• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SIMPULAN

6.2 Saran

1. Dibutuhkan upaya yang keras dari seluruh jajaran terkait untuk penanganan KIA dari berbagai sektor yang terkait.

2. Perbaikan jalan utama akses ke desa­desa sangat dibutuhkan dengan segera demi kelancaran/kecepatan rujukan ibu hamil risiko tinggi dan orang sakit yang membutuhkan rujukan cepat. 3. Pemenuhan fasilitas kesehatan dan alat kesehatan di puskesmas,

poskesdes, dan pustu-pustu di lokasi-lokasi terjauh.

4. Pemenuhan sarana dan prasarana penunjang (ambulans yang memadai untuk kondisi medan yang berbukit­bukit, kendaraan medan berat) apabila perbaikan jalan masih membutuhkan waktu yang lama.

5. Pemeliharaan sarana penunjang yang ada oleh petugas secara berkesinambungan sehingga bisa digunakan apabila kondisi dalam keadaan baik.

6. Memperbanyak jumlah tenaga kesehatan di tempat­tempat ter­ pencil dengan dibekali kemampuan membaca budaya masya­ rakat setempat.

7. Kemitraan dengan dukun beranak masih diperlukan dan di­ tingkatkan untuk daerah­daerah yang jauh dari sarana pelayanan kesehatan, karena masyarakat lebih percaya kepada senioritas dan pengalaman dari dukun beranak daripada kepada bidan/ tenaga kesehatan muda yang masih magang dan belum menikah serta belum memiliki anak.

8. Meningkatkan tata laksana alur rujukan dengan cepat dan tepat.

9. Untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pro­ mosi kesehatan ibu dan anak diperlukan cara tepat dengan me libatkan lebih intens patron (tokoh) yang berpengaruh dan disegani dalam jaringan kekerabatan, sebagai agen perubah menuju perbaikan kesehatan ibu dan anak.

10. Pengetahuan budaya kesehatan ibu dan anak yang berpengaruh positif merupakan modal utama yang bisa dikembangkan untuk

membantu promosi program­program kesehatan melalui kearifan lokal setempat.

11. Intervensi pengetahuan tentang program KIA, terutama ten­ tang risiko tinggi bisa ditransmisikan lewat kelompok­ke lom­ pok perkumpulan, baik itu formal maupun informal, se perti kelompok tetangga dalam satu lingkungan, kelompok ke kera­ batan, kelompok perkumpulan gereja, dan lain­lain.

GLOSARIUM

Glosarium di bawah ini adalah arti dan makna kata atau kalimat da-lam bahasa Toraja yang ada dada-lam buku Riset Etnografi Budaya Kesehatan

Ibu dan Anak di Kabupaten Toraja Utara, dalam urutan abjad.

A

Alang = lumbung.

Aluk Todolo = agama para leluhur atau agama purba dari suku Toraja. Aluk Simuanne Tallang = aturan upacara agama yang sifatnya ber pasangan. Aluk Rambu Tuka’/Rampe Matallo = upacara persembahan yang bertujuan

sebagai pengungkapan rasa syukur.

Aluk Rambu Solo’/Rampe Matampu’ = upacara pemujaan untuk menghormati leluhur yang meninggal dunia (pemakaman). Segala prosesinya dilakukan di sebelah barat rumah, dan upacara dimulai pada saat matahari mulai terbenam.

ambe’ = bapak.

Ambe’ arroan = bapak kelompok manusia, gelar ambe yang kemudian berubah menjadi siambe dan gelar pong. Karena itu di Toraja kedua istilah ini kemudian menjadi gelar kebangsawanan. Para turunan langsung dari ambe dan pong kemudian dipandang sebagai orang­orang yang berjasa bagi orang Toraja. Bahkan kemudian dua gelar tersebut menyatu pada satu orang saja, seperti Si ’ambe Pong Tiku, salah seorang Pahlawan nasional yang berasal dari Tana Toraja.

B

Bai = babi. Baku = saling.

Ballo = minuman dari sadapan pohon enau.

Bato’ = sebutan untuk bayi laki­laki yang belum bernama.

Billa = sembilu, adalah alat untuk memotong tali pusar bayi dari bambu tajam yang baru dipotong.

Bua’ = struktur pemerintahan adat di bawah pemerintahan lembang. Bulo di a’pa’ = gelar untuk golongan rakyat atau orang yang merdeka.

C

Cinta Nur = padi atau beras yang terkenal di wilayah Toraja Sa’dan yang merupakan varietas lokal Toraja.

