• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TORAJA DAN UNSUR BUDAYANYA

2.3 Religi

2.3.1 Aluk Todolo sebagai Sebuah Kepercayaan dan Falsafah Hi dup bagi Orang Toraja

Sebelum orang Toraja memeluk agama lain, seperti Kristen atau Islam, nenek moyang orang Toraja telah memiliki sistem kepercayaan yang dikenal dengan sebutan Aluk Todolo. Secara harfiah aluk berarti “aturan/ agama”, todolo berarti “leluhur”. Jadi, Aluk Todolo berarti “agama leluhur” atau “agama purba”.

Sebuah kepercayaan tidak hanya memuat seperangkat aturan ber­ kenaan dengan cara­cara melakukan ritual peribadatan, namun juga merupakan pandangan hidup yang mengandung konsepsi tentang ruang dan waktu, serta panduan perilaku bagi penganutnya. Pandangan hi­ dup tersebut akan menjadi acuan bagi segala aktivitas para penganut kepercayaan itu, termasuk di antaranya cara mereka mengatur ruang tempat mereka hidup dan bermukim.

Aturan­aturan dalam sebuah kepercayaan selain meliputi hubungan manusia dengan Sang Pencipta, juga mengatur hubungan­hubungan so sial di antara manusia dan hubungan manusia dengan alam tempat ia tinggal dan hidup serta mencari penghidupan. Demikian pula halnya dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Toraja, Aluk Todolo. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, mereka dituntun oleh sebuah pandangan hidup yang mengatur tentang tata hubungan antara Tuhan (Sang Pencipta) dengan manusia sebagai ciptaan, dan hubungan manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup dan mencari nafkah.

Namun berbeda dengan ajaran dalam kepercayaan agama di Indone-sia pada umumnya, selain mengenal Tuhan, dalam Aluk Todolo kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh para dewa dan roh leluhur mereka. Jadi, konsep Tuhan hanyalah sebagai Pencipta pertama kehidupan.

Meskipun dalam kondisi kekinian para generasi muda hanya me­ mandang bahwa hubungan­hubungan tersebut merupakan sesuatu yang sudah demikian adanya sejak nenek moyang mereka, dan tidak me­ mahami lagi tentang Aluk Todolo, namun aktivitas keseharian mereka te­ tap tak sepenuhnya lepas dari aturan tersebut. Menipisnya pengetahuan berkenaan dengan kepercayaan lama salah satunya disebabkan mereka lebih sering menerima pengajaran agama Kristen daripda kepercayaan

Aluk Todolo. Pada saat ini, walaupun Aluk Todolo sudah bukan kepercayaan

yang dipandang sebagai agama bagi masyarakat Toraja, nilai­nilainya masih dipegang oleh setiap anggota masyarakat.

Ajaran Aluk Todolo merupakan sebuah ajaran tentang falsafah hi­ dup manusia yang sempurna di hadapan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Ketiganya memiliki kaitan yang sangat erat sehingga penjelasan atau penggambaran terhadap salah satu aspek di antaranya tidak akan sempurna tanpa mengikutkan aspek lainnya. Mereka percaya bahwa manusia atau individu hidup di dunia tidak sendirian dan kehidupan ini ada yang menguasai. Penguasa kehidupan tersebut telah memberikan kekuatan kepada manusia untuk dapat hidup di bumi. Kekuatan untuk dapat bertahan hidup tersebut bersumber atau terdapat pada alam. Jika salah satu hubungan ini lepas maka kehidupan ini tidak akan berlangsung dengan baik (Kemenbudpar RI, 2005).

2.3.2 Hubungan Manusia dengan Tuhan

Dalam Bahasa Toraja Tuhan disebut Puang Matua. Menurut masya-rakat Toraja, Puang Matua­lah yang telah menciptakan bumi beserta isinya

