• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Gayo, Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Gayo

Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam

(3)

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Gayo

Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon

Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Penulis :

1. Yunita Fitrianti

2. Fahmi Ichwansyah 3. Ari Wahyudi 4. Saifullah

5. Niniek Lely Pratiwi

Editor :

1. Niniek Lely Pratiwi

Disain sampul : Agung Dwi Laksono Setting dan layout isi : Sutopo (Kanisius)

Indah Sri Utami (Kanisius) Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-234-1

Katalog :

No. Publikasi : Ukuran Buku : Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh : Percetakan Kanisius

(4)

Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi

Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik.

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut:

Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­

hatan Kemkes RI

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan

Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Sekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKes

Anggota Mardiyah SE, MM

Drie Subianto, SE Mabaroch, SSos

Ketua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes

Anggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHM Ketua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSi

Anggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi

Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum Drs. FX Sri Sadewo, MSi

Koordinator wilayah

1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo,

MScPH

2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie,

MSPH, PhD

3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM,

MKes

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­ kukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indo nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara­cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing­masing daerah. Dengan demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai­nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal.

Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih

(7)

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan­Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Desember 2012 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

(8)

SAMBUTAN

Kepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk -rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis ilmiah.

Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor­faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.

Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak -sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing­masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema -hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.

(9)

tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes.

Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, Desember 2012 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih paling pertama kami ucapkan kepada seluruh masyarakat Desa Tetingi yang telah menerima kami menjadi bagian dari mereka sehingga kami belajar banyak dan memperoleh informasi tentang mereka dari mereka. Tanpa mereka, buku ini tidak dapat ditulis dan berada di tangan pembaca seperti saat ini. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung sampai dengan selesainya penyusunan buku ini.

Ucapan terima kasih kami haturkan kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. dr. Trihono, M.Sc. sebagai Kepala Badan Penelitian Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;

2. Bapak drg. Agus Suprapto, M.Kes. sebagai kepala Pusat Huma­ niora, Kebijakan Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat, Ba dan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI;

3. Ibu dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc. sebagai Ketua Pelaksana Riset Khusus Budaya KIA, sementara riset etnografi Kesehatan Ibu dan Anak ini merupakan bagian dari Riset Khusus Budaya KIA 2012; 4. Ibu drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes. sebagai supervisor sekaligus

reviewer penelitian sampai dengan selesainya penulisan buku; 5. Para pakar di bidang Antropologi Kesehatan dan Kesehatan Ibu

dan Anak dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan universitas sebagai tempat tim peneliti berkonsultasi; 6. Bapak Kepala Dinas Kesehatan, Sekretaris Dinas Kesehatan, dan

staf bagian Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues;

7. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues;

8. Bapak Camat Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues beserta staf kecamatan;

(11)

9. Bapak Kepala Desa Tetingi, sekretaris desa, tokoh masyarakat, kader kesehatan, bidan kampung, dukun kampung, dan seluruh masyarakat Desa Tetingi yang telah memberikan banyak infor masi dan menjadikan kami “keluarga” selama penelitian berlangsung; 10. Bidan Desa Tetingi yang telah sangat membantu dalam melan­

carkan proses penelitian;

11. Ibu Siti Luksitasari sebagai penanggung jawab administrasi dan birokrasi; serta

12. Bapak, ibu, dan handai taulan lain yang tidak dapat kami sebut­ kan satu per satu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang sesuai dengan sumbangsih yang telah bapak dan ibu berikan.

(12)

DAfTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT ... 7

2.1 Sekilas Tentang Gayo Lues dan Orang Gayo ... 7

2.2 Desa Tetingi, Desa di Bawah Kaki Bur Gajah ... 11

2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan ... 13

2.4 Sistem Mata Pencarian ... 21

2.5 Agama dan Sistem Kepercayaan ... 26

2.6 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial ... 30

2.7 Bahasa Sebagai Alat Komunikasi ... 33

2.8 Kesenian: Tari Saman, Tari Bines, dan Didong ... 34

2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit dalam Kacamata Masya rakat Tetingi ... 35

BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI DI BALIK BARA ... 45

3.1 Remaja Gayo Lues; BeberudanBebujang ... 45

3.2 Sistem Perkawinan ... 49

3.3 Perempuan Gayo pada Masa Hamil ... 53

(13)

3.6 Perawatan Bayi ... 94

3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui ... 99

3.8 Balita dan Anak ... 102

3.9 Health Seeking Behaviordalam Kesehatan Ibu dan Anak... 108

BAB IV TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT DESA TETINGI .... 111

BAB V POTENSI DAN KENDALA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA TETINGI ... 115

5.1 Masa Hamil ... 116 5.2 Persalinan ... 118 5.3 Pasca-persalinan ... 120 5.4 Intisari ... 121 BAB VI SIMPULAN ... 123 DAFTAR PUSTAKA ... 125 GLOSARIUM ... 127

(14)

DAfTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Gayo Lues. ... 9

Gambar 2.2. Kondisi jalan Desa Tetingi ... 12

Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi ... 14

Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi ... 16

Gambar 2.5. Kondisi MCK Desa Tetingi ... 17

Gambar 2.6 Hasil perkebunan yang siap dipasarkan ... 23

Gambar 2.7. Penyembuhan peneni’an dengan cara semburan sirih ... 42

Gambar 3.1. Seorang Ibu hamil sedang bejangkat kayu bakar ... 56

Gambar 3.2. Daun sirih yang dicampur dengan rempah lainnya ... 62

Gambar 3.3 Semilu untuk memotong tali pusar bayi ... 74

Gambar 3.4 Seorang ibu sedang bedaring di dapur pasca-persalinan ... 80

Gambar 3.5 Seorang ibu sedang bedaring sambil menggendong bayinya ... 81

Gambar 3.6 Bedak matah yang digiling dengan menggunakan gelas dengan alas piring kaca ... 83

Gambar 3.7 Tampal yang telah dicairkan dengan air jeruk purut dioleskan pada dahi, bawah daun telinga, dan bawah mata kaki ibu nifas selama 44 hari ... 84

Gambar 3.8 Bedak param yang belum dikeringkan ... 86

Gambar 3.9 Abu dapur dicampur dengan kunyahan sirih ... 89

Gambar 3.10 Asam kuyun dikupas kulitnya dan dibelah menjadi dua ... 89

(15)

DAfTAR GRAfIK

Grafik 1.1. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat

di Kabupaten Gayo Lues ... 3

Grafik 2.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan

Kelompok Umur ... 20

Grafik 2.2. Jumlah Penduduk Berumur 10 tahun ke atas yang

(16)

DAfTAR BAGAN

Bagan 2.1. Sistem Pemerintahan Desa Tetingi ... 29

Bagan 2.2. Pohon Kekerabatan dalam Hubungan Kekerabatan ... 33

Bagan 3.1. Pohon Kekerabatan antara Ibu Hamil atau Ibu Bersalin dengan Dukun Kampung dalam Beberapa Keluarga

(17)

DAfTAR TABEL

Tabel 1.1. Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan

Kabupaten Gayo ... 2

Tabel 2.1. Beberapa Perbedaan Istilah Bahasa Gayo Lues

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang masih mempunyai banyak permasalahan kesehatan. Salah satu kabupaten di Indonesia yang (masih) mempunyai permasalahan kesehatan yang cukup tinggi adalah Kabupaten Gayo Lues, yang terletak di Provinsi Aceh. Secara umum kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Gayo Lues salah satunya dapat diketahui dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas), yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kabupaten Gayo Lues berada pada posisi 439 dari 440 kabupaten dan kota di Indonesia. Keadaan ini menjadi bahan pemikiran, indikator apa saja yang menyebabkan peringkat ini menjadi sangat rendah.

Salah satu indikator IPKM tersebut adalah cakupan pemeriksaan ke-hamilan atau antenatal care (ANC). Menurut data Riskesdas 2007, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues adalah 25%. Cakupan ini adalah cakupan terendah di Provinsi Aceh, yang secara umum mempunyai cakupan pemeriksaan kehamilan sebesar 72% (Depkes, 2008:64). Dengan kata lain, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues paling rendah di antara 21 kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh.

Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010, angka kematian ibu di Aceh adalah 193/100.000 kelahiran hidup/LH. Bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan beberapa kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 angka kematian balita berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan bayi 9 orang. Data­data inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa kajian kesehatan ibu dan anak dilakukan di Kabupaten Gayo Lues.

(19)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi, dan sosial budaya yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak pada etnis Gayo di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Dalam metode penelitian etnografi peneliti secara langsung terjun ke lapangan mencari fenomena dan informasi dari informan, melalui observasi partisipatori (Ratna, 2010:88). Menurut LeCompte dan Schensul (1999 dalam Emzir, 2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya dan komunitas. Oleh sebab itulah, metode etnografi digunakan dalam penelitian ini, untuk mengungkapkan dan menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam budaya masyarakat DesaTetingi, khususnya penge­ tahuan tentang kesehatan ibu dan anak.

Tabel 1.1 Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten Gayo Lues Tahun 2011

No. Puskesmas Pemeriksaan Kehamilan (ANC) K1 Jumlah Ibu Bersalin Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tempat Persalinan

Faskes Faskes

Non-1. Kuta Panjang 90,05% 201 89,55% 180 0 2. Blang Jerango 93,60% 165 88,48% 146 0 3. Blang Kejeren 95,10% 641 86,12% 552 0 4. Gumpang 100% 177 97,18% 171 1 5. Dabun Gelang 93,98% 127 91,34% 116 0 6. Pining 90,91% 74 81,08% 60 0 7. Pintu Rime 97,56% 39 84,62% 28 0 8. Cinta Maju 82,14% 134 79,10% 106 0 9. Rikit Gaib 100% 103 85,44% 88 0 10. Kenyaran 94,34% 102 87,25% 88 1 11. Terangun 96,73% 204 83,33% 170 0 12. Rerebe 100% 132 80,30% 106 0

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues

Penelitian ini dilakukan di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon. Desa Tetingi merupakan salah satu desa yang menjadi wilayah Puskesmas Cinta Maju yang berada di Kecamatan Blang Pegayon. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues 2012, dari 12 puskesmas yang ter

(20)

-dapat di Kabupaten Gayo Lues, Puskesmas Cinta Maju mempunyai caku-pan pemeriksaan kehamilan dan persalinan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskesmas lain. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa Puskesmas Cinta Maju mempunyai cakupan peme­ riksaan kehamilan dan persalinan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskesmas lain. Hal ini terlihat pada tabel 1.1.

Selain data cakupan pemeriksaan kehamilan dan persalinan oleh te-naga kesehatan paling rendah, Puskesmas Cinta Maju juga masih memiliki banyak dukun. Namun jumlah dukun yang terdapat di wilayah Puskesmas Cinta Maju lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah bidan. Hal ini ber -beda dengan puskesmas lain yang memiliki jumlah dukun lebih banyak daripada jumlah bidan, seperti di Puskesmas Dabun Gelang. Hal ini tentu menarik perhatian, mengapa Puskesmas Cinta Maju yang memiliki bidan lebih banyak daripada dukun, mempunyai data cakupan ANC dan persali-nan oleh tenaga kesehatan paling rendah dibandingkan dengan puskes -mas lain. Hal ini justru berbanding terbalik dengan Puskes-mas Dabun Gelang yang memiliki jumlah dukun lebih banyak daripada bidan, tetapi cakupan ANC dan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih baik daripada Puskesmas Cinta Maju.

Grafik 1.1 Jumlah bidan dan jumlah dukun yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues menurut puskesmas tahun 2011.

(21)

Puskesmas Cinta Maju yang terdapat di Kecamatan Blang Pegayon memiliki 12 desa yang menjadi wilayah kerjanya. Salah satu desa tersebut adalah Desa Tetingi. Desa ini dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah ibu hamil yang terdapat di desa tersebut pada bulan Mei­Juni tahun 2012 lebih banyak daripada di desa lain. Banyaknya jumlah ibu hamil di lokasi peneli-tian diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai kesehatan ibu dan anak dan peneliti dapat melihat secara langsung akti vitas ibu hamil dan bagaimana persalinan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.

Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi partisi­ pasi, yaitu peneliti mengalami hidup bersama dengan objek penelitian dan menjadi bagian keluarga dari masyarakat di suatu etnis (Ratna, 2010:218). Oleh sebab itu, pada saat pengumpulan data, tim peneliti tinggal bersama

(live in) dengan masyarakat Desa Tetingi untuk mengamati perilaku masya­ rakat, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak.

Live in ini dilakukan selama kurang lebih dua bulan untuk mendapatkan informasi, khususnya informasi yang tersembunyi tentang kesehatan ibu dan anak.

Selain melakukan pengamatan atau observasi, pada saat tinggal ber­ sama dengan masyarakat, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa warga masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan infor­ man yang mengetahui materi yang ingin ditanyakan. Misalnya, perta­ nya an mengenai sejarah desa ditanyakan kepada tetua masyarakat setempat; pertanyaan tentang metode persalinan oleh dukun kampung ditanyakan kepada dukun kampung atau pasiennya; pertanyaan tentang remaja ditanyakan kepada orang tua remaja dan remaja itu sendiri; dan pertanyaan tentang kehamilan dan persalinan ditanyakan kepada ibu hamil, ibu bersalin, bidan desa, kader kesehatan, dukun kampung, dan keluarganya. Pada intinya, wawancara dilakukan dengan informan yang dianggap mengetahui materi atau konteks yang ingin ditanyakan.

Penentuan informan dilakukan secara snowball sampling, yaitu men cari suatu informasi dari satu informan ke informan lain sampai akh-irnya key informant (informan kunci) tersebut ditemukan. Wawancara de ngan key informant bukan hanya dilakukan sekali, tetapi berulang kali untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan lengkap. Peneliti juga melakukan teknik probing dalam wawancara untuk mengeksplorasi infor -masi yang diperoleh.

Demi validitas data, dilakukan triangulasi, yaitu proses penguatan bukti dari individu­individu yang berbeda, jenis data (misalnya catatan

(22)

lapangan observasi dan wawancara) dalam deskripsi, dan tema­tema dalam penelitian kualitatif (Emzir, 2011:82). Triangulasi ini dilakukan ke ­ pada informan yang berbeda. Sebagai contoh, pertanyaan tentang per­ salinan ditanyakan kepada ibu bersalin, dukun kampung, bidan desa, kelu arga ibu bersalin, dan tetangganya. Selain itu, triangulasi juga dil a­ kukan dalam metode pengumpulan data, yaitu antara hasil observasi, wawancara, dan telaah dokumen yang diperoleh dari poskesdes, kantor kecamatan, dinas kesehatan kabupaten, dinas pariwisata kabupaten, dan Badan Pusat Statistik Gayo Lues.

Hasil observasi dan wawancara dengan informan tersebut ditulis di atas kertas yang disebut “catatan harian”. Dalam catatan harian tersebut segala temuan dan informasi yang diperoleh peneliti ditulis. Catatan harian ini sangat penting sebagai instrumen analisis data. Setelah ditulis, catatan harian tersebut dibaca lagi oleh peneliti untuk mengeksplorasi informasi dari informasi yang telah diperoleh. Seorang peneliti etnografi perlu menganalisis catatan­catatan lapangan untuk mengetahui apa yang akan dicari dalam periode berikutnya dalam observasi partisipasi (Emzir, 2011:209).

Setelah ditulis dan dianalisis, langkah selanjutnya adalah peneliti melakukan pengkodean (coding) dalam catatan harian tersebut. Coding ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam menemukan pola. Semua analisis etnografis akan melibatkan pencarian melalui catatan lapangan untuk menemukan pola­pola budaya (Spradley, 1980:85 dalam Emzir, 2011:211). Dengan kata lain, pola­pola budaya tersebut akan ditemukan dengan cara menganilisis catatan harian. Melalui catatan harian tersebut akan ditemukan keterulangan dan kesamaan peristiwa dan informasi.