D

Daun sualang = daun yang selalu dibawa­bawa oleh ibu yang memiliki anak kecil dari usia bayi nol bulan hingga balita ketika mereka berada di luar rumah, seperti pergi ke posyandu, ke pasar, atau ke mana saja, untuk menghindarkan anak terkena sakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus. Deata = dewa, merupakan pemelihara seluruh hasil ciptaan Puang Matua. Disisarakan/dirampanan = hukuman yang berlaku bagi pelanggaran yang

berkaitan dengan kesusilaan dan urusan moral, misalnya hubungan inses. Disasarakan = pemutusan hubungan keluarga.

Diali’ = diusir.

Dilabu = ditenggelamkan. Ditunu = dibakar hidup-hidup.

Dipasang bongi = upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam.

Dipatallung bongi = upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan di rumah dan ada pemotongan hewan.

Dipalimang bongi = upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan di sekitar rumah serta pemotongan hewan.

Dipapitung bongi = upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam dan setiap hari ada pemotongan hewan.

Duku = tulang.

Duku’ sangira = 1 irisan daging.

G

Garonto’ passura’ = pokok-pokok ukiran, merupakan simbol dasar kehidupan orang Toraja.

I

Indo’ = Ibu.

K

Kalimbuangboba puang matokko’ sadamairi = dewa yang memelihara sawah. Kariango = tanaman khas Toraja semacam umbi bangle yang hidup di air.

cara disematkan dengan peniti ke baju, bertujuan untuk mengusir makhluk halus yang ingin mencelakai ibu dan bayi.

Kedatuan mata allo = kerajaan sebelah timur.

Kedatuan matampu’ = kerajaan sebelah barat, sebutan untuk kerajaan orang Toraja, serta orang­orang toraja disebut To Riajang.

Kombongan basse lepongan bulan = Badan Musyawarah Besar Tana Toraja.

L

Lae’= panggilan untuk sebutan perempuan.

Lai atau Laili = sebutan bayi perempuan yang belum bernama.

Lesoan aluk = semacam ketetapan yang mengatur bagaimana jumlah persembahan dan proses yang harus dijalankan dalam semua upacara ataupun pemujaan.

Litak mararang = warna merah. Litak mabusa = warna putih. Litak mariri = warna kuning. Litak malotong = warna hitam.

M

Ma’ barata dalam rambu solo’= = pengurbanan untuk menghormati seorang bangsawan atau pejuang yang amat berjasa.

Ma’nene’ = = upacara khusus mengenang dan memperingati arwah leluhur. Ma’pakande tomatua atau manta’da = upacara khusus untuk kurban persembahan

untuk sebuah persaksian yang telah dihajatkan.

Ma’pasilaga tedong = adu kerbau, yang diadakan pada acara setelah penerimaan tamu dalam upacara rambu solo’.

Mantunu­tunu = pengerjaan pondokan untuk rambu solo’.

Ma’bekke = setagen, berupa kain panjang yang digunakan untuk membebat perut ibu yang baru melahirkan agar kencang kembali.

Membalika tomate = upacara pemakaman.

Mengaku­aku = hukuman yang mengharuskan dilakukannya pengakuan dosa atau berupa persembahan kurban.

Merok = upacara syukuran rumah tongkonan.

Misa kada dipo tuo, pantan kada di pomate = satu kata kita hidup bersama, berbeda kita akan bercerai berai.

Masappi = ekor belut, makanan yang dipercaya bisa melancarkan kelahiran. Mata tinggi = penyakit pada bayi, mata melihat terus ke atas, seperti step.

O

Ora Tongkon = gelar yang disematkan untuk orang­orang yang telah memiliki keahlian (seorang yang pandai), seperti ahli bahasa dan sastra, ahli sejarah, ahli agama, seniman, pembicara, dan sebagainya.

P

Padang Di Ambe’i = daerah adat bagian timur. Padang di Puangngi = daerah adat bagian tengah. Padang di Ma’dika = daerah adat bagian barat.

Pamala lako deata = pemujaaan dan persembahan kepada sang pemelihara alam. Dalam upacara ini harus dikurbankan babi dan ayam kampung yang merupakan unsur­unsur yang diambil dari alam.

Papiong = masakan yang terbuat dari daging babi yang dimasukkan dalam bambu dan dibakar, dicampur daun mayana yang berwarna ungu, hijau, ataupun campuran merah dan hijau.

Pararrak = penjelajah.

Pakambi’ = penggembala kerbau.

Pakikki’ atau pantiti’ = bagian­bagian tiap hewan kurban mempunyai ketentuan bagian mana yang akan diambil untuk sajian persembahan.

