• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Toraja Sa’dan, Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Toraja Sa’dan

Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan

Kabupaten Toraja Utara,

Provinsi Sulawesi Selatan

(3)

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Toraja Sa’dan

Desa Sa’dan Malimbong, Kecamatan Sa’dan Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan

Penulis : 1. Weny Lestari 2. Maratu Soleha 3. Ismail Ibrahim 4. Ruwaedah 5. Betty Roosihermiatie Editor : 1. Betty Roosihermiatie

Disain sampul : Agung Dwi Laksono

Setting dan layout isi : Sutopo (Kanisius)

Indah Sri Utami (Kanisius)

Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-231-0

Katalog :

No. Publikasi :

Ukuran Buku : 155 x 235 Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh : Percetakan Kanisius

(4)

Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi

Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut:

Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­

hatan Kemkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan

Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Sekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKes

Anggota Mardiyah SE, MM

Drie Subianto, SE Mabaroch, SSos

Ketua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes

Anggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA

Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHM Ketua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSi

Anggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi

Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum

Drs. FX Sri Sadewo, MSi

Koordinator wilayah

1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,

MScPH

2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,

MSPH, PhD

3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,

MKes

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­

kukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di

Indo nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi

salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.

Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous know­ ledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara­cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing­masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna me­ nyingkap kembali dan menggali nilai­nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih

(7)

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan­Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Desember 2012 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

(8)

SAMBUTAN

Kepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk

-rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis

ilmiah.

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian

masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai

target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000

kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan,

sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor­faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.

Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak

-sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing­masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema

-hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai

dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.

(9)

tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes.

Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2012 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat­Nya buku Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak

2012 Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan bisa diselesaikan.

Buku ini adalah hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka riset khusus budaya untuk menggali kearifan lokal yang mendukung penurunan AKI/

AKB di Indonesia, khususnya di Kabupaten Toraja Utara.

Kami menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak sejak awal penelitian sampai penulisan buku ini, sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan buku ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih

kepada

1. Kepala Badan Litbangkes, Kemenkes RI;

2. Kepala PHK2PM Badan Litbangkes, Kemenkes RI; 3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan;

4. Kepala Subbidang KIA, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan;

5. Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar;

6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara beserta seluruh

staf;

7. Sekretaris Daerah Kabupaten Toraja Utara;

8. Kepala Puskesmas Sa’dan Malimbong dan seluruh jajarannya; 9. Camat Kecamatan Sa’dan;

10. Lurah Kelurahan Sa’dan Malimbong;

11. Bidan Ineften M. dan para bidan di wilayah kerja Puskesmas Sa’dan Malimbong;

12. Warga masyarakat di lingkungan To’ Barana (Ma’ Ari, Ma’ Bimo, Ne’ Eppi, Ne’ Bualolo, Ne’ Pang, Ne’ Pika, Ne’ Ratti, Po’ Davita, Ne’ Aran, Ma’ Sondana, Ma’ Sabi, Ma’ Roni, Ma’ Dana, Ma’ Anggi, Po’ Rai, Pak Pendeta M.T. Sallubonga, Pak Tasman, Uci,

(11)

Sang Kombong (Ne’ Ita, Ma’ Vista, Ne’ Jaya, Appi, Ibu Berti, dan lain­lain), Tangge (Po’ dan Ma’ Nita, Ne’ Esra, Ne’ Diana, Ma’ Suadal, Rida, dan lain­lain), Minanga (Po’ dan Ma’ Windi, Po’ dan Njo’ Rain, Njo’ Roi, Njo’ Kandillo, Po’ dan Ma’ Tollin, Ma’ Reval, Kristi, Windi, Ella, Febri, Fitra, dan lain­lain), Matallo (Ibu Isna dan keluarga, Ne’ Dira, Po’ Herman) , Pulin Sangkaropi, Peawaran Ulusalu, Pebulian di wilayah Kecamatan Toraja Sa’dan Utara yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu namanya. 13. Secara khusus kepada Tim peneliti Toraja Utara dengan dina­

mikanya sehingga laporan ini bisa terselesaikan.

Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga buku ini membawa manfaat bagi pengambil kebijakan dalam penanganan kese­ hatan ibu dan anak yang berbasis kearifan lokal sehingga dapat menu­ runkan AKI/AKB secara signifikan.

Sa’dan, Juni 2012

(12)

DAfTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Proses Penelitian ... 4

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA ... 7

2.1 Sejarah ... 7

2.2 Geografi dan Kependudukan ... 18

2.3 Religi ... 23

2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ... 40

2.5 Pengetahuan ... 45

2.6 Bahasa ... 46

2.7 Kesenian ... 49

2.8 Mata Pencarian ... 62

2.9 Teknologi dan Peralatan ... 63

BAB III BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK ... 69

3.1 Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak ... 69

3.2 Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ... 75

3.3 Perilaku Pencarian Kesehatan (Health Seeking Behavior) ... 102

(13)

BAB IV KEPERCAYAAN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN

IBU DAN ANAK ... 105

BAB V BUDAYA KIA DALAM KETERKAITAN KONSEP SEHAT­SAKIT DAN KEHIDUPAN­KEMATIAN BAGI ORANG TORAJA SA’DAN .... 117

5.1 Konsep Sehat dan Sakit Orang Toraja Sa’dan terkait dengan Konsep tentang Persalinan dan Anak ... 117

5.2 Konsep Kematian, Kematian Ibu, dan Kematian ... bagi Orang Toraja Sa’dan ... 122

5.3 Potensi dan Kendala Budaya KIA Orang Toraja Sa’dan dalam Teori Model Perilaku Kesehatan ... 125

BAB VI SIMPULAN ... 129

6.1 Simpulan ... 129

6.2 Saran ... 130

GLOSARIUM ... 133

(14)

DAfTAR TABEL

Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian

Riset Etnografi Budaya KIA 2012 ... 3

Tabel 2.2 Penduduk menurut Agama per Lembang/Kelurahan

di Kecamatan Sa’dan, 2010 ... 38

Tabel 2.3 Perbedaan Bahasa Tomina’a dengan Bahasa

Toraja Biasa ... 48

Tabel 3.4 Jumlah Kematian Bayi dan Balita di Kabupaten

Toraja Utara, Tahun 2009-2010 ... 70

Tabel 3.5 Jumlah Kematian Ibu di Kabupaten Toraja Utara,

Tahun 2009 dan 2010... 70

Tabel 3.6 Jumlah Tenaga Medis dan Paramedis per Puskesmas

di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010 ... 71

Tabel 3.7 Cakupan Kunjungan Bumil, Persalinan Ditolong Nakes, dan Yankes Ibu Nifas di Kabupaten Toraja Utara

dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010 ... 72

Tabel 3.8 Bumil dan Neonatal Risti/Komplikasi Ditangani

di Kabupaten Toraja Utara, Tahun 2010 ... 72

Tabel 3.9 Cakupan Kunjungan Neonatus di Kabupaten Toraja Utara dan Kecamatan Sa’dan, Tahun 2010 ... 73 Tabel 3.10 Banyaknya Dokter, Paramedis Dan Dukun Bayi Dirinci

per Lembang/Kelurahan di Kecamatan Toraja Sa’dan

Utara, 2011 ... 73

Tabel 3.11 Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sa’dan

(15)
(16)

DAfTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara ... 15

Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput dan tanaman liar.