Setelah pengkodean dilakukan, langkah selanjutnya adalah menge­ lom pokkan hasil pengkodean untuk melakukan kategorisasi sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Setelah kategorisasi tersebut ditentukan, langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan hasil temuan sesuai dengan kategori atau tema yang telah ditetapkan. Dalam kategori atau tema yang telah ditetapkan tersebut, peneliti akan melakukan thick description

berdasarkan catatan harian. Setelah thick description yang dilakukan pada setiap tema, selanjutnya peneliti melakukan analisis holistik, yaitu analisis menyeluruh. Analisis ini dilakukan untuk mencari ”benang merah” antara satu tema dengan tema yang lain. Dengan kata lain, analisis holistik ini dilakukan untuk mencari keterkaitan antara satu tema dengan tema yang

(23)
(24)

BAB II

GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT

2.1 Sekilas Tentang Gayo Lues dan Orang Gayo

Gayo Lues merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Pro­ vinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggara. Secara administratif Kabupaten ini dibentuk pada tahun 2002, namun sistem pemerintahan baru berjalan pada tahun 2005. Jarak Kabupaten Gayo Lues dengan Kota Banda Aceh (ibukota Provinsi Aceh) kurang lebih sekitar 475 kilometer. Perjalanan menuju kabupaten ini hanya dapat dilalui dengan perjalanan darat karena belum ada bandar udara yang dibangun di sana. Perjalanan darat yang biasa ditempuh dapat melalui dua rute. Rute pertama dimulai dari Medan melewati Kutacane (Aceh Tenggara), dengan waktu tempuh kurang lebih 12 jam, sedangkan rute kedua dimulai dari Banda Aceh melewati Takengon (Aceh Tengah), dengan waktu tempuh kurang lebih 14 jam. Sepanjang perjalanan, hutan belantara yang berbukit­bukit dengan curamnya tebing di kiri­kanan ruas jalan yang berliku­liku menjadi irama dan nada dalam perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 12 jam sampai 14 jam, tibalah di Kabupaten Gayo Lues yang dijuluki “Negeri Seribu Bukit”. Kabupaten ini dijuluki “Negeri Seribu Bukit” karena adanya hamparan per bukitan pohon pinus dan lahan pertanian masyarakat yang begitu luas di antara kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Untuk itu, UNESCO pun memberi Gayo Lues julukan sebagai “paru­paru dunia” karena pesona alam Gayo Lues yang masih hijau dan alami. Berada di Gayo Lues bak berada dalam sebuah wajan. Pegunungan dan perbukitan menghijau memagari Gayo Lues sehingga ke mana pun mata memandang hanya bukit dan gunung yang menghijau yang ada dalam pandangan.

(25)

Banyak tulisan menceritakan tentang sejarah Kabupaten Gayo Lues baik dipublikasikan melalui dunia internet maupun dalam bentuk cetak, seperti profil kabupaten, BPS, dan sebagainya. Sejarah yang diceritakan hampir sama, yaitu sejarah Gayo Lues dari zaman Kerajaan Aceh, zaman Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, sampai terbentuknya Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Namun, tulisan ini hanya akan menceritakan tentang sejarah terbentuknya Kabupaten Gayo Lues karena menceritakan sejarah Gayo Lues dari zaman Ke rajaan Aceh sampai ter­ bentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap terlalu panjang. Cerita me­ ngenai terbentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap penting dalam tulisan ini karena peneliti ingin menggambarkan bagaimana kondisi Kabupaten Gayo Lues sebagai kabupaten yang baru lahir di Provinsi Aceh berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan sistem sosial, termasuk sistem kesehatan.

Sebelum menjadi kabupaten sendiri, Gayo Lues termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tenggara. Karena luasnya daerah yang harus dikoordinasi dan minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Tenggara, muncul kesan bahwa kemajuan pembangunan Gayo Lues dianaktirikan (BPS Gayo Lues, 2005). Untuk itu, pada akhir tahun 1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk mem­ perjuangkan Gayo Lues menjadi kabupaten administratif (BPS Gayo Lues, 2005). Melalui proses dan perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun 2002 Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Kabupaten Gayo Lues dibentuk berdasarkan Undang­Undang Nomor 4 Tahun 20021 yang diresmikan pada

tanggal 2 Juli 2002 oleh Menteri Dalam Negeri (BPS Gayo Lues, 2005). Namun, menurut pemerintah setempat, sistem pemerintahan Gayo Lues baru berjalan pada tahun 2005. Jadi, terhitung pada tahun 2012, Kabu­ paten Gayo Lues berusia 10 tahun. Dalam usia 10 tahun tersebut masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Gayo Lues, termasuk masalah kesehatan, terutama kesehatan ibu dan anak.

Orang Gayo. Penduduk Gayo Lues berasal dari etnis yang beragam, seperti etnis Gayo, Batak, Jawa, Karo, Aceh, dan sebagainya. Namun, tidak ada data statistik yang dapat menjelaskan jumlah penduduk Gayo Lues berdasarkan etnis. Namun menurut perkiraan salah seorang pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues yang juga merupakan orang Gayo, hampir 80% penduduk Gayo Lues berasal dari etnis Gayo,

(26)

sedangkan 20% lagi berasal dari etnis lain, seperti Jawa, Batak, Karo, Aceh, dan sebagainya.

Sebelum melanjutkan ke pembahasan selanjutnya, deskripsi menge­ nai orang Gayo akan dijelaskan terlebih dulu agar orang Gayo yang di­ maksud dapat dimengerti. Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang Gayo, terutama orang Gayo yang ada di Kabupaten Gayo Lues. Penjelasan ini berdasarkan pada cerita masyarakat setempat (folklore) dan berdasarkan beberapa literatur tentang Gayo. Namun, literatur atau dokumen yang menjelaskan tentang orang Gayo masih sangat terbatas.

Berdasarkan cerita tetua masyarakat setempat (folklore), seperti

Empun (kakek) Za dan Empun (kakek) Sa, kata gayo berasal dari bahasa Karo yang berarti “kepiting besar”. Menurut sejarah atau dongeng masyarakat setempat (folklore), dulu terdapat lubang kepiting besar yang terletak tidak jauh dari Desa Porang (sebuah desa di Kabupaten Gayo Lues). Oleh sebab itu, orang Karo yang pada saat itu juga merupakan penghuni Tanah Gayo menyebut orang yang tinggal di sekitar lubang kepiting tersebut sebagai orang Gayo. Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat M.Z. Abidin (1969:1 dalam Tantawi, 2011:1) yang mengatakan bahwa dalam

Gambar 2.1. Peta Gayo Lues. (Sumber:www.gayolueskab.go.id)

(27)

sendiri juga berasal dari bahasa Gayo, yaitu ikaro yang berarti diburu atau dikejar. Menurut cerita masyarakat setempat (folklore),orang Karo dulu berasal dari Tanah Gayo. Namun karena mereka tidak mau masuk Islam, mereka ikaro atau diburu. Oleh sebab itu, mereka pindah ke suatu tempat yang sekarang diberi nama Tanah Karo yang terdapat di Sumatera Utara.

Namun cerita tersebut di atas berbeda dengan versi yang diungkapkan oleh Melalatoa dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Gayo. Menurut Melalatoa (1982:35), dalam berbagai tulisan dikatakan bahwa orang Gayo adalah sekelompok orang di daerah pantai yang tidak mau masuk Islam, karena itu mereka melarikan diri ke pedalaman. Kata gayo itu berasal dari kata kayo yang berarti “takut” atau “melarikan diri” (lihat Said, 1961:17; Zainuddin, 1961:26 dan 99; Team Monografi Daerah, 1975:59­60; dan lain­lain, dalam Melalatoa, 1982:35). Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat perbedaan dengan versi folklore masyarakat setempat. Menurut

folklore, orang Karo adalah orang yang tidak mau masuk Islam, sedang­ kan menurut berbagai literatur seperti yang dijelaskan oleh Melalatoa, orang Gayo­lah yang tidak mau masuk Islam. Namun, dua versi pendapat tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena masih kurangnya literatur yang kami temukan untuk mengungkapkan tabir sejarah orang Gayo. Namun terlepas dari perbedaan tersebut dapat diasumsikan bahwa orang Gayo dan orang Karo mempunyai hubungan dan keterkaitan dalam sejarah, meskipun pada saat ini terlihat berbeda.