Pasikambi Tetean Tampo = dewa yang memelihara air.

Pemala’ Lako Tomembali Puang/To dolo = pemujaan dan persembahan kepada sang pengawas manusia oleh para keturunannya dalam bentuk upacara dengan melakukan persembahan dengan mengurbankan salah satu hewan kurban: kerbau, babi, atau ayam.

Pattane = sebuah bangunan rumah batu yang diperuntukkan untuk menye­ mayamkan jenazah yang sudah dilakukan upacara rambu solo’.

Pa’ssura = tulisan/ukiran.

Passura’ Todolo = ukiran tua, ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkhasiat bagi pemakainya.

Passura’ Malolle’ = ukiran kemajuan dan perkembangan, yaitu ukiran yang sering digunakan pada bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (tongkonan Batu A’riri). Ukiran ini digunakan sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi oleh pranata etika dan moral. Pa’ Barrean = ukiran kesenangan, merupakan ukiran yang terdiri atas potongan­

potongan yang sama bentuknya, ada yang lurus dan ada pula yang yang berupa lengkung.

Pemalinna Aluk Ma’lolo Tau = larangan menyangkut aturan agama untuk ke­ hidupan manusia.

Pemali Unromok Sapen Tabang = larangan yang membatasi manusia pada saat pelaksanaan upacara keselamatan.

Pemali Unromok/Umpisik Parda Dibolong = larangan pada saat pelaksanaan upacara kematian.

Pemali Unnola Tangsalunna = larangan di luar pelaksanaan upacara atau larangan dalam hubungan sosial masyarakat, seperti dilarang mengacau di pasar, dilarang mencuri, dilarang bercerai dalam perkawinan, dilarang kawin dengan wanita yang lebih tinggi kastanya, dilarang menipu, dan sebagainya.

Pemalinna Aluk Patuoan = larangan dan aturan dalam pemeliharaan ternak, misalnya dilarang menyembelih hewan bersama dengan anaknya.

Pemalinna Aluk Tananan = larangan berkaitan dengan tanaman, seperti dilarang menanam pada malam hari.

Pemalinna Aluk Bangunan Banua = larangan berkaitan dengan pembangunan dan pemakaian rumah, seperti larangan menaikkan orang yang sudah meninggal ke atas rumah yang belum dibuatkan upacara selamatan. Penanian = struktur pemerintahan adat di bawah pemerintahan lembang dan

bua’.

Perre’ = ayunan bayi, terbuat dari kain panjang yang digantungkan pada balok di atap rumah, digunakan untuk mengayun­ayun bayi ketika hendak tidur. Pia = anak.

Po’ = panggilan untuk sebutan laki­laki.

Pong Pararrak = para penjelajah pokok atau utama. Puang Lembang = pemilik perahu.

Puang Matua = Tuhan dalam bahasa Toraja disebut Puang Matua. Menurut masyarakat Toraja, Puang Matua­lah yang telah menciptakan bumi ini serta isinya dan memberikan segala sumber kehidupan bagi manusia yang hidup di bumi ini.

Puya = alam tempat leluhur-leluhur sebelumnya berada. Punti sanggara = pisang dengan kulitnya.

R

Rampanan Kapa’ = upacara perkawinan. Rara = darah.

S

Saroan = abdi, unit-unit kerja di bawah koordinator kelompok kerja.

Suruna’ Malolo Tau’ = ritual ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian panjang sebuah upacara yang ditujukan untuk mensyukuri kehidupan dan kelahiran manusia. Ritual ini bertujuan untuk mengingatkan kepada setiap manusia akan pentingnya jalinan kekeluargaan yang erat di antara mereka dan sikap saling menghargai.

Suru’na Ma’lolo Tau = syukuran atas kelahiran.

Susi to na siok langkan, na timpayo manuk-manuk = bagaikan disambar elang, dimangsa burung­burung. Makna sebenarnya adalah ungkapan duka yang sangat mendalam karena orang yang diupacarakan meninggal secara tiba­ tiba, dalam bahasa yang diucapkan oleh To Mina’a.

T

Tana’ = merupakan status yang diwariskan secara turun­temurun kepada anak cucu dengan mengacu pada garis keturunan dari satu tongkonan.

Tana’ Bula­an = kasta para bangsawan. Mereka yang masuk dalam golongan kasta ini dipercaya sebagai keturunan langsung dari To Manurun.

Tana’ Bassi = kasta bangsawan menengah. Kaum bangsawan dari golongan ini berasal dari keturunan bangsawan dari manusia biasa.