Mendila adalah cikal bakal keturunan orang Toraja

Sa’dan di To’ Barana Sa’dan Malimbong ... 16

Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir dari selatan ke utara

Kabupaten Toraja Utara ... 17

Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan... 18

Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’ ... 22

Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) ‘untuk upacara

rambu solo’ ... 23

Gambar 2.7 Kompleks makam Islam dengan bangunan serupa

pattane di Toraja, merupakan bukti adanya

akulturasi budaya Islam dengan budaya Toraja ... 39 Gambar 2.8 Tongkonan Galugu 2 merupakan salah satu dari

Tongkonan tua di Sa’dan, yang berusia hampir

lima abad ... 51 Gambar 2.9 Alang (lumbung) dalam satu rumpun keluarga ... 52 Gambar 2.10 Pattane untuk menyemayamkan jenazah keluarga

sebagai tempat peristirahatan terakhir ... 53

Gambar 2.11 Motif paqlolo tabang, berbentuk daun tabang sebagai

simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan

rohani serta jauh dari berbagai penyakit ... 57

Gambar 2.12 Motif ukir paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit

dan marabahaya lain ... 57 Gambar 2.13 Tari pa’gellu yang ditarikan dalam upacara

(17)

Gambar 2.14 Seorang perempuan Toraja sedang menenun

kain tradisional khas Toraja ... 64 Gambar 2.15. Tawwani Sere’ (ari­ari kucing) yang digunakan

to mappakianak untuk melancarkan persalinan ... 66

Gambar 2.16 Kariango yang disematkan pada bayi baru lahir

untuk mengusir makhluk halus ... 67 Gambar 2.17 Daun sualang dibawa ke mana-mana oleh ibu

yang memiliki balita untuk menghindari gangguan

makhluk halus ... 68

Gambar 3.18. Tanggung jawab anak yang lebih besar terhadap

perawatan balita (adik dan/atau anak asuhnya) ... 102

Gambar 4.19 Antusiasme warga dalam menghadiri Posyandu yang diadakan satu bulan sekali di Peawaran Sa’dan Ulusalu (kiri) dan Minanga Sa’dan Ballopasange

(kanan) ... 108

Gambar 4.20. Perjuangan tenaga kesehatan mencapai salah

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktor­faktor so­ sial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Disadari atau tidak, faktor­faktor kepercayaan dan pengetahuan tradisional, seperti konsepsi­konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat­sakit, dan kebiasaan sering kali membawa dampak positif atau negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Salah satu sebab mendasar masih tingginya kematian ibu dan anak adalah budaya, selain faktor­faktor seperti kondisi geografis, penyebaran

penduduk, atau kondisi sosial ekonomi.

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan RI tahun 2010­2014 tentang Program Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menyebutkan bahwa indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 meliputi persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90%, kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90%, dan persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85% (Kemenkes RI, 2010).

Tujuan penelitian ini adalah menggali kearifan lokal budaya yang mendukung penurunan Angka Kematian Ibu/Angka Kematian Bayi (AKI/ AKB) di Indonesia. Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan di­ pilih sebagai salah satu dari 12 daerah penelitian berkenaan dengan riset etnografi budaya KIA 2012.Berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM) Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, Provinsi Sulawesi

Selatan rata-rata sudah cukup baik, di atas rerata normal, yaitu <0,415987.

(19)

Tana Toraja (sebelum pemekaran, tahun 2008). Sebelum pemekaran pa­ da tahun 2008, IPKM menggambarkan bahwa Toraja berada di angka 0,409028 atau sedikit di bawah rerata normal (<0.415987), namun tidak termasuk dalam ranking IPKM 20 besar terbaik maupun 20 besar terburuk. Kabupaten Tana Toraja berada di kategori tengah, yaitu kabupaten ber­ masalah non kemiskinan (KaD) (Kemenkes RI, 2010).

Bila dibandingkan dengan usia harapan hidup tingkat Provinsi Su la­ wesi Selatan dan tingkat nasional Indonesia, usia harapan hidup di Ka­

bupaten Tana Toraja sebelum pemekaran tahun 2008 masih berada di atas

rerata provinsi dan nasional, yaitu berada di angka 74,06 (Kemenkes RI, 2010). Data BPS RI tahun 2010 menunjukkan bahwa usia harapan hidup penduduk tingkat nasional diestimasikan berada pada angka 70,4 pada

tahun 2007 menjadi 71,3 pada tahun 2010. Di Provinsi Sulawesi Selatan,

usia harapan hidup diestimasikan berada pada angka 70,2 pada tahun 2007 menjadi 71,3 pada tahun 2010 (BPS RI, 2010).

Sementara Human Development Index (HDI) Provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 4 tahun (2004­2007) meningkat secara signifikan dari 67,8 (tahun 2004), 68,1 (tahun 2005), 68,8 (tahun 2006), hingga 69,62 (tahun 2007). Sementara HDI Kabupaten Tana Toraja (sebelum pemekaran) berada di angka 70,18 pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2010).

Riset Etnografi Budaya diambil berdasarkan IPKM, kecuali Kabupaten Tana Toraja (sebelum pemekaran) dan Kabupaten Pohuwato. Ke­8 daerah lain yang menjadi kajian riset merupakan daerah dengan IPKM rendah, yaitu 20 besar IPKM terbawah, ditambah 2 daerah dengan IPKM baik yang termasuk 20 besar dengan IPKM terbaik Gianyar (berada di rangking 2) dan Bantul (di ranking 5). Kategori wilayah pembagian berdasar IPKM terbagi menjadi enam kategori, yaitu:

1. KaA (Kabupaten Bermasalah Berat Miskin), 2. KaB (Kabupaten Bermasalah Berat Non Miskin), 3. KaC (Kabupaten Bermasalah Miskin),

4. KaD (Kabupaten Bermasalah Non Miskin), 5. KaE (Kabupaten Tidak Bermasalah Miskin), 6. KaF (Kabupaten Tidak Bermasalah Non Miskin).

(20)

Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian Riset Etnografi Budaya KIA 2012

No. Kabupaten IPKM Ranking Kategori Daerah

1. Gianyar 0,706451 2 KaF

2. Bantul 0,691480 5 KaF

3. Tana Toraja (Tahun 2007

sebelum pemekaran)

0,409028 379 KaD

4. Pahuwato 0,363029 419 KaA

5. Murung Raya 0,352756 423 KaA

6. Sampang 0,327692 426 KaA

7. Mamasa 0,301325 430 KaA

8. Seram Bagian Timur 0,294741 433 KaA

9. Nias Selatan 0,291263 435 KaA

10. Manggarai 0,283220 437 KaA

11. Gayo Luwes 0,271275 439 KaA

12. Pegunungan Bintang 0,247059 440 KaA

Sumber: IPKM Badan Litbang Kemenkes RI, 2010.

Pada tahun 2008, Kabupaten Tana Toraja mengalami pemekaran

men jadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Antara Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara

memiliki 32 aliansi masyarakat adat. Budaya Toraja yang lebih kental be

-rada di wilayah Kabupaten Toraja Utara. Pengaruh modernisasi di Kabu­ paten Tana Toraja kebanyakan dibawa oleh masyarakat Toraja yang me­

rantau keluar wilayah Toraja.

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Tana Toraja (laporan intern Program KIA), pada tahun 2010 di Kabupaten Tana Toraja terdapat 8 ke­ matian ibu, 5 ibu meninggal karena perdarahan (3 ibu meninggal di rumah dan 2 ibu meninggal di rumah sakit) dan 3 ibu meninggal karena sebab lain, yaitu karena penyakit jantung dan keterlambatan dirujuk.

Di Kabupaten Toraja Utara, kasus kematian bayi (0­11 bulan) yang dilaporkan pada tahun 2010 sebanyak 12 bayi, dengan penyebab kematian

asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan lain­lain. Kasus kematian balita (0­59 bulan) sebanyak 3 balita, dengan penyebab umum kematian

yaitu asfiksia dan BBLR. Laporan KIA data kematian ibu di Kabupaten Toraja Utara tahun 2010 sebanyak 3 ibu, masing­masing di Puskesmas

(21)

Rantepao, Sopai, dan Sa’dan Malimbong. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi yang dialami ibu selama kehamilan dan persalinan, yaitu perdarahan (Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara, 2010).

1.2 Tujuan

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial, budaya, maupun lingkungan setempat. Orientasi budaya menggambarkan sikap, pandangan, persepsi, dan perilaku mengenai masalah kehidupan, termasuk kesehatan yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap status kesehatan masyarakat secara umum. Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait dengan masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan program­program kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup

individu maupun masyarakat.

Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami segala yang berlaku di dalam masyarakat. Berdasarkan budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara penting dan tidak bisa

diabaikan.

Dari uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran aspek potensi dan kendala budaya masyarakat terkait kesehatan

ibu dan anak di Kabupaten Toraja Utara. Secara terperinci dijabarkan

unsur budaya masyarakat Toraja Utara sebagaimana terdapat dalam gam baran kondisi alam, kependudukan, dan tempat tinggal, organisasi sosial dan sistem kekerabatan, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencarian, sistem religi, dan kesenian yang terkait dengan

budaya kesehatan ibu dan anak. Gambaran tersebut akan memunculkan

gambaran tentang perilaku pencarian kesehatan masyarakat Toraja dan tentang tingkat kepercayaan masyarakat setempat terhadap pelayanan

KIA.

