkan 4 orang anak. Anakanak Lakipadada satu lari ke Luwu, nda’ tau
siapa namanya tapi istilahnya namanya Payung Ri Luwu, ada lagi lari ke Bone namanya Mangkau Ri Bone, kalo yang tinggal di Gowa namanya Somba, Somba Ri Gowa, saya tidak tau laki
apa perempuan. Kalo yang datang di Toraja sendiri namanya Matasak, Matasak Ri Toraja.”
Versi ketiga mengatakan bahwa nama ini sesuai dengan pengakuan sebagian besar rajaraja di Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tana Toraja. Kata Toraja dianggap ber
asal dari kata To’ Raja; To berarti “orang” dan Raja berarti “raja”. Jadi, kata Toraja berarti “tempat asal nenek moyang para raja”.
2.1.2 Zaman Toraja Purba
Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak dituliskan, tetapi berupa narasi yang diceritakan turuntemurun di kalangan keturunan bangsawan Toraja. Tidak diketahui kapan persisnya orang Toraja mulai menghuni daerah ini. Kebiasaan orang Toraja yang menyimpan sejarahnya dalam bentuk tradisi lisan oleh sebagian besar orang, juga tidak pernah dapat menyebutkan kapan nenek moyang mereka tiba di Toraja. Namun yang jelas, mereka meyakini bahwa manusia telah diciptakan Tuhan yang me
reka sebut Puang Matua di alam ini, dan menempatkan orang Toraja di tempatnya sekarang. Namun menurut Tangdilintin (1974), beberapa se jarawan dan budayawan menyatakan bahwa penguasa pertama Tondok Lempongan Bulan adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan, yang diperkirakan datang pada abad ke6.
Diceritakan pula bahwa pada zaman dulu, nenek moyang orang Toraja datang dari suatu tempat dengan menggunakan perahu. Mereka
kelompokkelompok keluarga yang dinamakan arroan (kelompok manusia). Setiap armada perahu dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut
ambe’ arroan (bapak kelompok manusia). Setiap armada ini merupakan sebuah keluarga besar. Kepindahan mereka ke daerah Toraja yang dikenal sekarang ini dalam rangka mencari daerah yang aman untuk hidup. Para pendatang tersebut datang dengan menggunakan perahu, menyusuri alur sungai. Mereka baru berhenti ketika perahuperahu mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan. Setelah tiba, mereka kemudian naik ke darat dan mulai membangun pemukiman. Karena tidak mengetahui dengan baik daerah yang mereka datangi, mereka kemudian membawa serta perahunya ke darat untuk dijadikan tempat berlindung sementara, dengan cara digantungkan pada pohonpohon besar.
Gelombang kedatangan para keluarga tersebut terus berlangsung. Masingmasing keluarga besar yang dipimpin para ambe’ arroan tersebut
kemudian memilih daerah tempat mereka dapat membangun pemukiman, kebun, dan sawah untuk memulai kehidupan yang baru. Dalam perjalanan sejarahnya, denganbertambahnya jumlah populasi maka beberapa
kelu-arga kecil dari sebuah rumpun kelukelu-arga besar kemudian berpindah men
-cari hunian baru. Keluargakeluarga kecil tersebut dikenal dengan sebutan
pararrak (penjelajah). Mereka dipimpin oleh seorang anggota keluarga yang dipandang paling berani, yang disebut Pong Pararrak (Pong = pokok
atau utama). Inilah cikal bakal adanya gelar ambe yang kemudian berubah
menjadi Si Ambe dan gelar Pong.Kemudian kedua istilah ini menjadi gelar kebangsawanan di Toraja. Para keturunan langsung dari Ambe dan Pong
kemudian dipandang sebagai orangorang yang berjasa bagi orang Toraja. Bahkan kemudian dua gelar tersebut menyatu pada satu orang, seperti Si ambe Pong Tiku, salah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Tana Toraja. Keluargakeluarga yang merupakan pendatang awal di Tana Toraja ini hidup dalam hubungan yang damai. Agar keluarga mereka tidak terpi
-sahpisah akibat perpindahan lokasi oleh sebagian kecil keluarga, mereka membuat sebuah rumah adat yang disebut Tongkonan,yang merupakan simbol pemersatu keluarga. Tongkonan tersebut hanya dibangun sebuah saja untuk satu rumpun keluarga sehingga mereka akan selalu merasa
dekat meskipun terpisah jauh.
