• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.2 Geografi dan Kependudukan

Gambar 2.4 Peta wilayah Kecamatan Sa’dan. (Sumber: Dokumen Penelitian 2012)

Kecamatan Sa’dan memiliki luas wilayah 80,49 km2. Koordinat geografis berada pada 2 derajat 53’ 8” Lintang Selatan dan 119 derajat 56’ 39” Bujur Timur. Batas­batas wilayah Kecamatan Sa’dan: di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bangkelekila dan Sesean, di sebelah ti­ mur berbatasan dengan Kecamatan Sa’dan Balusu, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Buntu Pepasan.

2.2.2 Topografi

Kecamatan Sa’dan meliputi wilayah pegunungan dan dataran. Jarak tempuh dari ibukota Kecamatan Sa’dan Malimbong ke ibukota Kabupaten Toraja Utara, yaitu Rantepao, adalah 10,5 km. Kecamatan Sa’dan meliputi 10 wilayah desa yang terdiri atas 8 lembang dan 2 kelurahan, yaitu

1. Lembang Sa’ Dan Andulan, 2. Lembang Sa’ Dan Ballopasange, 3. Lembang Sa’ Dan Liku Lambe, 4. Lembang Sa’ Dan Pebulian, 5. Lembang Sa’ Dan Pesondongan, 6. Lembang Sa’ Dan Sangkaropi, 7. Lembang Sa’ Dan Tiroallo, 8. Lembang Sa’ Dan Ulusalu,

9. Kelurahan Sa’ Dan Malimbong, dan 10. Kelurahan Sa’ Dan Matallo.

(http://organisasi.org/daftar­nama­kecamatan­kelurahan­ desa-kodepos-di-kota-kabupaten-toraja-utara-sulawesi-selatan, akses 22 Maret 2012).

Sa’dan Malimbong merupakan ibukota Kecamatan Sa’dan di Kabu­ paten Toraja Utara. Dulu Sa’dan Malimbong merupakan satu desa, ber-sama dengan Pebulian dan Sangkaropi. Desa itu kemudian dimekarkan menjadi Kelurahan Sa’dan Malimbong, Lembang Pebulian, dan Lembang Sangkaropi. Wilayah Lembang/Kelurahan Sa’dan Malimbong memiliki topografi datar, dengan luas area 4,83 km2, berjarak 25 km dari ibukota kabupaten (Rantepao), dan memiliki ketinggian 800 m dari permukaan air laut. Di Sa’dan Malimbong ada tiga lingkungan, yaitu Malimbong, Tangge, dan Sang Kombong. Jumlah penduduk di Sa’dan Malimbong total 1.128 jiwa, terdiri atas 560 jiwa laki-laki dan 568 perempuan. Sementara seluruh

2.2.3 flora dan fauna

Vegetasi hutan yang tumbuh di sekitar desa adalah berbagai tanaman kayu dan semak hutan, seperti kayu uru, cendana, pinus, buangin, natoh, palem, taro, mayana, bayam-bayaman, dan bambu. Kayu-kayu tersebut di gunakan untuk membuat rumah tongkonan, sedangkan bambu digu­ nakan untuk membuat pondok pada saat upacara rambu solo’.

Penduduk menanam berbagai macam buah­buahan dan sayur­sa­ yuran di halaman, di antaranya jambu air, jambu biji, manggis, jeruk bali, durian, avokad, cokelat, kopi, sirsak, pepaya, pisang, nangka, kelapa (jarang), ubi, labu, cabai rawit, tomat, dan kecapi (ketapi). Cokelat dan kopi merupakan komoditas yang penting. Biasanya penduduk menjual cokelat dan kopi ke pasar di sekitarnya. Sementara tanaman mayana digunakan untuk keperluan memasak makanan khas Toraja, yaitu pa’piong (daging dicampur dengan daun mayana, dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar). Jenis padi yang ditanam bervariasi, ada yang putih, merah atau cokelat, dan hitam. Padi atau beras yang terkenal di wilayah Toraja Sa’dan yang merupakan varietas lokal Toraja adalah Cinta Nur.

Binatang ternak yang dipelihara oleh penduduk terutama adalah babi dan kerbau atau tedong dalam bahasa Toraja (Gambar 2.5 dan 2.6). Babi dan kerbau merupakan hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena diperlukan untuk penyelenggaraan upacara rambu solo’ (pesta upacara kematian). Kerbau belang (tedong bonga) adalah hewan khas yang sering dijumpai di Toraja. Kerbau ini memiliki dua warna kulit, yaitu abu­abu dan putih. Tedong bonga ini merupakan simbol status sosial yang tinggi bagi orang yang menyembelihnya pada saat upacara Rambu Solo’. Harga tedong bonga berkisar puluhan hingga ratusan juta, tergantung corak belang di kulitnya dan bentuk fisik kerbau tersebut. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan, Ne’ E, yang akan mengadakan upacara

rambu solo’ ibu mertuanya pada bulan Juli.