1.3 Proses Penelitian

Proses penelitian etnografi di Kabupaten Toraja Utara diawali de­ ngan persiapan daerah. Peneliti mendapati bahwa Kabupaten Tana Toraja sudah mengalami pemekaran daerah pada tahun 2008 menjadi dua ka

(22)

-bupaten Toraja Utara yang beribukota di Rantepao. Untuk memutuskan wilayah Toraja Utara atau Tana Toraja yang hendak dijadikan lokasi pene

-litian, peneliti mendiskusikannya dengan tim peneliti teknis. Fokus diskusi adalah memilih daerah kasus KIA dengan budaya yang masih kental atau daerah dengan budaya yang sudah mulai membaur dengan modernisasi. Akhirnya tim peneliti memutuskan bahwa peneliti harus mengambil dae­ rah dengan kasus KIA yang masih kental budayanya sehingga Kabupaten Toraja Utara diambil sebagai daerah penelitian. Selanjutnya, Kecamatan Sa’dan dipilih berdasarkan rujukan dari Dinas Kesehatan Toraja Utara, karena masyarakatnya masih kental dalam memegang kuat adat budaya

Toraja.

Peneliti melaksanakan kegiatan dari Puskesmas Sa’dan Malimbong yang melayani seluruh wilayah Sa’dan. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa sehari­hari kami bisa melihat siapa saja yang menggunakan fasilitas layanan kesehatan, dan cara/perilaku para petugas

kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan baik di puskesmas

setempat maupun di daerah pelosok yang memerlukan upaya untuk menjangkau daerah­daerah sulit di wilayah Kecamatan Sa’dan.

Tim peneliti terdiri atas empat orang peneliti. Tim ini melakukan penelitian dengan tinggal selama dua bulan di Kecamatan Sa’dan, mulai tanggal 30 April 2012 sampai dengan 28 Juni 2012. Tim mengkaji tentang unsur­unsur budaya yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak, pola

pencarian kesehatan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan di lokasi penelitian. Kajian ini dilakukan dengan cara etnografi, yaitu tinggal bersama masyarakat dan mempelajari semua hal yang melatarbelakangi warga masyarakat melakukan apa yang mereka yakini dalam koridor budayanya. Metode pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan aktor (actor based), yakni penggalian fokus pada individu­ individu dalam kelompok budaya yang berperan, mengalami, dan mela­ kukan tindakan yang terkait dengan tema yang dikaji. Tim peneliti mem­ bina hubungan baik (rapport) dengan cara bergaul dengan warga sekitar, mendengarkan gosip­gosip terkait tema, wawancara mendalam baik itu terstruktur (dengan pedoman wawancara) maupun non terstruktur (melalui obrolan sambil lalu sesuai tema), dan observasi partisipan, yakni metode yang peneliti gunakan dalam proses penggalian dan pengumpulan

data.

(23)

catatan lapangan tim dalam analisis data. Beberapa kajian literatur tentang penelitian­penelitian sebelumnya yang terkait dengan kebudayaan To­ raja juga peneliti lakukan untuk melakukan analisis kajian historis dan menambah informasi yang terkait dengan tema kajian.

Analisis data dilakukan secara berkesinambungan. Dalam pengum­ pulan data dilakukan triangulasi data. Analisis penulisan dijabarkan secara deskriptif dan interpretatif dalam rangka penggalian makna dan simbol

(24)

BAB II

TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.1 Sejarah

2.1.1 Cerita di Balik Nama Toraja

Sebuah nama tak hanya menyiratkan makna, tetapi juga memiliki sejarah tersendiri. Sebelum dikenal luas hingga ke mancanegara sebagai kota wisata dunia, Toraja yang terletak di dataran tinggi Sulawesi Selatan bagian utara, dulu adalah sebuah negeri yang berdiri sendiri yang tidak saja memiliki bentang alam nan eksotis, tetapi memiliki budaya dan nama yang unik, yaitu Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo.

Nama panjang tersebut bukan saja indah, melainkan sebuah metafora yang digunakan orang Toraja untuk menyatakan prinsip hidup mereka. Berbagai unsur dalam kebudayaan Toraja turut membentuk kepribadian

masyarakatnya. Semua itu bersumber pada satu hal, yaitu aturan hidup

yang menjadi pedoman yang bersumber pada ajaran kepercayaan purba nenek moyang mereka, bernama Aluk Todolo. Orang Toraja memegang teguh prinsip untuk senantiasa mengutamakan kebersamaan, kesatuan,

dan kebulatan dalam tata kemasyarakatannya.

Secara harfiah kata tondok dalam Bahasa Toraja diartikan sebagai “negeri”, sedangkan lepongan berarti “kebulatan” atau “kesatuan”, dan

bulan berarti “bulan”. Sementara, kata tana juga diartikan sebagai “ne­ geri”, matarik berarti “bentuk”, dan allo berarti “matahari”. Jadi, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dapat diartikan sebagai negeri dengan bentuk pemerintahan dan kemasyarakatan yang merupakan sebuah kesatuan yang bulat, bak bentuk bulan dan matahari.

Kebulatan tersebut merupakan manifestasi dari tiga prinsip utama terbentuknya wilayah kekuasaan Toraja sebagai suatu negeri. Terdapat

(25)

sama yang dinamakan Aluk Todolo,yang ajarannya bersumber dari Negeri Marinding Banua Puan atau yang dikenal dengan Aluk Sanda Pitunna.

Terdapat satu dasar adat yang digunakan bersama, yang berasal dari satu sumber. Ini diibaratkan seperti pancaran sinar bulan atau matahari. Meskipun wilayah kekuasaan ini dibangun oleh beberapa daerah adat, dibentuk oleh satu suku yang mendiami daerah pegunungan di wilayah

utara Sulawesi Selatan, yakni suku Toraja.

Mengenai nama Toraja sendiri, ada tiga versi cerita tentang asal usul nama itu. Versi pertama mengatakan bahwa nama Toraja sudah terde­ ngar pada permulaan abad ke­17, ketika Tondok Lepongan Bulan menjalin

hubungan dengan kerajaan­kerajaan Bugis di sekitarnya, seperti Kerajaan Bugis Sidenreng, Kerajaan Bugis Bone, dan Kerajaan Bugis Luwu. Beberapa budayawan Toraja, seperti Tangdilintindalam bukunya Toraja dan Kebu­ da yaannya, pernah menyatakan bahwa penamaan Toraja diberikan oleh

orang­orang Bugis terhadap negara tetangganya yang berada di daerah dataran tinggi itu. Nama tersebut seperti sebuah petunjuk yang menjelas

-kan daerah asal orang­orang tersebut jika dilihat dari wilayah Tana Bugis.

Kata To Riaja merupakan nama yang diberikan oleh orang Bugis Luwu.

Kata ini berasal dari kata To Rajang (To = orang, Rajang = Barat), yang berarti orang dari daerah barat, karena memang Kerajaan Luwu berada di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan (Tangdilintin, 1974).

Cerita tersebut turut dibenarkan dalam hikayat dalam syair-syair

orang Toraja yang menyebutkan bahwa Kerajaan Luwu yang berada di timur disebut Kedatuan Mata Allo (kerajaan sebelah timur) dan menye

-but kerajaan­kerajaan Toraja sebagai Kedatuan Matampu’ (kerajaan sebe

-lah barat). Jadi, orang­orang Toraja disebut To Riajang (orang barat) oleh orang Luwu, sedangkan orang Luwu disebut To Wara’ (orang timur) oleh orang­orang Toraja.

Versi kedua mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari cerita tentang seorang keturunan raja bernama Lakipadada yang pergi berkelana hingga tiba di Kerajaan Gowa pada akhir abad ke­13. Menurut sejarah,

ia adalah cucu Puang Tomanurung Tamboro’ Langi atau anak Puang Sanda Boro dari Tongkonan (istana) Bat Boron di bagian selatan Tondok Lepongan Bulan. Menurut mitos orang Toraja, Lakipadada pergi berkelana mencari keabadian. Ia kemudian muncul di Gowa sebagai orang yang tidak diketahui pasti asal usulnya, namun tampak seperti seorang bangsawan besar. Pendapat umum di Gowa mengatakan bahwa bangsawan asing itu berasal dari sebelah selatan. Jadi, mereka menyebutnya Tau Raya

(26)

(dalam bahasa Makassar Tau berarti “orang”, Raya berarti “selatan”) dan menyebut pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya, yang kemudian menjadi Tana Toraja. Cerita di atas seperti yang diceritakan salah seorang informan, Bapak M, kepada peneliti berikut.