Lama setelah kedatangan gelombang pertama keluargakeluarga ter sebut, datang pula kelompok lain yang juga menggunakan perahu, namun lebih besar dan tiba di daerah sekitar Gunung Bambapuang di sebelah selatan. Mereka dipimpin oleh seseorang yang mereka sebut Puang Lem
bang,yang berarti pemilik perahu. Berbeda dengan gelombang ke luarga keluarga pendatang awal, mereka yang datang kemudian ini lebih agresif. Mereka gemar berperang. Beberapa dari keluarga tersebut mengajak para
Ambe dan Pong untuk bergabung membentuk persekutuan agar dapat mempertahankan wilayah mereka dari serangan pihak lain. Proses ini
menjadi awal dari fase berdirinya beberapa kerajaan di Tana Toraja. Dalam perjalanan proses tersebut, terbentuk sebuah tatanan sosial baru dalam
masyarakat Toraja, berupa sebuah tatanan struktur sosial yang mengatur kedudukan seseorang dalam masyarakat. Posisiposisi sosial tersebut sama dengan kasta yang ada dalam agama Hindu. Kastakasta yang dalam
bahasa Toraja disebut Tana’ tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tana’ Bulaan yaitu kasta para bangsawan. Mereka yang ma suk dalam golongan kasta ini dipercaya sebagai keturunan langsung dari To Manurun. To Manurun adalah konsep yang
umum ditemukan pada masyarakat di Sulawesi Selatan untuk
menggambarkan orang yang tidak diketahui asal usulnya, yang kemudian dijadikan penguasa oleh masyarakat setempat karena tandatanda kebesaran yang mereka bawa. Mereka yang berasal dari kasta inilah yang berhak menjadi pemimpin pemerintahan
dalam satu wilayah adat.
2. Tana’ Bassi, yaitu kasta bangsawan menengah. Kaum bangsa wan dari golongan ini berasal dari keturunan bangsawan dari manusia biasa. Mereka yang tergolong dalam kasta ini biasanya membantu kasta yang ada di atasnya dalam memimpin masya rakat. Mereka memegang jabatan sebagai To Parenge.
3. Tana’ Karurung, yaitu kasta orangorang merdeka atau orang biasa. Mereka yang berada dalam golongan kasta ini merupakan orang yang tidak memliki kekayaan, tetapi hidupnya bebas. Mereka yang berasal dari kasta ini dapat menempati jabatan sebagai petugas atau pembina Aluk Todolo yang mengurusi Aluk Pantuoan dan Aluk Tananan. Jabatan mereka disebut To Indo
atau Indo Padang.
4. Tana’ Kuakua, yaitu kasta hamba sahaya atau budak. Mereka
adalah orang yang menjadi abdi/hamba kepada golongan kasta
Tana Bulaan dan Tana Bassi. Seseorang dapat digolongkan da
-lam kasta ini karena mereka berhutang nyawa kepada salah satu keluarga bangsawan, memiliki hutang, atau dikalahkan dalam
Tana’ merupakan status yang diwariskan secara turuntemurun ke
-pada anak cucu dengan mengacu -pada garis keturunan dari satu tongko nan (Tangdilintin, 1974).
2.1.3 Sejarah Pemerintahan Kabupaten Toraja Utara
Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda menyusun pemerintahan
yang terdiri atas distrik bua’ dan kampung, yang masingmasing dipimpin oleh penguasa setempat (Puang Ma’dika). Setelah 19 tahun Hindia Belanda
berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan Onderrafdeling di bawah Selfberstuur Luwu di Palopo, yang terdiri atas 32 Landchaap dan 410
kampung. Controleuur yang pertama yaitu H.T. Manting. Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld Nomor 105) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari swapraja
dan berdiri sendiri di bawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’.
Pada saat pemerintah Indonesia berbentuk serikat (Republik Indo nesia Serikat) tahun 1946, Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu peme rintahan darurat yang beranggotakan 7 orang, dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI) yang beranggotakan 15 orang. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, pemerintah darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952 dilakukan serah terima pemerintahan Kepada Pemerintahan Negeri (KPN)
Makale/Rantepao, yaitu kepada Wedana Andi Achmad. Pada saat itu
wilayah yang terdiri atas 32 distrik dan 410 kampung diubah menjadi 15 distrik dan 133 kampung.
Berdasarkan UndangUndang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 diben tuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja dan diresmikan pada tanggal 31 agustus 1957. Bupati Kepala Daerah pertama bernama Lakitta.
Pada tahun 1961, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A, administrasi pemerintahan berubah dengan adanya penghapusan sistem distrik dan pembentukan
pemerintahan kecamatan. Pada waktu itu KabupatenTana Toraja terdiri
atas 15 distrik dengan 410 kampung, berubah menjadi 9 kecamatan dengan 135 kampung. Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 Desember 1965 diadakanlah pembentukan desa gaya baru.
Berdasarkan petunjuk surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sula wesi Selatan tentang pembentukan desa gaya baru tersebut, ditetapkan
surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 152/ SP/1967 tanggal 7 September 1967 tentang pembentukan desa gaya baru dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja sebanyak 65 desa gaya baru yang terdiri atas 186 kampung, dengan perincian sebagai berikut.
1. Kecamatan Makale, 7 desa 20 kampung. 2. Kecamatan Sangalla’, 4 desa 8 kampung. 3. Kecamatan Mengkendek, 6 desa 20 kampung. 4. Kecamatan Saluputti, 10 desa 25 kampung. 5. Kecamatan Bonggakaradeng, 4 desa 15 kampung. 6. Kecamatan Rantepao, 4 desa 18 kampung. 7. Kecamatan Sanggalangi’, 9 desa 40 kampung. 8. Kecamatan Sesean, 11 desa 18 kampung. 9. Kecamatan Rindingallo, 10 desa 22 kampung.
Berdasarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pelaksanaannya, 65 desa gaya baru tersebut berubah lagi menjadi 45 desa dan 20 Kelurahan. Dengan
keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 168/
XI/1982, wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 9 kecamatan dan 22
kelu rahan serta 63 desa.
Berdasarkan Surat Keputusan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Wilayah Utara yang menjadi cikal bakal Kabupaten Toraja Utara, dipimpin oleh seorang Wedana Pembantu Bupati Wilayah Utara yang meliputi Kecamatan Rantepao, Kecamatan Sanggalangi’, Kecamatan Sesean, dan Kecamatan Rindingallo.
Setelah keluarnya Surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 954/XI/1998 tanggal 14 Desember 1998, wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 9 kecamatan definitif, 6 perwakilan kecamatan, 22 kelurahan, dan 63 desa. Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 29 De sember 2000, 6 perwakilan kecamatan menjadi definitif sehingga jumlah kecamatan seluruhnya menjadi 15 kecamatan. Selanjutnya dengan terbitnya Peraturan daerah Nomor 2 Tahun 2001 tanggal 11 April 2001, keseluruhan desa yang ada berubah nama menjadi lembang.
Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2001 tentang
perubahan Pertama Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2000, Peraturan
Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan
Kedua Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000, serta Peraturan Daerah
Nomor 6 Tahun 2005 tentang perubahan Ketiga peraturan Daerah Nomor
18 tahun 2000, wilayah Kabupaten Tana Toraja menjadi 40 kecamatan, 87
kelurahan, dan 223 lembang.
Kemudian berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia No mor 28 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara,
Kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi dua kabupaten. Kabupaten
pemekarannya disebut dengan nama Kabupaten Toraja Utara, yang terdiri atas 21 kecamatan, 40 kelurahan, dan 111 lembang (desa).
Berikut 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Toraja Utara:
1. Kecamatan Rantepao 2. Kecamatan Sesean
3. Kecamatan Nanggala 4. Kecamatan Rinding Allo 5. Kecamatan Buntao’ 6. Kecamatan Sa’dan 7. Kecamatan Sanggalangi’ 8. Kecamatan Sopai 9. Kecamatan Tikala 10. Kecamatan Balusu 11. Kecamatan Tallunglipu
12. Kecamatan Dende’ Piongan Napo
13. Kecamatan Buntu Pepasan
14. Kecamatan Baruppu’ 15. Kecamatan Kesu’
16. Kecamatan Tondon
17. Kecamatan Bangkelekila
18. Kecamatan Rantebua 19. Kecamatan Sesean Suloara 20. Kecamatan Kapala Pitu
21. Kecamatan Awan Rante Karua.
(http://www.torajautarakab.go.id/ix/en/sejarahpemerintahan.
Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara. (Sumber: www.torajautarakab.go.id)
2.1.4 Sejarah Kecamatan Sa’dan
Sa’dan atau masero berarti “bersih”. Pada zaman dulu kala, konon kehidupan masyarakatnya sangat bersih sehingga menjadi sebuah kecamatan yang saat ini bernama Kecamatan Sa’dan. Ibukota kecamatan terletak di Kelurahan Malimbong. Kecamatan Sa’dan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 78/II/1995 tanggal 6 Februari 1995 (http://www.torajautarakab.go.id/ix/en/kecamatansadan.html,
akses 20 April 2012).
Dulu Kecamatan Sa’dan merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sesean, sebelum Toraja Utara menjadi kabupaten dan masih tergabung
dalam Kabupaten Tana Toraja. Setelah pemekaran menjadi Kabupaten
Toraja Utara, Kecamatan Sa’dan terpisah dari Kecamatan Sesean dan tergabung dengan Kecamatan Sa’dan Balusu. Kemudian Kecamatan Sa’dan Balusu dimekarkan menjadi dua, yaitu Kecamatan Sa’dan dan Kecamatan
Ibukota Kecamatan Sa’dan berada di Sa’dan Malimbong. Sa’dan Ma limbong adalah sebuah desa yang dulu merupakan salah satu pusat
kebangsawanan Sa’dan. Oleh orangorang tua di Sa’dan Malimbong, disebutkan sebuah nama bangsawan pertama yang membangun Sa’dan Malimbong, yaitu Puang Tolla yang diberi gelar Parapak Langi’. Parapak Langi’ membangun Sa’dan di suatu daerah tepian sungai yang bernama Sungai Sa’dan. Daerah tepian Sungai Sa’dan ini dikenal orangorang se tempat dengan nama To’ Barana.
Puang Tolla diyakini oleh penduduk Malimbong sebagai keturunan
pertama di Tongkonan To’ Barana, yang berasal dari Tongkonan Palipangan yang dihuni oleh Ne’ Tangangalulun yang menikah dengan Njo’ Panibak.