Orang Gayo mendiami Tanah Gayo yang meliputi pusat Pegunungan Bukit Barisan bagian utara, yang merupakan dataran tinggi dengan keting­ gian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (Wiradnyana, 2011:4). Pegunungan Bukit Barisan yang sangat luas tersebut membuat orang Ga­ yo terbagi menjadi beberapa kelompok masyarakat. Secara tradisional, wilayah Tanah Gayo terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah Lut Tawar, wilayah Deret (daerah Jambu Aye), wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo, serta wilayah Serbejadi (Hurgronje, 1996:2­7 dalam Wiradnyana, 2011:4). Sementara itu, Melalatoa (1982:34) membagi kelompok masyarakat orang Gayo menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang terdapat di Daerah Tingkat II (Kabupaten) Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Timur (Gayo, 1975:1 dalam Melalatoa, 1982:34).

Orang yang berdiam di Kabupaten Aceh Tengah masih terbagi men­ jadi Orang Gayo Lut dan Orang Gayo Deret, kelompok yang mendiami Kabupaten Aceh Timur terbagi menjadi Gayo Serbejadi dan Gayo Kalul, sedangkan kelompok yang mendiami Aceh Tenggara adalah orang Gayo

(28)

Lues (Melalatoa, 1982:34). Kelompok orang Gayo yang terakhir inilah yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Pada saat ini Gayo Lues sudah berpisah dengan Aceh Tenggara dan menjadi kabupaten sendiri, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Orang Gayo yang berdiam di sekitar Danau Lut Tawar kadang­kadang menyebut orang Gayo Lues dengan orang Belang atau orang Gayo saja (Melalatoa, 1982:24). Untuk itu, tulisan ini akan menggunakan kata “orang Gayo” untuk menyebut orang Gayo Lues. 2.2 Desa Tetingi, Desa di Bawah Kaki Bur Gajah

Salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues adalah Desa Tetingi yang terletak di Kecamatan Blang Pegayon. Jarak antara Desa Tetingi dengan Desa Cinta Maju (ibukota Kecamatan Blang Pegayon) se­ kitar 2 kilometer, sedangkan jaraknya dengan Kecamatan Blang Kejeren (pusat pemerintahan Kabupaten Gayo Lues) sekitar 6 kilometer. Tidak ada kendaraan umum yang menuju desa ini. Ada bentor (becak motor) yang tersedia, tetapi hanya bisa mencapai Desa Cinta Maju. Di sebelah barat SD Cinta Maju terdapat gang kecil dengan jalan berbatu. Di pintu jalan inilah titik terakhir bentor bisa mengantarkan penumpangnya menuju Desa Tetingi. Selanjutnya perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, kira­ kira sepanjang 1,5 kilometer. Batu­batu kecil di sepanjang jalan selalu ada, menemani perjalanan menuju Desa Tetingi. Jalan ini belum diaspal. Jalanan yang menanjak tak urung membuat keringat bercucuran dan napas tersengal­sengal bagi sebagian orang yang belum terbiasa dengan kondisi jalan.

Jalan menuju Desa Tetingi kira­kira selebar 4 meter sehingga ken­ daraan roda dua dan roda empat bisa melewatinya. Namun, kondisi jalan yang berbatu, kadang kala tanah yang tergenang air jika musim hujan, dan banyaknya tanjakan menyebabkan beberapa kendaraan, seperti bentor, tak berani mengambil risiko untuk melewati jalan tersebut.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, tibalah di sebuah desa tepat di kaki bukit yang bernama Bur Gajah. Bur dalam ba-hasa Gayo berarti “gunung”. Apabila musim tanam padi telah lewat satu bulan, hamparan sawah yang menghijau menjadi penyegar mata. Tanaman jagung pun ikut menghiasi. Jika musim panen akan tiba, sawah nan hijau tersebut berubah menjadi kuning dan tumbuhan jagung pun mengering. Namun pohon­pohon nan rindang dan tumbuhan lain tetap menghijau di

(29)

Gambar 2.2.Kondisi jalan Desa Tetingi. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Tetingi berasal dari kata kutetingi yang berarti kampung yang ting­

gi. Mendengar namanya saja sudah dapat dibayangkan bahwa desa ini terletak di dataran yang tinggi. Desa Tetingi terletak pada ketinggian 1.205 m dpl. Letak Desa Tetingi di dataran tinggi menyebabkan cuaca yang dingin, tetapi surga bagi tanaman pangan sehingga hamparan sawah dan perkebunan membentang luas di Desa Tetingi.

Adapun batasan wilayah Desa Tetingi adalah sebagai berikut. Di sebelah timur, Desa Tetingi berbatasan dengan Desa Tebukit, di sebelah barat berbatasan dengan Desa Kong Bur, di sebelah selatan berbatasan dengan pengunungan, dan di sebelah utara berbatasan dengan Desa Cinta Maju.

Sejarah Desa Tetingi. Tidak ada dokumen atau tulisan yang men­ jelaskan tentang sejarah Desa Tetingi. Namun, berdasarkan cerita tetua di Desa Tetingi yang telah hidup berpuluh­puluh tahun di sana, seperti

Empun (Kakek) Mn, Empun (Kakek) Za, dan Empun (Nenek) Ar, sebelum menjadi sebuah desa, Tetingi adalah sebuah perladangan dan persawahan tempat orang bekerja. Mulanya perladangan dan persawahan tersebut hanya menjadi tempat bekerja pada siang hari, dan menjelang malam pemilik sawah atau ladang tersebut kembali ke kampungnya yang mayo­

(30)

ritas terletak di Desa Kong. Namun dari waktu ke waktu, para pemilik sawah dan ladang tersebut mendirikan rumah di sekitar sawah dan ladang mereka. Pada tahun 1970­an, hanya ada sekitar tujuh rumah yang berdiri di Tetingi. Lima rumah di antaranya terdapat di daerah yang sekarang bernama Dusun Arul Sirep dan dua rumah terdapat di daerah yang sekarang bernama Dusun Tamak Nunang yang dikenal juga dengan nama Dusun Blang Papan. Saat itu, masih banyak hewan buas berkeliaran di sekitar alam Tetingi, seperti harimau dan beruang, sehingga tak ada orang yang berani pergi seorang diri. Hewan buas tersebut pada saat ini sudah jarang ditemukan, bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.

Pada tahun 1980­an terjadi gempa bumi yang dahsyat mengguncang Aceh, termasuk Gayo Lues. Dalam satu hari bisa terjadi 30 kali guncangan. Gempa bumi tersebut melanda Gayo Lues selama sekitar satu bulan. Tentu saja gempa bumi tersebut membuat masyarakat menjadi takut, termasuk beberapa orang yang berada di sekitar Tetingi, seperti di Tebukit dan Bur

Gajah. Selain di Tetingi, perladangan dan persawahan juga ada di Tebukit dan Bur Gajah yang terletak kira­kira satu atau dua kilometer dari Tetingi. Pemilik sawah dan ladang tersebut juga ada yang mendirikan rumah di

Tebukit dan Bur Gajah pada waktu itu. Pada saat gempa mengguncang Gayo Lues, penduduk yang mendirikan rumah di Tebukit dan Bur Gajah tersebut pindah ke Tetingi untuk berkumpul bersama dengan warga yang lain. Pada saat itu, bukan hanya gempa yang membuat takut masyarakat setempat, tetapi juga perampokan yang dilakukan oleh orang yang tak dikenal. Mulai saat itu, penduduk Tetingi semakin bertambah dari waktu ke waktu hingga Tetingi menjadi sebuah dusun dalam wilayah Desa Kong, Kecamatan Kuta Panjang.

Pada tahun 2000, Desa Kong direncanakan untuk pemekaran karena wilayahnya yang sangat luas. Pada tahun 2001, pemekaran Desa Kong tersebut disetujui dan disahkan. Desa Kong dipecah menjadi empat desa, yaitu Desa Kong Bur, Desa Kong Palu, Desa Cinta Maju, dan Desa Tetingi. Desa Kong Bur, Desa Cinta Maju, dan Desa Tetingi termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Blang Pegayon, sedangkan Desa Kong Palu termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Kuta Panjang. Sejak itu, Tetingi menjadi sebuah desa yang dipimpin oleh seorang guechik (kepala desa).

