• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT

2.9 Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit dalam

Setiap masyarakat mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai sehat dan sakit. Pemahaman tersebut kadang kala bertentangan dengan pemahaman dalam dunia medis. Sebagai contoh, dalam dunia medis seseorang yang menderita flu atau batuk dikatakan bahwa orang tersebut sedang sakit. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat, seperti pandangan Empun (kakek) Ar yang berpendapat bahwa sakit adalah ke­ tika dia tidak bisa melakukan aktivitas sehari­hari dan hanya bisa tidur di rumah. Menurutnya, selama dia masih bisa melakukan aktivitas sehari­ hari, meskipun dalam keadaan flu atau batuk, dia menganggap bahwa dirinya sehat atau tidak sakit. Pendapat lain seperti yang diungkapkan oleh Aman Mi, sehat itu mencakup kesehatan jasmani dan rohani.

“... orang dapat dikatakan sehat dia itu ya, bisa dia melakukan segala aktivitas dengan lancar, terlihat segar, misal dia itu sakit, entah flu ato batuk dia, tapi dia masih berangkat ke sawah atau kerja walaupun jalan dia pelan­pelan, masih bisa itu dikatakan sehat. Kalo dia di rumah tiduran, tambah sakit dia. Kalau dia itu di rumah hanya tiduran tidak bisa bergerak, baru sakit dia ...,” jelas Empun (Kakek) Ar, suami bidan kampung di Desa Tetingi. “... dikatakan orang yang sehat, dia ga rasa sakit badannya, ga sakit­sakit, kebutuhan sehari­hari cukup, termasuk orang sehat itu.Kalo orang sakit walaupun dia banyak uang tapi hidup tidak enak, badan sakit, itu masih tidak sehat. Orang yang dikatakan sehat itu, sehat jasmani sehat rohani, ...” jelas Aman Mi, salah seorang penduduk di Desa Tetingi.

“... tambah sakit gitu terus, lantaran apa, lantaran kalo orang kayak gitu ya kan, kemungkinan pikirannya itu di rumah itu gak cukup tambah parah penyakitnya. Kayak aku kalo aku sakit, kalo udah tidur aku, itu dah parah. Kalo ga pergi lagi aku ke kebun, itu dah parah.Tapi kalo bisa, bawa parang lagi, bawa cangkul lagi, itu sedang saja.Tapi kalo orang yang sehat, dikatakan orang yang sehat jasmani, rohani baru dikatakan orang sehat. Walaupun banyak uang dia, kalo ga sehat jasmani atau rohani, itu ga dikatakan sehat ...,” ungkap Aman Mi.

Perbedaan pandangan mengenai sehat dan sakit antara kacamata medis dan kacamata masyarakat dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu sehat dan sakit yang dilihat dari faktor gejala dan sehat dan sakit dilihat dari faktor penyebab. Bagi masyarakat, selama bisa melakukan aktivitas sehari­hari meskipun dalam keadaan batuk dan flu, mereka meng anggap bahwa mereka sehat. Sementara itu, dalam kacamata medis gangguan fisik seperti batuk dan flu dianggap sakit, meskipun penderita masih dapat melakukan aktivitas sehari­hari.

Perbedaan dua kacamata tersebut juga terlihat pada faktor penye­ bab sakit. Jika dalam pandangan medis, sakit disebabkan oleh adanya bakteri, virus, atau psikis yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi sakit. Namun, hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat yang ber­ anggapan bahwa sakit bisa disebabkan oleh faktor lain. Faktor tersebut kami kategorikan menjadi empat, yaitu (1) faktor psikologis, (2) faktor

pelanggaran terhadap norma atau aturan yang berlaku, (3) faktor ulah alam gaib atau blis dalam istilah setempat, dan (4) faktor ulah manusia yang sengaja membuat seseorang sakit, yang dikenal dengan istilah tube dalam masyarakat setempat, yang artinya diguna­guna.