”Nenek pertama di Tana Toraja menurut legenda namanya Lakipadada. Bermaksud mengembara untuk mencari hidup

su paya tidak bisa mati. Itu yang sejarahnya itu, Lakipadada

(manusia pengembara) itu katanya ke Gowa. Lakipada katanya merantau ke Gowa, naik kerbau bule.

Di Gowa ini si Lakipadada kawin di situ, begitu, melahirkan 4 orang anak. Anak­anak Lakipadada satu lari ke Luwu, nda’ tau

siapa namanya tapi istilahnya namanya Payung Ri Luwu, ada lagi lari ke Bone namanya Mangkau Ri Bone, kalo yang tinggal di Gowa namanya Somba, Somba Ri Gowa, saya tidak tau laki

apa perempuan. Kalo yang datang di Toraja sendiri namanya Matasak, Matasak Ri Toraja.”

Versi ketiga mengatakan bahwa nama ini sesuai dengan pengakuan sebagian besar raja­raja di Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tana Toraja. Kata Toraja dianggap ber­

asal dari kata To’ Raja; To berarti “orang” dan Raja berarti “raja”. Jadi, kata Toraja berarti “tempat asal nenek moyang para raja”.

2.1.2 Zaman Toraja Purba

Sejarah Toraja adalah sejarah yang tidak dituliskan, tetapi berupa narasi yang diceritakan turun­temurun di kalangan keturunan bangsawan Toraja. Tidak diketahui kapan persisnya orang Toraja mulai menghuni daerah ini. Kebiasaan orang Toraja yang menyimpan sejarahnya dalam bentuk tradisi lisan oleh sebagian besar orang, juga tidak pernah dapat menyebutkan kapan nenek moyang mereka tiba di Toraja. Namun yang jelas, mereka meyakini bahwa manusia telah diciptakan Tuhan yang me­

reka sebut Puang Matua di alam ini, dan menempatkan orang Toraja di tempatnya sekarang. Namun menurut Tangdilintin (1974), beberapa se­ jarawan dan budayawan menyatakan bahwa penguasa pertama Tondok Lempongan Bulan adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan, yang diperkirakan datang pada abad ke­6.

Diceritakan pula bahwa pada zaman dulu, nenek moyang orang Toraja datang dari suatu tempat dengan menggunakan perahu. Mereka

(27)

kelompok­kelompok keluarga yang dinamakan arroan (kelompok manusia). Setiap armada perahu dipimpin oleh seorang pimpinan yang disebut

ambe’ arroan (bapak kelompok manusia). Setiap armada ini merupakan sebuah keluarga besar. Kepindahan mereka ke daerah Toraja yang dikenal sekarang ini dalam rangka mencari daerah yang aman untuk hidup. Para pendatang tersebut datang dengan menggunakan perahu, menyusuri alur sungai. Mereka baru berhenti ketika perahu­perahu mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan. Setelah tiba, mereka kemudian naik ke darat dan mulai membangun pemukiman. Karena tidak mengetahui dengan baik daerah yang mereka datangi, mereka kemudian membawa serta perahunya ke darat untuk dijadikan tempat berlindung sementara, dengan cara digantungkan pada pohon­pohon besar.

Gelombang kedatangan para keluarga tersebut terus berlangsung. Masing­masing keluarga besar yang dipimpin para ambe’ arroan tersebut

kemudian memilih daerah tempat mereka dapat membangun pemukiman, kebun, dan sawah untuk memulai kehidupan yang baru. Dalam perjalanan sejarahnya, denganbertambahnya jumlah populasi maka beberapa

kelu-arga kecil dari sebuah rumpun kelukelu-arga besar kemudian berpindah men

-cari hunian baru. Keluarga­keluarga kecil tersebut dikenal dengan sebutan

pararrak (penjelajah). Mereka dipimpin oleh seorang anggota keluarga yang dipandang paling berani, yang disebut Pong Pararrak (Pong = pokok

atau utama). Inilah cikal bakal adanya gelar ambe yang kemudian berubah

menjadi Si Ambe dan gelar Pong.Kemudian kedua istilah ini menjadi gelar kebangsawanan di Toraja. Para keturunan langsung dari Ambe dan Pong

kemudian dipandang sebagai orang­orang yang berjasa bagi orang Toraja. Bahkan kemudian dua gelar tersebut menyatu pada satu orang, seperti Si­ ambe Pong Tiku, salah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Tana Toraja. Keluarga­keluarga yang merupakan pendatang awal di Tana Toraja ini hidup dalam hubungan yang damai. Agar keluarga mereka tidak terpi

-sah­pisah akibat perpindahan lokasi oleh sebagian kecil keluarga, mereka membuat sebuah rumah adat yang disebut Tongkonan,yang merupakan simbol pemersatu keluarga. Tongkonan tersebut hanya dibangun sebuah saja untuk satu rumpun keluarga sehingga mereka akan selalu merasa

dekat meskipun terpisah jauh.

Lama setelah kedatangan gelombang pertama keluarga­keluarga ter­ sebut, datang pula kelompok lain yang juga menggunakan perahu, namun lebih besar dan tiba di daerah sekitar Gunung Bambapuang di sebelah selatan. Mereka dipimpin oleh seseorang yang mereka sebut Puang Lem­

(28)

bang,yang berarti pemilik perahu. Berbeda dengan gelombang ke luarga­ keluarga pendatang awal, mereka yang datang kemudian ini lebih agresif. Mereka gemar berperang. Beberapa dari keluarga tersebut mengajak para

Ambe dan Pong untuk bergabung membentuk persekutuan agar dapat mempertahankan wilayah mereka dari serangan pihak lain. Proses ini

menjadi awal dari fase berdirinya beberapa kerajaan di Tana Toraja. Dalam perjalanan proses tersebut, terbentuk sebuah tatanan sosial baru dalam

masyarakat Toraja, berupa sebuah tatanan struktur sosial yang mengatur kedudukan seseorang dalam masyarakat. Posisi­posisi sosial tersebut sama dengan kasta yang ada dalam agama Hindu. Kasta­kasta yang dalam

bahasa Toraja disebut Tana’ tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tana’ Bula­an yaitu kasta para bangsawan. Mereka yang ma­ suk dalam golongan kasta ini dipercaya sebagai keturunan langsung dari To Manurun. To Manurun adalah konsep yang

umum ditemukan pada masyarakat di Sulawesi Selatan untuk

menggambarkan orang yang tidak diketahui asal usulnya, yang kemudian dijadikan penguasa oleh masyarakat setempat karena tanda­tanda kebesaran yang mereka bawa. Mereka yang berasal dari kasta inilah yang berhak menjadi pemimpin pemerintahan

dalam satu wilayah adat.

2. Tana’ Bassi, yaitu kasta bangsawan menengah. Kaum bangsa­ wan dari golongan ini berasal dari keturunan bangsawan dari manusia biasa. Mereka yang tergolong dalam kasta ini biasanya membantu kasta yang ada di atasnya dalam memimpin masya­ rakat. Mereka memegang jabatan sebagai To Parenge.

3. Tana’ Karurung, yaitu kasta orang­orang merdeka atau orang biasa. Mereka yang berada dalam golongan kasta ini merupakan orang yang tidak memliki kekayaan, tetapi hidupnya bebas. Mereka yang berasal dari kasta ini dapat menempati jabatan sebagai petugas atau pembina Aluk Todolo yang mengurusi Aluk Pantuoan dan Aluk Tananan. Jabatan mereka disebut To Indo

atau Indo Padang.

4. Tana’ Kua­kua, yaitu kasta hamba sahaya atau budak. Mereka

adalah orang yang menjadi abdi/hamba kepada golongan kasta

Tana Bulaan dan Tana Bassi. Seseorang dapat digolongkan da

-lam kasta ini karena mereka berhutang nyawa kepada salah satu keluarga bangsawan, memiliki hutang, atau dikalahkan dalam

(29)

Tana’ merupakan status yang diwariskan secara turun­temurun ke

-pada anak cucu dengan mengacu -pada garis keturunan dari satu tongko­ nan (Tangdilintin, 1974).