2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan

(31)

Dua dusun ini dipisahkan oleh Sungai Aih Sekat. Namun, sejak tahun 2008 terdapat titih (jembatan) yang menghubungkan dua dusun tersebut. Jembatan tersebut dibangun oleh pemerintah melalui PNPM. Keberadaan jembatan tersebut memudahkan masyarakat Dusun Arul Sirep untuk bertandang ke Dusun Tamak Nunang, begitu pula sebaliknya.

Panjang jembatan tersebut kurang lebih 40 meter, dengan lebar 1,5 meter. Di bawah jembatan tersebut mengalir Sungai Aih Sekat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk memandikan jenazah. Oleh sebab itu, sungai tersebut tidak digunakan untuk MCK karena diyakini akan berpengaruh pada kesehatan, seperti sakit perut, sakit mata, dan sebagainya. Hal ini seperti yang terjadi pada Je, seorang bocah laki­laki yang berumur sekitar 10 tahun yang mengalami kebutaan pada mata kirinya. Menurut ibunya, kebutaan yang dialami oleh Je terjadi pada saat Je berumur sekitar 6 tahun karena mandi di bawah jembatan setelah dua hari orang memandikan mayat di sana.

“... jangan mandi di sungai itu, apalagi di bawah jembatannya. Kalau mau (mandi) juga, tempatnya agak ke atas sedikit. Di

bawah jembatan itu tempat orang mandiin mayat. Nanti kena

Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi. (Sumber: Desain Tim Peneliti, Juni 2012)

(32)

kontaknya. Sakit perut nanti. Liat mata Je itu kan sakit. Itu gara­

garanya waktu sebelum sekolah dia suka mandi di sungai di

bawah jembatan itu. Itulah matanya sakit (tidak dapat melihat sebelah). Padahal dulu bagus matanya …,” jelas Inen Je.

2.3.1 Keadaan Pola Pemukiman

Terdapat perbedaan antara pola pemukiman Dusun Arul Sirep dengan Dusun Tamak Nunang. Sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep berada di sebelah timur jalan karena di sebelah barat jalan kondisi tanah berjurang dan terdapat sungai. Rumah penduduk di Dusun Arul Sirep menghadap ke timur sehingga sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep membelakangi jalan desa. Hal ini berbeda dengan rumah yang terdapat di Dusun Tamak Nunang. Di Dusun Tamak Nunang, rumah penduduk berdiri di sepanjang barat dan timur jalan desa. Selain itu, rumah penduduk tersebut berdiri menghadap jalan desa. Hal ini disebabkan karena kondisi alam Dusun Tamak Nunang lebih datar daripada kondisi alam di Dusun Arul Sirep.

Pada umumnya rumah penduduk Desa Tetingi terbuat dari kayu yang berdindingkan papan kayu, beratapkan seng, dan beralaskan kayu atau se -men plester, kecuali rumah bantuan dari pemerintah, masjid, dan poskes-des. Kayu­kayu tersebut dibeli di kota atau di pemotong kayu yang oleh masyarakat setempat biasa dikenal dengan istilah sinso. Berdasarkan penu-turan salah seorang warga Tetingi, harga kayu per lima meter kurang leb -ih Rp27.000,00. Keadaan rumah kayu yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tetingi berkaitan dengan sejarah Desa Tetingi yang pernah dilanda gempa bumi yang dahsyat. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih rumah kayu dari -pada rumah semen atau beton sebagai tempat bernaung mereka.

“... di sini tidak ada rumah dari batu bata karena salah satunya kebiasaan dari nenek moyang dulu, jadi tidak terbiasa, lagian kalau dari beton jika ada musibah seperti gempa rumah kita

gak akan roboh ...,” sapa Empun (Kakek) Mn.

Dulu sebelum menggunakan kayu sebagai bahan untuk membangun rumah, warga Tetingi menggunakan bambu sebagai bahan utama membuat rumah dan sangi sebagai bahan untuk atap rumah. Sangi adalah sejenis dedaunan pandan yang sudah dikeringkan sehingga berwarna cokelat dan kering. Perpindahan dari bambu menjadi kayu terjadi sekitar tahun 1980­ an.

(33)

“... kira­kira tahun 70 ke bawah, kebanyakan sebagian bambu dan 80­an ke atas, udah mulai ada sinso ..,.” jelas Aman MID.

Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Setiap rumah di Desa Tetingi sudah mempunyai listrik sebagai sarana penerangan. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat telah memiliki televisi sebagai sarana hiburan dan sarana informasi. Membeli televisi sepertinya lebih menggiurkan daripada membangun MCK di dalam rumah. Hal ini terlihat dari sedikitnya masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di dalam rumah, sedangkan televisi lengkap dengan parabolanya dimiliki oleh “hampir” seluruh masyarakat Desa Tetingi. Menurut pengamatan kami, sebagian masyarakat Desa Tetingi telah memiliki televisi, namun hanya ada satu rumah yang mempunyai MCK lengkap di dalam rumahnya. Pemilik rumah tersebut adalah seorang pemilik tanah, kolam, dan kebun yang luas di Desa Tetingi. Dia adalah Empun (kakek) Mn.

Selain Empun (kakek) Mn, tidak ada lagi masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di dalam rumah, kecuali poskesdes. Sebagian besar masyarakat Tetingi menggunakan parit sebagai MCK. Beberapa warga Desa Tetingi ada juga yang membangun bak penampungan air yang diletakkan di luar rumah. Air yang mengalir ke bak tersebut adalah air yang bersumber dari mata air di pegunungan, yang mengalir ke pipa­pipa kecil yang dibuat

(34)

oleh masyarakat setempat. Berhubung bak penampungan air tersebut terletak di luar rumah, tetangga yang terletak di sekitar rumah pemilik juga ikut menggunakan bak penampungan air tersebut untuk keperluan mencuci dan mandi.

Selain parit dan bak penampungan air, masyarakat Desa Tetingi menggunakan MCK umum yang dibuat oleh PNPM pada tahun 2008. MCK umum tersebut dibagi menjadi dua, yaitu untuk laki­laki dan untuk perempuan. MCK tersebut terdiri atas tiga bak penampungan air dan lima jamban. Salah satu bak penampungan air digunakan oleh perempuan untuk mandi dan mencuci, sedangkan yang dua lagi digunakan untuk laki­ laki. Sementara itu, satu dari empat jamban digunakan untuk perempuan, dua digunakan untuk laki­laki, dan satu jamban lagi telah rusak.

Meskipun telah dibangun MCK umum oleh pemerintah, tetapi MCK tersebut tidak dirawat baik oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari keadaan MCK yang tidak terawat dan kadang kala masih ada kotoran manusia. Keadaan MCK yang tidak terawat inilah yang menyebabkan masyarakat masih membuang air besar di parit atau di kolam. Meskipun jamban dan bak penampungan air telah tersedia, tetapi masih banyak masyarakat setempat yang lebih suka membuang air besar di parit. Hal ini seperti

(35)

yang dilakukan oleh Kak Se, yang sempat menjadi pengasuh anak tenaga kesehatan yang ada di sana. Meskipun tinggal di poskesdes yang telah memiliki jamban di dalam rumah, Kak Se tetap memilih membuang air besar di parit yang ada di depan poskesdes. Menurutnya, ada kepuasan tersendiri ketika membuang air besar di parit.

Selain rumah penduduk, terdapat juga bangunan lain yang berdiri di antara pemukiman penduduk. Bangunan tersebut antara lain masjid, pos kesdes, poskamling, meunasah, dan rangkang. Meunasah adalah ba-ngunan tinggi berbentuk rumah panggung yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti tempat anak­anak mengaji, tempat merayakan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Acara keagamaan tersebut dilakukan di meunasah agar semua warga masyarakat dapat hadir, termasuk perempuan yang sedang haid. Jika acara diselenggarakan di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk sehingga tidak dapat mengikuti acara keagamaan tersebut. Oleh sebab itu, aca ra keagamaan sering kali dilakukan di meunasah, sedangkan masjid digu­ nakan hanya untuk shalat jumat dan shalat ied.