dan memberikan segala sumber kehidupan bagi manusia yang hidup di bumi. Mereka meyakini bahwa sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, mereka wajib untuk menyembah, menjaga, memanfaatkan, serta memelihara segala ciptaan yang telah diberikan. Untuk mewujudkan hubungan antara manusia dan Puang Matua, selain dilakukan dengan cara berdoa sesuai dengan agama yang mereka yakini saat ini, mereka juga melakukan pemujaan dan persembahan sesuai petunjuk falsafah Aluk Todolo. Ketika mereka melakukan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta, mereka harus melakukannya dengan mengurbankan sejumlah besar hewan, berupa kerbau, babi, dan ayam sebagai persembahan. Ketiga hewan tersebut harus ada dalam setiap upacara adat karena ketiga hewan tersebut dalam falsafah Aluk Todolo, seperti yang digambarkan dalam ukiran­ukiran yang ada di Tongkonan yang bergambar tedong (kerbau),

manuk (ayam), dan bai (babi), masing­masing hewan melambangkan

kerja keras dan kesabaran, keberanian, dan kemakmuran.

Konsep Tuhan dalam ajaran Aluk Todolo hanya diartikan sebagai pencipta awal kehidupan manusia. Sementara pemeliharaannya diper-cayakan kepada para dewa­dewa yang memiliki tugas khusus, seperti dewa yang memelihara air yang disebut Pasikambi Tetean Tampo dan dewa yang memelihara sawah yang bernama Kalimbuangboba Puang

Matokko’ Sadamairi. Selain para dewa, orang Toraja juga meyakini bahwa

arwah nenek moyangnya yang telah meninggal, sebelum diupacarakan masih berdiam di sekitar mereka dan belum pergi ke alam puya atau surga. Arwah nenek moyang tersebut tinggal di pohon­pohon sekitar de­ sa dan mengawasi anak­cucu mereka yang masih hidup. Arwah nenek moyang tersebut dipandang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya kehidupan keturunannya dengan cara memberikan atau tidak memberikan berkat. Keberuntungan adalah sebuah pertanda pemberian berkat leluhur kepada mereka.

Sebagai makhluk ciptaan, untuk menjalin hubungan yang baik de­ ngan Sang Pencipta, dalam adat Toraja lama atau Aluk Todolo, para To’

Mina’a memegang peranan yang paling penting. Ia adalah manusia yang

dipandang dapat menyampaikan dan menghubungkan antara manusia dengan Sang Pencipta sehingga untuk memimpin sebuah upacara, keha­ dirannya adalah mutlak. Para To’ Mina’a memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat menempati posisi ini karena me­ rupakan posisi yang diwariskan secara turun­temurun. Menghormatinya

Pencipta. Dan pendustaan terhadapnya juga dipandang sebagai pendu-staan terhadap Sang Pencipta.

Persembahan sebagai salah satu bagian dari pemujaan menempati posisi penting dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Persembahan me­ rupakan media bagi manusia sebagai makhluk ciptaan memberikan peng­ hormatan kepada Sang Pencipta atas karunia kehidupan dan kesejahteraan yang telah diberikan­Nya. Selain itu, persembahan juga menjadi perantara bagi manusia untuk meminta berkah dan kebahagiaan hidup. Akan tetapi pemujaan saja tidaklah cukup. Ritual yang telah dilakukan tidaklah berarti bila aturan­aturan lainnya tidak dilaksanakan dengan baik. Tidak menjaga hubungan dengan manusia atau melakukan tindakan yang merusak alam merupakan bentuk­bentuk pengingkaran dan penghinaan terhadap Sang Pencipta. Semua aturan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia dan dengan alam merupakan bentuk pemujaan tersendiri terhadap Sang Pencipta.

2.3.3 Hubungan Manusia dengan Manusia

Dalam melaksanakan aktivitas keseharian masyarakat Toraja harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Setiap kali melakukan interaksi dengan sesamanya mereka selalu didasari oleh rasa kekeluargaan. Setiap orang menganggap bahwa hanya sesama yang akan memberikan bantuan dalam kehidupan sehari­hari dengan cara hidup bergotong­ royong. Mereka selalu berpedoman pada aturan adat yang menyebutkan bahwa misa kada dipo tuo, pantan kada di pomate (satu kata kita hidup bersama, berbeda kita akan bercerai berai).