Ne’ Tangangalulun sendiri merupakan keturunan kesekian dari Raja
(Arung) Enrekang, hasil pernikahannya dengan salah satu keturunan bangsawan di Tongkonan Punti di Minanga yang bernama Sa’ti Bulawan (Lewaran, 2011).
Sementara, keturunan pertama dari Arung Enrekang dan Sa’ti Bu lawan dikenal oleh warga di lingkungan To’ Barana dengan nama Mendira
Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput dan tanaman liar. Mendila adalah cikal bakal keturunan orang Toraja Sa’dan
di To’ Barana Sa’dan Malimbong. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)
atau Mendila, yang makam tuanya berada di dekat TongkonanTo’ Barana.
Mendila adalah cikal bakal atau nenek moyang keturunan bangsawan masyarakat Toraja Sa’dan masa kini. Kompleks pemakamannya sudah tidak terawat lagi, ditumbuhi rumput dan tanamantanaman liar, namun masih dianggap keramat oleh keturunannya.
Cerita tentang Mendila diceritakan oleh Ne’ B ber ikut ini.
”Saya mendengar cerita tentang Mendila dari pendahulu pendahulu saya, makamnya ada di samping rumah, merupakan makam keramat. Mendila merupakan keturunan dari Arun
Enrekang dengan Sa’ti Bulawan dari Sa’dan. Begitu dewasa Mendila menemui ayahnya di Enrekang. Untuk membuktikan
bahwa dia keturunan raja atau bukan dia diberi pilihan untuk memilih bendabenda kerajaan yang berharga. Mendila memilih sebuah senjata berupa tombak trisula dan memilih sebuah kain pusaka. Diyakini bahwa hanya yang benarbenar keturunan rajalah yang akan memilih pusaka berharga dari kerajaan Enrekang. Akhirnya Mendila kembali ke Sa’dan dan membangun kehidupan di Sa’dan. Kami adalah keturunan
Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir dari selatan ke utara Kabupaten Toraja Utara.
keturunannya. Dan pusakapusaka dari Mendila disimpan dan
dijaga oleh keturunannya sampai sekarang, tidak pernah keluar
dari Sa’dan. Karena apabila keluar dari Sa’dan, akan membawa kemalangan bagi keturunannya.”
Karena berada di sekitar Sungai Sa’dan (Gambar 2.3) maka daerah tersebut dinamai Sa’dan. Menurut keterangan beberapa informan, sa’dan berarti “bening”. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa air yang mengalir memang bening dan jernih adanya. Konon, sebelum ditemukan
oleh Parapak Langi’ sebagai tempat hidup, daerah Sa’dan Malimbong merupakan daerah yang menyerupai telaga. Itulah sebabnya dinamakan Sa’dan Malimbong.
2.2 Geografi dan Kependudukan 2.2.1 Luas Wilayah
Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)
Kecamatan Sa’dan memiliki luas wilayah 80,49 km2. Koordinat
geografis berada pada 2 derajat 53’ 8” Lintang Selatan dan 119 derajat 56’ 39” Bujur Timur. Batasbatas wilayah Kecamatan Sa’dan: di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bangkelekila dan Sesean, di sebelah ti mur berbatasan dengan Kecamatan Sa’dan Balusu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Buntu Pepasan.
2.2.2 Topografi
Kecamatan Sa’dan meliputi wilayah pegunungan dan dataran. Jarak tempuh dari ibukota Kecamatan Sa’dan Malimbong ke ibukota Kabupaten Toraja Utara, yaitu Rantepao, adalah 10,5 km. Kecamatan Sa’dan meliputi 10 wilayah desa yang terdiri atas 8 lembang dan 2 kelurahan, yaitu
1. Lembang Sa’ Dan Andulan, 2. Lembang Sa’ Dan Ballopasange, 3. Lembang Sa’ Dan Liku Lambe, 4. Lembang Sa’ Dan Pebulian, 5. Lembang Sa’ Dan Pesondongan, 6. Lembang Sa’ Dan Sangkaropi, 7. Lembang Sa’ Dan Tiroallo, 8. Lembang Sa’ Dan Ulusalu,
9. Kelurahan Sa’ Dan Malimbong, dan 10. Kelurahan Sa’ Dan Matallo.
(http://organisasi.org/daftarnamakecamatankelurahan
desa-kodepos-di-kota-kabupaten-toraja-utara-sulawesi-selatan, akses 22 Maret 2012).
Sa’dan Malimbong merupakan ibukota Kecamatan Sa’dan di Kabu paten Toraja Utara. Dulu Sa’dan Malimbong merupakan satu desa,
ber-sama dengan Pebulian dan Sangkaropi. Desa itu kemudian dimekarkan menjadi Kelurahan Sa’dan Malimbong, Lembang Pebulian, dan Lembang Sangkaropi. Wilayah Lembang/Kelurahan Sa’dan Malimbong memiliki topografi datar, dengan luas area 4,83 km2, berjarak 25 km dari ibukota
kabupaten (Rantepao), dan memiliki ketinggian 800 m dari permukaan air laut. Di Sa’dan Malimbong ada tiga lingkungan, yaitu Malimbong, Tangge, dan Sang Kombong. Jumlah penduduk di Sa’dan Malimbong total 1.128
2.2.3 flora dan fauna
Vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar desa adalah berbagai tanaman kayu dan semak hutan, seperti kayu uru, cendana, pinus, buangin, natoh,
palem, taro, mayana, bayam-bayaman, dan bambu. Kayu-kayu tersebut
di gunakan untuk membuat rumah tongkonan, sedangkan bambu digu
nakan untuk membuat pondok pada saat upacara rambu solo’.
