• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI

3.8 Balita dan Anak

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di Desa Tetingi sudah ada poskesdes yang berdiri di tengah pemukiman penduduk. Di Poskesdes inilah imunisasi melalui posyandu dilakukan. Posyandu di Desa Tetingi

dilakukan setiap bulan pada tanggal 5. Namun, jika pada tanggal tersebut terdapat kegiatan masyarakat, seperti pernikahan, Isra’ Mi’raj, atau hari pasar, posyandu diundur pada hari selanjutnya. Jika hal tersebut terjadi maka kader kesehatan bertindak mengumumkan kepada masyarakat yang hendak mengikuti posyandu. Di Desa Tetingi terdapat tiga orang wanita yang berperan sebagai kader kesehatan. Peran kader kesehatan ini adalah membantu tenaga kesehatan dalam melaksanakan program kesehatan atau membantu mengatasi masalah kesehatan, salah satunya adalah posyandu.

Pada saat hari posyandu akan tiba, kader kesehatan menyiapkan makanan, seperti bubur kacang hijau atau kue untuk konsumsi pengunjung posyandu. Makanan tersebut kadang kala dimasak sendiri oleh kader kesehatan, namun kadang kala pula dibeli di pasar atau di toko­toko terdekat. Penyediaan makanan merupakan daya penarik agar masyarakat mau datang ke posyandu. Menurut bidan desa setempat, jika tidak ada makanan, masyarakat setempat tidak mau datang ke posyandu. “Kalau nggak ada makanannya, nggak mau datang mereka kak,” jelas bidan desa saat seorang peneliti bertanya mengapa ada makanan pada saat posyandu. Untuk itu, bidan desa dan kader kesehatan berusaha untuk menyediakan makanan ketika posyandu dilaksanakan, untuk menarik pengunjung. Makanan tersebut diberikan kepada balita yang sudah ditimbang dan diperiksa oleh tenaga kesehatan. Biasanya makanan tersebut dibungkus dalam plastik dan langsung diberikan kepada balita untuk dimakan. Hal ini menyebabkan kacang hijau yang dimakan oleh anak balita tidak terkonsumsi dengan baik, bahkan ada yang hanya menjadi mainan dan dibuang oleh anak balita tersebut.

Pada saat posyandu, bukan hanya anak balita yang diperiksa, tetapi ibu hamil juga diperiksa. Namun, ada beberapa ibu hamil yang mau diperiksa ketika pengunjung yang lain sudah pulang, karena dia tidak ingin dilihat oleh orang lain pada saat pemeriksaan. Selain ibu hamil, ibu­ibu yang merasa tidak enak badan, seperti sakit pinggang, kepala pusing, lemas, batuk, dan sebagainya juga ikut mengantre untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan.

3.8.2 Sunat Anak

Dalam masyarakat Gayo Lues, seorang anak baik laki­laki maupun perempuan akan mengalami sunat yang dikenal dengan sunet atau khatam

perempuan dalam masyarakat Gayo Lues. Sunat perempuan dilakukan pada saat anak berusia sekitar 7 bulan sampai 1 tahun, atau pada saat si anak sudah bisa duduk. Sementara itu, sunat laki-laki dilakukan pada saat anak berusia sekitar 8 tahun sampai 12 tahun. Selain itu, seorang anak perempuan hanya boleh disunat oleh perempuan dan anak laki-laki oleh seorang laki­laki pula.

Seorang anak perempuan disunat pada usia sekitar 7 bulan sampai satu tahun. Anak perempuan disunat oleh seorang perempuan pula, baik oleh bidan kampung maupun tenaga kesehatan, seperti bidan atau dokter. Alasan bidan kampung masih dipilih sebagai orang untuk menyunat anaknya karena bidan kampung dianggap mempunyai mantra, sedangkan tenaga kesehatan tidak memilikinya. Namun, ada juga masyarakat Desa Tetingi yang menyunatkan anak perempuan ke bidan desa yang tinggal di desa tetangga. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Inen Je. Alasan Inen Je memilih tenaga kesehatan tersebut karena menurutnya, meskipun orang tersebut adalah bidan desa (tenaga kesehatan), ia juga bisa mengucapkan mantra layaknya bidan kampung sebelum menyunat seorang anak perempuan. Selain itu, adat sebelum menyunatkan anak perempuan tetap dilakukan oleh bidan desa tersebut, misalnya dia menyarankan agar anak perempuan dimandikan terlebih dulu oleh neneknya sebelum disunat.