Di samping meunasah terdapat rangkang. Rangkang adalah ba-ngunan memanjang yang dibentuk bilik­bilik berukuran kira­kira 2 meter x 3 meter. Terdapat enam bilik di bangunan rangkang tersebut. Salah satu bilik rangkang tersebut dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Pada mulanya

rangkang tersebut didirikan untuk anak laki­laki yang belajar mengaji di

meunasah. Namun, rangkang tersebut tidak lagi dihuni oleh anak laki­laki sejak ada pesantren di Desa Cinta Maju. Di pesantren tersebut sebagian anak laki­laki dan anak perempuan Desa Tetingi yang duduk di bangku SMP belajar mengaji dan menimba ilmu agama, sepulang sekolah pada siang hari sampai usai shalat Isya. Sementara itu, anak laki­laki dan juga anak perempuan yang sedang duduk di bangku SD belajar mengaji di

meunasah setelah sholat magrib usai. Anak laki­laki dan anak perempuan yang duduk di bangku SMP dan tidak nyantri di pesantren Cinta Maju, juga ikut belajar mengaji di meunasah. Kadang kala mereka juga ikut mengajar anak­anak yang baru belajar mengaji.

Selain meunasah, rangkang, dan masjid, juga terdapat poskesdes di Desa Tetingi. Poskesdes tersebut terletak di “pojok” pemukiman warga. Di poskesdes tersebut terdapat satu bidan desa yang tinggal bersama dengan keluarga kecilnya. Di poskesdes inilah masyarakat Desa Tetingi bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

(36)

2.3.2 Kondisi Persawahan, Perladangan, dan Peternakan

Hamparan sawah yang luas menjadi pemandangan indah yang ter­ dapat di Desa Tetingi ini. Sawah yang terdapat di sekitar pemukiman warga menjadi salah satu lahan bagi masyarakat setempat untuk menghidupi diri dan keluarganya. Selain sawah, perkebunan pun menjadi salah satu keindahan alam yang terdapat di desa Tetingi, seperti perkebunan daun serai wangi, tembakau, dan sebagainya. Selain sawah dan perkebunan, ladang juga menjadi tempat bagi warga Tetingi untuk bekerja. Istilah ladang dalam bahasa Gayo bermakna sebuah lahan luas yang ditanami berbagai jenis tanaman dan terletak jauh dari rumah, sedangkan lahan yang tidak terlalu luas dan berada di dekat rumah atau di belakang rumah dikenal dengan istilah empus. Ladang dan empus tersebut ditanami berbagai jenis tanaman, seperti kacang panjang, jagung, cabai, bawang merah, dan sebagainya.

Selain persawahan, perkebunan, dan perladangan, juga tampak ko lam ikan yang dibangun di sekitar pemukiman warga atau di sekitar per sawahan. Di kolam tersebut terdapat berbagai jenis ikan air tawar, seperti ikan mas, ikan mujahir, dan sebagainya. Ikan tersebut dikonsumsi sendiri oleh pemiliknya atau dijual apabila hasilnya tidak habis dikonsumsi sendiri. Selain peternakan ikan, juga tampak hewan ternak lain, seperti sapi, ayam, dan itik. Ayam dan itik dipelihara oleh sebagian masyarakat untuk dikonsumsi sendiri apabila waktunya telah tiba untuk dikonsumsi, sedangkan sapi dipelihara untuk tabungan dan dijual apabila ada kebutuh­ an keuangan yang mendesak.

2.3.3 Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di poskesdes pada tahun 2011, jumlah penduduk Desa Tetingi adalah 305 jiwa, yang terdiri atas 164 laki­laki dan 141 perempuan. Mereka menghuni area pemukiman yang terdapat di Dusun Arul Sirep dan Dusun Tamak Nunang. Tidak ada data yang tersedia di monografi desa atau di poskesdes yang menyatakan luas pemukiman penduduk yang dihuni oleh masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan perkiraan hasil observasi dan pernyataan masyarakat setempat, hanya seperempat dari luas Desa Tetingi yang dijadikan lahan pemukiman penduduk, sedangkan tiga per empat lainnya merupakan lahan persawahan, perkebunan, perladangan, dan lahan kosong yang ditumbuhi oleh rumput­rumput liar dan pohon­pohon yang menjulang

(37)

Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur Desa Tetingi tahun 2011.

(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari 129 laki­laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari SD sampai SMA. Anak­anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju yang jaraknya kira­kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di tempat­tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis Gayo. Mereka datang dari desa­desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen

dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan pada bab berikutnya. Selain etnis Gayo, ada juga etnis lain yang menghuni

(38)

Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur Desa Tetingi tahun 2011.

(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari 129 laki­laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari SD sampai SMA. Anak­anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju yang jaraknya kira­kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di tempat­tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis Gayo. Mereka datang dari desa­desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen

dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan

Usia (Tahun)

Desa Tetingi, seperti etnis Alas yang berasal dari Kabupaten Aceh Teng­ gara dan etnis Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Etnis Alas datang ke Desa Tetingi karena adanya perkawinan dengan masyarakat setempat, sedangkan etnis Sunda datang ke Desa Tetingi karena sengaja merantau ke Gayo Lues. Berdasarkan pengamatan kami dan pernyataan masyarakat setempat, hanya ada dua orang yang berasal dari etnis Sunda tersebut. 2.4 Sistem Mata Pencarian

Berdasarkan data di poskesdes tahun 2011, 99% masyarakat Desa Tetingi bekerja sebagai petani. Tanaman yang ditanam kebanyakan tanam­ an palawija, yang merupakan tanaman berusia pendek, seperti padi, jagung, bawang merah, cabai, dan sebagainya. Selain tanaman berusia pendek, ada juga masyarakat yang menanam avokad dan tembakau, tetapi tidak banyak masyarakat yang mau menanam jenis tanaman tersebut. Menurut mereka, seperti yang diungkapkan oleh Empun (Kakek) Ar, Aman

Bd, Bang Su, dan Bang Al, jenis tanaman keras kurang cocok ditanam di area perkebunan desa Tetingi, sudah dicoba beberapa kali tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

2.4.1 Pertanian

Berbagai jenis tanaman ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi dalam pertanian mereka. Jenis tanaman tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tanaman pangan dan tanaman non­pangan. Tanaman pangan Grafik 2.2 Jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang melek huruf di Desa Tetingi tahun 2011.

(39)

mereka, seperti padi, jagung, bawang merah, kacang panjang, kacang tanah, dan cabai. Sementara itu, tanaman non­pangan adalah tanaman yang tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pangan mereka, seperti tembakau dan serai wangi.

Sebagian tanaman pangan, seperti padi, jagung, bawang merah, kacang panjang, kacang tanah, dan cabai dikonsumsi dan disimpan untuk kebutuhan keluarga, dan sebagian lagi dijual ke peukan dan pajak pagi.

Peukan adalah pasar mingguan yang diadakan pada hari Sabtu di Desa Cinta Maju, sedangkan pajak pagi adalah pasar yang diadakan setiap hari di Blang Kejeren (ibukota Kabupaten Gayo Lues).

Hasil tanaman pangan tersebut biasanya dijual oleh ibu­ibu. Apabila ada hasil tanaman pangan, ibu­ibu berangkat ke puekan atau pajak pagi

pada pukul 06.00 pagi hari sampai siang hari. Setelah berjualan, mereka kembali ke rumah sambil membawa bahan makanan lain yang dapat di­ konsumsi, seperti ikan, daging, ayam, telur, dan buah­buahan. Bahan makanan tersebut dibeli dari hasil penjualan tanaman pangan. Selain membeli bahan makanan, uang hasil penjualan sebagian juga digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga lainnya, dan sebagian lain di­ tabung untuk biaya hidup lainnya serta untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak­anak. Mereka biasanya menginvestasikan hasil kebun ke dalam bentuk lain, seperti emas atau sapi.

