• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BUDAYA KESEHATAN IBU DAN ANAK

3.2 Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

3.2.1.1 Remaja

Masa remaja cukup berbeda antara perempuan dan laki-laki, da-lam hal pengetahuan dan nilai­nilai yang dipelajari tentang kesehatan reproduksi. Pelajaran kesehatan reproduksi didapatkan di sekolah dalam pelajaran biologi dan dari peer group (kelompok) yang saling bercerita tentang pengalaman masing­masing, lawan jenis, alat reproduksi, men­ struasi, dan sebagainya. Sementara dari keluarga atau keluarga patron yang ditinggali, anak sekolah/pia­pia tidak pernah mendapatkan penjelas­ an mengenai kesehatan reproduksi dan pergaulan. Seperti yang ditutur-kan dua informan remaja, yaitu A (remaja putri) dan J (remaja laki­laki) berikut ini.

”A tidak memikirkan pacaran dulu, karena ingin selesai sekolah dan bekerja dulu baru pacaran. Tidak ada waktu buat pacaran atau telpon-telponan, karena HP dimatikan dari jam 19.00-07.00 pagi. Pendapatnya tidak boleh pacaran, tidak ada waktu untuk pacaran, namun A pacaran sampai 11 kali. Hanya pada level pegang­pegang tangan saja. Kalau ada cowoknya yang mau melakukan hal yang dianggap negatif, akan diancam untuk diputuskan.”

”Di rumah J diajarkan yang baik, tidak boleh mencuri, berbuat tidak senonoh (berhubungan seks) pada perempuan, berbo-hong. Tapi kalau ciuman dengan cewek biasa­biasa saja.”

Para remaja yang cukup aktif di gereja atau perkumpulan pemuda gereja akan mendapatkan ajaran tentang nilai­nilai pergaulan dan proses pedewasaan diri. Seperti yang diungkapkan bapak S dan D berikut ini.

”Persatuan Pemuda Gereja Toraja/ PPGT (pembinaan ge­ re ja pada remaja), sudah terbentuk sejak lama, dengan Po’ D berada dalam tubuh majelis yang mengurusi tentang pembinaan remaja. Untuk remaja ada kegiatan­kegiatan seperti ibadat rumah tangga setiap hari Sabtu, bergiliran di setiap rumah. Ada juga hari minggu tergantung pengumuman. Yang hadir banyak, cuma susahnya agak malam, dianjurkan

diadakan untuk syukuran kelulusan SMA. Biasa jam 16.00 WITA tapi banyak agak lambat, mulai baru jam 18.00 WITA. Sudah dinasihati supaya jangan disamakan dengan di kota karena penerangan jalan di sini gelap, yang laki-laki sih tidak apa-apa, tapi khawatir dengan yang cewek-cewek. Tapi sering mereka terlambat meski berkali­kali diberitahu oleh pihak gereja. Da­ lam acara perkumpulan remaja biasanya berisi tentang iman, pergaulan, tentang bagaimana menghadapi hidup ini, disaat­ saat sekarang ini banyak yang curhat tentang sekolah. Tentang bagaimana nanti masa berpisah denga orang tua, bagaimana mandiri.”

Pak S dan Pak D menjelaskan lebih jauh mengenai kegiatan remaja di gereja.

”Disampaikan juga tentang pergaulan lawan jenis, jangan sam pai menjerumuskan seperti narkoba, dan lain-lain. Hasil konseling di Jakarta kemarin ternyata sekian persen remaja perempuan di kota sudah tidak perawan lagi. Kalau di pedesaan sini sepertinya tidak terlalu. Pengawasan orang tua kalo di kota-kota kurang. Kalau di sini, kegiatan­kegiatan di gereja mereka cukup aktif. Anak-anak sekitar, yang sulit dijangkau umumnya anak laki­laki, kalau remaja perempuan gampang. Sehingga pendekatan dilakukan di ibadat pemuda, ada datang makan, tapi molor waktunya. Kalau terlambat datang lebih baik ga usah masuk, karena kalau ditanyakan alasannya banyak. Anak laki­laki kurang mendengarkan nasihat, kebebasannya merasa terhalangi. Kegiatan untuk mendekati mereka remaja laki-laki melalui kegiatan olahraga.”