Kehidupan keseharian yang harmonis dengan sesama merupakan pencerminan dari ketaatan terhadap Sang Pencipta. Dan, Sang Pencipta telah memberikan kuasa pada para leluhur untuk memberikan bantuan dan memperhatikan gerak­gerik mereka. Bantuan para leluhur diberikan dalam bentuk berkat atas mereka serta keturunannya. Oleh karena itu, mereka harus melakukan pula pemujaan dan persembahan kepada le-luhur atas bantuan mereka melalui berkat yang telah diberikan.

Salah satu wujud penjelasan di atas, bahwa setiap hubungan ma-nusia yang masih hidup diperhatikan oleh para leluhur mereka, adalah dilakukannya Pemala’ Lako Tomembali Puang/Todolo. Artinya, pemujaan dan persembahan kepada Sang Pengawas manusia oleh para keturunan-nya. Bentuk acara ini adalah upacara dengan melakukan persembahan,

yakni dengan mengurbankan salah satu hewan kurban berupa kerbau, babi, atau ayam.

Dalam beberapa upacara penting dalam setiap kegiatan adat masya­ rakat Toraja selalu dilakukan ritual persembahan kurban yang disebut su­

runa’ malolo tau’. Ritual ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian

panjang sebuah upacara yang ditujukan untuk mensyukuri kehidupan dan kelahiran manusia. Ritual ini bertujuan untuk mengingatkan kepada setiap manusia akan pentingnya jalinan kekeluargaan yang erat di antara mereka dan sikap saling menghargai. Dalam ajaran adat terdapat sebuah falsafah keluarga yang mengajarkan kebersamaan dalam masyarakat, yaitu apabila seseorang mengalami kesulitan, kesulitan itu menjadi tanggungan seluruh anggota kerabat (Kemenbudpar RI, 2005). Kata kerabat menggambarkan keluarga luas dan bukan keluarga batih. Dengan demikian, konsep kerabat adalah mereka yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh ibu A berikut ini.

”Di sini kami semua saudara, karena keturunan dari ne’pitu baku ka win antarsepupu. Rata­rata di sini kami menikah dengan saudara sepupu sendiri. Makanya ada istilah sepupu satu kali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali untuk menjelaskan derajat keturunan ke berapa mereka saling menikah. Kalau ada acara rambu solo’ penuh semua di Sa’dan. Karena keluarga yang di rantau pada datang untuk menghadiri.”

Baku bantu (saling membantu) antara kerabat juga dijelaskan oleh

informan A seperti berikut.

”Saya ditinggal sama almarhum (suami) dengan sembilan orang anak yang masih kecil-kecil, tidak akan bisa hidup kalau di Jawa atau di kota lain. Hidup di sini banyak keluarga yang membantu menyekolahkan anak­anak hingga mereka dewasa, bekerja, dan menikah.”

Hingga kini pengaturan hubungan antara manusia dalam pemerin-tahan adat masih didasarkan pada ajaran Aluk Todolo. Pemerinpemerin-tahan adat masih tetap dipimpin oleh seorang To Mina’a, yang fungsinya sangat vital bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Apabila terjadi konflik dalam masyarakat, To Mina’a harus datang untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan menempuh cara­cara kekeluargaan, sebelum mereka

sam-Kegiatan seperti menanam padi harus dilakukan secara serentak, dipimpin oleh seorang To Mina’a. Penanaman padi serentak dimaksudkan agar tan-aman padi juga bersamaan tumbuh dan berbuah. Dengan demikian, padi dapat dipanen bersama­sama. Jika padi tidak serentak ditanam, dikha-watirkan bila terjadi serangan hama tikus maka semua sawah akan rusak karena tikus dapat menghabiskan semua hasil panen dalam satu sawah. Sementara jika dilakukan penanaman padi secara serentak, hama tikus diyakini tidak akan mampu menghabiskan seluruh padi di sawah sehingga masih ada sawah yang bisa diambil hasilnya untuk digunakan bersama.