2.1.3 Sejarah Pemerintahan Kabupaten Toraja Utara

Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda menyusun pemerintahan

yang terdiri atas distrik bua’ dan kampung, yang masing­masing dipimpin oleh penguasa setempat (Puang Ma’dika). Setelah 19 tahun Hindia Belanda

berkuasa di daerah ini, Tana Toraja dijadikan Onderrafdeling di bawah Selfberstuur Luwu di Palopo, yang terdiri atas 32 Landchaap dan 410

kampung. Controleuur yang pertama yaitu H.T. Manting. Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld Nomor 105) Onderafdeling Makale/Rantepao dipisahkan dari swapraja

dan berdiri sendiri di bawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada’.

Pada saat pemerintah Indonesia berbentuk serikat (Republik Indo­ nesia Serikat) tahun 1946, Tongkonan Ada’ diganti dengan suatu peme­ rintahan darurat yang beranggotakan 7 orang, dibantu oleh satu badan yaitu Komite Nasional Indonesia (KNI) yang beranggotakan 15 orang. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 482, pemerintah darurat dibubarkan dan pada tanggal 21 Februari 1952 dilakukan serah terima pemerintahan Kepada Pemerintahan Negeri (KPN)

Makale/Rantepao, yaitu kepada Wedana Andi Achmad. Pada saat itu

wilayah yang terdiri atas 32 distrik dan 410 kampung diubah menjadi 15 distrik dan 133 kampung.

Berdasarkan Undang­Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1957 diben­ tuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja dan diresmikan pada tanggal 31 agustus 1957. Bupati Kepala Daerah pertama bernama Lakitta.

Pada tahun 1961, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 2067 A, administrasi pemerintahan berubah dengan adanya penghapusan sistem distrik dan pembentukan

pemerintahan kecamatan. Pada waktu itu KabupatenTana Toraja terdiri

atas 15 distrik dengan 410 kampung, berubah menjadi 9 kecamatan dengan 135 kampung. Kemudian dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 450/XII/1965 tanggal 20 Desember 1965 diadakanlah pembentukan desa gaya baru.

Berdasarkan petunjuk surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sula­ wesi Selatan tentang pembentukan desa gaya baru tersebut, ditetapkan

(30)

surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja Nomor 152/ SP/1967 tanggal 7 September 1967 tentang pembentukan desa gaya baru dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja sebanyak 65 desa gaya baru yang terdiri atas 186 kampung, dengan perincian sebagai berikut.

1. Kecamatan Makale, 7 desa 20 kampung. 2. Kecamatan Sangalla’, 4 desa 8 kampung. 3. Kecamatan Mengkendek, 6 desa 20 kampung. 4. Kecamatan Saluputti, 10 desa 25 kampung. 5. Kecamatan Bonggakaradeng, 4 desa 15 kampung. 6. Kecamatan Rantepao, 4 desa 18 kampung. 7. Kecamatan Sanggalangi’, 9 desa 40 kampung. 8. Kecamatan Sesean, 11 desa 18 kampung. 9. Kecamatan Rindingallo, 10 desa 22 kampung.

Berdasarkan Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok­ Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang­Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pelaksanaannya, 65 desa gaya baru tersebut berubah lagi menjadi 45 desa dan 20 Kelurahan. Dengan

keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 168/

XI/1982, wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 9 kecamatan dan 22

kelu rahan serta 63 desa.

Berdasarkan Surat Keputusan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 1988 tanggal 26 September 1988, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Kepala Daerah Wilayah Utara yang menjadi cikal bakal Kabupaten Toraja Utara, dipimpin oleh seorang Wedana Pembantu Bupati Wilayah Utara yang meliputi Kecamatan Rantepao, Kecamatan Sanggalangi’, Kecamatan Sesean, dan Kecamatan Rindingallo.

Setelah keluarnya Surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 954/XI/1998 tanggal 14 Desember 1998, wilayah Kabupaten Tana Toraja terdiri atas 9 kecamatan definitif, 6 perwakilan kecamatan, 22 kelurahan, dan 63 desa. Dengan berlakunya Undang­Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000 tanggal 29 De­ sember 2000, 6 perwakilan kecamatan menjadi definitif sehingga jumlah kecamatan seluruhnya menjadi 15 kecamatan. Selanjutnya dengan terbitnya Peraturan daerah Nomor 2 Tahun 2001 tanggal 11 April 2001, keseluruhan desa yang ada berubah nama menjadi lembang.

(31)

Setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2001 tentang

perubahan Pertama Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2000, Peraturan

Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan

Kedua Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000, serta Peraturan Daerah

Nomor 6 Tahun 2005 tentang perubahan Ketiga peraturan Daerah Nomor

18 tahun 2000, wilayah Kabupaten Tana Toraja menjadi 40 kecamatan, 87

kelurahan, dan 223 lembang.

Kemudian berdasarkan Undang­Undang Republik Indonesia No­ mor 28 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara,

Kabupaten Tana Toraja dimekarkan menjadi dua kabupaten. Kabupaten

pemekarannya disebut dengan nama Kabupaten Toraja Utara, yang terdiri atas 21 kecamatan, 40 kelurahan, dan 111 lembang (desa).

Berikut 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Toraja Utara:

1. Kecamatan Rantepao 2. Kecamatan Sesean

3. Kecamatan Nanggala 4. Kecamatan Rinding Allo 5. Kecamatan Buntao’ 6. Kecamatan Sa’dan 7. Kecamatan Sanggalangi’ 8. Kecamatan Sopai 9. Kecamatan Tikala 10. Kecamatan Balusu 11. Kecamatan Tallunglipu

12. Kecamatan Dende’ Piongan Napo

13. Kecamatan Buntu Pepasan

14. Kecamatan Baruppu’ 15. Kecamatan Kesu’

16. Kecamatan Tondon

17. Kecamatan Bangkelekila

18. Kecamatan Rantebua 19. Kecamatan Sesean Suloara 20. Kecamatan Kapala Pitu

21. Kecamatan Awan Rante Karua.

(http://www.torajautarakab.go.id/ix/en/sejarah­pemerintahan.

(32)

Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara. (Sumber: www.torajautarakab.go.id)

2.1.4 Sejarah Kecamatan Sa’dan

Sa’dan atau masero berarti “bersih”. Pada zaman dulu kala, konon kehidupan masyarakatnya sangat bersih sehingga menjadi sebuah kecamatan yang saat ini bernama Kecamatan Sa’dan. Ibukota kecamatan terletak di Kelurahan Malimbong. Kecamatan Sa’dan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 78/II/1995 tanggal 6 Februari 1995 (http://www.torajautarakab.go.id/ix/en/kecamatan­sadan.html,

akses 20 April 2012).

Dulu Kecamatan Sa’dan merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sesean, sebelum Toraja Utara menjadi kabupaten dan masih tergabung

dalam Kabupaten Tana Toraja. Setelah pemekaran menjadi Kabupaten

Toraja Utara, Kecamatan Sa’dan terpisah dari Kecamatan Sesean dan tergabung dengan Kecamatan Sa’dan Balusu. Kemudian Kecamatan Sa’dan Balusu dimekarkan menjadi dua, yaitu Kecamatan Sa’dan dan Kecamatan

(33)

Ibukota Kecamatan Sa’dan berada di Sa’dan Malimbong. Sa’dan Ma limbong adalah sebuah desa yang dulu merupakan salah satu pusat

kebangsawanan Sa’dan. Oleh orang­orang tua di Sa’dan Malimbong, disebutkan sebuah nama bangsawan pertama yang membangun Sa’dan Malimbong, yaitu Puang Tolla yang diberi gelar Parapak Langi’. Parapak Langi’ membangun Sa’dan di suatu daerah tepian sungai yang bernama Sungai Sa’dan. Daerah tepian Sungai Sa’dan ini dikenal orang­orang se­ tempat dengan nama To’ Barana.

Puang Tolla diyakini oleh penduduk Malimbong sebagai keturunan

pertama di Tongkonan To’ Barana, yang berasal dari Tongkonan Palipangan yang dihuni oleh Ne’ Tangangalulun yang menikah dengan Njo’ Panibak.

Ne’ Tangangalulun sendiri merupakan keturunan kesekian dari Raja

(Arung) Enrekang, hasil pernikahannya dengan salah satu keturunan bangsawan di Tongkonan Punti di Minanga yang bernama Sa’ti Bulawan (Lewaran, 2011).

Sementara, keturunan pertama dari Arung Enrekang dan Sa’ti Bu­ lawan dikenal oleh warga di lingkungan To’ Barana dengan nama Mendira

Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput dan tanaman liar. Mendila adalah cikal bakal keturunan orang Toraja Sa’dan

di To’ Barana Sa’dan Malimbong. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

(34)

atau Mendila, yang makam tuanya berada di dekat TongkonanTo’ Barana.

