BAB V BUDAYA KIA DALAM KETERKAITAN KONSEP SEHATSAKIT
5.1 Konsep Sehat dan Sakit Orang Toraja Sa’dan terkait
Kita sering melupakan faktor persepsi atau konsep masyarakat itu sendiri tentang sakit. Ada perbedaan persepsi yang berkisar antara penyakit (disease) dengan rasa sakit (illness). Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing, atau luka (injury). Hal ini adalah suatu fenomena yang objektif yang ditandai oleh perubahanperubahan fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sementara, sakit (illness) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini me rupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak
(feeling unwell). Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat
penyakit dan tidak merasa sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apaapa terhadap penyakitnya tersebut. Akan tetapi bila mereka diserang penyakit dan merasa sakit (illness with disease), baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Perilaku sakit dan respons terhadap rasa sakit yang terwujud dalam perilaku pencarian kesehatan
(health seeking behavior) sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
kelas sosial, perbedaan suku bangsa, dan budaya (Notoatmojo, 2003). Sejalan dengan Notoatmodjo, Winkleman menyatakan bahwa disease adalah masalah biologis yang melibatkan ketidaknormalan pada struktur kimia atau fungsi tubuh. Illness berarti pengalaman individu atas sesuatu
yang salah yang sedang terjadi, perasaan gangguan pada keadaan yang dianggap bisa menyebabkan disease atau sebab karena keyakinan budaya (Winkelman, 2009).
Konsep sakit menurut pandangan orang Toraja Sa’dan dijelaskan oleh salah seorang informan, yaitu Bapak R sebagai berikut.
”Tentang sakit, Bapak R mendefinisikan sakit itu sebagai per-soalan ketika ia tidak bisa bergerak lagi, tapi kalau masih bisa melakukan aktivitas ia belum merasa sakit. Bahkan ia menyarankan kalau sakit itu semakin banyak bergerak semakin bagus, karena keringat akan keluar. Tapi biasanya sakit perut itu dirasa sangat susah dikendalikan, biasanya ia ke rumah sakit kalau sakitnya tidak tertahankan atau kalau masih bisa dilakukan pengobatan sendiri ia lebih memilih untuk meramu tumbuhan seperti tanaman kariango.”
Ada dua hal dalam bahasa Toraja dalam mendefinisikan rasa sakit, yaitu massaki’ dan mappadi’. Istilah massaki’ menjelaskan tentang rasa sakit secara fisik (biologis), seperti massaki’ uluku (sakit kepalaku), sedangkan mappadi’ menjelaskan rasa sakit yang terkait dengan rasa nyeri, baik itu secara fisik (biologis) maupun secara psikologis. Mappadi’ bisa dijelaskan dalam contoh ketika seorang ibu sedang mengalami kontraksi pada menitmenit terakhir menjelang kelahiran yang peneliti lihat prosesnya sebagai berikut.
”Dia merintih kepada ibunya,” mappadi’ ... mappadi’ ... ma-ma’!!! (sakit ... sakit ... ibu!!!). Beberapa jam sebelum proses ke lahiran, si ibu hanya mengeluh kepada ibu kandungnya bahwa kepa nasan dan minta air dan dikipasi, “malassu ... malassu ... mama’ ... minta air, dikipaskipas!!” (panas ... panas ... ibu!!!). Ibu dan bidan memberi semangat supaya dia bisa kuat dan tidak banyak mengeluh, menyuruh berpasrah kepada Tuhan, dan Tuhan akan membantu.”
Demikian juga ketika lagulagu melankolis Toraja bercerita tentang rasa sakit hati karena patah hati, akan ada lirik yang menyebutkan tentang mappadi’ penangku (sakit hatiku). Jadi, konsep sakit dalam pandangan orang Toraja adalah yang terkait dengan apa yang mereka rasakan (illness), bukan terkait dengan persepsi mereka tentang penyakit
kata malapu’, yang berarti sehat secara jasmani dan rohani, dan juga mempunyai arti “cantik” dan “ganteng”.
Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II berkenaan dengan budaya kesenian yang menggambarkan harapan konsep kesehatan orang Toraja sejak zaman nenek moyang mereka dalam falsafah ajaran Aluk
Todolo, tergambar dalam motif ukiran seperti motif Paqlolo tabang yang
berbentuk daun tabang sebagai simbol harapan agar anak cucu sehat jasmani dan rohani serta jauh dari penyakit. Juga ada motif Paqsalaqbiq
ditoqmokki yang berbentuk pagar bambu, sebagai simbol harapan agar
anak cucu terhindar dari segala wabah penyakit dan marabahaya lain. Konsep persalinan dari setiap ibu yang peneliti temui, baik itu yang melahirkan di sarana pelayanan kesehatan maupun yang melahirkan sendiri di rumah, menganggap bahwa persalinan itu adalah suatu hal yang biasabiasa saja. Sesuatu yang alami terjadi, tidak perlu bingung menyiapkan segala hal untuk menghadapi proses tersebut. Proses alami yang sudah sering terjadi dan sering mereka lihat serta membantu proses yang sama dari generasi sebelumnya. Seorang ibu di Sa’dan berani mengambil keputusan untuk melahirkan sendiri bayinya karena secara budaya dia sudah mendapatkan pengetahuan tentang persalinan dari generasi sebelumnya, yang diceritakan dan dilatihkan untuk menolong persalinan sendiri dalam keluarga luasnya. Bisa juga pengetahuan tersebut diperoleh dari kelompok lingkungannya yang saling bercerita berkenaan dengan proses kelahiran itu sendiri, tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik bagi kehamilan dan proses kelahirannya. Ibu R menceritakan pengalaman pembelajaran tentang melahirkan sebagai berikut.
”Saya diajar sama neneknenek saya dulu, katanya besok besok kalau mau melahirkan tutup mata, jangan buka mata kalau mau berkuat ... karena urat itu. Bisabisa keluar kita pu nya mata ... itu makanya biasa ada orang bilang kalau sudah melahirkan suka keluarkeluar air matanya ... mungkin itu dia buka matanya kalau berkuat. Kan kita punya urat mata itu tat tariktarik kalau kita berkuat. Sama itu juga jangan gigit bibir ... nanti bisa berdarah ... biasa-biasa saja kalau mau melahirkan, tutup mata saja.”
Pengalaman lain tentang pengetahuan melahirkan juga diungkapkan oleh Ma’ R sebagai berikut.
”Saya mendapatkan pengalaman melahirkan dengan mende ngarkan ibuibu tetangga yang sudah pengalaman melahirkan. Mereka selalu bercerita ketika kumpul-kumpul, ketika saya dulu masih gadis di kota Rantepao, senang mendengarkan mereka. Pengalaman sendiri juga saya jadikan patokan untuk melahirkan anak-anak saya yang berikutnya. Ketika saya melahirkan anak pertama saya, lahir sendiri di hutan di mess pekerja perkebunan di Malaysia pada saat itu, ketika nurse (bidan) datang, anak saya sudah keburu lahir. Akhirnya nurse cuma menolong membersihkan anak saya dan saya. Saya sehabis melahirkan disuruh langsung mandi, katanya biar langsung segar kembali tenaganya. Dan itu saya lakukan juga saat saya melahirkan anak yang berikutnya di kampung.”
Menurut pandangan para realis dari tulisan Aunger (1999), kebu-dayaan adalah informasi yang dipelajari secara sosial. Kebukebu-dayaan adalah atribut perilaku sosial manusia, dan biasanya didefinisikan dalam istilah kelakuan, kebiasaan, dan institusi yang diperolehnya. Kognisi manusia secara umum memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengetahui kelompok sosialnya. Manusia memiliki keahlian kognisi dalam berkreasi dan menggunakan simbolsimbol, yaitu linguistik simbol baik itu dalam bentuk tulisan, hitungan, dan notasi, berkreasi dalam penggunaan alatalat dan teknologi, dan berkreasi dalam partisipasi di organisasi sosial dan institusi. Secara antropologis sulit diketahui asal muasal keahlian ma-nusia tersebut. Namun diketahui bahwa yang membuat perbedaan adalah budaya manusia. Menurut Tomasello (1999), evolusi budaya manusia ada-lah suatu proses jalannya modifikasi artifak atau praktik sosial yang dibuat secara individual ataupun antarkelompok yang bertempat tinggal sama sampai datang individu baru yang berpikir masa depan untuk membuat modifikasi lebih lanjut, sehingga proses tersebut berulang kembali den-gan modifikasi yang baru. Anakanak belajar praktik sosial. Praktik sosial itu statis lintas generasi dan ada modifikasi dalam hal menemukan, bela-jar menirukan (merepro dan memahami) dan mengabela-jarkan. Kognisi sosial dimulai dari keseluruhan proses yang melibatkan pemahaman orang lain sebagai agen, dan proses baru dari transmisi sosial budaya itu melibatkan pembelajaran kultural (cultural learning) yang diawali dengan peniruan
(imitating learning). Pembelajaran kultural menciptakan ratchet effect,
manusia tidak hanya mengumpulkan sumbersumber kognisi masa kini, namun juga membangun temuan kognisi satu sama lain sepanjang masa. Dalam budaya sebagai pengetahuan yang dibagi dalam masyarakat/
society biasanya terjadi suatu consensus/kesepakatan untuk mempelajari
dan mengajarkan budaya tersebut agar dapat dipahami. Apa yang dipela-jari dan diajarkan atau dibagikan kepada yang lain cenderung sama, tidak banyak berubah dikarenakan adanya kesepakatan bersama. Aan tetapi dalam budaya sebagai informasi pembelajaran sosial, individuindividu di dalamnya cenderung mengembangkan informasi yang diterimanya ke dalam bentuk yang bisa dia terima, karena masingmasing individu berbe-dabeda dalam memaknai informasi yang didapat, meskipun dalam suatu kelompok sosial yang sama, apalagi kalau itu terjadi dalam kelompok so-sial yang berbeda.