Selain faktor mantra dan adat yang juga bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan, alasan lain yang menyebabkan seorang ibu menyunatkan anak perempuannya ke tenaga kesehatan adalah keamanan dan keselamatan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Inen Wa yang akan menyunatkan anak perempuannya yang berusia delapan bulan. Inen Wa berencana menyunatkan anak perempuannya kepada tenaga kesehatan yang ada di desa tetangga karena dia merasa nyaman dan aman, sebab tenaga kesehatan tersebut muda dan penglihatannya lebih tajam daripada bidan kampung.

“… kalau bidan kampung kan udah tua. Takutnya udah nggak keliatan,” jelas Inen Wa.

Sebelum seorang anak perempuan disunat, dia akan dimandikan terlebih dulu oleh neneknya atau dukun kampung dengan menggunakan mungkur, di air sungai. Setelah dimandikan, dukun kampung mulai beraksi untuk menyunatnya. Bagian yang dipotong oleh dukun kampung adalah ujung klitoris, dengan menggunakan pisau. Pada saat mencuil ujung klito­ ris tersebut, ada kapas yang menjadi alasnya.

Sebelum ada tenaga kesehatan, sunat laki­laki dilakukan oleh se-orang mudim. Mudim adalah sese-orang dukun kampung yang berperan me-nyunat anak laki­laki. Namun sekarang sudah tidak ada lagi mudim di Desa Tetingi, bahkan menurut Empun (kakek) Mn, seorang tokoh masyarakat setempat yang berusia sekitar 60­an tahun, keberadaan mudim di Gayo Lues bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Empun (kakek) Mn juga bercerita bahwa anak pertamanya adalah seorang laki­laki yang sekarang berusia sekitar 30­an tahun, disunat oleh tenaga kesehatan yang ada di Gayo Lues pada saat itu. Menurutnya, seorang anak disunat oleh tenaga kesehatan lebih aman daripada disunat oleh seorang mudim. Selain itu, banyak per-syaratan dan perlengkapan yang harus disiapkan untuk seorang mudim ketika ingin menyunatkan anak kepadanya, seperti beras satu karung dan satu bambu dan ayam jantan satu ekor. Beras dan ayam jantan tersebut diantarkan ke rumah mudim tersebut. Menurut Empun (kakek) Mn, hal ini tentu merepotkan masyarakat. Sementara itu, jika menyunatkan anak kepada seorang tenaga kesehatan hanya membawa uang saja.

Selain banyaknya persyaratan yang perlengkapan yang harus dipe­ nuhi, menurut Empun (kakek) Mn, menyunatkan anak kepada seorang mudim belum tentu terjamin keselamatan dan keamanannya karena menggunakan pisau dan tidak dijahit.

“… kalau di mentri (mantra) uangnya kan disiapkan, udah. Makan pun dia nggak mau. Ada juga yang mau makan. Itulah orang milih mentri. Semuanya pun terjamin. Kalau di mudim enggak pakai jahit, terus dibalutkannya terus pakai kain putih. Berdarah mau lama. Takut kita pun dengan dia, dipantannya (dihentikan). Ada juga yang nggak berdarah, ada juga sampai sore nggak berhenti darahnya …,” jelas Empun (Kakek) Mn.

3.8.3 Aktivitas Anak

Pada saat sang mentari mulai menampakkan sinarnya, anak­anak SD dan SMP di Desa Tetingi memulai harinya dengan berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Tidak ada SD atau SMP di Desa Tetingi. Jadi, anak­ anak harus berjalan kaki dari Desa Tetingi ke Desa Cinta Maju untuk mengenyam pendidikan. Meskipun mereka harus menempuh jalan yang berbatu, tanjakan, dan turunan yang panjangnya kira­kira 2­3 kilometer, tetapi semangat anak­anak tersebut tetap menyala. Hal ini terlihat dengan senyum dan gelak tawa mereka saat berangkat sekolah bersama­sama.