Faktor psikologis berhubungan dengan pemahaman mengenai bersih dan kotor. Menurut beberapa warga masyarakat setempat, jika seseorang merasa jijik atau kotor pada suatu keadaan makanan atau minuman, bisa mendatangkan penyakit. Namun, jika dia merasa bahwa makanan dan minuman tersebut bersih dan tidak mendatangkan penyakit, minuman dan makanan tersebut tetap disantap meskipun dalam kacamata orang lain, misalnya dalam kacamata medis, makanan dan minuman tersebut sebenarnya dalam keadaaan kotor atau tidak steril. Pemahaman mengenai penyebab penyakit inilah yang menyebabkan banyak masyarakat di Desa Tetingi minum air mentah tanpa dimasak terlebih dulu.

“... kalo di sini orang minum, itu masalah kebersihan airnya, kalo orang di sini orang kalo dia melihat sungai air itu, mau dia minum itu. Kalau orang luar itu dianggap kotor dan bisa menyebabkan datang penyakit. Sebab datangnya penyakit itu karena kejijikan itu kalo jijik, apa pun kita makan sering datang penyakit itu. Kalo di sungai itu ya kan, kalo orang jijik minumnya kalo diminum, pasti sakit perut. Karena ga nerima di dalam itu, tapi kalo ga jijik, dia walau bagaimanapun, pasti ga ada sakit itu ...,” jelas Aman Mi.

Faktor yang kedua adalah faktor pelanggaran terhadap norma atau aturan yang berlaku. Sebagai contoh, di dalam masyarakat Gayo Lues ada larangan tidak boleh keluar rumah pada pukul 12.00 siang hari atau pada saat sinar mentari bersinar dengan teriknya. Menurut mereka, saat itu merupakan saat blis atau setan sedang berkeliaran. Blis atau setan tersebut dapat mengganggu manusia sehingga dapat menyebabkan sakit. Namun, ada juga yang beranggapan bahwa aturan tidak boleh keluar rumah pada pukul 12.00 karena pada saat itu matahari sedang bersinar tepat di atas kepala sehingga dapat menyebabkan sakit kepala.

“... jangan keluar jam 12 siang. Nanti sakit. Banyak jin dan hantu yang keluar ...,” jelas Empun (Nenek) Za memperingatkan salah seorang tim peneliti yang pada saat itu ingin keluar rumah.

Faktor yang ketiga adalah ulah alam gaib. Faktor ini mempunyai persamaan dengan faktor yang kedua, yaitu sama­sama disebabkan oleh ulah makhluk di alam gaib atau blis dalam istilah masyarakat setempat. Namun, ada perbedaan dalam dua katergori ini. Pada faktor kedua suatu penyakit disebabkan oleh pelanggaran suatu aturan yang dapat me nye­ babkan datangnya setan, sedangkan dalam faktor ketiga seseorang sakit karena adanya gangguan dari alam gaib tanpa melanggar suatu aturan yang ada. Sebagai contoh adalah penyakit peneni’an yang diderita oleh Empun (nenek) Za. Peneni’an dalam bahasa Gayo Lues diartikan ditusuk oleh setan pada bagian punggung belakang hingga menembus bagian dada.

Selain peneni’an ada juga penyakit yang disebabkan oleh kelamun (pelangi). Menurut masyarakat setempat, jika ada kelamun yang menghiasi langit dengan warna­warninya, berarti pada saat itu ada makhluk gaib yang sedang minum di suatu tempat yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Menurut mitos masyarakat setempat, makhluk gaib tersebut dapat berbentuk apa saja, seperti ular atau makhluk lain. Jika makhluk gaib tersebut sedang minum di suatu tempat dan ada seseorang yang berada di dekatnya pada saat dia minum, orang tersebut dapat menderita penyakit gatal pada tubuhnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (kakek) Za pada cerita berikut ini.

Pada suatu malam, ketika usai makan malam bersama keluarga Empun (kakek) Za, Empun (kakek) Za mengeluh sakit gatal­gatal pada badannya.

“Ini badan saya gatal semua. Kenapa ya, Nak?” tanya Empun (kakek) Za salah seorang peneliti.

“Gatalnya di bagian mana, Pak?” tanya peneliti kepada Empun (kakek) Za.

“Rasanya gatal semua.Tadi saya sudah berobat ke Mentri (mantri) di Cinta Maju, terus disuntik, dikasih obat dan salep,” lanjut Empun (kakek) Za.

