• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V BUDAYA KIA DALAM KETERKAITAN KONSEP SEHAT­SAKIT

5.2 Konsep Kematian, Kematian Ibu, dan Kematian

Kematian bagi orang Toraja Sa’dan, seperti orang Toraja pada umumnya, menyatakan bahwa kematian adalah perpindahan ke tempat para leluhur sebelumnya berada. Terkait dengan dualisme alam dan keseimbangan dalam ajaran lama Aluk Todolo dalam memandang kematian, salah seorang informan, yaitu Ne’ E menjelaskan sebagai ber­ ikut.

”Tradisi kepercayaan lama Toraja (Aluk Todolo), menganut pembagian dualistik dalam alam, seperti bagian barat dan timur. Bagian barat dan timur berkaitan dengan di mana matahari terbenam dan matahari terbit. Bagian terbenamnya matahari (barat) terkait dengan kematian. Ritual rambu solo’ yang memiliki arti asap turun ke bawah (seperti matahari turun ke bawah untuk terbenam), merupakan upacara untuk kedukaan (orang yang sudah meninggal). Karenanya orang Toraja tidak akan tidur atau menghadapkan tempat tidurnya ke arah barat, karena melambangkan kematian.”

Orang meninggal yang masih disimpan dan belum dilakukan upa­ cara adat rambu solo’ dianggap sebagai orang sakit (to’ makula). Jenazah akan diperlakukan seperti layaknya masih hidup, yaitu diajak berbicara, disediakan makanan dan minuman yang diganti setiap hari, dan ditempatkan di rumah tongkonan atau rumah sendiri yang ditunggui oleh anggota keluarga yang ditinggalkan sampai saat upacara rambu

solo’ tiba. Selama jenazah belum dilakukan upacara rambu solo’, mereka

dianggap masih berada di alam dunia, belum berpindah ke alam leluhur­ leluhur sebelumnya berada (puya) sebagai tomembali puang (arwah yang berkumpul kembali dengan leluhur).

Upacara adat rambu solo’ merupakan penghormatan tertinggi bagi keturunan yang hidup dalam menunjukkan kasih sayang mereka terhadap orang tua (pendahulu/leluhur) yang sudah meninggal. Dalam pelaksanaannya, upacara ini terbagi menjadi empat tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni sebagai berikut. 1. Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan

dalam satu malam.

2. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah dan ada pemotongan hewan. 3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama

lima malam dan dilaksanakan di sekitar rumah serta pemotongan hewan.

4. Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam dan setiap harinya ada pemotongan hewan

dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan (erong), namun mereka juga mempersiapkan tempat peristirahatan terakhir dengan sedemikian apik, yang tentunya tidak lepas dari strata yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun ekonomi individu (http://kwatkhaysin. blogspot.com/2011/10/kajian­antropologis­suku­toraja.html, akses 15 Agustus 2012).

Pada umumnya, tempat menyimpan jenazah adalah gua atau tebing gunung atau pada masa kini dibuatkan sebuah rumah peristirahatan yang disebut pattane. Budaya ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Adat masyarakat Toraja masa lalu menyimpan jenazah pada liang gua atau tebing, seperti di daerah Kete’ dapat dijumpai puluhan

erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi. Tengkorak

berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat dimakan usia. Tempat penyimpanan jenazah yang lebih modern biasanya berbentuk rumah (pattane) biasa dengan berlambang salib, yang menandakan pengaruh agama Kristen. Namun, letak pattane selalu berada di tempat yang tinggi, melambangkan orang Toraja mempercayai bahwa tempat tinggi itulah yang lebih dekat dengan tujuan mereka kembali, yaitu bersama para leluhurnya.

Konsep kehidupan dan kematian bagi orang Toraja terkait dengan arah mata angin, yaitu timur­barat dan utara­selatan. Timur­barat meru-nut pada arah terbit dan tenggelamnya matahari. Timur dilambangkan se-bagai kehidupan dan barat dilambangkan sese-bagai kematian. Sementara, arah utara­selatan merunut pada jalannya arus Sungai Sa’dan yang men-galir dari hulu ke hilir, dari utara menuju akhir di selatan. Utara adalah awal kehidupan, yakni hulu Sungai Sa’dan tempat asal air itu mengalir, dan selatan menandakan akhir kehidupan (kematian), yakni akhir aliran Sungai Sa’dan berakhir. Karenanya, setiap bangunan di Toraja selalu mem-pertimbangkan arah mata angin tersebut, untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan dan keseimbangan setelah kematian.

Kematian ibu yang melahirkan dan/atau kematian bayi saat lahir dianggap sebagai suatu kepasrahan yang tinggi kepada Sang Pencipta yang menentukan kehidupan dan kematian. Karenanya, kematian ibu yang melahirkan ataupun kematian bayi yang dilahirkan yang terjadi di Toraja tidak dilakukan upacara rambu solo’ yang memerlukan waktu berhari-hari, hanya dilakukan upacara rambu solo’ yang hanya satu hari dengan memotong satu ekor kerbau sebagai pengorbanan dan langsung dilakukan penguburan pada hari yang sama.

Pada tradisi Toraja zaman dulu, anak bayi yang lahir mati dimasukkan ke dalam pohon yang getahnya putih dianggap sebagai air susu, dengan harapan supaya anak berikutnya lahir selamat dan bertumbuh bagaikan pohon tersebut. Konsep utama dari hal ini bagi orang Toraja Sa’dan adalah selalu pada keseimbangan kosmosnya, baik itu dunia mikro diri maupun dunia makro kaitannya dengan alam dan Sang Pencipta. Tidak ada penyesalan atau mencari sebab­sebab pencetus kesalahan sehingga kematian terjadi, yang ada adalah penerimaan diri dengan keadaan yang ada, dan berusaha berupaya untuk menyeimbangkan dalam koridor budayanya.

Keseimbangan tersebut terintegrasi dalam ajaran Aluk Todolo, yang menyatakan hubungan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan manusia. Bagi orang Toraja, alam bukanlah sesuatu yang dipandang statis, melainkan dinamis. Alam juga tumbuh dan berkembang, serta berubah sesuai kondisi zaman. Perubahan tersebut dipicu rangsangan yang diberikan manusia kepadanya. Respons alam selalu ditanggapi sebagai respons yang baik, meskipun ia merupakan bencana. Pelajaran berharga lebih dipentingkan sebagai bahan nasihat dibandingkan melihat sisi penderitaan yang ditimbulkannya.

5.3 Potensi dan Kendala Budaya KIA Orang Toraja Sa’dan dalam Teori