Pukul 11.00 siang hari saat matahari menyinari bumi dengan ter-iknya, anak­anak tersebut kembali ke rumah mereka di Desa Tetingi. Terik matahari dan tanjakan jalan harus mereka lalui. Kadang­kadang mereka berhenti sejenak di bawah pohon yang rindang untuk melepaskan lelah. Keringat pun mengucur di wajah mereka. Baju mereka pun tampak basah oleh keringat. Perjalanan tersebut harus mereka lalui tiap hari.

Setiba di rumah, mereka langsung mengganti baju seragam mereka. Rasa lapar pun sudah mulai menyerang. Piring yang bertengger di rak piring pun segera diambil. Nasi putih dan lauk yang tersedia di atas meja pun langsung diambil. Setelah makan, mereka langsung bermain dengan teman­teman mereka. Banyak permainan yang sering dimainkan oleh anak­anak di Desa Tetingi. Salah satu permainan tradisional yang dimainkan oleh anak­anak di Desa Tetingi adalah permainan simang. Simang dalam bahasa Gayo berarti “batu”. Permainan simang ini adalah permainan menghitung batu. Bila dihitung, ada sekitar ratusan batu yang disiapkan untuk bermain simang. Batu tersebut diletakkan di atas lantai. Masing­masing anak mengambil sekitar tiga puluhan batu yang diletakkan di depannya. Satu batu dijadikan patakon untuk mengambil batu yang lain, dengan cara batu tersebut dilemparkan ke atas. Setelah batu tersebut dilempar ke atas dengan menggunakan tangan kanan, tangan kanan dengan sigap mengambil batu­batu lain yang berserakan di lantai, sebelum batu yang dilemparkan ke atas tadi jatuh. Batu yang dilemparkan ke atas tidak boleh jatuh menyentuh tanah sehingga setelah mengambil batu di lantai, tangan kanan dengan sigap pula mengambil batu yang dilemparkan ke atas agar tidak jatuh ke bawah. Anak­anak tersebut mengambil batu di atas lantai sambil berhitung “sara (satu), rowa (dua), tulu (tiga), opat (empat), lime (lima), onom (enam), pitu (tujuh), walu (delapan), siwa (sembilan), sepuluh, dan seterusnya”.

Selain simang, masih banyak lagi permainan lain yang dimainkan oleh anak­anak di Desa Tetingi, di antaranya batok kelapa yang dijadikan alas kaki yang bertali, permainan tali karet, permainan tutup limun, dan sebagainya. Permainan tersebut dimainkan oleh anak­anak setelah pulang sekolah sampai sore hari. Tidak ada perbedaan antara permainan anak laki­laki dan anak perempuan. Setiap permainan selalu ada anak perempuan dan anak laki­laki, bahkan permainan lompat karet yang di daerah lain, seperti Bengkulu, menjadi permainan anak perempuan, di Desa Tetingi anak laki­laki pun ikut bermain.

Namun, tidak semua anak tersebut bermain. Ada juga anak yang pergi ke ladang untuk membantu orang tuanya. Meskipun baru duduk di bangku SD, anak­anak tersebut sudah pandai mengerjakan pekerjaan di ladang dan di sawah. Kadang kala bukan hanya kebun milik orang tuanya yang mereka bantu, melainkan juga ladang atau sawah milik orang lain, dengan sistem upahan. Sal, contohnya, memanfaatkan musim libur seko lah untuk bekerja. Dia membantu memetik jagung milik tetangganya dengan upah Rp7.000,00 per karung. Dalam satu hari Sal dapat memperoleh 5­6 karung. Dia bekerja selama 4 hari. Dalam waktu 4 hari tersebut Sal dapat mengumpulkan uang sebanyak Rp130.000,00. Uang tersebut dibelikannya sepatu sekolah dengan harga Rp50.000,00 dan Rp50.000,00 lagi diberikannya kepada neneknya yang hidup sebatang kara. Masih ada sisa Rp30.000,00 yang dimanfaatkannya untuk membeli buku atau jajan.

