• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.7 Kesenian

2.7.1 Seni Bangunan dan Ukiran 2.7.1.1 Tongkonan

Hingga saat ini tongkonan merupakan salah satu wujud kebudayaan Toraja yang penting dan sulit dipisahkan dari kehidupan orang Toraja di mana pun berada. Bagi orang Toraja, tongkonan bukan saja sebuah tempat tinggal, melainkan juga memiliki fungsi dan peranan penting sebagai pusaka dan identitas keluarga. Tongkonan dimaknai sebagai yang ditempati duduk untuk membicarakan dan menyelesaikan segala permasalahan penting. Tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti “duduk”.

Pada masa lampau, dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja, se-seorang yang memegang kekuasaan dan menjadi tetua adat di suatu wilayah selalu didatangi di rumahnya untuk dimintai petunjuk setiap kali ada masalah. Di rumah penguasa adat itulah segala permasalahan penting diputuskan. Di tempat ini pulalah orang­orang berdatangan untuk menerima perintah dan petuah dari sang penguasa adat. Inilah yang menjadi cikal bakal digunakannya kata tongkonan untuk menamai rumah tempat tinggal seorang penguasa adat (tempat menerima petuah dan

Para bangsawan lalu menjadikan tongkonan sebagai istana yang berfungsi sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahannya, selain tetap berfungsi sebagai hunian bagi keluarganya. Setiap keturunan yang lahir dari

tongkonan ini memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga tongkonan

sebagai sebuah pusaka keluarga. Dengan cara demikianlah semua anggota keluarga memelihara kedudukan dan kekuasaan tongkonannya secara bersama-sama.

Seiring perkembangan, pembangunan beberapa tongkonan yang be-rada dalam satu lokasi tongkonan keluarga mulai berkembang, mengingat pertambahan jumlah anggota dalam keluarga. Meski demikian, hanya ada satu tongkonan yang berfungsi sebagai rumah adat. Selebihnya difungsi-kan sebagai tempat tinggal biasa bagi keturunan tongkonan tersebut. Se-perti contoh di Tongkonan To’ Barana Sa’dan, yang merupakan salah satu dari tongkonan­tongkonan tua yang ada di Sa’dan. Puang dalam Tongko­

nan To’Barana mempunyai tujuh orang anak yang dikenal dengan

sebu-tan Ne’ Pitu (Tujuh Nenek). Tujuh nenek ini memiliki keturunan-keturunan yang saling kawin. Beberapa dari keturunan ini akhirnya membangun

tongkonan sendiri, untuk satu rumpun keluarga mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya, tongkonan juga dibangun oleh orang­orang yang bukan dari keturunan penguasa adat. Mereka mem­ bangun tongkonan keluarganya sendiri sebagai pusat tempat tinggal untuk membina keturunan serta memelihara warisan/pusaka keluarga. Hingga saat ini, tongkonan masih digunakan sebagai penanda untuk mengetahui hubungan­hubungan keluarga di antara orang Toraja, misalnya saat seseorang ingin mencari kerabatnya, biasanya menanyakan tongkonan keluarganya.

Ada tiga tingkatan tongkonan yang dikenal di Toraja, yakni sebagai berikut.

1. Tongkonan Layuk, yaitu tongkonan yang menjadi sumber perintah dan kekuasaan serta menjadi tempat dibuatnya aturan kemasyarakatan yang pertama kalinya di Toraja. Tongkonan yang dimaksud adalah

Tongkonan Pesio’ Aluk.

2. Tongkonan Pekaindoran/Pekamberan, yaitu tongkonan yang diba­ ngun oleh penguasa­penguasa di masing­masing daerah untuk mengatur pemerintahan berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’

Aluk.

3. Tongkonan Batu A’riri (tiang batu), yaitu tongkonan yang tidak me­ miliki peranan dan fungsi politis, tetapi hanya berfungsi sebagai

pertalian satu rumpun keluarga yang menjadi turunan pendiri

tongkonan tersebut untuk memelihara persatuan keluarga dan me­

melihara warisan tongkonan tersebut.