Lalu, Inen Za (putri pertama Empun Za) yang berada di sebelah Empun (kakek) Za menimpali, “Kata orang sini itu kena kelamun,” jelas Inen Za.

“Itu yang kita lihat kemarin sore, yang ada warna merah hijau di langit itu. Apa kata adik itu? Ngi …,” jelas Inen Za.

Peneliti itu pun mencoba mengingat kembali apa yang dilihatnya kemarin sore bersama Inen Za, “Oh, pelangi,” tebak peneliti setelah ingat­ annya kembali pada peristiwa kemarin.

“Oh. Iya pelangi,” jelas Inen Za.

Kemudian Inen Za pun melanjutkan penjelasannya, “Kata orang sini kalau ada kelamun, itu ada yang sedang minum, entah di air kolam, sungai. Itu sejenis makhluk halus. Jin, tapi enggak tampak,” jelasnya.

Empun (kakek) Za pun ikut menambahkan penjelasan Inen Za, “Kadang ia berbentuk ular, seperti buaya itu,” jelasnya.

“Kalau kita berada di dekat dia waktu dia minum, gatal­gatal sudah badan kita,” tambah Inen Za.

“Tapi kita tidak tahu kalau kita sudah dekat dia itu. Biasanya rumputnya itu berwarna merah. Kalau sudah kena itu, gatal sekali. Ingin rasanya menggitar terus (menggaruk terus),” jelas Empun (kakek)Za.

“Lama itu sembuhnya,” Inen Za ikut menambahi.

Kemudian suami Inen Za yang juga ikut dalam percakapan tersebut juga ikut bersuara, “Obatnya pakai daun sirih yang disemburin ke badan,” jelasnya.

Empun (kakek) Za pun ikut menambahi, “Itu pakai dukun. Pakai kemenyan. Daun sirih dikunyah kayak nyirih itu. Terus disemburih ke badan kita (orang yang sakit),” jelasnya.

“Pakai kemenyan untuk ngusir jinnya,” jelas Inen Za.

Kemudian suami Inen Za menimpali lagi, “Itu kena miang. Bapak kan kerjanya di bawah pohon tembakau. Itu kan banyak miangnya. Kalau udah kena miangnya itu gatal sekali,” jelasnya.

Selain tiga faktor seperti yang dijelaskan di atas, ada juga faktor ulah manusia yang sengaja menyebabkan seseorang menjadi sakit. Hal ini disebut tube oleh masyarakat setempat, yang artinya diguna­guna. Tube dapat dilakukan oleh manusia melalui makanan atau minuman yang disajikan khusus untuknya. Selain itu, tube juga dapat terjadi tanpa

Penyakit yang disebabkan oleh tube ini seperti yang dialami oleh saudara Kak S. Pada saat itu, saudara Kak S mempunyai penyakit pada kelaminnya. Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, saudara Kak S dibawa ke rumah sakit, tetapi tak kunjung sembuh. Menurut Kak S, pihak rumah sakit menyatakan bahwa saudara Kak S terkena penyakit kampung dan harus diobati dengan cara kampung. Akhirnya, saudara Kak S tersebut dibawa ke pengobat tradisional untuk mendapatkan penyembuhan. Pada saat ini, kondisi saudara Kak S sudah membaik meskipun secara psikologis masih belum sembuh total seperti keadaan sebelum dia sakit.

2.10 Health Seeking Behaviour; Pengobatan Tradisional vs Medis.

Me-nurut Winkelman (2009:2):

… culture also affects behaviors that expose us to disease and the reasons prompting us to seek care, how we describe our symptoms, and our compliance with treatments ….

Dengan kata lain, budaya berpengaruh pada pencarian pengobatan terhadap suatu penyakit dan bagaimana seseorang mendeskripsikan penyakit tersebut. Pemahaman masyarakat mengenai penyebab sehat dan sakit seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Seperti yang telah dijelaskan, sakit dipahami oleh masyarakat Tetingi karena disebabkan oleh ilmu gaib atau magis. Hal ini berpengaruh pada perilaku pencarian pengobatan yang terlihat pada pemilihan pengobatan tradisional yang masih sering dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menyembuhkan penyakit yang dialaminya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (nenek) Za yang menderita penyakit peneni’an.