Serangan hama tikus bukan hanya dilihat sebagai kesalahan para pe tani akibat tidak mematuhi aturan penanaman serentak. Akan tetapi ketika sebuah lahan persawahan yang ditanami secara bersama diserang hama tikus maka To Mina’a akan datang ke sawah untuk melihat gejala yang dapat menunjukkan penyebabnya. Apabila kerusakan disebabkan oleh tikus, To Mina’a akan melihat cara tikus makan padi tersebut. Apabila padi yang dimakan adalah padi yang ada di bagian tengah sawah, ia akan mengambil kesimpulan bahwa sebuah kesalahan telah dilakukan oleh penguasa kampung, misalnya To Makaka, Bunga Lalan, atau Ndo

Padang. Sementara, jika padi dimakan tikus mulai dari pinggir sawah

kemudian ke tengah, To Mina’a akan berkesimpulan bahwa pemilik sawah yang melakukan pelanggaran, sebab biasanya bila sawah tidak ditanami bersamaan, tentunya tikus akan memulai memakan padi dari pinggir agar mudah dibawa ke sarang. Akan tetapi bila ditanam serentak, tikus hanya memakan tangkai padi yang patah atau rebah karena penjagaan petani sangat ketat.

Pada saat para petani turun ke sawah mulai menanam padi, tokoh-tokoh adat berembuk dan mengumumkan bahwa mulai saat itu, untuk jangka waktu seminggu orang tidak boleh menebang pohon. Mereka percaya bahwa para arwah leluhur yang masih berdiam di bumi dan tinggal di pohon­pohon akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas keturunannya dan memberikan berkat atas pekerjaan tersebut. Menebang pohon akan menjadikan berkat para leluhur berubah menjadi kutukan.

Secara logis dapat diterangkan bahwa menebang pohon pada saat musim tanam adalah sebuah perbuatan yang tidak bijaksana. Menebang sebatang pohon tentu memerlukan tenaga yang banyak, sementara pada saat yang sama juga dibutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikan proses penanaman padi. Perbuatan tersebut dipandang sebagai dosa sosial pada masyarakat. Demikian pula aktivitas membersihka pohon

bambu pada saat masa tanam padi sampai masa panen juga dilarang. Hal ini tersebut dimaksudkan agar tikus yang bersarang pada rumpun pohon bambu tidak terganggu sehingga lari ke sawah, membuat sarang di sawah dan merusak padi (Kemenbudpar RI, 2005).

Dari penjelasan di atas dapat kita perhatikan bahwa dalam masyarakat Toraja selalu terdapat tiga pemimpin, yaitu pemimpin formal (dalam hal ini kepala lembang atau desa), pemimpin agama resmi (pendeta agama Kristen), dan pemimpin adat (To Mina’a). Meskipun ketiganya tidak bera-da bera-dalam satu struktur institusi kelembagaan bera-dan terpisah wilayah kerja­ nya, namun ketaatan kepada To Mina’a sangat besar dibandingkan kepada kedua pemimpin lainnya.

Di Toraja Sa’dan, kedudukan sebagai ketua adat dipegang oleh seorang

Puang. Namun, kedudukan sosial Puang di Sa’dan pada saat ini sedang

dalam kekosongan karena dalam kelompok keluarga dan masyarakat masih belum disepakati siapa yang akan menggantikan kedudukan Puang sebelumnya yang sudah mangkat, karena jabatan sebagai pemimpin adat memiliki konsekuensi yang sangat berat di hadapan masyarakat dan leluhurnya. Seperti yang diungkapkan Ne’ P, salah satu dari keturunan Puang di Sa’dan berikut ini.

”Seorang Puang itu harus diakui oleh seluruh masyarakat bahwa dia mumpuni dalam mengemban kedudukannya, disegani, dan dihormati oleh semua. Juga harus memiliki kharisma, seperti Puang yang dulu, dice ritakan kalau dulu Puang sedang istirahat bahkan Sungai Sa’dan di depan rumah Tongkonan ini tidak berani bersuara (padahal arus sungai sangat deras terdengar menderu keras di lokasi lain).”