Penduduk menanam berbagai macam buahbuahan dan sayursa yuran di halaman, di antaranya jambu air, jambu biji, manggis, jeruk bali, durian, avokad, cokelat, kopi, sirsak, pepaya, pisang, nangka, kelapa (jarang), ubi, labu, cabai rawit, tomat, dan kecapi (ketapi). Cokelat dan kopi
merupakan komoditas yang penting. Biasanya penduduk menjual cokelat dan kopi ke pasar di sekitarnya. Sementara tanaman mayana digunakan
untuk keperluan memasak makanan khas Toraja, yaitu pa’piong (daging dicampur dengan daun mayana, dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar). Jenis padi yang ditanam bervariasi, ada yang putih, merah atau cokelat, dan hitam. Padi atau beras yang terkenal di wilayah Toraja Sa’dan yang merupakan varietas lokal Toraja adalah Cinta Nur.
Binatang ternak yang dipelihara oleh penduduk terutama adalah
babi dan kerbau atau tedong dalam bahasa Toraja (Gambar 2.5 dan 2.6). Babi dan kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena diperlukan untuk penyelenggaraan upacara rambu solo’ (pesta upacara kematian). Kerbau belang (tedong bonga) adalah hewan khas
yang sering dijumpai di Toraja. Kerbau ini memiliki dua warna kulit, yaitu abuabu dan putih. Tedong bonga ini merupakan simbol status sosial yang tinggi bagi orang yang menyembelihnya pada saat upacara Rambu Solo’.
Harga tedong bonga berkisar puluhan hingga ratusan juta, tergantung corak belang di kulitnya dan bentuk fisik kerbau tersebut. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan, Ne’ E, yang akan mengadakan upacara
rambu solo’ ibu mertuanya pada bulan Juli.
”Harga tedong bonga bisa mencapai harga mobil mewah merk tertentu. Yang ada di kandang depan rumah itu harganya cuma Rp70.000.000,00 beberapa waktu yang lalu dibeli untuk acara Rambu Solo’ nenek. Dibeli oleh sepupu, dibeli saat tedong ma sih muda dan dipelihara. Anakanak dan cucucucu nenek yang lain juga sedang membeli tedong untuk acara ini. Harga tedong bervariasi ada yang puluhan juta ada juga yang ratusan juta. Memilih tedong juga harus dilihat secara menyeluruh, dari corak kulit, besar tubuh, panjang tanduk, dan lainlain.”
Rambu Solo’ memang membutuhkan banyak kerbau. Oleh karena
itu, ada pembiakan kerbau di daerah sekitar Toraja. Menurut penuturan
seorang informan, Bapak L, tedong bonga sering lahir di daerah Morante.
Sering kerbau belang lahir di Morante. Kalau lahir albino di
Toraja pasti buta. Kalau bunting dari daerah lain bisa lahir tidak buta. Tapi kalau kawin di Toraja pasti buta.
Kalau orang Toraja memakan kerbau albino akan mengalami kore ngan. Tapi sekarang yang albino dimakan. Kerbau belang
yang diagungkan tidak sembarang, dipotongkan hanya oleh
yang high class.
Jenis kerbau lain yang memiliki nilai tinggi adalah kerbau balian.
Kerbau balian adalah kerbau jantan berwarna hitam yang telah dikebiri sehingga memiliki tanduk yang panjang. Kerbau ini berharga puluhan juta
rupiah. Kerbau (tedong) untuk upacara rambu solo’ memiliki berbagai macam varian yang juga menentukan status sosial pembelinya.
Ayam juga dipelihara untuk dijadikan ayam aduan maupun untuk keperluan seharihari (untuk makanan). Ada juga ayam peliharaan, yaitu ayam tertawa. Ayam ini memiliki bentuk tubuh yang pendek seperti ayam kate, namun berekor agak panjang. Suaranya khas, seperti suara orang tertawa terbahakbahak. Jenis ayam ini tidak bisa dipelihara di tanah, harus diletakkan di atas pijakan yang tidak langsung menyentuh tanah. Binatang liar yang hidup di Desa Sa’dan Malimbong di antaranya berbagai jenis burung, termasuk burung elang yang sering dijumpai terbang di atas
areal persawahan.
Hewan babi (bai) juga merupakan hewan yang sangat penting ba gi orang Toraja. Setiap rumah tangga selalu memiliki peliharaan babi be be rapa ekor, yang dimaksudkan sebagai simpanan tabungan untuk
acara rambu solo’. Terkait binatang piaraan warga, informan, yaitu Ma’ A
menjelaskan sebagai berikut.