Mendila adalah cikal bakal atau nenek moyang keturunan bangsawan masyarakat Toraja Sa’dan masa kini. Kompleks pemakamannya sudah tidak terawat lagi, ditumbuhi rumput dan tanaman­tanaman liar, namun masih dianggap keramat oleh keturunannya.

Cerita tentang Mendila diceritakan oleh Ne’ B ber ikut ini.

”Saya mendengar cerita tentang Mendila dari pendahulu­ pendahulu saya, makamnya ada di samping rumah, merupakan makam keramat. Mendila merupakan keturunan dari Arun

Enrekang dengan Sa’ti Bulawan dari Sa’dan. Begitu dewasa Mendila menemui ayahnya di Enrekang. Untuk membuktikan

bahwa dia keturunan raja atau bukan dia diberi pilihan untuk memilih benda­benda kerajaan yang berharga. Mendila memilih sebuah senjata berupa tombak trisula dan memilih sebuah kain pusaka. Diyakini bahwa hanya yang benar­benar keturunan rajalah yang akan memilih pusaka berharga dari kerajaan Enrekang. Akhirnya Mendila kembali ke Sa’dan dan membangun kehidupan di Sa’dan. Kami adalah keturunan­

Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir dari selatan ke utara Kabupaten Toraja Utara.

(35)

keturunannya. Dan pusaka­pusaka dari Mendila disimpan dan

dijaga oleh keturunannya sampai sekarang, tidak pernah keluar

dari Sa’dan. Karena apabila keluar dari Sa’dan, akan membawa kemalangan bagi keturunannya.”

Karena berada di sekitar Sungai Sa’dan (Gambar 2.3) maka daerah tersebut dinamai Sa’dan. Menurut keterangan beberapa informan, sa’dan berarti “bening”. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa air yang mengalir memang bening dan jernih adanya. Konon, sebelum ditemukan

oleh Parapak Langi’ sebagai tempat hidup, daerah Sa’dan Malimbong merupakan daerah yang menyerupai telaga. Itulah sebabnya dinamakan Sa’dan Malimbong.

2.2 Geografi dan Kependudukan 2.2.1 Luas Wilayah

Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

(36)

Kecamatan Sa’dan memiliki luas wilayah 80,49 km2. Koordinat

geografis berada pada 2 derajat 53’ 8” Lintang Selatan dan 119 derajat 56’ 39” Bujur Timur. Batas­batas wilayah Kecamatan Sa’dan: di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bangkelekila dan Sesean, di sebelah ti­ mur berbatasan dengan Kecamatan Sa’dan Balusu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Buntu Pepasan.

2.2.2 Topografi

Kecamatan Sa’dan meliputi wilayah pegunungan dan dataran. Jarak tempuh dari ibukota Kecamatan Sa’dan Malimbong ke ibukota Kabupaten Toraja Utara, yaitu Rantepao, adalah 10,5 km. Kecamatan Sa’dan meliputi 10 wilayah desa yang terdiri atas 8 lembang dan 2 kelurahan, yaitu

1. Lembang Sa’ Dan Andulan, 2. Lembang Sa’ Dan Ballopasange, 3. Lembang Sa’ Dan Liku Lambe, 4. Lembang Sa’ Dan Pebulian, 5. Lembang Sa’ Dan Pesondongan, 6. Lembang Sa’ Dan Sangkaropi, 7. Lembang Sa’ Dan Tiroallo, 8. Lembang Sa’ Dan Ulusalu,

9. Kelurahan Sa’ Dan Malimbong, dan 10. Kelurahan Sa’ Dan Matallo.

(http://organisasi.org/daftar­nama­kecamatan­kelurahan­

desa-kodepos-di-kota-kabupaten-toraja-utara-sulawesi-selatan, akses 22 Maret 2012).

Sa’dan Malimbong merupakan ibukota Kecamatan Sa’dan di Kabu­ paten Toraja Utara. Dulu Sa’dan Malimbong merupakan satu desa,

ber-sama dengan Pebulian dan Sangkaropi. Desa itu kemudian dimekarkan menjadi Kelurahan Sa’dan Malimbong, Lembang Pebulian, dan Lembang Sangkaropi. Wilayah Lembang/Kelurahan Sa’dan Malimbong memiliki topografi datar, dengan luas area 4,83 km2, berjarak 25 km dari ibukota

kabupaten (Rantepao), dan memiliki ketinggian 800 m dari permukaan air laut. Di Sa’dan Malimbong ada tiga lingkungan, yaitu Malimbong, Tangge, dan Sang Kombong. Jumlah penduduk di Sa’dan Malimbong total 1.128

(37)

2.2.3 flora dan fauna

Vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar desa adalah berbagai tanaman kayu dan semak hutan, seperti kayu uru, cendana, pinus, buangin, natoh,

palem, taro, mayana, bayam-bayaman, dan bambu. Kayu-kayu tersebut

di gunakan untuk membuat rumah tongkonan, sedangkan bambu digu­

nakan untuk membuat pondok pada saat upacara rambu solo’.

Penduduk menanam berbagai macam buah­buahan dan sayur­sa­ yuran di halaman, di antaranya jambu air, jambu biji, manggis, jeruk bali, durian, avokad, cokelat, kopi, sirsak, pepaya, pisang, nangka, kelapa (jarang), ubi, labu, cabai rawit, tomat, dan kecapi (ketapi). Cokelat dan kopi

merupakan komoditas yang penting. Biasanya penduduk menjual cokelat dan kopi ke pasar di sekitarnya. Sementara tanaman mayana digunakan

untuk keperluan memasak makanan khas Toraja, yaitu pa’piong (daging dicampur dengan daun mayana, dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar). Jenis padi yang ditanam bervariasi, ada yang putih, merah atau cokelat, dan hitam. Padi atau beras yang terkenal di wilayah Toraja Sa’dan yang merupakan varietas lokal Toraja adalah Cinta Nur.

Binatang ternak yang dipelihara oleh penduduk terutama adalah

babi dan kerbau atau tedong dalam bahasa Toraja (Gambar 2.5 dan 2.6). Babi dan kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena diperlukan untuk penyelenggaraan upacara rambu solo’ (pesta upacara kematian). Kerbau belang (tedong bonga) adalah hewan khas

yang sering dijumpai di Toraja. Kerbau ini memiliki dua warna kulit, yaitu abu­abu dan putih. Tedong bonga ini merupakan simbol status sosial yang tinggi bagi orang yang menyembelihnya pada saat upacara Rambu Solo’.

Harga tedong bonga berkisar puluhan hingga ratusan juta, tergantung corak belang di kulitnya dan bentuk fisik kerbau tersebut. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan, Ne’ E, yang akan mengadakan upacara

rambu solo’ ibu mertuanya pada bulan Juli.

”Harga tedong bonga bisa mencapai harga mobil mewah merk tertentu. Yang ada di kandang depan rumah itu harganya cuma Rp70.000.000,00 beberapa waktu yang lalu dibeli untuk acara Rambu Solo’ nenek. Dibeli oleh sepupu, dibeli saat tedong ma­ sih muda dan dipelihara. Anak­anak dan cucu­cucu nenek yang lain juga sedang membeli tedong untuk acara ini. Harga tedong bervariasi ada yang puluhan juta ada juga yang ratusan juta. Memilih tedong juga harus dilihat secara menyeluruh, dari corak kulit, besar tubuh, panjang tanduk, dan lain­lain.”

(38)

Rambu Solo’ memang membutuhkan banyak kerbau. Oleh karena

itu, ada pembiakan kerbau di daerah sekitar Toraja. Menurut penuturan

seorang informan, Bapak L, tedong bonga sering lahir di daerah Morante.

Sering kerbau belang lahir di Morante. Kalau lahir albino di

Toraja pasti buta. Kalau bunting dari daerah lain bisa lahir tidak buta. Tapi kalau kawin di Toraja pasti buta.

Kalau orang Toraja memakan kerbau albino akan mengalami kore ngan. Tapi sekarang yang albino dimakan. Kerbau belang

yang diagungkan tidak sembarang, dipotongkan hanya oleh

yang high class.

Jenis kerbau lain yang memiliki nilai tinggi adalah kerbau balian.

Kerbau balian adalah kerbau jantan berwarna hitam yang telah dikebiri sehingga memiliki tanduk yang panjang. Kerbau ini berharga puluhan juta

rupiah. Kerbau (tedong) untuk upacara rambu solo’ memiliki berbagai macam varian yang juga menentukan status sosial pembelinya.

