• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan

Sistem kekerabatan orang Toraja bersifat patrilineal, yaitu mengambil garis keturunan dari pihak bapak sebagai kepala keluarga. Namun sistem tesebut tidak sepenuhnya diterapkan dengan pemakaian nama keluarga. Pada kenyataannya, stratifikasi sosial juga turut mempengaruhi. Misalnya, jika status sosial ibu lebih tinggi daripada bapak, biasanya nama marga yang digunakan diambil dari garis keturunan ibu.

Dalam istilah kekerabatan orang Toraja, seorang ayah disebut ambe’ dan ibu disebut indo’, meskipun saat ini dalam kehidupan sehari-hari orang Toraja, penyebutan bapak dan mamak tidak kalah populer. Saat ini cukup sulit mencari seseorang dengan nama aslinya, jika orang itu sudah berkeluarga dan memiliki anak. Di kalangan orang Toraja, biasanya seorang ayah atau ibu dipanggil dengan sebutan lain, dan bukan namanya. Misalnya, ayah dari seorang anak bernama Pirman akan dipanggil Pa’ Pirman (Bapaknya Pirman). Demikian pula ibunya, dikenal dengan nama

Ma’ Pirman. Seorang lelaki disebut dengan istilah Po’ di depan namanya

dan perempuan mendapat panggilan Lae’ di depan namanya.

Pada tingkat yang lebih kecil, yaitu tingkat marga dalam masyarakat, dikenal dua macam bentuk keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas. Keluarga batih terdiri atas bapak, ibu, nenek, dan anak­anaknya. Sementara keluarga besar terdiri atas beberapa keluarga batih yang masih memiliki satu nenek moyang atau masih memiliki satu garis silsilah. Sebagai simbol hubungan kekerabatan sebuah marga dalam masyarakat Toraja, mereka membangun sebuah bangunan adat yang mereka sebut

tongkonan, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Dalam sebuah keluarga Toraja, kepala keluarga masih dipanggil dengan sebutan ambe’ ataupun pong. Peran setiap kepala keluarga berbeda­beda. Seorang kepala keluarga batih berperan sebagai pencari nafkah bagi keluarga dan mewakili keluarga pada setiap pertemuan yang diselenggarakan masyarakat atau pertemuan adat. Sementara, kepala keluarga luas berperan sebagai pemimpin masyarakat yang mewakili suatu marga dalam perundingan­perundingan dengan marga lainnya, dan sebagai pemimpin pemerintahan.

2.4.2 Sistem Pemerintahan Adat

Sebelum pemerintah kolonial Belanda secara resmi menguasai se­ luruh Tana Toraja pada akhir tahun 1906, seluruh daerah adat Toraja merupakan wilayah kekuasaan yang otonom, dipimpin oleh masing­masing bangsawan penguasa adat yang disebut Ada’ atau To Ada’ (pemerintah). Meskipun bersifat otonom, mereka terikat dalam satu ikatan adat besar yang dinamakan Kombongan Basse Lepongan Bulan (Badan Musyawarah Besar Tana Toraja).

Sejak terciptanya aluk sanda pitunna sebagai landasan pembagian wilayah adat di Toraja, terdapat tiga daerah adat besar, yaitu sebagai berikut.

1. Daerah adat bagian timur yang dinamakan daerah adat Padang di

Ambe’ atau sekarang dinamakan daerah adat Pekamberan.

2. Daerah adat bagian tengah yang dinamakan daerah adat Padang di

Puangngi atau sekarang dinamakan daerah adat Kepuangan.

3. Daerah adat bagian barat yang dinamakan daerah adat Padang di

Ma’dikai atau sekarang dinamakan daerah adat Kama’dikaan.

Masing­masing Kombongan Ada’ memiliki pemerintahan kecil di bawahnya, yang disebut Lembang. Lembang dikuasai oleh seorang pe­ nguasa lembang, yang memiliki gelar disesuaikan dengan nama kom­

bongannya, seperti gelar Ambe’ untuk penguasa lembang di Kombongan Pekamberan, Puang untuk Kapuangan, dan Ma’dika untuk Kama’dikaan.

Sistem pemberian gelar seperti itu juga berlaku untuk tingkatan peme­ rintahan lainnya, seperti Lembang, Bua, hingga Penanian.

Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa kombongan di ting kat lembang dibantu oleh beberapa daerah pemerintahan yang lebih kecil di dalamnya. Pemerintahan ini disebut Bua’. Di bawahnya masih ada lagi tingkatan yang setara dengan desa. Pemerintahan ini disebut

Penanian. Setiap Bua’ terdiri atas sekurang­kurangnya empat Penanian.