”Saya ada piaraan beberapa ekor babi di rumah, rencana untuk Rambu Solo’ Ne’ J bulan Juli besok. Karena dulu waktu bapaknya anakanak meninggal, keluarga Ne’ J menyumbang
babi. Kalau disumbang tedong saya tidak mau, karena berat
mengembalikannya kelak.”
ukur dari lingkar dada, semakin besar ukuran lingkar dada semakin mahal harga babi.
Dalam sumbangmenyumbang babi atau kerbau antarkelompok ke luarga dalam upacara Rambu Solo’ atau upacara pemakaman yang hanya
satu hari kemudian dimakamkan, Ma’ D menjelaskan dengan istilah “menabung” di keluargakeluarga tersebut. Berikut keterangan Ma’ D.
”Bapak saya saat ini sudah menulis wasiat, bahwa apabila
nanti meninggal dari kesebelas anaknya berapa-berapa saja
tedong yang harus dipotong, siapa kebagian berapa ekor. Yang
pada intinya bapak saya nanti ketika meninggal tidak mau
memberatkan anakanaknya. Dan saya juga saat ini sering menabung dengan menyumbang babi ke keluargakeluarga
yang ada upacara. Sehingga ketika nanti kami ada upacara saya sudah tidak punya hutang di keluarga yang memberi
kepada saya.”
Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)
Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) untuk upacara rambu solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)
2.3 Religi
2.3.1 Aluk Todolo sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah Hi dup bagi Orang Toraja
Sebelum orang Toraja memeluk agama lain, seperti Kristen atau Islam, nenek moyang orang Toraja telah memiliki sistem kepercayaan yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo. Secara harfiah aluk berarti “aturan/ agama”, todolo berarti “leluhur”. Jadi, Aluk Todolo berarti “agama leluhur” atau “agama purba”.
Sebuah kepercayaan tidak hanya memuat seperangkat aturan ber kenaan dengan caracara melakukan ritual peribadatan, namun juga merupakan pandangan hidup yang mengandung konsepsi tentang ruang dan waktu, serta panduan perilaku bagi penganutnya. Pandangan hi dup tersebut akan menjadi acuan bagi segala aktivitas para penganut kepercayaan itu, termasuk di antaranya cara mereka mengatur ruang
Aturanaturan dalam sebuah kepercayaan selain meliputi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, juga mengatur hubunganhubungan so sial di antara manusia dan hubungan manusia dengan alam tempat ia tinggal dan hidup serta mencari penghidupan. Demikian pula halnya dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Toraja, Aluk Todolo. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, mereka dituntun oleh
sebuah pandangan hidup yang mengatur tentang tata hubungan antara Tuhan (Sang Pencipta) dengan manusia sebagai ciptaan, dan hubungan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup dan mencari nafkah.
Namun berbeda dengan ajaran dalam kepercayaan agama di Indone
-sia pada umumnya, selain mengenal Tuhan, dalam Aluk Todolo kehidupan
manusia juga dipengaruhi oleh para dewa dan roh leluhur mereka. Jadi, konsep Tuhan hanyalah sebagai Pencipta pertama kehidupan.
Meskipun dalam kondisi kekinian para generasi muda hanya me mandang bahwa hubunganhubungan tersebut merupakan sesuatu yang sudah demikian adanya sejak nenek moyang mereka, dan tidak me mahami lagi tentang Aluk Todolo, namun aktivitas keseharian mereka te tap tak sepenuhnya lepas dari aturan tersebut. Menipisnya pengetahuan berkenaan dengan kepercayaan lama salah satunya disebabkan mereka lebih sering menerima pengajaran agama Kristen daripda kepercayaan
Aluk Todolo. Pada saat ini, walaupun Aluk Todolo sudah bukan kepercayaan
yang dipandang sebagai agama bagi masyarakat Toraja, nilainilainya masih dipegang oleh setiap anggota masyarakat.
Ajaran Aluk Todolo merupakan sebuah ajaran tentang falsafah hi dup manusia yang sempurna di hadapan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat sehingga penjelasan atau penggambaran terhadap salah satu aspek di antaranya tidak akan sempurna tanpa mengikutkan aspek lainnya. Mereka percaya bahwa manusia atau individu hidup di dunia tidak sendirian dan kehidupan ini ada yang menguasai. Penguasa kehidupan tersebut telah memberikan
kekuatan kepada manusia untuk dapat hidup di bumi. Kekuatan untuk
dapat bertahan hidup tersebut bersumber atau terdapat pada alam. Jika salah satu hubungan ini lepas maka kehidupan ini tidak akan berlangsung dengan baik (Kemenbudpar RI, 2005).