Meski berbeda tingkatan, fungsi, dan peranan, ketiga tongkonan ini dibangun dengan bentuk yang sama, yaitu menyerupai perahu layar. Hal ini berkaitan dengan sejarah asal muasal nenek moyang orang Toraja. Menurut sejarah, perahu awalnya menjadi tumpangan mereka, lalu dijadikan tempat tinggal. Rumah­rumah ini ditempatkan di daerah­daerah yang tinggi, terutama rumah milik penguasa adat. Beberapa tongkonan yang dikenal adalah Tongkonan Pesio’ Aluk atau Tongkonan Penyusun Aluk. Selain dalam hal tingkatan dan fungsinya, perbedaan yang lainnya terdapat dalam upacara selamatan (upacara wajib yang bernama Mangrara Banua

Di Tallung, khusus untuk Tongkonan Aluk dan Tongkonan Pekamberan),

dan jumlah tanduk kerbau yang melambangkan persembahannya, serta ukiran yang digunakan di tongkonan.

Gambar 2.8 Tongkonan Galugu 2 merupakan salah satu dari Tongkonan tua di Sa’dan, yang berusia hampir lima abad.

Fungsi tongkonan sangat beragam, yakni sebagai lambang sumber kekuasaan adat dan pemerintahan adat, tempat bermusyawarah, serta tempat membina persatuan keturunan dan harta warisan keluarga. Hal ini turut membentuk kepribadian dan kebudayaan orang Toraja yang senantiasa memegang prinsip kesatuan, kekeluargaan, serta kegotong­ royongan, dan setiap manusia Toraja terikat di dalamnya. Inilah sebabnya

tongkonan menjadi sangat penting artinya bagi orang Toraja. Tongkonan

keluarga bisa dilihat pada Gambar 2.8.

2.7.1.2 Alang

Pembangunan rumah tongkonan akan selalu disertai dengan pem­ bangunan alang (lumbung) (lihat Gambar 2.9), yang arahnya berhadapan dengan Tongkonan. Menurut keterangan informan, Bapak S, alang merupakan simbolisasi dari laki­laki. Fungsi sebelumnya adalah untuk menyimpan padi, namun dalam perkembangannya akhir­akhir ini, banyak

alang yang dibiarkan kosong, dan hanya digunakan sebagai simbol keter­

kaitan kekerabatan dengan rumah tongkonan.

Gambar 2.9 Alang (lumbung) dalam satu rumpun keluarga. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

”Itu alang, kalau dibangun rumah tongkonan harus dibangun itu. Itu tongkonan (perempuan) itu alang (laki­laki), pasangannya. Kaku kalau dibuat tongkonan saja tanpa alang. Dua tongkonan dibangun juga dibangun dua alang. Dulu penuh padi di atas, tapi sekarang kosong. Harus pasangan, tongkonan dan alang. Siapa bangun tongkonan, tinggal usul siapa bangun alang. Siapa kasih berdiri itu alang. Itu juga bikin rumah tongkonan. Tidak sembarang masuk bikin tongkonan di situ, kalau tidak ada hu bungan nenek di situ. Itu tanah tongkonan istilahnya pangarapuan, harus ada kaitannya. Harus tau siapa neneknya ... silsilah harus jelas. Ada saudara yang tau jelas mengenai silsilah itu.”

2.7.1.3 Pattane

Pattane adalah sebuah bangunan rumah batu untuk

menyemayam-kan jenazah, sebagai tempat peristirahatan terakhir setelah dilakumenyemayam-kan upacara rambu solo’. Pada zaman dulu, pattane berupa batu besar yang dilubangi untuk menyimpan jenazah.

Gambar 2.10 Pattane untuk menyemayamkan jenazah keluarga sebagai tempat peristirahatan terakhir.