Setiap Penanian diperintah oleh suatu dewan pemerintahan yang terdiri atas seorang ketua dan tiga orang anggota. Mereka memiliki sebutan yang berlaku umum di seluruh Penanian yang ada di Toraja, yakni To Parenge’. Gelar To Parenge’ berarti orang yang memikul tangung jawab. Di dalam

Penanian, terdapat empat daerah kelompok kerja yang disebut Tepo’ Tondok atau Tepo’ Padang. Masing­masing unit kerja memiliki koordinator

Ambe’ Saroan (saroan= abdi) ini bukan merupakan jabatan adat dan

sewaktu­waktu bisa diganti.

Setiap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat harus dike­ tahui oleh penguasa setempat. Penyelesaian masalah diupayakan pada tingkatan terendah terlebih dulu. Jika masalah itu tidak bisa diselesaikan akan diteruskan ke tingkatan yang lebih tinggi.

Setelah penguasaan Kolonial Belanda, sistem pemerintahan adat masih berlaku, namun mengalami beberapa pergeseran. Beberapa peru­ bahan mengenai nama dan wewenang mulai direvisi dan disesuaikan dengan sistem Pemerintahan Belanda, seperti lembang diganti menjadi distrik/kecamatan. Gelar penguasa lembang pun diseragamkan menjadi To

Parenge’, yang berarti orang yang memikul tanggung jawab (sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan oleh distriknya). Namun status ini tidak lagi menjadi status penguasa yang memiliki kewenangan adat. Daerah Bua’ diganti menjadi Onder Distrik yang dikepalai oleh seorang kepala distrik muda. Sementara daerah penanian diganti menjadi desa atau kampung. Hanya, dewan pemerintahan adat tetap ada dan menjalankan tugas­ tugasnya, sebab to parenge’ ini bersifat otonom, meskipun pemerintah Belanda tetap mengangkat satu orang kepala desa untuk menjalankan pemeritahannya di tingkatan tersebut. Hingga saat ini, istilah to parenge’ masih bertahan dan dikenal di perkampungan Toraja.

Dalam masyarakat Toraja, dikenal gelar­gelar lain di luar gelar jabatan, yaitu gelar untuk mengindikasikan golongan, seperti sebagai berikut. 1. To Makaka (orang yang lebih tua/tetua): gelar golongan bangsawan,

baik bangsawan Tana’ Bulaan maupun Tana’ Bassi.

2. Bulo di A’pa’: gelar untuk golongan rakyat atau orang yang merdeka. Kedua gelar di atas biasanya ditujukan kepada to parenge’, terlepas dari hubungannya dengan gelar to parenge sebagai pejabat pemerin­ tahan adat.

3. Ora Tongkon: gelar yang disematkan pada orang­orang yang memiliki keahlian (seorang yang pandai), seperti ahli bahasa dan sastra, ahli sejarah, ahli agama, seniman, pembicara, dan sebagainya.

Selain mengenal pemimpin pemerintahan dengan strata bangsawan, masyarakat Toraja juga mengenal pemimpin kepercayaan lokal. Mereka adalah para pendeta yang memimpin penyelenggaraan upacara­upacara adat dan sebagai penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta. Para pendeta ini merupakan pemimpin kepercayaan tua di Toraja, yang

disebut Aluk Todolo. Lembaga kepercayaan ini disebut Kombongan Ada’ yang mempunyai tugas antara lain melakukan pembinaan terhadap penduduk yang menganut kepercayaan Aluk Todolo. Anggota Kombongan

Ada’ terdiri atas para pendeta yang juga memiliki strata tersendiri, yaitu

sebagai berikut.

1. To mina’a (imam/penghulu) sebagai pemimpin pembina Aluk Todolo. Imam ini terbagi atas tiga tingkatan, yaitu Tomina’a Burake (imam ahli yang tidak boleh menikah), Tomina’a Sando (imam pembina), dan Tomina’a (imam pelaksana).

2. To Indo atau Indo Padang yang memimpin Aluk Patuan dan aluk

pantanan.

3. To Mebalun atau Ma’ Kayo, yaitu orang yang khusus mengatur pema­ kaman dan membungkus orang mati.

2.4.3 Organisasi Sosial Kemasyarakatan di Toraja Sa’dan

Dewasa ini, etnik Toraja sudah masuk dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang terdiri atas 32 komunitas adat. Ada empat komunitas adat di Toraja, yaitu sebagai berikut.

1. Kelompok selatan: wilayah sampai dengan Enrekang, dipimpin oleh

Puang.

2. Kelompok barat: dipimpin oleh Ma’Dika.

3. Kelompok tengah dan timur: dipimpin oleh Siambe’ dan Sindo’. Untuk Sindo’: perempuan bisa memegang jabatan tersebut.

4. Kelompok utara: wilayah Sa’dan, dipimpin oleh To’Parenge (pengayom masyarakat) dan Puang (bangsawan).

Di Toraja Sa’dan sendiri ada Puang sebagai pemimpin, karena menurut sejarah, Sa’dan dulu memiliki kekerabatan dengan Luwu, juga intervensi dari Gujarat dan Bone. Kombong Kalua (ketua komunitas adat) mengharapkan ada pengaturan daerah untuk dibuat perda tentang ke­ ber adaan masyarakat adat di Toraja. Ketua masyarakat adat masih di-dengarkan oleh masyarakat daripada pemimpin lembang.