Ayam juga dipelihara untuk dijadikan ayam aduan maupun untuk keperluan sehari­hari (untuk makanan). Ada juga ayam peliharaan, yaitu ayam tertawa. Ayam ini memiliki bentuk tubuh yang pendek seperti ayam kate, namun berekor agak panjang. Suaranya khas, seperti suara orang tertawa terbahak­bahak. Jenis ayam ini tidak bisa dipelihara di tanah, harus diletakkan di atas pijakan yang tidak langsung menyentuh tanah. Binatang liar yang hidup di Desa Sa’dan Malimbong di antaranya berbagai jenis burung, termasuk burung elang yang sering dijumpai terbang di atas

areal persawahan.

Hewan babi (bai) juga merupakan hewan yang sangat penting ba­ gi orang Toraja. Setiap rumah tangga selalu memiliki peliharaan babi be be rapa ekor, yang dimaksudkan sebagai simpanan tabungan untuk

acara rambu solo’. Terkait binatang piaraan warga, informan, yaitu Ma’ A

menjelaskan sebagai berikut.

”Saya ada piaraan beberapa ekor babi di rumah, rencana untuk Rambu Solo’ Ne’ J bulan Juli besok. Karena dulu waktu bapaknya anak­anak meninggal, keluarga Ne’ J menyumbang

babi. Kalau disumbang tedong saya tidak mau, karena berat

mengembalikannya kelak.”

(39)

ukur dari lingkar dada, semakin besar ukuran lingkar dada semakin mahal harga babi.

Dalam sumbang­menyumbang babi atau kerbau antarkelompok ke­ luarga dalam upacara Rambu Solo’ atau upacara pemakaman yang hanya

satu hari kemudian dimakamkan, Ma’ D menjelaskan dengan istilah “menabung” di keluarga­keluarga tersebut. Berikut keterangan Ma’ D.

”Bapak saya saat ini sudah menulis wasiat, bahwa apabila

nanti meninggal dari kesebelas anaknya berapa-berapa saja

tedong yang harus dipotong, siapa kebagian berapa ekor. Yang

pada intinya bapak saya nanti ketika meninggal tidak mau

memberatkan anak­anaknya. Dan saya juga saat ini sering menabung dengan menyumbang babi ke keluarga­keluarga

yang ada upacara. Sehingga ketika nanti kami ada upacara saya sudah tidak punya hutang di keluarga yang memberi

kepada saya.”

Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)

(40)

Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) untuk upacara rambu solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)

2.3 Religi

2.3.1 Aluk Todolo sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah Hi dup bagi Orang Toraja

Sebelum orang Toraja memeluk agama lain, seperti Kristen atau Islam, nenek moyang orang Toraja telah memiliki sistem kepercayaan yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo. Secara harfiah aluk berarti “aturan/ agama”, todolo berarti “leluhur”. Jadi, Aluk Todolo berarti “agama leluhur” atau “agama purba”.

Sebuah kepercayaan tidak hanya memuat seperangkat aturan ber­ kenaan dengan cara­cara melakukan ritual peribadatan, namun juga merupakan pandangan hidup yang mengandung konsepsi tentang ruang dan waktu, serta panduan perilaku bagi penganutnya. Pandangan hi­ dup tersebut akan menjadi acuan bagi segala aktivitas para penganut kepercayaan itu, termasuk di antaranya cara mereka mengatur ruang

(41)

Aturan­aturan dalam sebuah kepercayaan selain meliputi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, juga mengatur hubungan­hubungan so sial di antara manusia dan hubungan manusia dengan alam tempat ia tinggal dan hidup serta mencari penghidupan. Demikian pula halnya dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Toraja, Aluk Todolo. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, mereka dituntun oleh

sebuah pandangan hidup yang mengatur tentang tata hubungan antara Tuhan (Sang Pencipta) dengan manusia sebagai ciptaan, dan hubungan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup dan mencari nafkah.

Namun berbeda dengan ajaran dalam kepercayaan agama di Indone

-sia pada umumnya, selain mengenal Tuhan, dalam Aluk Todolo kehidupan

manusia juga dipengaruhi oleh para dewa dan roh leluhur mereka. Jadi, konsep Tuhan hanyalah sebagai Pencipta pertama kehidupan.

Meskipun dalam kondisi kekinian para generasi muda hanya me­ mandang bahwa hubungan­hubungan tersebut merupakan sesuatu yang sudah demikian adanya sejak nenek moyang mereka, dan tidak me­ mahami lagi tentang Aluk Todolo, namun aktivitas keseharian mereka te­ tap tak sepenuhnya lepas dari aturan tersebut. Menipisnya pengetahuan berkenaan dengan kepercayaan lama salah satunya disebabkan mereka lebih sering menerima pengajaran agama Kristen daripda kepercayaan

Aluk Todolo. Pada saat ini, walaupun Aluk Todolo sudah bukan kepercayaan

yang dipandang sebagai agama bagi masyarakat Toraja, nilai­nilainya masih dipegang oleh setiap anggota masyarakat.

Ajaran Aluk Todolo merupakan sebuah ajaran tentang falsafah hi­ dup manusia yang sempurna di hadapan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat sehingga penjelasan atau penggambaran terhadap salah satu aspek di antaranya tidak akan sempurna tanpa mengikutkan aspek lainnya. Mereka percaya bahwa manusia atau individu hidup di dunia tidak sendirian dan kehidupan ini ada yang menguasai. Penguasa kehidupan tersebut telah memberikan

kekuatan kepada manusia untuk dapat hidup di bumi. Kekuatan untuk

dapat bertahan hidup tersebut bersumber atau terdapat pada alam. Jika salah satu hubungan ini lepas maka kehidupan ini tidak akan berlangsung dengan baik (Kemenbudpar RI, 2005).

2.3.2 Hubungan Manusia dengan Tuhan

Dalam Bahasa Toraja Tuhan disebut Puang Matua. Menurut masya-rakat Toraja, Puang Matua­lah yang telah menciptakan bumi beserta isinya

(42)

dan memberikan segala sumber kehidupan bagi manusia yang hidup di bumi. Mereka meyakini bahwa sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, mereka wajib untuk menyembah, menjaga, memanfaatkan, serta memelihara segala ciptaan yang telah diberikan. Untuk mewujudkan hubungan antara

manusia dan Puang Matua, selain dilakukan dengan cara berdoa sesuai dengan agama yang mereka yakini saat ini, mereka juga melakukan

pemujaan dan persembahan sesuai petunjuk falsafah Aluk Todolo. Ketika mereka melakukan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta, mereka harus melakukannya dengan mengurbankan sejumlah besar hewan, berupa kerbau, babi, dan ayam sebagai persembahan. Ketiga hewan tersebut harus ada dalam setiap upacara adat karena ketiga hewan

tersebut dalam falsafah Aluk Todolo, seperti yang digambarkan dalam ukiran­ukiran yang ada di Tongkonan yang bergambar tedong (kerbau),

manuk (ayam), dan bai (babi), masing­masing hewan melambangkan

kerja keras dan kesabaran, keberanian, dan kemakmuran.

Konsep Tuhan dalam ajaran Aluk Todolo hanya diartikan sebagai

pencipta awal kehidupan manusia. Sementara pemeliharaannya

diper-cayakan kepada para dewa­dewa yang memiliki tugas khusus, seperti dewa yang memelihara air yang disebut Pasikambi Tetean Tampo dan

dewa yang memelihara sawah yang bernama Kalimbuangboba Puang Matokko’ Sadamairi. Selain para dewa, orang Toraja juga meyakini bahwa arwah nenek moyangnya yang telah meninggal, sebelum diupacarakan masih berdiam di sekitar mereka dan belum pergi ke alam puya atau

surga. Arwah nenek moyang tersebut tinggal di pohon­pohon sekitar de­ sa dan mengawasi anak­cucu mereka yang masih hidup. Arwah nenek moyang tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya kehidupan keturunannya dengan cara memberikan atau tidak memberikan berkat. Keberuntungan adalah sebuah pertanda pemberian

berkat leluhur kepada mereka.