2.7.1.4 Ukiran Toraja

Kesenian ukir Toraja biasa digunakan pada ukiran kayu panel­panel rumah tongkonan dan alang. Setiap panel ukiran melambangkan niat baik, menunjukkan konsep keagamaan dan sosial. Orang Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya pa’ssura (tulisan/ukiran). Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motif ukiran biasanya hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air, seperti gulma air dan hewan, seperti kepiting dan kecebong, yang melambangkan kesuburan. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang­barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk mendapatkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan motif umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar ukiran Toraja karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris. Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah­rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti tersebut biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih dipertahankan. Selain itu ada ornamen yang merupakan hiasan semata­ mata, misalnya sumbang dan ketombe, yakni sirip-sirip kayu berukir pada tiap­tiap sudut rumah adat. Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam, masing­masing sebagai berikut.

1. Ornamen binatang kerbau, yakni binatang yang hampir selalu ada (disembelih) dalam setiap upacara adat. Banyak bagian badan ker­ bau dipergunakan sebagai model ukiran, misalnya tanduk dan kepala (tiruannya). Selain itu, motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau (tiruan dari kayu) biasanya dipasang pada ujung­ujung balok lantai bagian depan (pata sere). 2. Tanduk kerbau disusun pada tiang utama (tulak­sonba), artinya

menyatakan jumlah generasi yang pernah tinggal di rumah adat tersebut. Ayam jantan, sebagai lambang kasta Tana’ Bulaan (ksatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga pada pintu. Babi

sebagai lambang binatang sajian. Ornamen senjata, seperti keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang kasta Tana Bulaan (ksatria). 3. Ornamen tumbuh­tumbuhan. Daun sirih dan bunga diukirkan pada

tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit­langit lumbung sebagai ruang tamu, juga pada pintu. Ornamen ukiran kayu menggunakan kayu uru.

4. Ornamen lukisan diukir, kemudian dipasang di tempat. Penyelesaian lukisan biasanya menggunakan zat pewarna yang dibuat dari tanah, tuak atau arang, cuka, dan air.

Ukiran Toraja bukanlah gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun tongkonan. Seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita­cita kehidupan masyarakat sehingga seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam. Menurut sejarah, pada awalnya hanya dikenal empat bentuk dasar gambar (lambang), yaitu lambang empat pokok kehidupan manusia, yang kemudian diaplikasikan pada rumah tongkonan dengan maksud agar tetap menjadi perhatian dan selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu, ukiran tidak diletakkan secara sembarangan pada bangunan tongkonan atau rumah, tetapi dipasang menurut pandangan dan falsafah hidup Toraja (Aluk Sanda Pitunnna). Keempat dasar ukiran tersebut disebut garonto’ passura’ (pokok ukiran), yaitu pa’

barre’ allo, pa’ manuk londong, pa’ tedong, dan pa’ sussu’. Sampai saat ini

dalam masyarakat Toraja dikenal empat golongan passura’ berdasarkan peranan dan arti passura’ (ukiran), yaitu sebagai berikut.

1. Garonto’ passura’ (pokok­pokok ukiran) yang merupakan simbol da­ sar kehidupan orang Toraja, yaitu pa’ barre’ allo, pa’ manuk londong,

pa’ tedong, dan pa’ sussu’

2. Passura’ todolo (ukiran tua), yaitu ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkhasiat bagi pemakainya, yaitu pa’ erong,

pa’ ulu karua, pa’ doti langi’, pa’ kadang pao, pa’ barana’, pa’ bai, pa’ lolo tabang, pa’ daun bolu, pa’ daun paria, pa’ bombo wai, pa’ kapu’ baka, pa’ tangke lumu’, pa’ bungkang tasik, pa’ lolo paku, pa’ tangki’ pattung, pa’ bulintong, pa’ katik, pa’ talinga tedong, dan lain-lain.