2.3.2 Hubungan Manusia dengan Tuhan
Dalam Bahasa Toraja Tuhan disebut Puang Matua. Menurut masya-rakat Toraja, Puang Matualah yang telah menciptakan bumi beserta isinya
dan memberikan segala sumber kehidupan bagi manusia yang hidup di bumi. Mereka meyakini bahwa sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, mereka wajib untuk menyembah, menjaga, memanfaatkan, serta memelihara segala ciptaan yang telah diberikan. Untuk mewujudkan hubungan antara
manusia dan Puang Matua, selain dilakukan dengan cara berdoa sesuai dengan agama yang mereka yakini saat ini, mereka juga melakukan
pemujaan dan persembahan sesuai petunjuk falsafah Aluk Todolo. Ketika mereka melakukan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta, mereka harus melakukannya dengan mengurbankan sejumlah besar hewan, berupa kerbau, babi, dan ayam sebagai persembahan. Ketiga hewan tersebut harus ada dalam setiap upacara adat karena ketiga hewan
tersebut dalam falsafah Aluk Todolo, seperti yang digambarkan dalam ukiranukiran yang ada di Tongkonan yang bergambar tedong (kerbau),
manuk (ayam), dan bai (babi), masingmasing hewan melambangkan
kerja keras dan kesabaran, keberanian, dan kemakmuran.
Konsep Tuhan dalam ajaran Aluk Todolo hanya diartikan sebagai
pencipta awal kehidupan manusia. Sementara pemeliharaannya
diper-cayakan kepada para dewadewa yang memiliki tugas khusus, seperti dewa yang memelihara air yang disebut Pasikambi Tetean Tampo dan
dewa yang memelihara sawah yang bernama Kalimbuangboba Puang Matokko’ Sadamairi. Selain para dewa, orang Toraja juga meyakini bahwa arwah nenek moyangnya yang telah meninggal, sebelum diupacarakan masih berdiam di sekitar mereka dan belum pergi ke alam puya atau
surga. Arwah nenek moyang tersebut tinggal di pohonpohon sekitar de sa dan mengawasi anakcucu mereka yang masih hidup. Arwah nenek moyang tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya kehidupan keturunannya dengan cara memberikan atau tidak memberikan berkat. Keberuntungan adalah sebuah pertanda pemberian
berkat leluhur kepada mereka.
Sebagai makhluk ciptaan, untuk menjalin hubungan yang baik de ngan Sang Pencipta, dalam adat Toraja lama atau Aluk Todolo, para To’ Mina’a memegang peranan yang paling penting. Ia adalah manusia yang dipandang dapat menyampaikan dan menghubungkan antara manusia dengan Sang Pencipta sehingga untuk memimpin sebuah upacara, keha
dirannya adalah mutlak. Para To’ Mina’a memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menempati posisi ini karena me rupakan posisi yang diwariskan secara turuntemurun. Menghormatinya
Pencipta. Dan pendustaan terhadapnya juga dipandang sebagai pendu
-staan terhadap Sang Pencipta.
Persembahan sebagai salah satu bagian dari pemujaan menempati posisi penting dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Persembahan me rupakan media bagi manusia sebagai makhluk ciptaan memberikan peng hormatan kepada Sang Pencipta atas karunia kehidupan dan kesejahteraan yang telah diberikanNya. Selain itu, persembahan juga menjadi perantara bagi manusia untuk meminta berkah dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi pemujaan saja tidaklah cukup. Ritual yang telah dilakukan tidaklah berarti bila aturanaturan lainnya tidak dilaksanakan dengan baik. Tidak menjaga hubungan dengan manusia atau melakukan tindakan yang merusak alam merupakan bentukbentuk pengingkaran dan penghinaan terhadap Sang Pencipta. Semua aturan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia dan dengan alam merupakan bentuk pemujaan tersendiri terhadap Sang Pencipta.
2.3.3 Hubungan Manusia dengan Manusia
Dalam melaksanakan aktivitas keseharian masyarakat Toraja harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Setiap kali melakukan interaksi dengan sesamanya mereka selalu didasari oleh rasa kekeluargaan. Setiap orang menganggap bahwa hanya sesama yang akan memberikan bantuan dalam kehidupan seharihari dengan cara hidup bergotong royong. Mereka selalu berpedoman pada aturan adat yang menyebutkan
bahwa misa kada dipo tuo, pantan kada di pomate (satu kata kita hidup bersama, berbeda kita akan bercerai berai).
Kehidupan keseharian yang harmonis dengan sesama merupakan pencerminan dari ketaatan terhadap Sang Pencipta. Dan, Sang Pencipta
telah memberikan kuasa pada para leluhur untuk memberikan bantuan
dan memperhatikan gerakgerik mereka. Bantuan para leluhur diberikan
dalam bentuk berkat atas mereka serta keturunannya. Oleh karena itu, mereka harus melakukan pula pemujaan dan persembahan kepada
le-luhur atas bantuan mereka melalui berkat yang telah diberikan.
Salah satu wujud penjelasan di atas, bahwa setiap hubungan ma
-nusia yang masih hidup diperhatikan oleh para leluhur mereka, adalah
dilakukannya Pemala’ Lako Tomembali Puang/Todolo.Artinya, pemujaan dan persembahan kepada Sang Pengawas manusia oleh para keturunan
yakni dengan mengurbankan salah satu hewan kurban berupa kerbau,
babi, atau ayam.