2.3.4 Hubungan Manusia dengan Lingkungan Alam

Bagi orang Toraja, alam bukanlah sesuatu yang dipandang statis, me lainkan dinamis. Alam juga tumbuh dan berkembang, serta berubah menyesuaikan kondisi zaman. Perubahan tersebut dipicu oleh rangsang an yang diberikan manusia kepadanya. Respons alam selalu dianggap se bagai respons yang baik, meskipun berupa bencana. Pelajaran berharga lebih di-pentingkan sebagai bahan nasihat dibandingkan melihat sisi pen deritaan yang ditimbulkan. Sebagai contoh, hubungan dengan tikus. Di kalangan masyarakat petani, hewan ini umumnya dianggap sebagai hama, namun

nanaman padi, To Mina’a selalu menceritakan kembali sejarah perjanjian antara manusia dengan tikus berkenaan dengan tanaman padi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa pada waktu nenek moyang orang Toraja dulu membuat sawah, mereka tidak memiliki benih padi yang dapat ditanam. Kemudian mereka meminta kepada Puang Matua jenis tanaman yang da-pat ditanam untuk bahan makanan. Puang Matua kemudian menjatuhkan benih padi, tetapi benih padi yang jatuh itu terus masuk ke dalam sebuah lubang batu karang sehingga sulit diambil. Banyak orang yang berusaha mencoba mengambil kembali benih tersebut, tetapi tidak berhasil. Ke-mudian datanglah nenek moyang tikus kepada manusia dan mengatakan bahwa ia dapat membantu mengambilkan biji padi itu, bila manusia me-mintanya. Setelah disetujui maka si tikus mengambil benih padi tersebut dan menyerahkannya kepada manusia tanpa mengurangi jumlah biji padi tersebut. Sebagai balasan atas kebaikan tersebut, nenek moyang orang Toraja ingin memberikan sedikit bagian kepada tikus, namun ditolak oleh tikus. Tikus menganggap bahwa pemberian sebagian padi tersebut ke-padanya sebagai pengganti upah tidak perlu karena makanan tikus dan manusia berbeda. Tikus membutuhkan yang mentah, sementara manusia memasaknya terlebih dulu. Oleh karena itu, tikus menyarankan agar benih itu ditanam di lahan sawah, dengan perjanjian jika manusia mengganggu tikus dan keturunannya, mereka akan datang mengambil kembali bagian-nya sebagai balasan. Namun jika mereka datang mengambil sedikit butir padi di sawah, mereka akan memperlihatkannya kepada manusia.

Orang Toraja percaya bahwa untuk dapat mempertahankan hidup di dunia, setiap orang harus memiliki pengetahuan tentang apa dan bagaimana cara mendapatkan sumber­sumber kehidupan, entah itu dengan cara bertani atau beternak. Alam dipandang telah menyediakan bagi manusia berbagai sumber kehidupan dan manusia diberi kekuasan oleh Sang Pencipta untuk menentukan satu dari sejumlah pilihan berkenaan dengan cara untuk mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Apakah harus dihabiskan seluruhnya sekaligus tanpa memikirkan hari esok, atau manusia harus menjaga dan melestarikan apa yang telah disediakan alam untuk kehidupan umat manusia, merupakan dua model pilihan yang diberikan.

Orang Toraja percaya bahwa alam tidak muncul dan berkembang begitu saja tanpa campur tangan Puang Matua dan para Deata. Mereka menganggap, alam yang telah memberikan kepada mereka segala sumber kehidupan merupakan anugerah dari Sang Pencipta (Puang Matua),

sementara para dewa (Deata) merupakan pemelihara seluruh hasil ciptaan

Puang Matua. Adapun para leluhur yang masih berada di antara manusia

dan menempati alam ini (To Membali Puang) bertugas mengawasi gerak­ gerik manusia yang masih hidup dalam mengelola dan memanfaatkan alam ini.

Dalam kerangka mengeksploitasi sumber daya alam untuk kebu­ tuhan manusia, orang Toraja berpandangan bahwa jika sumber­sumber tersebut hanya dieksploitasi terus-menerus tanpa memikirkan untuk mengembangkan dan melestarikannya, kelak ketika anak cucu mereka menginginkannya kembali, sudah tidak mungkin diperoleh karena sudah habis dimanfaatkan oleh orang tuanya. Sementara, penciptaan alam di percaya hanya dilakukan Sang Pencipta sekali saja. Oleh karena itu manusia ditugaskan untuk menjaga dan memeliharanya, bukan hanya mengeksploitasi sumber daya yang dibutuhkan. Ajaran ini memperlihatkan bahwa kearifan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam me-rupakan hal yang sangat penting. Tanggung jawab pelestarian tersebut bukan hanya dibebankan pada masa mereka membutuhkan alam, te-tapi juga untuk masa depan, demi keberlanjutan kehidupan manusia. Keyakinan dan pandangan ini sekaligus membuktikan bahwa ajaran Aluk