“... kalau di sini kebanyakan kerja kayak gitu ya kan, uang hasil kebun. Itulah kalo udah dapat hasil kebunnya, sebagian kalo ada beras, ada dia nanam padi, itu kemungkinan disimpan ataupun dibelikannya benda atau emas, kayak sapi, supaya disimpan, apabila keperluan dijual …,” jelas Aman Mi.

Selain dijual, hasil tanaman pangan tersebut ada yang disimpan un­ tuk kebutuhan keluarga, apalagi hasil tanaman yang bisa disimpan dalam jangka waktu lama, seperti padi. Selain disimpan, hasil tanaman pangan tersebut juga ada yang dikeringkan untuk dijadikan bibit agar bisa ditanam lagi, seperti bawang merah, kacang panjang, cabai, dan kacang tanah.

Berbeda dengan tanaman pangan, tanaman non­pangan ditanam un tuk dijual, seperti serai wangi dan tembakau. Serai wangi adalah salah satu tanaman yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi. Setelah ber­ usia 6 bulan dan menua, daun serai wangi tersebut dipotong dengan menggunakan sabit. Orang yang memotong serai wangi tersebut adalah

(40)

pemilik dan petani upahan. Petani upahan diberi upah per hari sebesar Rp40.000.00. Setelah dipotong, daun serai tersebut dibiarkan satu atau dua hari untuk menghilangkan air embun yang menempel di daun serai. Lama waktu untuk menghilangkan air embun tersebut tergantung pada panas matahari. Air embun yang menempel di daun serai harus dihilangkan. Jika daun serai masih dalam keadaan basah, minyak yang dihasilkan hanya sedikit.

Setelah daun­daun serai tersebut kering dari tetesan air embun, selanjutnya dikukus. Untuk itu, para petani serai harus menyiapkan banyak kayu bakar untuk mengukus serai. Setelah dua jam dikukus, minyak serai wangi tersebut akan keluar dari pipa yang mengalir dari “pucuk” drum ke wadah yang telah disiapkan di ujung pipa. Dua drum serai yang di­ kukus dapat menghasilkan satu kilogram minyak serai wangi. Minyak tersebut dijual ke pengepul dengan harga sekitar Rp150.000,00 sampai Rp160.000,00 per kilogram. Jika seorang petani memiliki lahan pertanian serai sekitar dua hektar, minyak yang dihasilkan dapat mencapai 40 kilogram atau senilai sekitar Rp6.000.000,00. Namun, ketika ditanyakan mengenai kegunaan minyak serai, para petani tersebut tidak tahu. Hal yang terpenting bagi mereka adalah menghasilkan minyak serai lalu dijual

Gambar 2.6 Hasil perkebunan yang siap dipasarkan. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

(41)

Selai serai, tanaman non­pangan lain yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi adalah tembakau. Setelah menua dan menguning, daun­ daun tembakau tersebut dipetik lalu digulung, beberapa helai daun tem -bakau digulung menjadi satu. Setelah digulung, daun tem-bakau dijepit pada jangka. Jangka adalah alat penjepit daun tembakau yang terbuat dari bambu. Jangka tersebut sengaja dibuat oleh petani tembakau agar mudah memotong gulungan daun tembakau. Setelah dijepit dengan

jangka, gulungan tembakau tersebut lalu dipotong dengan menggunakan parang yang tajam. Namun, menurut Aman So, tidak semua petani tem -bakau pandai memotong daun tem-bakau, termasuk dirinya. Menurutnya, memotong daun tembakau membutuhkan keahlian.

Setelah daun tembakau dipotong halus, selanjutnya dijemur di ba­ wah sinar matahari selama kurang lebih dua atau tiga hari, tergantung pa da sinar matahari. Harga tembakau pada saat ini (bulan Juni 2012) sekitar Rp20.000,00 per kilogram. Menurut Aman So, harga tersebut termasuk rendah karena harga tembakau pernah mencapai Rp50.000,00 per kilogram. Satu kali panen, petani tembakau bisa menghasilkan sekitar 500 kilogram tembakau, bahkan bisa sampai berton­ton, tergantung pada luasnya kebun tembakau. Setelah dijemur, tembakau tersebut dijual kepada pengepul tembakau atau dijual sendiri ke pasar. Bagi perokok

rokokulung, tembakau tersebut dapat dikonsumsi bersama daun nipah.

Rokokulung adalah rokok daun nipah yang di dalamnya terdapat tembakau yang digulung sendiri oleh si perokok.

Selain jenis tanaman tersebut di atas, ada juga buah­buahan yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi, seperti avokad dan terung belanda. Buah­buahan tersebut ada yang dikonsumsi oleh keluarga dan ada pula yang dijual ke pasar atau pengepul buah­buahan.

2.4.2 Peternakan

Selain pertanian, masyarakat Desa Tetingi juga memiliki ternak, se­ perti ikan air tawar, sapi, ayam, dan bebek. Ternak tersebut dibeli dari hasil penjualan tanaman pangan dan non­pangan. Hewan ternak dirawat oleh mereka sendiri, seperti ikan air tawar di dalam kolam ikan. Di Desa Tetingi ada banyak kolam ikan yang terbentang luas di sekitar area pemukiman penduduk. Ikan tersebut ada yang dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemilik kolam dan ada pula yang dijual ke pasar atau pengepul ikan.

Selain ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara sapi. Sapi biasanya dimasukkan di kandang di belakang rumah pada malam

(42)

hari. Namun, pada pagi hari dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 18.00 sore hari, sapi­sapi tersebut diikat di tengah padang rumput liar yang menjadi santapannya. Sapi tersebut sengaja dibeli pada saat penjualan hasil ladang sebagai tabungan masa depan dan persiapan jika ada keperluan yang mendesak.

Selain sapi dan ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara ayam dan bebek di dalam kandang di belakang atau depan rumah mereka. Ayam dan bebek tersebut dipelihara untuk dikonsumsi, pada saat ayam dan bebek tersebut dianggap sudah tua atau jika ada acara keluarga atau kegiatan masyarakat, seperti Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, dan sebagainya. 2.4.3 Pembuat Parang

Selain pertanian dan peternakan, ada juga masyarakat Desa Tetingi yang mempunyai mata pencarian lain, seperti membuat parang, pisau, dan cangkul. Parang, pisau, dan cangkul tersebut dibuat di “bengkel” yang terletak di dekat rumah mereka. Setelah selesai dibuat, parang, pisau, dan cangkul tersebut lalu dijual ke pasar. Kadang kala ada juga konsumen yang memesan parang, pisau, dan cangkul tersebut langsung kepada pem­ buatnya.

2.4.4 Pembagian Peran dalam Mata Pencaharian

Dalam sistem mata pencarian, terutama dalam pertanian, ada pem-bagian peran antara perempuan dan laki­laki, seperti dalam pertanian padi. Dalam pertanian padi, seorang perempuan biasanya bertugas menanam dan memotong padi, sedangkan para laki­laki bertugas membajak sawah dan mengangkat padi yang sudah dipotong ke tempat penggilingan padi. Jarang ditemukan laki­laki, bahkan bisa dikatakan tidak pernah, me­ nanam atau memotong padi karena pekerjaan tersebut dianggap pe­ ker jaan perempuan sehingga para laki­laki merasa malu dan tidak mau melakukannya. Oleh sebab itu, pada saat menanam atau memanen padi, hanya perempuan saja yang bisa dijumpai di tengah hamparan sawah.

Para petani di Desa Tetingi berangkat ke sawah, kebun, atau ladang setiap hari, kecuali ada acara sosial, seperti perkawinan dan acara ke­ agamaan. Namun, ada juga petani yang meliburkan diri dari pekerjaan pertanian pada hari Jumat. Sebelum berangkat menuju sawah, kebun, atau ladang, para perempuan memasak terlebih dulu untuk bekal bagi yang berangkat ke sawah dan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan di rumah.

(43)

membawa hasil ladang, seperti cabai, kacang panjang, dan sebagainya. Selain membawa hasil ladang, para perempuan juga membawa kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Mayoritas masyarakat Desa Tetingi masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Pada saat tiba di rumah, dapur adalah ruang aktivitas mereka untuk memasak bagi anggota keluarga.