Setelah lelah melakukan aktivitas seharian, pada sore hari anak­ anak tersebut pulang ke rumah masing­masing. Setiba di rumah, anak perempuan membantu ibunya memasak. Mayoritas anak perempuan di Desa Tetingi sudah pandai memasak sejak usia delapan tahun. Setelah selesai memasak, mereka makan bersama dengan keluarga mereka se­ belum atau setelah shalat Magrib. Selesai shalat Magrib, mereka per­ gi ke meunasah untuk belajar mengaji. Di meunasah mereka diajar oleh seorang guru mengaji. Berhubung guru mengaji hanya ada satu sedangkan muridnya berjumlah 30­an orang, murid yang senior yang sudah pandai membaca Alquran ikut membantu guru tersebut mengajar murid­ muridnya membaca Iqra’ dan huruf hijaiyah.

Setelah selesai mengaji, anak­anak tersebut kembali ke rumah ma­ sing­masing atau ke rumah saudaranya tempat dia tidur. Dalam masya­ rakat Gayo Lues, ada sebuah tradisi bagi seorang anak, yaitu ketika seorang anak sudah menginjak usia sekitar delapan tahun atau sekitar kelas 4 SD, biasanya pada malam hari mereka tidak tidur di rumah mereka lagi, melainkan tidur bersama dengan teman­temannya di sebuah rumah di desa tersebut. Jika seorang anak sudah menginjak usia delapan tahun dan masih tidur di rumah orang tuanya, dia akan merasa malu karena dianggap masih menetek atau menyusu oleh teman­temannya, kecuali jika ia adalah anak perempuan satu-satunya di rumah tersebut dan ibunya hanya sendiri di rumah. Hal ini terlihat pada saat tim peneliti bertanya mengapa Asmi, seorang anak perempuan berusia 10 tahun, tidak tidur bersama dengan teman­temannya di rumah Inen Li. Teman-temannya tersebut dengan kompak berkata “Masih netek pada ibunya,” jawab

Terdapat perbedaan dalam tradisi tidur ini antara anak laki­laki dan anak perempuan. Anak perempuan tidur di rumah tetangganya pada saat usianya menginjak 8 tahun, sedangkan anak laki­laki menginjak usia 12 tahun. Selain itu, tempat tidur anak perempuan adalah rumah salah satu penduduk setempat, sedangkan anak laki­laki biasanya di rangkang. Rangkang adalah sebuah bangunan yang dibangun untuk anak laki­ laki yang mengaji di meunasah. Usai mengaji, mereka tidur bersama di rangkang tersebut. Namun sekarang rangkang di Desa Tetingi tidak di­ fungsikan lagi untuk anak laki­laki yang mengaji. Beberapa ruangan rangkang dipakai oleh sebuah keluarga kecil, sedangkan ruangan yang lain dibiarkan terbengkalai. Oleh sebab itu, anak laki­laki di Desa Tetingi pada saat ini tidak tidur di rangkang lagi, tetapi tidur di rumah temannya atau di rumahnya sendiri.

Sekarang anak laki­laki dan anak perempuan di Desa Tetingi pada saat duduk di bangku SMP tinggal di sebuah pesantren yang terdapat di Desa Cinta Maju. Setelah pulang dari SMP pada siang hari, anak­anak tersebut pergi ke pesantren untuk mengaji dan belajar ilmu agama hingga larut malam.

Namun, tidak semua orang tua di Desa Tetingi menyetujui anaknya untuk tidur di rumah orang lain, meskipun di rumah bibinya. Hal ini seperti yang dilakukan Inen NA. Inen NA tidak menyuruh anak­anaknya untuk tidur di rumah orang lain karena dia ingin lebih dekat dengan anaknya dan dapat mengontrol belajar anaknya pada malam hari. Bukan hanya Inen NA, salah seorang tokoh masyarakat pun tidak menyetujui anaknya tidur di rumah tetangganya karena dapat mengganggu sekolah dan belajar anaknya.

“… itulah masalahnya orang tua, kalau dia mau disekolahkan, jangan pun dibiarkan tidur kayak itu dia ya kan, tidur di situ, tidur di sana, dia kan ga belajar. Kalau ga sekolah, ya enggak papa, tidur sana, kalau sekolah susah dia, gimana dia mau belajar …,” jelasnya.