Sebagai makhluk ciptaan, untuk menjalin hubungan yang baik de­ ngan Sang Pencipta, dalam adat Toraja lama atau Aluk Todolo, para To’ Mina’a memegang peranan yang paling penting. Ia adalah manusia yang dipandang dapat menyampaikan dan menghubungkan antara manusia dengan Sang Pencipta sehingga untuk memimpin sebuah upacara, keha­

dirannya adalah mutlak. Para To’ Mina’a memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menempati posisi ini karena me­ rupakan posisi yang diwariskan secara turun­temurun. Menghormatinya

(43)

Pencipta. Dan pendustaan terhadapnya juga dipandang sebagai pendu

-staan terhadap Sang Pencipta.

Persembahan sebagai salah satu bagian dari pemujaan menempati posisi penting dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Persembahan me­ rupakan media bagi manusia sebagai makhluk ciptaan memberikan peng­ hormatan kepada Sang Pencipta atas karunia kehidupan dan kesejahteraan yang telah diberikan­Nya. Selain itu, persembahan juga menjadi perantara bagi manusia untuk meminta berkah dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi pemujaan saja tidaklah cukup. Ritual yang telah dilakukan tidaklah berarti bila aturan­aturan lainnya tidak dilaksanakan dengan baik. Tidak menjaga hubungan dengan manusia atau melakukan tindakan yang merusak alam merupakan bentuk­bentuk pengingkaran dan penghinaan terhadap Sang Pencipta. Semua aturan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia dan dengan alam merupakan bentuk pemujaan tersendiri terhadap Sang Pencipta.

2.3.3 Hubungan Manusia dengan Manusia

Dalam melaksanakan aktivitas keseharian masyarakat Toraja harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Setiap kali melakukan interaksi dengan sesamanya mereka selalu didasari oleh rasa kekeluargaan. Setiap orang menganggap bahwa hanya sesama yang akan memberikan bantuan dalam kehidupan sehari­hari dengan cara hidup bergotong­ royong. Mereka selalu berpedoman pada aturan adat yang menyebutkan

bahwa misa kada dipo tuo, pantan kada di pomate (satu kata kita hidup bersama, berbeda kita akan bercerai berai).

Kehidupan keseharian yang harmonis dengan sesama merupakan pencerminan dari ketaatan terhadap Sang Pencipta. Dan, Sang Pencipta

telah memberikan kuasa pada para leluhur untuk memberikan bantuan

dan memperhatikan gerak­gerik mereka. Bantuan para leluhur diberikan

dalam bentuk berkat atas mereka serta keturunannya. Oleh karena itu, mereka harus melakukan pula pemujaan dan persembahan kepada

le-luhur atas bantuan mereka melalui berkat yang telah diberikan.

Salah satu wujud penjelasan di atas, bahwa setiap hubungan ma

-nusia yang masih hidup diperhatikan oleh para leluhur mereka, adalah

dilakukannya Pemala’ Lako Tomembali Puang/Todolo.Artinya, pemujaan dan persembahan kepada Sang Pengawas manusia oleh para keturunan

(44)

yakni dengan mengurbankan salah satu hewan kurban berupa kerbau,

babi, atau ayam.

Dalam beberapa upacara penting dalam setiap kegiatan adat masya­ rakat Toraja selalu dilakukan ritual persembahan kurban yang disebut su­ runa’ malolo tau’. Ritual ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian panjang sebuah upacara yang ditujukan untuk mensyukuri kehidupan dan kelahiran manusia. Ritual ini bertujuan untuk mengingatkan kepada setiap manusia akan pentingnya jalinan kekeluargaan yang erat di antara mereka dan sikap saling menghargai. Dalam ajaran adat terdapat sebuah falsafah keluarga yang mengajarkan kebersamaan dalam masyarakat, yaitu apabila

seseorang mengalami kesulitan, kesulitan itu menjadi tanggungan seluruh anggota kerabat (Kemenbudpar RI, 2005). Kata kerabat menggambarkan keluarga luas dan bukan keluarga batih. Dengan demikian, konsep kerabat adalah mereka yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh ibu A berikut ini.

”Di sini kami semua saudara, karena keturunan dari ne’pitu baku ka win antarsepupu. Rata­rata di sini kami menikah

dengan saudara sepupu sendiri. Makanya ada istilah sepupu satu kali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali untuk menjelaskan

derajat keturunan ke berapa mereka saling menikah. Kalau ada acara rambu solo’ penuh semua di Sa’dan. Karena keluarga yang di rantau pada datang untuk menghadiri.”

Baku bantu (saling membantu) antara kerabat juga dijelaskan oleh informan A seperti berikut.

”Saya ditinggal sama almarhum (suami) dengan sembilan orang anak yang masih kecil-kecil, tidak akan bisa hidup kalau

di Jawa atau di kota lain. Hidup di sini banyak keluarga yang membantu menyekolahkan anak­anak hingga mereka dewasa, bekerja, dan menikah.”

Hingga kini pengaturan hubungan antara manusia dalam pemerin -tahan adat masih didasarkan pada ajaran Aluk Todolo. Pemerintahan adat

masih tetap dipimpin oleh seorang To Mina’a, yang fungsinya sangat vital bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Apabila terjadi konflik dalam

masyarakat, To Mina’a harus datang untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan menempuh cara­cara kekeluargaan, sebelum mereka sam

(45)

-Kegiatan seperti menanam padi harus dilakukan secara serentak, dipimpin oleh seorang To Mina’a. Penanaman padi serentak dimaksudkan agar tan

-aman padi juga bersamaan tumbuh dan berbuah. Dengan demikian, padi dapat dipanen bersama­sama. Jika padi tidak serentak ditanam, dikha

-watirkan bila terjadi serangan hama tikus maka semua sawah akan rusak karena tikus dapat menghabiskan semua hasil panen dalam satu sawah. Sementara jika dilakukan penanaman padi secara serentak, hama tikus diyakini tidak akan mampu menghabiskan seluruh padi di sawah sehingga masih ada sawah yang bisa diambil hasilnya untuk digunakan bersama.

Serangan hama tikus bukan hanya dilihat sebagai kesalahan para pe tani akibat tidak mematuhi aturan penanaman serentak. Akan tetapi ketika sebuah lahan persawahan yang ditanami secara bersama diserang hama tikus maka To Mina’a akan datang ke sawah untuk melihat gejala yang dapat menunjukkan penyebabnya. Apabila kerusakan disebabkan oleh tikus, To Mina’a akan melihat cara tikus makan padi tersebut. Apabila padi yang dimakan adalah padi yang ada di bagian tengah sawah, ia akan mengambil kesimpulan bahwa sebuah kesalahan telah dilakukan oleh penguasa kampung, misalnya To Makaka, Bunga Lalan, atau Ndo Padang. Sementara, jika padi dimakan tikus mulai dari pinggir sawah kemudian ke tengah, To Mina’a akan berkesimpulan bahwa pemilik sawah

yang melakukan pelanggaran, sebab biasanya bila sawah tidak ditanami bersamaan, tentunya tikus akan memulai memakan padi dari pinggir agar mudah dibawa ke sarang. Akan tetapi bila ditanam serentak, tikus hanya memakan tangkai padi yang patah atau rebah karena penjagaan petani sangat ketat.

Pada saat para petani turun ke sawah mulai menanam padi,

tokoh-tokoh adat berembuk dan mengumumkan bahwa mulai saat itu, untuk jangka waktu seminggu orang tidak boleh menebang pohon. Mereka percaya bahwa para arwah leluhur yang masih berdiam di bumi dan tinggal di pohon­pohon akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas keturunannya dan memberikan berkat atas pekerjaan tersebut. Menebang

pohon akan menjadikan berkat para leluhur berubah menjadi kutukan.

Secara logis dapat diterangkan bahwa menebang pohon pada saat musim tanam adalah sebuah perbuatan yang tidak bijaksana. Menebang sebatang pohon tentu memerlukan tenaga yang banyak, sementara pada saat yang sama juga dibutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikan proses penanaman padi. Perbuatan tersebut dipandang sebagai dosa sosial pada masyarakat. Demikian pula aktivitas membersihka pohon

Gambar

Tabel 1.1 Urutan Ranking IPKM dan Kategori Daerah Kajian Riset  Etnografi Budaya KIA 2012
Gambar 2.1 Peta wilayah Kabupaten Toraja Utara.
Gambar 2.2 Kompleks pemakaman Mendila di sekitar To’ Barana yang sudah tertutup rumput  dan tanaman liar
Gambar 2.3 Sungai Sa’dan yang mengalir  dari selatan ke utara Kabupaten Toraja Utara.
+7

Referensi

Dokumen terkait