Todolo merupakan agama alam. Salah satu bukti yang dapat dikemukakan

adalah bahwa bahan untuk melakukan semua bentuk upacara dalam masyarakat Toraja seluruhnya berasal dari unsur alam, dalam takaran yang telah ditetapkan. Tidak dibenarkan mengurangi apalagi melebihkan unsur atau bahan yang dibutuhkan tersebut. Dengan demikian, nilai­nilai negatif seperti ketamakan sangat dijauhkan, sementara nilai penghematan dan efisiensi merupakan nilai yang ditonjolkan.

Penggunaan semua unsur alami dalam ritual tersebut mengandung arti yang sangat mendalam. Hal tersebut mengisyaratkan bukan saja peng­ hematan sumber daya, melainkan juga sebuah gerakan penghematan mas sal yang dilakukan secara bersama dalam kurun waktu hidup masing­ masing orang. Kerusakan alam diyakini akan mengakibatkan rusaknya semua hubungan lain, yaitu hubungan antara manusia dengan Sang Maha Pencipta, hubungan antara manusia dengan sesamanya manusia, dan tentunya hubungan manusia dengan alam. Bila sumber daya alam hilang atau rusak maka unsur­unsur alami yang seharusnya digunakan dalam sebuah upacara adat yang sangat penting dan harus dilakukan juga akan hilang. Sementara, unsur­unsur alam tersebut merupakan syarat utama

persembahan tidak akan dapat dilakukan. Implikasinya, seseorang atau satu rumpun keluarga sebagai pihak yang seharusnya melakukan penye­ lenggara upacara dipandang telah melakukan pengingkaran terhadap Sang Pencipta. Bila upacara persembahan tidak dilakukan, ia bukan ha­ nya membahayakan kehidupannya bersama keluarga yang dimilikinya, tetapi juga kehidupan dan keturunan orang lain. Untuk itu, setiap orang wajib memelihara alam dengan senantiasa selalu melakukan upacara

pamala lako deata, yang artinya pemujaaan dan persembahan kepada

sang pemelihara alam. Dalam upacara ini babi dan ayam kampung yang merupakan unsur-unsur dari alam harus dikurbankan.

Pemeliharaan alam dilakukan sama halnya dengan ketika mereka menjaga harta yang ada di dalam rumah mereka masing­masing. Bahkan seorang petani yang memang hanya mengandalkan kemurahan hati alam untuk memberinya rezeki, akan meluangkan waktu lebih banyak untuk merawat sawah atau kebunnya dibandingkan waktu yang diberikan dan diluangkan bersama dengan keluarganya di rumah. Meskipun kita dapat mengatakan bahwa mungkin mereka telah berpikir ekonomi produksi, namun dalam kenyataan keseharian masyarakat Toraja di Toraja, segala sesuatu yang dapat memiliki nilai ekonomi di pasar akan tetap mereka pelihara dengan baik dan mereka jaga agar tidak cepat habis atau musnah dari bumi ini (Kemenbudpar RI, 2005).

2.3.5 Pemujaan, Persembahan, dan Upacara Adat

Dalam sistem kepercayaan orang Toraja, pemujaan dan persembah-an menjadi bagipersembah-an penting dalam kehiduppersembah-an sehari­hari. Dalam Aluk Tod­

olo pemujaan dilakukan kepada tiga unsur, yaitu Puang Matua (penguasa

semesta), Deata­Deata (para pemelihara alam), dan Tomembali Puang/

Todolo (para leluhur) yang menjadi pengawas dan pemberi berkat bagi

keturunannya.

Segala proses pemujaan dan upacara telah diatur berdasarkan

Sukaran aluk atau Aluk Todolo. Hingga kini aturan atau aluk tersebut masih

dijalankan di berbagai wilayah Tana Toraja, meskipun telah mengalami pergeseran­pergeseran. Sebagian daerah bahkan tidak lagi menjalankan

Aluk Todolo tersebut secara penuh. Masuknya agama dari luar, seperti

Katolik, Protestan, dan Islam cukup berpengaruh dalam transformasi