Penderita penyakit peneni’an mengalami rasa sakit pada bagian punggung belakang hingga menembus dadanya. Pada saat itu, Empun (nenek) Za mengalami rasa sakit pada punggung sebelah kirinya menembus sampai dada kirinya. Menurutnya rasa sakit itu bagaikan ditusuk oleh benda tajam. Peneni’an tersebut dalam masyarakat setempat dipahami sebagai penyakit ditusuk setan. Untuk itu, pengobatan yang dilakukan adalah dengan cara pengobatan tradisional untuk mengusir setannya.

Pada saat Empun (nenek) Za menderita penyakit peneni’an, kelu-ar ganya memanggil Aman Yu yang juga merupakan menantunya un­ tuk menyembuhkan penyakit peneni’an yang dideritanya. Aman Yu di-kenal sebagai dukun kampung oleh masyarakat setempat, terutama

oleh masyarakat Desa Porang tempat Aman Yu berdomisili. Aman Yu memberikan pengobatan peneni’an pada Empun (nenek) Za dengan semburan sirih.

Pengobatan semburan sirih dilakukan karena penyakit peneni’an yang diderita oleh Empun (nenek) Za dianggap disebabkan oleh setan. Oleh sebab itu, pengobatan yang dilakukan pun melalui dukun kampung dengan segala peralatannya yang dianggap mampu untuk mengusir setan yang menyebabkan Empun (nenek) Za menjadi sakit. Sebelum disemburkan kepada bagian yang sakit, daun sirih dan beberapa bahan­ bahan lainnya, seperti jih (batang ilalang), kacu (gambir) , tekur (kencur), jerango, kapur sirih, pinang yang telah dibelah, dan bungli, didoakan terlebih dulu oleh Aman Yu. Pada saat Aman Yu mendoakan daun sirih dan bahan­bahan tersebut, sayup­sayup terdengar kalimat syahadat, tauhid, dan beberapa kalimat lain yang sulit dipahami. Pada saat itu, Aman Yu seolah­olah sedang berdialog dengan seseorang dan memintanya untuk tidak mengangggu Empun (nenek) Za yang sedang sakit.

Setelah selesai didoakan, daun sirih dan bahan-bahan tersebut dikunyah oleh Aman Yu sampai halus. Sambil terus mengunyah daun sirih di mulutnya, Aman Yu mendekati Empun (nenek) Za yang berbaring lemah di atas kasur. Aman Yu pun meminta Empun (nenek) Za untuk membalikkan badannya sehingga posisi Empun (nenek) Za menjadi tengkurap. Kemudian Aman Yu menyuruh Inen Yu (istrinya sekaligus anak Empun (nenek) Za) untuk menyibakkan baju Empun (nenek) Za sampai punggung belakangnya terlihat. Aman Yu pun mulai berkomat-kamit membacakan doa sambil mengunyah sirih. Lalu, Aman Yu menulis huruf Arab yang terdiri atas tiga huruf, yaitu Alif, Lam, dan Ha, pada punggung Empun (nenek) Za. Setelah menulis huruf­huruf tersebut, Aman Yu mulai menyemburkan sirih yang ada di mulutnya ke punggung Empun (nenek) Za. Setelah disemburkan, lalu punggung Empun (nenek) Za ditutup dengan kain agar tidak mengotori bajunya. Setelah disembur dengan sirih, Aman Yu memberikan segelas air putih mentah yang sebelumnya didoakan oleh Aman Yu.

Setelah pengobatan sembur sirih dilakukan, seorang peneliti ber­ tanya kepada Inen Yu mengapa Empun (nenek) Za tidak dibawa ke pus­ kesmas atau rumah sakit. Namun, Inen Yu, putri kedua Empun (nenek) Za berkata, “Enggak bisa kata orang kontener.5 Ini penyakit kampung.”

