• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.6 Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Toraja, dengan Toraja Sa’dan sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi yang digunakan masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Toraja. Bahasa Indonesia hampir dikuasai oleh seluruh masyarakat Toraja baik yang berusia muda maupun yang sudah tua. Hal ini karena pengaruh pe­ nyebaran agama Kristen yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai media proses penyampaian pesan­pesan keagamaan.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’,

Talondo’, Toala’, dan Toraja­Sa’dan, yang termasuk dalam rumpun bahasa

Melayu-Polinesia dari bahasaAustronesia. Pada mulanya, sifat geografis Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Dialek Toraja Sa’dan sendiri menurut informan, yakni Ibu I, cukup berbeda dengan Toraja yang lain. Ia mengungkapkan sebagai berikut.

”Orang Sa’dan itu dialeknya hampir sama dengan orang Batak, yang cepat dan keras dalam berbicara. Cara ngomong seperti orang teriak­teriak, mungkin mi karena daerah Sa’dan adalah pegunungan jadi harus bicara keras agar orang yang diajak bicara di seberang atau di bawah sana bisa terdengar.”

Lebih lanjut Ne’ B menjelaskan tingkatan dalam percakapan Bahasa Toraja sehari­hari, sebagai berikut.

”Ada tingkatan yang digunakan dalam bahasa Toraja sehari-hari, seperti bahasa daerah lainnya, bahasa Toraja ada juga yang bahasa sopan atau halus untuk orang­orang yang setara atau lebih tinggi tingkatannya dalam masyarakat. Dan ada juga bahasa kasar untuk orang yang tingkatnya lebih rendah.”

Setelah ada pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama adanya keragaman dalam bahasa Toraja. Dialek Toraja Sa’dan digunakan di beberapa daerah, seperti Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu’), dan Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa­Pana).

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah mem­ buat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh peristiwa kehilangan seseorang. Hal tersebut kadang­kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Sebagaimana daerah lain, orang Toraja mempunyai bahasa sendiri, yakni bahasa Toraja yang biasa digunakan sebagai alat komunikasi di

Menurut Layuk (2011), bahasa Toraja terdiri atas dua jenis, yaitu bahasa Toraja biasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari­hari dan bahasa Tomina’a yang sering digunakan dalam upacara adat Toraja.

Bahasa Tomina’a berbeda dengan bahasa Toraja yang biasa digunakan oleh masyarakat Toraja pada umumnya sebagai alat komunikasi sehari­ hari. Kada­kada Tomina’a disebut bahasa Toraja tingkat tinggi karena kemampuan untuk menyampaikan bahasa ini hanya dimiliki oleh orang tertentu saja dan penyampaiannya tidak boleh menyimpang dari situasi atau acara adat yang sedang berlangsung.

Berikut tabel contoh perbedaan bahasa Toraja biasa, bahasa

Tomina’a, dan artinya dalam bahasa Indonesia.

Tabel 2.3 Perbedaan Bahasa Tomina’a dengan Bahasa Toraja Biasa Bahasa Toraja Biasa Bahasa Tomina’a Bahasa Indonesia

Baine Simbolong manik Perempuan

Pare Tallu bulinna Padi

Tedong Sanglamba’ bulunna Kerbau

Siulu’ku Rendeng loloku Saudara kandung

Sumber: Layuk, 2011

Contoh lain yang membedakan bahasa Tomina’a dengan bahasa lain adalah susunan suku kata. Agar pengucapan kada­kada Tomina’a enak didengar, setiap satu rangkaian kata harus terdiri atas delapan suku kata. Misalnya “Tabe’ ambe’ tabe’ indo, siman angga sola nasang”, yaitu Ta­be’

am­be’ ta­be’ in­do’, si­man ang­ga so­la na­sang.

Dalam pengungkapannya, bahasa Tomina’a menggunakan gaya allegoris dengan menggunakan kiasan atau lambang­lambang sehingga ada sebagian orang yang tidak memahaminya. Misalnya, ungkapan duka dalam acara rambu solo’ “Susi to na siok langkan, na timpayo

manuk-manuk” artinya “Bagaikan disambar elang, dimangsa burung­burung”.

Mak na sebenarnya adalah ungkapan duka yang sangat mendalam karena orang yang diupacarakan meninggal secara tiba­tiba.

Bagi orang yang tidak memahami budaya Toraja, bila mendengar secara langsung Kada­kada Tomina’a baik dalam upacara rambu solo’ maupun rambu tuka’ mungkin beranggapan bahwa apa yang disampaikan oleh Tomina’a hanyalah rangkaian kata­kata biasa yang tidak memiliki arti sama sekali. Namun bagi masyarakat Toraja, Kada­kada Tomina’a

mengandung makna yang sangat mendalam. Pesan­pesan yang terdapat dalam Kada­kada Tomina’a bukan sekadar pesan biasa tanpa mengandung arti, akan tetapi Kada­Kada Tomina’a tersebut disampaikan dengan maksud dan tujuan tertentu (Layuk, 2011).

Pada umumnya orang Toraja Sa’dan menggunakan bahasa Toraja dalam kehidupan sehari­hari. Namun ketika bercakap­cakap dengan orang yang tidak memiliki frame bahasa Toraja, mereka dengan lugas meng gunakan bahasa Indonesia. Bahkan mereka yang berumur di atas 70 tahun pun cukup cakap menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu merupakan sebuah fenomena kebahasaan yang sangat berbeda dari daerah lain, khususnya di Sulawesi Selatan. Menurut keterangan informan, pengaruh masuknya agama Nasrani yang dalam menyampaikan ajaran Tuhan menggunakan bahasa Indonesia merupakan salah satu faktor utama dalam pembentukan bahasa Indonesia ini menjadi bagian dari budaya orang Toraja dan dipahami oleh hampir semua kalangan di Toraja Sa’dan.