”Masih banyak kekurangan gereja, tips-tips untuk mendekati remaja, malah mohon masukan kepada peneliti. Menurut be rita yang saya baca ada penelitian di koran bahwa di kota-kota 67% tidak gadis lagi, saya berharap semoga di sini tidak terjadi. Yang pacar-pacaran jangan sampai malam. Disayangkan kenapa yang banyak disoroti yang remaja putri, padahal bisa saja yang laki­laki lebih banyak. Kecenderunagn pergaulan remaja di sini, masih dalam taraf biasa­biasa saja. Tidak sampai menjurus ke hal-hal yang negatif. Selama di sini belum pernah terjadi, mudah-mudahan tidak.”

”Kedekatan remaja dengan pihak gereja, ada 1­2 curhat ter­ utama dalam bimbingan katekisasi, disana mereka mengung­ kapkan masalah mereka. Yang dicurhatkan masalah hubungan imani, pergaulan, jodoh. Ada institusi yang jalan dalam kateki­ saasi, mereka mengajukan pertanyaan, pembimbing tidak langsung memberikan jawaban, namun dibahas dalam kelom­ pok. Biasa nya kalau mereka bisa memberikan nasihat sendiri dan mem beri jalan keluar. Kayak di sekolah itu ada CBSA. Kalau mereka memberi nasihat pada orang lain masak mereka mau melanggar nasihatnya sendiri, menasihati diri sendiri.”

”Kesempatan­kesempatan belajar dari gereja, dari rumah dan orang tua, juga di sekolah pendidikan agama. Seperti na sihat baik­baik dijalan, Bergaul dengan baik, berdoa, jangan mem­ bawa keributan tapi membawa damai. Dari Alkitab ajarkanlah itu berulang-ulang baik ketika tidur, bangun ataupun di jalan.”

3.2.1.2 Pernikahan

Menurut keterangan pendeta setempat, bagi pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan ada pembinaan pendewasaan iman yang di­ sebut katekisasi. Katekisasi merupakan syarat wajib bagi pasangan yang hendak menikah. Sebelum pemberkatan nikah juga ada bimbingan dulu mengenai harta dan hidup bersama, dan sebagainya, selama 2 hari sam-pai 1 minggu. Beberapa syarat untuk pernikahan dengan pemberkatan di Gereja dijelaskan berikut ini oleh informan Pendeta S.

Untuk bisa menikah dengan pemberkatan Gereja pertama harus sudah selesai mengikuti katekisasi sehingga bisa dikeluarkan surat CD, kedua sudah dilakukan pembaptisan, ketiga harus keluar surat pernyataan gereja bahwa calon pengantin belum pernah menikah (diberkati) di Gereja, dan ke empat, pemberkatan pernikahan di gereja akan diumumkan selama 2 minggu, 2 kali dalam setiap minggu diumumkan kepada jemaat, apabila tidak ada jemaat yang keberatan, maka pemberkatan akan dilaksanakan.

Sementara, di luar persyaratan gereja, menurut tradisi Toraja ada pantangan­pantangan dalam melakukan pernikahan untuk pihak laki­laki dan perempuan. Pantangan­pantangan tersebut antara lain perempuan Toraja tidak boleh menikahi laki­laki dari kasta (tana’) di bawahnya. Sebaliknya, untuk laki­laki boleh. Seperti yang diungkapkan oleh informan

”Dalam hal pernikahan, secara adat, perempuan dari tana’ yang lebih tinggi tidak boleh menikah dengan tana’ yang ada di bawahnya. Kalau laki­laki dia boleh sembarang menikah dengan tana’ yang di bawahnya (ungkendeki).”

Selain pantangan menikah dengan kasta yang tidak seimbang, ada juga pernikahan antarsaudara yang seharusnya tidak diperbolehkan pada zaman dulu. Namun sekarang banyak juga yang melakukan, seperti yang diungkapkan informan Ne’ E berikut ini.

”Silsilah secara hierarki nenek, seharusnya tante tidak boleh dinikahi,sepupu 1 kali, ibunya bersaudara kandung bisa, tapi harusnya tidak. Yang afdol sebaiknya adalah menikah dengan sepupu 2 kali, atau sepupu 3 kali.”