Masyarakat Desa Tetingi memiliki sistem kerja sama atau gotong royong dalam pekerjaan pertanian. Mereka menyebutnya dengan istilah

pang lo. Geuchik dan Aman MID memberikan penjelasan yang tidak jauh berbeda mengenai pang lo tersebut. Menurut mereka, pang lo adalah sebuah bentuk kerja sama dalam melaksanakan pekerjaan di sawah atau di kebun, yang dilakukan secara bergantian. Misalnya, pada suatu hari kel -uarga A membantu kel-uarga B memanen padi maka pada hari lain kel-uarga B akan membantu keluarga A, jika keluarga A membutuhkan orang untuk menyelesaikan pekerjaan di sawah atau di kebun. Namun, berbeda halnya jika orang yang membantu tidak mempunyai sawah atau kebun. Misalnya, Ibu A tidak mempunyai sawah, tetapi dia membantu Ibu B memanen padi. Dalam hal ini Ibu A akan mendapat upah dari Ibu B atau mendapat pem-bagian hasil panen sebagaimana yang telah disepakati bersama.

2.5 Agama dan Sistem Kepercayaan

Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat Desa Tetingi, seratus persen masyarakat Desa Tetingi beragama Islam. Terdapat masjid dan

meunasah sebagai tempat ibadah masyarakat Desa Tetingi. Namun ada perbedaan penggunaan masjid dan meunasah. Masjid digunakan untuk shalat Jumat dan shlat Ied, sedangkan meunasah digunakan untuk shalat Magrib dan Isya, pengajian, dan acara keagamaan lain, seperti Isra’ Mi’raj dan sebagainya. Setelah usai shalat Magrib, meunasah digunakan untuk pengajian anak­anak yang dibimbing oleh Aman Ti, yang juga berperan sebagai kepala dusun di Desa Tetingi. Aman Ti membimbing dan mengajar mengaji sekitar 20 orang anak seorang diri. Oleh sebab itu, anak­anak yang sudah mahir mengaji dan membaca Al Qur’an ikut membantu Aman

Ti membimbing anak­anak yang baru belajar mengaji dan membaca Iqra’. Selain digunakan untuk ibadah shalat Magrib dan pengajian anak­ anak, meunasah juga digunakan untuk kegiatan ibadah lainnya, seperti Isra’ Mi’raj. Menjelang Isra’ Mi’raj, masyarakat setempat memasak ber­ bagai jenis makanan yang akan disantap pada hari Isra’ Mi’raj. Makanan yang dimasak berbagai macam, mulai dari makanan ringan seperti

(44)

lemang2, lepat,3 dan sebagainya sampai lauk­pauk, seperti gulai ayam dan

sebagainya.

Pada hari pelaksanaan perayaan Isra’ Mi’raj, masyarakat berkumpul di meunasah. Menurut masyarakat setempat, meunasah dijadikan tem-pat pelaksanaan acara Isra’ Mi’raj supaya semua masyarakat, baik tua maupun muda, baik laki­laki maupun perempuan, bisa datang dalam acara tersebut, terutama perempuan yang sedang haid pun bisa datang ke muenasah untuk mengikuti acara Isra’ Mi’raj. Sementara itu, jika dilaksanakan di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk ke dalam masjid karena dikhawatirkan dapat mengotori masjid.

Acara Isra’ Mi’raj dimulai pada pukul 09.00 pagi hari. Acara diawali dengan sambutan dari tokoh agama. Kemudian acara dilanjutkan dengan ceramah Isra’ dan Mi’raj oleh seorang santri dari pesantren yang terdapat di Desa Cinta Maju, yang juga merupakan warga Desa Tetingi. Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, hal ini dimaksudkan agar anak­ anak berani dan mampu berdiri di depan forum. Usai ceramah, acara selanjutnya adalah istirahat dengan minum dan makan makanan ringan yang telah disiapkan, seperti lemang, lepat, buah-buahan, dan kue. Masing­masing keluarga membawa makanan dan minuman dari rumah masing­masing lalu dihidangkan kepada anggota keluarga yang berada di

meunasah. Ada juga beberapa keluarga yang saling bertukar makanan dan minuman. Usai makan bersama, acara selanjutnya adalah ceramah yang disampaikan oleh seorang penceramah yang sengaja diundang ke Desa Tetingi. Ceramah yang disampaikan menggunakan bahasa Gayo sehingga masyarakat mudah memahaminya. Setelah ceramah dari penceramah tersebut usai, acara selanjutnya adalah makan nasi bersama dengan lauk­ pauk yang telah disiapkan oleh keluarga masing­masing. Acara makan bersama tersebut juga dilakukan di muenasah.

Meskipun mayoritas masyarakat Desa Tetingi beragama Islam, namun kepercayaan kepada hal­hal yang gaib masih ada. Hal ini terlihat dari pe­ nanganan masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat, misalnya apabila ada seorang bayi menangis terus­menerus tanpa berhenti, di­

2 Lemang adalah makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari beras ketan. Beras ketan tersebut dimasukkan ke dalam bambu yang di dalamnya sudah ada daun pisang sebagai pembungkusnya. Bambu yang sudah diisi ketan dibakar dengan menggunakan api dari kayu bakar.

3Lepat adalah nama makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari tepung beras. Tepung beras tersebut dibentuk dan diisi parutan kelapa yang telah dicampur dengan gula merah. Setelah itu,

(45)

percaya bahwa hal tersebut disebabkan oleh pengaruh hal gaib, seperti

blis (setan). Hal ini seperti yang dialami dan diceritakan oleh seorang warga setempat yang berperan sebagai tenaga kesehatan berikut ini.

“Suatu ketika, anaknya selalu menangis pada saat menjelang

magrib hingga larut malam. Ia menangis sambil melihat ke

atas. Melihat kejadian tersebut, lalu bidan kampung pun da­ tang dan memberikan benang pancorana yang diikat ke ping­

gang anaknya. Sebelum diikat ke pinggang anaknya, benang pancarona terlebih dulu didoakan oleh bidan kampung. Menurut bidan kampung, ada jin yang mengganggu anaknya sehingga ia selalu menangis pada saat menjelang magrib hingga larut

malam. ‘Memang katanya di sini (poskesdes) dulu angker se­ belum dibangun,’ cerita bidan desa. Setelah diberi benang pan­ corana tersebut, anaknya pun berhenti menangis. Hal ini tentu

di luar dugaan dan kepercayaan bidan desa. Menurut bidan

kampung, benang yang diikat di pinggang anaknya tidak boleh

dilepas hingga anaknya berumur dua tahun. Benang tersebut dirancang dengan pelonggar dan pengencang tali sehingga bisa menyesuaikan bentuk tubuh si anak.”

Sistem kepercayaan kepada hal­hal yang gaib juga terlihat pada peletakan botol yang berisi air di atas pintu masuk rumah atau digantungkan di dinding rumah. Menurut masyarakat setempat, keberadaan botol di dalam rumah tersebut dapat membawa rasa aman, sehat, selamat, dan dihindarkan dari masalah rumah tangga. Namun, tidak semua rumah di Desa Tetingi masih terdapat botol air tersebut karena sudah hilang atau dibuang karena airnya sudah keruh dan ada ulatnya di dalamnya. Aman

Mi juga mengutarakan bahwa botol tersebut dimaksudkan agar para penggunanya mendapatkan rasa tenang, sehat, dan tidak masuk setan. Pandangan lain juga diutarakan oleh Bang Hs, bahwa botol tersebut dijadikan jimat yang berguna untuk memberi semangat, rasa aman, dan tidak ada rasa takut untuk tinggal di rumah tersebut.

2.6 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial 2.6.1 Sistem Pemerintahan Desa Tetingi

Desa Tetingi dipimpin oleh seorang geuchik (kepala desa). Guechik

Gambar

Tabel 1.1 Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten         Gayo Lues Tahun 2011
Grafik 1.1 Jumlah bidan dan jumlah dukun yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues                                         menurut puskesmas tahun 2011
Gambar 2.1. Peta Gayo Lues.
Gambar 2.2.Kondisi jalan Desa Tetingi.
+7

Referensi

Dokumen terkait