3. Passura’ malolle’ (ukiran kemajuan dan perkembangan), yaitu ukir­ an yang sering digunakan pada bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (tongkonan batu a’riri). Ukiran ini digunakan sebagai

oleh pranata etika dan moral. Ada kalanya ukiran ini memiliki pertalian arti dan makna dengan ukiran passura’ todolo, yaitu pa’ sala’bi’, pa’

tanduk ra’pe, pa’ tukku pare, pa’ bunga kaliki, pa’ poya munda, pa’ bulintong siteba’, pa’ bulintong situru’, pa’ karrang longa, pa’ papan kandaure, pa’ passulan, pa’ sepu’ torongkong, dan lain-lain.

4. Ukiran pa’ barrean (ukiran kesenangan), merupakan ukiran yang terdiri atas potongan­potongan yang berbentuk sama, ada yang lurus dan ada pula yang berupa lengkungan, yaitu pa’ bannangan,

pa’ barra’­barra’, pa manik bu’ku’, pa’ ara’ dena’, pa’ komba kalua’, pa’ bua kapa’, pa’ gayang, dan lain-lain.

Untuk mengukir ukiran Toraja, digunakan warna yang terdiri atas warna alam, yang mengandung arti dan makna tersendiri bagi masyarakat Toraja, yaitu sesuai dengan falsafah hidup dan perkembangan hidup manusia Toraja. Oleh karena itu, warna pada ukiran tersebut tidak bo­ leh diganti/diubah. Bahan warna passura’ (ukiran) disebut litak, yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja. Warna­warna ini meliputi warna merah (litak mararang), warna putih (litak mabusa), warna kuning

(litak mariri), dan warna hitam (litak malotong).

Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang ma­ nusia yang melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan di mana saja pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari­hari. Warna kuning merupakan warna kemuliaan, se­ bagai lambang ketuhanan, yang dipergunakan pada waktu upacara ram­

bu tuka’, demi keselamatan manusia. Warna hitam merupakan lambang

kematian atau kegelapan, dipakai pada waktu upacara rambu solo’ (upa­ cara kematian). Arti warna hitam pada dasar setiap passura’ (ukiran) adalah bahwa kehidupan setiap manusia diliputi oleh kematian. Menurut pandangan Aluk Todolo, dunia ini hanya tempat bermalam saja atau tem-pat menginap sementara.

Semua warna passura’ tersebut merupakan warna alam karena ber-bahan tanah, kecuali warna hitam diambil dari arang belanga. Bahan alami ini lebih tahan lama terhadap pengaruh cuaca dan iklim dibandingkan dengan warna dari bahan sintetis (http://budayatoraja.tripod.com/Ukiran. htm, akses 08 Juni 2012).

Motif ukiran yang terkait dengan kesehatan adalah motif paqlolo

tabang (lihat Gambar 2.11) yang berbentuk daun tabang. Daun tabang

Gambar 2.11 Motif paqlolo tabang, berbentuk daun tabang sebagai simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta jauh dari berbagai penyakit.

(Sumber: Foto Ukiran Toraja)

jauh dari penyakit. Juga ada motif paqsalaqbiq ditoqmokki (lihat gambar 2.12) yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain.

Gambar 2.12 Motif ukir paqsalaqbiq ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain.

2.7.2 Seni Tari, Cerita, dan Nyanyian Rakyat di Toraja Sa’dan 2.7.2.1 Tarian

Beberapa tarian yang masih dikembangkan dan diajarkan di sanggar seni pimpinan Ibu M di Sa’dan Malimbong antara lain sebagai berikut.