”Harga tedong bonga bisa mencapai harga mobil mewah merk tertentu. Yang ada di kandang depan rumah itu harganya cuma Rp70.000.000,00 beberapa waktu yang lalu dibeli untuk acara Rambu Solo’ nenek. Dibeli oleh sepupu, dibeli saat tedong ma­ sih muda dan dipelihara. Anak­anak dan cucu­cucu nenek yang lain juga sedang membeli tedong untuk acara ini. Harga tedong bervariasi ada yang puluhan juta ada juga yang ratusan juta. Memilih tedong juga harus dilihat secara menyeluruh, dari corak kulit, besar tubuh, panjang tanduk, dan lain­lain.”

Rambu Solo’ memang membutuhkan banyak kerbau. Oleh karena

itu, ada pembiakan kerbau di daerah sekitar Toraja. Menurut penuturan seorang informan, Bapak L, tedong bonga sering lahir di daerah Morante.

Sering kerbau belang lahir di Morante. Kalau lahir albino di Toraja pasti buta. Kalau bunting dari daerah lain bisa lahir tidak buta. Tapi kalau kawin di Toraja pasti buta.

Kalau orang Toraja memakan kerbau albino akan mengalami kore ngan. Tapi sekarang yang albino dimakan. Kerbau belang yang diagungkan tidak sembarang, dipotongkan hanya oleh yang high class.

Jenis kerbau lain yang memiliki nilai tinggi adalah kerbau balian.

Kerbau balian adalah kerbau jantan berwarna hitam yang telah dikebiri sehingga memiliki tanduk yang panjang. Kerbau ini berharga puluhan juta rupiah. Kerbau (tedong) untuk upacara rambu solo’ memiliki berbagai macam varian yang juga menentukan status sosial pembelinya.

Ayam juga dipelihara untuk dijadikan ayam aduan maupun untuk keperluan sehari­hari (untuk makanan). Ada juga ayam peliharaan, yaitu ayam tertawa. Ayam ini memiliki bentuk tubuh yang pendek seperti ayam kate, namun berekor agak panjang. Suaranya khas, seperti suara orang tertawa terbahak­bahak. Jenis ayam ini tidak bisa dipelihara di tanah, harus diletakkan di atas pijakan yang tidak langsung menyentuh tanah. Binatang liar yang hidup di Desa Sa’dan Malimbong di antaranya berbagai jenis burung, termasuk burung elang yang sering dijumpai terbang di atas areal persawahan.

Hewan babi (bai) juga merupakan hewan yang sangat penting ba­ gi orang Toraja. Setiap rumah tangga selalu memiliki peliharaan babi be be rapa ekor, yang dimaksudkan sebagai simpanan tabungan untuk acara rambu solo’. Terkait binatang piaraan warga, informan, yaitu Ma’ A menjelaskan sebagai berikut.

”Saya ada piaraan beberapa ekor babi di rumah, rencana untuk Rambu Solo’ Ne’ J bulan Juli besok. Karena dulu waktu bapaknya anak­anak meninggal, keluarga Ne’ J menyumbang babi. Kalau disumbang tedong saya tidak mau, karena berat mengembalikannya kelak.”

ukur dari lingkar dada, semakin besar ukuran lingkar dada semakin mahal harga babi.

Dalam sumbang­menyumbang babi atau kerbau antarkelompok ke­ luarga dalam upacara Rambu Solo’ atau upacara pemakaman yang hanya satu hari kemudian dimakamkan, Ma’ D menjelaskan dengan istilah “menabung” di keluarga­keluarga tersebut. Berikut keterangan Ma’ D.

”Bapak saya saat ini sudah menulis wasiat, bahwa apabila nanti meninggal dari kesebelas anaknya berapa-berapa saja tedong yang harus dipotong, siapa kebagian berapa ekor. Yang pada intinya bapak saya nanti ketika meninggal tidak mau memberatkan anak­anaknya. Dan saya juga saat ini sering menabung dengan menyumbang babi ke keluarga­keluarga yang ada upacara. Sehingga ketika nanti kami ada upacara saya sudah tidak punya hutang di keluarga yang memberi kepada saya.”

Gambar 2.5 Ternak babi untuk tabungan upacara Rambu Solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)

Gambar 2.6 Kerbau belang (tedong bonga) untuk upacara rambu solo’. (Sumber: Dokumen Penelitian, 2012)