3.2.1.3 Tradisi Perjodohan Antar Keluarga

Di Toraja Sa’dan masih banyak dijumpai pasangan muda yang dijo­ dohkan oleh keluarga dengan orang yang masih mempunyai hubungan keluarga, baik dengan sepupu satu kali, dua kali, tiga kali, atau empat kali. Beberapa tradisi perjodohan ini masih dilakukan oleh para orang tua untuk mempertemukan anak-anaknya dalam perkawinan. Namun dewasa ini perjodohan ini lebih fleksibel karena masing­masing pasangan yang dijodohkan mempunyai hak untuk menolak perjodohan tersebut, apabila dalam pertemuan terdapat ketidakcocokan. Pada masa lampau tradisi perjodohan dilakukan untuk menjaga kemurnian darah kebangsawanan

(puang) dan untuk menghasilkan keturunan yang murni serta jelas silsilah

ke-puang-annya.

Seperti yang pernah diceritakan Bapak Y tentang perjodohan dirinya dengan 2 orang perempuan bersaudara kandung. Karena menjadi perebutan dua orang saudara kandung, Bapak Y memilih untuk tidak memilih salah satu dari keduanya.

”Saya pada awal dijodohkan juga dengan sepupu, saya mau saja karena daripada cari-cari terus tidak cocok. Saya disuruh pulang untuk berkenalan. Ternyata ada 2 kakak beradik yang mau, saya jadi bingung disuruh milih salah satu. Takut kalau milih akan melukai yang lainnya, ya lebih baik saya tidak me-milih dua­duanya, dengan memberi syarat yang saya yakin mereka berdua tidak bisa, jadi tidak menjadi pertengkaran. Dan saya kemudian dijodohkan lagi dengan sepupu.”

Ibu S juga menceritakan tentang perjodohan dalam perkawinannya sekarang, sebagai berikut.

”Waktu menikah usia saya 24 tahun. Waktu dulu menikah ke­ temu suami dijodohkan karena masih keluarga. Saya ketemu suami masa kecil saja. Suami kerja di Makasar pulangnya tidak tentu anak ke 4 dari 7 bersaudara. Suami usianya 30 tahun selisih 2 tahun. Kalau perjodohan di Toraja laki­laki dikenalkan dengan pihak perempuan tetapi jika tidak suka bisa saja diba-talkan.”

Ibu I bercerita juga tentang perjodohan dalam perkawinan dan ter­ kait dengan status sosial seseorang dalam masyarakat. Ia bercerita juga mengenai usia pernikahan yang baik bagi perempuan Toraja, sebagai berikut.

”Usia pernikahan yang bagus bagi perempuan ketika ber-umur 20­35 tahun. Usia ini dianggapnya masa subur bagi perempuan dan dianggap perempuan cukup kuat untuk hamil dan melahirkan. Bagi ibu I, kelak jika anaknya menginjak usia ini dia menginginkan anaknya dijodohkan saja dengan pria yang seiman, memiliki pekerjaan, pengertian dan kalau boleh sekampung.”

Terkait dengan status sosial di Toraja Sa’dan, masih sering diper tim­ bangkan masalah strata keturunan dari seorang calon suami atau istri, dan dari mana mereka berasal. Seperti yang diungkapkan oleh ibu I berikut ini.

”Suaminya kalo boleh yang setingkat saja dengan status kami, takut saya, anakku dipandang sebelah mata ji nanti, disuruh-suruhmi apa, makanya anakku harus punya kerja juga. Banyak di sini itu, laki-laki ato perempuan tidak menikah karena status sosialnya. Takut ki bercampur darahnya.”

3.2.1.4 Pasangan Usia Subur Belum Mempunyai Anak

Anak bagi orang Toraja Sa’dan memiliki nilai yang sangat berarti, yaitu anak adalah garis keturunan yang akan meneruskan tradisi dan me­ nanggung semua biaya tradisi atau upacara keluarga (rambu tuka’ dan,

menikah belum memiliki anak, mereka akan mendapat sorotan dari ling­ kungan sosial keluarga dan sekitarnya. Oleh karena itu, ada cara­cara lokal yang dilakukan untuk bisa segera memiliki keturunan.