Tarian Pajaga

Tarian pajaga adalah sebuah tari tradisional yang hanya dapat ditarikan di wilayah Sa’dan Balusu dan sekitarnya. Tarian ini ditarikan pada upacara syukuran rumah tongkonan, yang disebut merok, namun biasanya juga ditarikan pada upacara rambu tuka’ (syukuran) yang lain. Tarian yang hanya ditarikan oleh laki­laki ini didominasi gerakan kaki dan tangan sambil bergeser maju berlawanan arah, diiringi irama lagu tradisional. Lirik lagu menyangkut rumah yang diupacarakan, mulai dari lokasi, po­ sisi rumah tongkonan bagian paling bawah misalnya batu alas, tiang, sampai yang paling atas, yaitu bubungan (atap rumah). Tarian Pajaga ini memiliki makna bahwa seluruh bagian rumah diharapkan menjadi simbol kesejahteraan.

Tarian Bone Balla

Bone balla berarti “pesta rumah”. Tarian bone balla ditarikan pada

acara pesta rumah, syukuran rumah tongkonan, yang merupakan puncak upacara syukuran yang disebut merok. Tarian ini dapat pula ditarikan pada acara rambu tuka’ yang lain, seperti upacara perkawinan dan upacara menyambut tamu­tamu penting. Tarian ini ditarikan oleh beberapa orang gadis dengan kostum dan ornamen Toraja asli, misalnya gayang (keris emas), kandaure + sa’pi kepala + sa’pi tangan, lola emas (gelang) Toraja,

mani kata/manik alla emas (kalung) Toraja, dan masaktura emas (kalung)

Toraja. Tari ini didukung oleh satu alat, yaitu gendang sebagai penentu gerakan. Tarian bone balla mengikuti irama gendang yang ditabuh oleh seorang pria. Gerakan yang dominan adalah gerakan tangan sambil meng­ gerakkan destar (passapu). Setiap gerakan merupakan simbol yang me­ ngandung nilai filosofis kehidupan.

Gerakan bunyi gendang ke 1.

1. Mesiman ma’ pamula, merupakan ungkapan rasa hormat kepada hadirin.

2. Maliamba passapu, merupakan gerakan untuk menyatakan rasa ber­ syukur kepada Tuhan.

3. Mabenan passapu, merupakan gerakan untuk mengumumkan ke setiap penjuru tentang upacara merok.

4. Ma’kale’pe passapu.

5. Ma’pori passapu (mengikat destar), berarti terciptanya kata sepakat antarkeluarga tongkonan untuk melaksanakan upacara.

6. Ma’rimbakan passapu (mengibaskan destar), makin banyak orang lain mengetahui tentang upacara syukuran tersebut.

7. Ma’basse passapu (meletakkan destar di atas bahu), berarti segala persiapan.

Gerakan bunyi gendang ke 2.

1. Unnondo, bergerak maju mundur sambil lenggang tangan, berarti upacara sudah dimulai.

2. Ma’ tanduk tedong, sebagai simbol status ekonomi yang tinggi. 3. Massiri, merupakan simbol “bersih” dari silang sengketa, baru upa­

cara merok dapat dilakukan.

4. Ma’temme awak, merupakan simbol kelegaan menikmati hasil usaha keras.

5. Ma’langkan­langkan, merupakan simbol rasa puas atas pelaksanaan upacara Merok.

6. Messiman sule, merupakan tanda selesainya upacara.

Tarian Ondo Samalele

Tarian ondo samalele ditarikan secara massal setelah tari bone balla pada saat upacara syukuran rumah tongkonan atau syukuran rumah yang disebut merok. Tarian ini juga dapat ditarikan pada upacara rambu

tuka’ lain, seperti ulang tahun kabupaten dan upacara menyambut tamu

penting. Tarian ini ditarikan secara massal hanya oleh kaum perempuan, keluarga pemilik rumah (rapu talangna), dari anak kecil sampai orang tua, baik yang memakai ornamen maupun tidak. Ornamen ini merupakan usungan setiap keluarga, berbentuk seperti gayang (keris emas). Jumlah yang dipakai bervariasi antara 1­10 gayang, menurut status sosial ekonomi mereka. Tarian ondo samalele ini didukung oleh gendang yang ditabuh oleh tiga orang pria. Model tampilannya melingkar mengelilingi gendang yang ditabuh.