Tana’ Karurung = kasta orang­orang merdeka atau orang biasa.

Tana’ Kua­kua = kasta hamba sahaya atau budak, adalah orang yang menjadi abdi/hamba kepada golongan kasta Tana Bulaan dan Tana Bassi.

Tau Raya = Tau: orang, Raya: selatan (dalam bahasa Makassar), dan menyebut pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya, yang kemudian menjadi Tana Toraja.

Tawwani serre’ = ari­ari kucing yang melahirkan pada malam Jumat, yang kemudian diambil dan dikeringkan. Tawwani serre digunakan oleh to mappakianak (bidan kampung) untuk membantu melancarkan proses kelahiran.

Tedong bonga = kerbau belang, merupakan hewan khas yang sering dijumpai di Toraja. Kkerbau ini disebut belang karena memiliki dua warna kulit, yaitu abu­abu dan putih. Tedong bonga ini mempunyai simbol sebagai status sosial yang tinggi bagi orang yang menyembelihnya pada saat upacara rambu solo’.

Tepo’ tondok atau tepo’ padang = kelompok kerja di bawah struktur Penanian. To Wara’ = orang timur, sebutan untuk orang Luwu oleh orang­orang Toraja

sehingga kerajaan Luwu juga biasa disebut Kerajaan Wara’. To Raja = To: orang, Raja: raja. Tempat asal nenek moyang para raja.

To Riaja = penamaan yang diberikan oleh orang Bugis Luwu. Kata ini berasal dari kata To Rajang (To = orang, Rajang = barat) yang berarti “orang dari daerah barat”, terhubung dengan Kerajaan Luwu berada di sebelah timur Tondok Lepongan Bulan.

To Makaka = orang yang lebih tua/tetua, merupakan gelar golongan bangsawan, baik bangsawan Tana’, Bulaan, maupun Tana’ Bassi.

To Manurun = konsep yang umum ditemukan pada masyarakat di Sulawesi Selatan untuk menggambarkan orang yang tidak diketahui asal usulnya dan kemudian dijadikan penguasa oleh masyarakat setempat karena tanda­ tanda kebesaran yang mereka bawa.

To’ Mina’a = manusia yang dipandang dapat menyampaikan dan menghubungkan antara manusia dengan Sang Pencipta. Karena itu, untuk memimpin sebuah upacara, kehadirannya adalah mutlak. Para To’ Mina’a memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menempati posisi ini karena merupakan posisi yang diwariskan secara turun­temurun.

To Membali Puang = para leluhur yang masih berada di antara manusia dan menempati alam ini bertugas mengawasi gerak­gerik manusia yang masih hidup dalam mengelola dan memanfaatkan alam ini.

To Mappakianak = dukun beranak.

Tondok Lepongan Bulan/Tana Matarik Allo = negeri yang bentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan sebuah kesatuan yang bulat bak bentuk bulan dan matahari.

Tongkonan = rumah adat Toraja yang merupakan simbol pemersatu keluarga. Tongkonan tersebut hanya dibangun sebuah saja untuk satu rumpun keluarga sehingga mereka akan selalu merasa dekat meskipun terpisah jauh dari segi jarak.

Tongkonan Layuk = Tongkonan yang menjadi sumber perintah dan kekuasaan dan menjadi tempat dibuatnya aturan kemasyarakatan yang pertama kalinya di Tana Toraja. Tongkonan yang dimaksud adalah Tongkonan Pesio’ Aluk. Tongkonan Pekaindoran/pekamberan = Tongkonan yang dibangun oleh penguasa­

penguasa di masing­masing daerah untuk mengatur pemerintahan berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk.

Tongkonan Batu A’riri = tiang batu, Tongkonan yang tidak memiliki peranan dan fungsi politis, tetapi hanya sebagai pertalian dari satu rumpun keluarga yang menjadi turunan dari pendiri tongkonan tersebut untuk memelihara persatuan keluarga dan memelihara warisan tongkonan itu.

W

Wase = kapak, menduduki kapak ketika sedang hamil muda adalah harapan seorang ibu yang mendambakan untuk mendapatkan anak laki­laki.

DAfTAR PUSTAKA

1. Aunger, R. 1999. “Culture as Consensus: Againts Idealism/Contra Con-sensus”, Current Anthropology 40 (Supplement): S93­S101.

2. Badan Pusat Statistik RI. 2010. Maternal and Child Health Profile 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik RI.