Akhirnya, Empun (nenek) Za diobati dengan cara tradisional, yaitu dengan semburan sirih oleh dukun kampung yang juga menantu Empun (nenek) Za. Keesokan hari, seorang peneliti menjenguk keadaan Empun (nenek) Za dan dia tampak lebih sehat daripada hari sebelumnya dan sudah melakukan aktivitas sehari­hari seperti membuat tikar dari daun pandan duri.

Gambar 2.7. Penyembuhan peneni’an dengan cara semburan sirih. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)

Selain Empun (nenek) Za, ada juga Empun (kakek) Ar yang mengalami penyakit benjolan besar pada pantatnya yang mirip dengan bisul. Untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, Empun (kakek) Ar berobat ke dukun kampung karena dianggap merupakan penyakit kampung yang disebabkan oleh blis atau setan. Menurutnya, penyakit yang demikian tidak dapat disembuhkan oleh tenaga medis di pelayanan kesehatan.

“… bawa ke kontener, enggak cocok. Enggak sembuh­sembuh. Kan gitu­gitu aja. Enggak tau sakitnya. Kalau di kontener kan cuma diinfus …,” jelas Empun (Kakek) Ar.

Selain dengan semburan sirih, pengobatan tradisional Gayo juga ada dengan cara mengunjungi makam orang yang dulu adalah seorang dukun kampung. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar kepada pasiennya yang meminta pengobatannya. Empun (nenek) Ar seorang bidan kampung, dia mengajak pasiennya untuk melakukan pengobatan di makam ibunya yang dulu juga merupakan seorang dukun kampung. Berikut cerita Empun (nenek) Ar dengan pasiennya.

Pada suatu hari, ada beberapa orang datang ke rumah Empun (nenek) Ar, seorang bidan kampung. Mereka mau mengucapkan terima kasih kepada Empun (nenek) Ar yang telah menyembuhkan anak mereka hingga saat ini bisa berjalan. Sebelum berobat ke Empun (nenek) Ar, anaknya belum bisa berjalan padahal usianya sudah menginjak 5 tahun. Kemudian orang tuanya membawakannya ke Empun (nenek) Ar untuk mendapatkan pengobatan. Setiba di rumah Empun (nenek) Ar, lalu Em­ pun (nenek) Ar memandikan anak tersebut di kuburan ibunya bidan kampung yang juga dulu adalah seorang bidan kampung. Anak tersebut dimandikan di kuburan ibunya dengan menggunakan jeruk purut. Selain jeruk purut, ada juga kemenyan yang dibakar di sekitar kuburan tersebut. Menurutnya, setelah dua kali anak tersebut dimandikan di kuburan dengan menggunakan jeruk purut, anak tersebut sembuh dan bisa berjalan. Untuk itu, orang tuanya datang ke rumah Empun (Nenek) Ar untuk mengucapkan terima kasih kepada Empun (Nenek) Ar dengan memberikan uang sebesar Rp300.000,00 agar kubur ibunya disemen dan uang Rp50.000,00 untuk Empun (Nenek) Ar. Orang tua anak kecil tersebut sudah lama mengenal Empun (Nenek) Ar sehingga mereka sudah tampak seperti keluarga. Dulu, nenek anak tersebut juga berobat di ibu Empun (Nenek) Ar. Pada saat itu, ibunya menginginkan seorang anak laki­laki. Setelah berobat kepada ibu Empun (Nenek) Ar, ibunya berhasil mendapatkan anak laki­laki, dan anak laki-laki tersebut adalah bapak si anak kecil tadi.

Selain dengan cara datang ke dukun kampung, pengobatan juga dapat dilakukan dengan cara pengobatan mereka sendiri, yaitu melalui tanaman yang ada di sekitar mereka. Tanaman yang bisa dijadikan obat tersebut mereka ketahui dari nenek moyang mereka. Sebagai contoh, obat batuk dalam masyarakat Gayo Lues salah satunya adalah daun ruwi, yaitu daun berduri. Daun ruwi tersebut direbus dengan menggunakan garam. Air rebusannya kemudian diminum sebagai obat batuk. Selain daun ruwi, ada juga getah geloah geger yang digunakan sebagai obat sakit gigit dan bibir pecah­pecah, dan masih banyak lagi tanaman yang biasa dijadikan obat oleh masyarakat Desa Tetingi.