Menurut Goodenough (1994), setiap orang yang berhubungan de ngan orang lain dari area geografis atau dari kompleks sosial yang berbeda akan menemukan banyak hal dari mereka yang berbeda. Bagaimanapun perbedaan itu ada, mereka mengalami fenomena bahwa orangorang sa ling bicara hampir di mana pun. Berbeda penjelasan namun mereka se-mua memperhatikan satu sama lain. Teori budaya mencoba menjelaskan bagaimana frekuensi orang berinteraksi, keberlanjutan interaksi, dan mo-tivasi orang untuk berpartisipasi membantu mempromosikan (atau mer-intangi) perkembangan dari pemahaman yang dibagi tentang aktivitas.
Menurut Caulkins (2004), yang berangkat dari Barth (2002) yang mengidentifikasikan budaya sebagai pengetahuan yang dibagi di antara populasi, dan pengetahuan itu idiosinkratis, didistribusikan secara acak, dibagi di antara subkelompok, atau dipersaingkan oleh dua atau lebih kelompok yang “tahu” halhal yang berbeda. Goodenough (2003) juga mengatakan bahwa banyak individu tampaknya mempunyai pengetahuan lebih dari satu kultur atau tradisi subkultur sebagai hasil dari interaksi den-gan orang lain, di kumpulan yang berbeda denden-gandirinya dan masyarakat lain.
Budaya lisan yang dianut oleh orang Toraja secara kuat telah menga-kar dalam kehidupan orang Toraja Sa’dan. Cerita yang dituturkan secara turuntemurun dari generasi ke generasi berikutnya secara tidak langsung juga membentuk karakter dan perilaku dalam pembelajaran. Demikian halnya dalam pembelajaran mengenai kelahiran dan persalinan.
Pembe-dan mengalami sendiri akan membentuk perilaku sama yang mereka ang-gap bisa bertahan dan beradaptasi dengan keadaan yang ada. Di sini bisa diambil nilai positif budaya Toraja setempat, tentang bagaimana mereka memahami sakit dan sehat. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh salah seorang bidan dalam mempromosikan pengaturan jarak kelahiran dengan berKB berikut ini.
”Saya sendiri orang Toraja, tidak mungkin saya menyuruh orangorang untuk memiliki anak hanya dua saja cukup. Na mun saya ketika ada ke giatan posyandu atau ibu yang datang sendiri ke puskesmas memberikan penerangan tentang KB, saya beri masukan berkaitan dengan keluhankeluhan mereka mi. Ketika mereka mengeluh belum ada uang untuk beli beras yang dikirim dari suaminya yang merantau, di situ saya kasih tau mi ... kan susah kalau anak banyak dengan jarak yang dekatdekat, kita yang susah ngurusin anak sendiri, sedang suami di rantau. Kita sendiri yang merasakan capeknya mi. Da ri situ saya menyarankan mereka KB.”
”Di keluarga saya sendiri, keputusan KB atau tidak, ada di tangan saya sendiri sebagai perempuan. Saya 3 kali mempunyai anak, 1 lahir normal, 2 orang di-caesar. Kayak hidup dan mati mi, karena selalu susah saya ketika lahiran. Saat kelahiran yang ke3 saya sudah menyuruh dokter untuk menutup saja. Suami ikut saja maunya saya, walau ketika itu suami saya disuruh tanda tangan untuk operasi penutupan indung telur, dia sempat kebingungan mi ... kalau ditutup nanti saya bagaimana? (sambil tertawa Ibu D menceritakan kelucuan karena kesalahpahaman tersebut).”
5.2 Konsep Kematian, Kematian Ibu, dan Kematian Bayi bagi Orang