Tarian Kellu Tunggari Sa’dan

dan penyambutan tamu­tamu penting. Merok adalah puncak upacara

rambu tuka’. Tarian ini ditarikan secara bergiliran oleh wanita dari ketu­

runan leluhur pemilik tongkonan yang diupacarakan. Penari mengikuti irama gendang, lagu, dan syair (sengo) yang ditabuh dan dinyanyikan oleh sekelompok laki­laki. Lirik lagu/sengo berbeda antara seorang penari dengan penari yang lain karena isinya meyangkut status sosial dan taraf penghidupan setiap penari.

Klasifikasi status sosial dan taraf penghidupan setiap penari dibagi sebagai berikut.

1. Status sosial taraf penghidupan lebih tinggi. 2. Status sosial taraf penghidupan menengah. 3. Status sosial taraf penghidupan rendah. 4. Status anak yatim/piatu (yatim piatu). 5. Status anak-anak.

Tarian Pa’gellu

Tari Pa’gellu adalah salah satu tarian Toraja yang dibawakan oleh para gadis untuk mengekspresikan suka cita. Tarian ini biasanya dibawakan pada acara rambu tuka’, seperti pernikahan (Gambar 2.13). Di pertengahan tarian, penonton akan menghampiri penari untuk memberikan uang yang diselipkan di antara hiasan kepala si penari (ma’ toding) (Bendon, 2007).

Gambar 2.13 Tari pa’gellu yang ditarikan dalam upacara pernikahan di Toraja. (Sumber: Foto Olivia Bendon, 2007; http://obendon.multiply.com, akses 08 Juni 2012)

Selain tarian­tarian di atas, ada tarian­tarian lain yang berkaitan dengan ritus rambu solo’, seperti pa’badong, pa’dondi, pa’randing, pa’ka­

tia, pa’papanggan, passailo, dan pa’pasilaga tedong.

2.7.2.2 Nyanyian

Seni musik dan nyanyian yang digunakan dalam upacara rambu solo’ antara lain Pa’pompang, Pa’dali­dali, dan Unnosong. Selain itu, nyanyian lain yang populer adalah sebagai berikut.

Menani pare

Lagu ini dinyanyikan ketika akan menanam padi, sebagai simbol harapan kepada Yang Mahakuasa agar padi yang ditanam bisa tumbuh subur dan panen melimpah.

Lagu Nina Bobo

Lagu ini merupakan lagu Toraja Sa’dan untuk meninabobokan anak yang dinyanyikan orang lain pada saat orang tuanya tidak ada di rumah. Syairnya adalah sebagai berikut.

Pua’ pua’ dede (Ayun­ayun dan ditepuk­tepuk) Umba injo’mu (Dimana ibumu)

Male sau pasa’ (Pergi ke pasar)

Apa nabawangko (Apa yang dibawakan dari pasar) Piso piso polo (Pisau kecil buntung)

Diapai pisau polo (Mau diapakan pisau kecil buntung) Diapai tala tala (Dipakai tebang bambu kecil)

Di passumparan pao (Untuk dipakai solok mangga) Umbami pao­pao (Mana mangganya)

Mangka nakanje bai lookol (Sudah dimakan babi)

Penanian/nyanyian dolong-dolong

Dolong­dolong passaran kayu (Wadah yang terbuat dari kayu) Dipalojoi utan battae (Wadah kayu itu di pakai untuk tempat sayur

ubi)

Utan Battae mammi’ di kanje (Sayur ubi itu enak di makan) Dipasitollo lada katokkon (Dimasak sama lombok katokkon)

1. Tulang didi daya para: menceritakan anak tiri yang disembunyikan di atas para, lalu ada ayam yang ingin berusaha mengungkapkan. 2. Bulu para: tanda bulu pada telapak tangan.