Dalam beberapa upacara penting dalam setiap kegiatan adat masya rakat Toraja selalu dilakukan ritual persembahan kurban yang disebut su runa’ malolo tau’. Ritual ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian panjang sebuah upacara yang ditujukan untuk mensyukuri kehidupan dan kelahiran manusia. Ritual ini bertujuan untuk mengingatkan kepada setiap manusia akan pentingnya jalinan kekeluargaan yang erat di antara mereka dan sikap saling menghargai. Dalam ajaran adat terdapat sebuah falsafah keluarga yang mengajarkan kebersamaan dalam masyarakat, yaitu apabila
seseorang mengalami kesulitan, kesulitan itu menjadi tanggungan seluruh anggota kerabat (Kemenbudpar RI, 2005). Kata kerabat menggambarkan keluarga luas dan bukan keluarga batih. Dengan demikian, konsep kerabat adalah mereka yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh ibu A berikut ini.
”Di sini kami semua saudara, karena keturunan dari ne’pitu baku ka win antarsepupu. Ratarata di sini kami menikah
dengan saudara sepupu sendiri. Makanya ada istilah sepupu satu kali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali untuk menjelaskan
derajat keturunan ke berapa mereka saling menikah. Kalau ada acara rambu solo’ penuh semua di Sa’dan. Karena keluarga yang di rantau pada datang untuk menghadiri.”
Baku bantu (saling membantu) antara kerabat juga dijelaskan oleh informan A seperti berikut.
”Saya ditinggal sama almarhum (suami) dengan sembilan orang anak yang masih kecil-kecil, tidak akan bisa hidup kalau
di Jawa atau di kota lain. Hidup di sini banyak keluarga yang membantu menyekolahkan anakanak hingga mereka dewasa, bekerja, dan menikah.”
Hingga kini pengaturan hubungan antara manusia dalam pemerin -tahan adat masih didasarkan pada ajaran Aluk Todolo. Pemerintahan adat
masih tetap dipimpin oleh seorang To Mina’a, yang fungsinya sangat vital bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Apabila terjadi konflik dalam
masyarakat, To Mina’a harus datang untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan menempuh caracara kekeluargaan, sebelum mereka sam
-Kegiatan seperti menanam padi harus dilakukan secara serentak, dipimpin oleh seorang To Mina’a. Penanaman padi serentak dimaksudkan agar tan
-aman padi juga bersamaan tumbuh dan berbuah. Dengan demikian, padi dapat dipanen bersamasama. Jika padi tidak serentak ditanam, dikha
-watirkan bila terjadi serangan hama tikus maka semua sawah akan rusak karena tikus dapat menghabiskan semua hasil panen dalam satu sawah. Sementara jika dilakukan penanaman padi secara serentak, hama tikus diyakini tidak akan mampu menghabiskan seluruh padi di sawah sehingga masih ada sawah yang bisa diambil hasilnya untuk digunakan bersama.
Serangan hama tikus bukan hanya dilihat sebagai kesalahan para pe tani akibat tidak mematuhi aturan penanaman serentak. Akan tetapi ketika sebuah lahan persawahan yang ditanami secara bersama diserang hama tikus maka To Mina’a akan datang ke sawah untuk melihat gejala yang dapat menunjukkan penyebabnya. Apabila kerusakan disebabkan oleh tikus, To Mina’a akan melihat cara tikus makan padi tersebut. Apabila padi yang dimakan adalah padi yang ada di bagian tengah sawah, ia akan mengambil kesimpulan bahwa sebuah kesalahan telah dilakukan oleh penguasa kampung, misalnya To Makaka, Bunga Lalan, atau Ndo Padang. Sementara, jika padi dimakan tikus mulai dari pinggir sawah kemudian ke tengah, To Mina’a akan berkesimpulan bahwa pemilik sawah
yang melakukan pelanggaran, sebab biasanya bila sawah tidak ditanami bersamaan, tentunya tikus akan memulai memakan padi dari pinggir agar mudah dibawa ke sarang. Akan tetapi bila ditanam serentak, tikus hanya memakan tangkai padi yang patah atau rebah karena penjagaan petani sangat ketat.
Pada saat para petani turun ke sawah mulai menanam padi,
tokoh-tokoh adat berembuk dan mengumumkan bahwa mulai saat itu, untuk jangka waktu seminggu orang tidak boleh menebang pohon. Mereka percaya bahwa para arwah leluhur yang masih berdiam di bumi dan tinggal di pohonpohon akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas keturunannya dan memberikan berkat atas pekerjaan tersebut. Menebang
pohon akan menjadikan berkat para leluhur berubah menjadi kutukan.
Secara logis dapat diterangkan bahwa menebang pohon pada saat musim tanam adalah sebuah perbuatan yang tidak bijaksana. Menebang sebatang pohon tentu memerlukan tenaga yang banyak, sementara pada saat yang sama juga dibutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikan proses penanaman padi. Perbuatan tersebut dipandang sebagai dosa sosial pada masyarakat. Demikian pula aktivitas membersihka pohon