3. Badan Pusat Statistik Kabupaten Toraja Utara. 2011. Kecamatan Sa’dan Dalam Angka 2011. Tim Penyusun, Sa’dan 2011.

4. Bendon, O. 2007. Toraja Dance Pa’gellu. http://obendon.multiply.com/ photos/album/175/Toraja­Dance­Pagellu?&show_interstitial=1&u=%2F photos%2Falbum#, akses 08 Juni 2012.

5. Caulkins, D. Douglas. 2004. “Identifying Culture as a Threshold of Shared Knowledge. A Consensus Analysis Method”, International Journal of Cul­ tural Management 4(3):317­333.

6. Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara. 2010. Profil Kesehatan Kabu­ paten Totaja Utara Tahun 2009. Tim Penyusun, Rantepao Juni 2010. 7. Dinas Kesehatan Kabupaten Toraja Utara. 2011. Profil Kesehatan

Kabu-paten Toraja Utara Tahun 2010. Tim Penyusun, Rantepao, Juni 2011. 8. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan Makassar. 2011. Profil Kes­

ehatan Sulawesi Selatan 2010. Tim Penyusun, Makasar, Juni 2011. 9. Foster, G.M, dan B.G. Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta :

UI Press.

10. Goodenough, W.H. 1994. “Toward a Working Theory of Culture” da-lam Robert Borofsky,ed. Assessing Cultural Anthropology. New York : McGraw_Hill, Inc. Hal.301­328.

11. Goodenough, W.H. 2003. “In Pursuit of Culture” , Annual Review of Anthropology 32: 1-12.

12. Kalangie, N.S., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: Kesaint Blanc.

13. Kementerian Budaya dan Pariwisata RI, Asdep Urusan Tradisi Deputi Bi-dang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian Kebu-dayaan Dan Pariwisata. 2005. Inventarisasi Aspek­Aspek Tradisi Kearifan Tradisional Masyarakat Desa (Lembang) Tallung Penanian Kecamatan Sanggalangi, yang Berkaitan dengan Pemeliharaan Linkungan Alam di Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi Selatan. Jaranitra, Sulawesi Se-latan.

14. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.HK.03.01/160/I/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kese­ hatan Tahun 2010­2014. Jakarta.

15. Layuk, A.T. 2011. Makna Pesan Kada­kada Tominaa dalam Acara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ di Tana Toraja. Skripsi. Makasar: Universitas Has-sanudin.

16. Lewaran, E.K. 2011. Unpublished Paper tentang Sejarah Toraja Sa’dan. 17. Putra, I.P.J.S. Suku Toraja Dengan Masalah Kesehatan. http://se­

maraputraadjoezt.blogspot.com/2012/06/suku­toraja­dengan­masa-lah­kesehatan.html, akses 03 Juli 2012.

19. Puskesmas Sa’dan Malimbong. 2012. Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP), Puskesmas Sa’dan Malimbong tahun 2012.

20. Puskesmas Sa’dan Malimbong. 2012. PWS KIA Tahun 2011­2012 Puske­ mas Sa’dan Malimbong.

21. Puskesmas Sa’dan Malimbong. 2011­2012. DATA LB­1 tentang Sebaran Penyakit Pada Anak tahun 2011­2012 Puskemas Sa’dan Malimbong. 22. Ray, Nihar R. A Review of Health Seeking Behavior: Problems and Pros­

pects. Indian Institute Of Public Health, Gandhinagar, ArticlesBase SC #825835. http://www.articlesbase.com/vision­articles/a­review­of­ health­seeking­behavior­problems­and­prospects­825835.html,akses 01 Maret 2010.

23. Republik Indonesia. 2009. Undang­Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009.

24. Tangdilintin, L.E. 1974. Toraja dan Kebudayaannya. Ujung Pandang: Kan-tor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi.

25. Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakar-ta: PT.Rineka Cipta.

26. Tomassello, M. 1999. “ The Human Adaptation For Culture,” Annual Re­ view of Anthropology 28: 509-529.

27. Winkelman, M. 2009. Cultural and Health Applying Medical Anthropolo­ gy. San Francisco: Jossey­Bass.

28. http://organisasi.org/daftar­nama­kecamatan­kelurahan­desa­kode-pos-di-kota-kabupaten-toraja-utara-sulawesi-selatan, akses 22 Maret 2012.

29. http://kwatkhaysin.blogspot.com/2011/10/kajian­antropologis­suku­ toraja.html, akses 15 Agustus 2012.

30. http://budayatoraja.tripod.com/Ukiran.htm, Ukiran Toraja, akses 08 juni 2012.