Informan menjelaskan bahwa tidak ada tradisi khusus yang dilakukan agar bisa mendapatkan keturunan. Tradisi diurut oleh dukun beranak

(to’ mapakianak) dilakukan oleh beberapa informan yang diwawancarai.

Selain itu, mengangkat anak dari keluarga luas untuk dipelihara sebagai pancingan. Berikut ibu B menjelaskan.

”Setelah menikah tidak langsung mendapat keturunan selama 2 tahun, oleh sebab itu saya berusaha mencari pengobatan melalui diurut ke dukun beranak dan berkonsultasi dengan dokter kandungan. Oleh keluarga, saya disarankan mengangkat seorang anak. Setelah satu tahun memelihara anak dari kelu­ arganya saya hamil.”

Seorang informan lain, yaitu ibu S mendapat nasihat dari sanak keluarga agar mengangkat seorang anak. Lingkungan terdekat teman dan keluarga pada umumnya membantu secara moral dengan menenangkan dan memberikan saran­saran ketika kecemasan menghantui pasangan usia subur yang belum dikaruniai anak.

”Tanggapan masyarakat terhadap orang yang belum mem­ punyai anak, mereka bertanya sampai kapan bisa mendapatkan ke turunan? orang orang sekitar bertanya. Saran banyak dari teman­teman dan keluarga. Mereka merasa kasian makanya ada kata-kata seperti itu sampai kapan? Dalam hati ada pe-rasaan was­was dan menunggu.”

Usaha lain untuk mendapatkan anak yang dilakukan informan, yaitu Ibu S adalah dengan minum berbagai ramuan dari tanaman.

”Pengobatanya dengan daun­daun benalu daun kopinghong (Binahong), teratai (daunnya direbus, bisa daun bisa bunga) untuk mengobati penyakit dalam untuk membersihkan kista-nya terus saya coba juga benalu kopi ada juga yang hidup di batu direbus kemudian diminum. Kopinghong (binahong) bentuk daunnya seperti love yang warnanya ungu tanamannya merambat. Dapat dari tetangga khasiatnya sama untuk tumor dan coba juga daun sirsak tapi tidak boleh terlalu banyak karena saya punya penyakit darah rendah.”

Berbagai dedaunan digunakan untuk mengobati penyakit kista yang dideritanya, sedangkan untuk menambah kesuburan informan ini mema-kan beberapa jenis tanaman obat, seperti kutipan penuturan Ibu S berikut.

”Tradisi Toraja yang membuat wanita lebih subur anjurannya banyak makan toge. Ada juga daun sejenis rumput yang daunya agak bulat. Rumput yang merambat. Daunnya direbus gunanya untuk menyuburkan. Saya sudah makan hampir satu bulan kalau di Toraja namanya daun “lesoan”. Ada yang pohonnya kayak pohon beringin ngambilnya susah namanya daun “Tina” untuk luka­luka dalam kalau ada infeksi atau tumor. Ada juga di pinggir sungai pohonnya kayak jagung jenisnya seperti rumput cuma agak tinggi. Ada juga semak yang buahnya yang kayak manik­manik warna hijau kalau sudah masak mengarah ke warna ungu banyak di pinggir sungai gunanya menyuburkan. Kalau daun palan bahasa Indonesianya daun jarak.”

3.2.1.5 Nilai Anak berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah Anak yang dimiliki

Ada sedikit perbedaan pandangan mengenai nilai jenis kelamin seorang anak dalam keluarga. Beberapa informan menyebutkan lebih memilih atau menyukai anak laki­laki dibandingkan anak perempuan karena dalam adat istiadat Toraja kedudukan anak laki­laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Ibu Sr menjelaskan sebagai berikut.