Di Toraja Sa’dan, sebagian besar orang Sa’dan menduduki posisi pen­ ting di pemerintahan baik di tingkat yang paling bawah setingkat desa sampai tingkatan di kabupaten. Sebagian besar orang Toraja Sa’dan masih memiliki hubungan kekeluargaan satu dengan yang lain akibat hubungan keturunan dan perkawinan antarkerabat.

Wilayah administrasi di Toraja Sa’dan, pemerintahan terkecil adalah

lembang dan kelurahan. Ada delapan lembang dan dua kelurahan. Lem­ bang adalah daerah administrasi setingkat desa, dipimpin oleh seorang

ketua lembang yang dipilih langsung oleh warga masyarakat, dengan status bukan pegawai negeri sipil. Sementara kelurahan adalah daerah administrasi setingkat desa yang dipimpin oleh seorang lurah, yang dipilih oleh pemimpin daerah setempat dengan status sebagai pegawai negeri sipil. Di bawahnya ada kepala lingkungan, setingkat dusun, yang biasanya memiliki pengaruh dan kharisma lebih besar daripada pemimpin desa sendiri karena faktor keturunan dan senioritas dalam rumpun keluarga luasnya.

Kepemimpinan adat dipegang oleh seorang Puang. Puang terakhir di Sa’dan Malimbong sudah meninggal beberapa tahun lalu. Untuk menjadi seorang Puang, seseorang harus memiliki kriteria tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Dia harus bisa mengayomi, memiliki kharisma, dan bisa memberi solusi bagi permasalahan yang dihadapi warganya. Seorang Puang juga dipilih berdasarkan keturunan, kemurnian darah ke bangsawanannya. Proses pemilihan Puang panjang, harus mendapat pengakuan dari seluruh kelompok, bahkan dari saudara­saudara sendiri dari satu keturunan tongkonan. Hingga saat ini belum ada pengganti

Puang di Sa’dan Malimbong.

2.4.4 Kelompok Saroan

Menurut keterangan salah seorang informan, dewasa ini Kelompok

Saroan hanya berfungsi untuk acara rambu solo’. Ada istilah kobbu’­kobbu’

(kelompok­kelompok), yang mengatur kelompok satu tidak bisa masuk dalam kelompok yang lain. Hubungan kekerabatan tidak menjamin dalam satu kelompok sehingga antarsaudara bisa jadi tidak berada dalam satu

saroan. Informan S menjelaskan, bahwa saroan dewasa ini hanya sekitar

urusan upacara rambu solo’, seperti berikut.

”Karena urusan daging, menurut penilaian saya pribadi tidak baik ka. Hanya urusan duku’ sangira (Satu irisan daging), daging hanya satu iris tapi iri saja. Saudara antarsaudara meski tidak satu saroan karena yang satu tidak ada apa-apanya (miskin), tidak dianggap karena yang lain ada apa-apanya, adat yang bikin begitu, bukan pemerintah. Fungsinya cuma itu mi hanya daging satu iris. Darah dengan tulang ditinggalkan (hubungan kekerabatan), yang kuat adalah saroan.”

Yang mengatur saroan tidak ada, tapi maunya masing-masing karena adanya barangnya, ada imbal baliknya nanti. Contoh saya dapat rambu solo’ mama’ saya, dalam saroan akan mem­ bawa kerbau atau babi.Yang baku bawa kerbau dan bai (babi) hanya dalam satu kelompok.

Dalam rambu tuka’ masih kekeluargaan, kalau pengantin masih ada musyawarah dalam keluarga, ditanggung bersama. Mantunu­tunu (pengerjaan pondokan untuk rambu solo’) dalam 1 saroan. Meski bersaudara kalau bikin pesta rambu solo’ bukan saroannya pasti malu untuk datang dalam bebe-rapa prosesi.

Prosesi dalam rambu solo’ 1. Pembukaan

2. Penerimaan tamu (saudara di luar saroan masih bisa datang)

3. Matandu’ (daging babi dibagi­bagi dalam saroan, yang bu­ kan saroan meski sebagai saudara malu kita untuk datang) 4. Mantawa (pembagian daging kerbau, juga malu datang,

meski saudara kalau bukan kita punya saroan)

5. Penguburan (saudara pasti datang karena rara dengan duku (darah dengan tulang).

Ada istilah sirri’ (tidak mungkin laksanakan tapi tidak dapat daging, memakan daging, tapi tidak sanggup balas)–masirri’-sirri’.

Tidak enaknya saroan tidak baku bantu mi orang, dalam hal orang bikin pondok. Hanya muncul 1 hari, yang berperan hanya dalam 1 saroannya saja, meski saudara tidak baku bantu.