”Saya dibesarkan di desa M dari keluarga petani. Perbedaan perlakuan anak laki dan perempuan tugas anak laki­laki ambil kayu yang perempuan cuci piring sejak SD sudah bantu­bantu. Dari SD sudah bantu mencuci baju, jaga adik,(sejak SD kelas 4). Tugas anak laki­laki cari kayu, cari rumput. Iya anak perempuan dan laki sering di larang­larang tapi anak laki­laki sering mem­ bantah. Contoh dilarang main sampai malam. Perempuan di larang pergi­pergi sampai malam. Sejak SD sudah bisa bantu potong padi dan tanam padi (di sekolah diajarkan) . Dulu kalau laki­laki mencangkul perempuan menanam tradisi itu sekarang sudah mulai hilang karena sudah pakai traktor dan orang yang menanam digaji. Kalau habis tanam padi orang istirahat sebelum masa panen, nah disitulah waktunya bermain. Kalau

makan sedangkan yang terakhir pulang sekolah makanannya disimpankan. Larangan untuk anak perempuan tidak ada ke-cuali kalau hamil tidak boleh makan durian.”

Demikian juga yang diutarakan informan Po’ dan Ma’ M kepada pe­ neliti, bahwa anak laki­laki sangat diharapkan. Oleh karenanya, meski pun sudah memiliki lima anak perempuan, pada usia 42 tahun tersebut, Ma’ M memutuskan untuk hamil lagi, dan berharap bahwa bayi yang dikan dungnya adalah anak laki­laki. Saat peneliti bertemu dengan keluarga tersebut Ma’ M sudah hamil lebih dari sembilan bulan, siap untuk melahirkan. Seperti ibu­ibu di Toraja Sa’dan pada umumnya, Ma’ M ingin melahirkan di rumah orang tua kandungnya di kota Palopo. Di Sa’dan Ma’M tinggal bersama keluarga suami, dan menurut bidan kehamilannya berisiko karena faktor usia. Ma’ M pulang ke Palopo melewati jalur yang terkenal dengan kelok tujuhnya yang curam, dengan waktu tempuh selama tujuh jam. Tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa Ma’ M sudah melahirkan di RS Palopo, dengan kondisi yang cukup membahayakan. Persalinan dilakukan melalui operasi caesar, dan karena kondisi rahimnya, akhirnya dokter memutuskan untuk mengangkat rahimnya demi keselamatan si ibu. Bayi yang dilahirkan ternyata juga perempuan.

Nilai anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk Sa’dan. Program Keluarga Berencana (KB) dari pemerintah yang meng­ arahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang (empat orang) untuk menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ (malu) dalam keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut masih dianggap belum lengkap. Hal ini sesuai dengan penjelasan beberapa informan, yang menyatakan bahwa satu anak masih dipandang kurang oleh keluarga luas, sehingga harapan untuk memiliki banyak anak adalah harapan setiap orang yang sudah menikah.

”Dikka (terj. Kasihan) ... W itu anaknya cuma satu, pasti berat nanti anaknya menanggung sendirian hutang-hutang keluarga, kalau anak banyak kan bisa ditanggung sama­sama.

A, anaknya cuma satu, anaknya laki­laki di rantau sudah menikah tapi belum juga mempunyai anak sampai sekarang, kasian, istrinya sudah berumur. Generasinya bisa habis kecuali dicerai dan menikah lagi.”

”Saya dulu habis menikah tidak langsung memiliki anak sampai dua tahun usia pernikahan kami. Hampir saja saya pisah dengan suami karena keluarga suami menuntut adanya keturunan. Sehingga kami terus berdoa, sampai­sampai doanya itu seperti ini, “gak apa-apa, Tuhan meskipun kami diberi anak yang cacat sekalipun, asalkan dikaruniai anak.” Puji syukur akhirnya kami diberi keturunan, sampai delapan orang, dan syukur normal semua tidak ada yang cacat. Malah yang terakhir akan digugurkan oleh dokter karena alasan sudah terlalu banyak dan faktor usia saya yang berisiko, namun oleh bapaknya gak boleh, anak itu anugrah Tuhan, dulu kami minta diberi keturunan, begitu diberi banyak kok mau digugurkan.”

Terkait dengan pentingnya nilai anak dan keturunan, di Toraja Sa’dan menganut nama panggilan seseorang dengan panggilan nama anak atau nama cucu, sebagai harapan akan keturunan yang berkelanjutan. Seperti dijelaskan oleh Ne’ B berikut ini.

”Ketika seseorang belum menikah sampai dengan menikah, namun belum mempunyai anak maka akan dipanggil dengan nama aslinya. Ketika seseorang sudah mempunyai anak per-tama, nama panggilan berubah menjadi ma’ (ibu) atau po’ (bapak) diikuti dengan nama anak pertama.

Saat anak pertama menikah dan belum dikaruniai momongan, maka nama panggilan orang tua berubah menjadi ne’ (kakek/ nenek) diikuti dengan nama anak bungsu, dengan harapan agar segera dikaruniai seorang cucu dari anak yang sudah menikah.

Ketika sudah mendapat cucu pertama maka nama panggilan orang tua berubah menjadi ne’ (kakek/nenek) diikuti dengan nama cucu pertama.”

generasi sebelumnya jumlah anak dalam satu keluarga rata­rata 7­15 orang. Di wilayah Sa’dan yang lain, seperti Ballopasange, Sangkaropi, dan Ulusalu keluarga muda masih memiliki banyak anak, 5­10 orang. Usia per­ kawinan juga relatif sangat muda, ibu­ibu biasanya menikah pada usia belasan, di wilayah pegunungan yang jauh dari kota kabupaten, sehingga ada ibu yang pada usia 25 tahun sudah memiliki 5 orang anak. Ada juga ibu berusia 35 tahun baru saja memiliki cucu dari anak pertamanya yang berusia 21 tahun. Sementara, di wilayah yang relatif dekat dengan kota kabupaten, rata-rata umur menikah perempuan adalah 20 tahun, untuk laki­laki sekitar 25­30 tahun. Dewasa ini, ketika ada orang yang sudah cukup usia menikah namun belum menikah, orang tua dan keluarga besar (kerabat) akan turut berpartisipasi memberikan pilihan jodoh untuk mereka, baik dari kalangan keluarga sendiri maupun dari kalangan lain.

Memiliki anak dalam jumlah banyak masih menjadi idaman sebagian besar warga masyarakat Toraja Sa’dan. Apalagi bila kelak anak­anaknya bisa bersekolah setinggi mungkin dan mendapatkan pekerjaan yang baik dan mempunyai penghasilan besar, dianggap akan meringankan pekerjaan orang tua dalam tanggung jawab kepada keluarga besar, seperti dalam pesta upacara rambu solo’ dan pembangunan tongkonan keluarga. Bapak N menjelaskan sebagai berikut.

”Pak N berharap bisa memiliki anak yang banyak. bagus kalau banyak anak, kalau sudah besar­besar dia bisa bantu kita kerja­ kerja, tapi itu juga, sekolahnya ... seandainya ada orang yang mau bilang ... iyo nanti saya yang tanggung sekolahnya ... yah ... nda apa­apa ... kita bikin saja.”

Keluarga Ibu dan Pak N tergolong keluarga sederhana bila dilihat dari kondisi rumah orang tua dan rumah keluarganya yang merupakan rumah kayu berlantai semen. Namun, di depan rumah orang tuanya berdiri megah alang (lumbung padi) keluarga yang masih baru, dengan ukiran dan warna khas Toraja. Dikatakan Pak N bahwa pendirian Alang tersebut menghabiskan dana sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Alang keluarga dibangun secara patungan seluruh anggota keluarga,

menggantikan alang keluarga lama yang biasa, tidak berukir, dan bercat (yang pada zaman dulu menandakan strata keluarga tersebut). Dengan memiliki banyak anak seperti keluarga Ibu N, menjadi ringan ditanggung ketika ada pembangunan tongkonan keluarga atau alang sebagai simbol status keluarga tersebut.

Ketiadaan seorang anak juga bisa mendorong pasangan untuk melakukan perceraian, seperti cerita tentang X berikut.

”X pernah menikah dengan sepupu dua kalinya, namun karena setiap mempunyai anak, anak-anaknya selalu meninggal, X memutuskan untuk bercerai dengan suaminya dan menikah de­ ngan saudara sepupu yang lain di keluarganya. Namun dengan suami keduanya ia tidak juga dikaruniai anak. Sehingga dia berpisah lagi dengan suami keduanya. Dan menikah untuk yang ketiga kalinya, dengan laki-laki yang juga masih ada hubungan