• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI

3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui

Pada saat baru lahir, bayi diberi sedikit garam yang dimasukkan ke dalam mulutnya oleh dukun kampung. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan masyarakat setempat bahwa pemberian garam pada mulut si bayi bertujuan agar si bayi pada saat besar nanti dapat berbicara santun kepada orang lain. Selain garam, bayi baru lahir tidak boleh diberi makanan lain, misalnya madu. Menurut Kak Mya, jika seorang bayi baru lahir diberi madu, pada saat besar nanti dia bisa melawan perkataan orang tuanya. Pada saat memberikan garam ke mulut bayi, dukun kampung berkata kepada si bayi “Be se kemasin poa ini, bese jerohmu becerak rum saudare (begitu asinnya garam, begitu sopanmu berbicara pada saudara). Pengen manat jahman kah (dengar nasihat orang tua ya).”

“… kati jeroh cerak e (agar bagus bicaranya). Kati jeroh ko becerak urum saudere (agar bagus berbicara dengan saudara). Kati pengen jema cerak e (agar orang lain mendengar perka­

“… kalau manis tawon kata orang nanti melawan orang tuanya …,” jelas Kak My.

3.7.2 Pemberian ASI

Setelah diberi garam sebagai makanan pertamanya, bayi diberi ASI oleh ibunya sampai usia kurang lebih dua tahun. ASI pertama (kolostrum) atau susu basi dalam bahasa setempat dibuang oleh si ibu. Menurut masyarakat setempat, memberikan susu basi pada bayi dapat membuat si bayi sakit perut. Berdasarkan pengetahuan tersebut, susu basi (kolostrum) dibuang oleh si ibu.

ASI eksklusif sampai usia enam bulan masih belum diterapkan oleh beberapa, bahkan mayoritas ibu di Desa Tetingi. Pada saat menginjak usia dua atau tiga bulan, bayi diberi bubur nasi oleh ibunya. Hal ini dilakukan karena adanya pemahaman dan kekhawatiran sang ibu bahwa ASI tidak dapat mengenyangkan si bayi. Untuk itu, bayi diberi makanan tambahan, seperti bubur instan atau bubur nasi yang dibuat sendiri oleh ibunya. Nasi dicampur dengan aneka sayuran dimasak sampai matang. Setelah itu, dilumatkan sampai halus dan diberikan pada si bayi yang baru berusia tiga bulan.

3.7.3 Masalah ASI dan Menyusui

Jika air susu ibu menyusui belum keluar, bayi diberi madu, teh manis, atau air gula sebagai pengganti ASI. Hal ini seperti yang dilakukan Inen Ofi. Sejak hari pertama sampai hari ketiga setelah melahirkan, ASI Inen Ofi hanya keluar sedikit. Oleh karena itu, bayinya diberi madu, teh manis, atau air gula sebagai pengganti ASI. Jika lebih dari tiga hari ASI sang ibu belum juga keluar, bayi diberi susu formula. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Kak My. Kak My yang baru melahirkan anak pertamanya hanya mempunyai sedikit ASI pada payudaranya yang sebelah kiri, sedangkan payudaranya yang sebelah kanan mengalami pembengkakan. Sedikitnya ASI yang ke­ luar dan terjadinya pembengkakan pada payudara menyebabkan Kak My mengambil keputusan untuk memberikan susu formula kepada anaknya yang baru berusia dua minggu. Kak My masih berusaha untuk memberikan ASI kepada anaknya, meskipun keluarnya sedikit. Tetapi, setelah diberi susu formula, anaknya tidak mau lagi minum ASI. “Mungkin karena nggak seenak susu ini kali ya?” cerita Kak My sambil menunjukkan kotak susu formula yang dibeli oleh suaminya di sebuah toko.

Untuk mengatasi kurangnya ASI yang keluar dari payudara ibu me­ nyusui, orang Gayo Lues mempunyai obat tradisional sendiri. Salah satu obat tersebut adalah bedak matah. Berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat, bedak matah selain berfungsi sebagai penyegar badan setelah melahirkan, juga berfungsi sebagai pelancar ASI. Untuk melancarkan ASI, bedak matah tersebut dioleskan pada payudara ibu menyusui. Selain dioles, bedak matah juga dapat diminum agar ASI sang ibu lancar. Selain bedak matah, soda dan susu kental manis dipahami juga dapat melancarkan ASI. Ada pula cara lain untuk melancarkan ASI, yaitu dengan cara membersihkan puting susu dan payudara dengan air hangat atau jeruk nipis. Setelah dibersihkan, payudara disisirkan satu arah, yaitu dari pangkal menuju puting susu.

Memakai bedak matah dan meminum air soda dicampur dengan susu kental manis telah dilakukan oleh Kak My, namun ASI yang keluar tetap sedikit dan payudaranya pun masih mengalami pembengkakan lebih dari satu minggu. Selain mencoba obat tradisional Gayo Lues, Kak My juga sudah mencoba memanggil tenaga kesehatan yang ada di desanya. Pada saat itu, suami Kak My yang datang memanggil dan menceritakan kondisi Kak My kepada tenaga kesehatan. Namun, menurut tenaga kesehatan tersebut, pembengkakan pada payudara pada saat menyusui biasa ter­ jadi. Tenaga kesehatan tersebut menyarankan untuk mengoleskan ASI ke payudara Kak My sebagai obatnya. Setelah mendapatkan saran dari tenaga kesehatan tersebut, suami Kak My pun pulang ke rumahnya tanpa membawa obat atau membawa tenaga kesehatan untuk memeriksa payudara istrinya. Sementara itu, payudara Kak My semakin membengkak dari hari ke hari dan badan Kak My pun menjadi panas. “Mungkin karena bengkak ini kali ya, makanya panas,” cerita Kak My pada seorang peneliti.

Berhubung Kak My tidak mendapatkan pengobatan atau pemeriksaan apa pun dari tenaga kesehatan, akhirnya Kak My berusaha dengan cara lain untuk mengobati pembengkakan pada payudaranya. Dia pun memanggil dukun kampung dari desa tetangga yang juga masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Dukun kampung tersebut memberikan obat tradisional yang terdiri atas tiga jenis, yaitu (1) tai ketol (kotoran cacing tanah) dicampur dengan air beras yang mendidih, (2) abu bengkoang (pandan duri) kering dioles dengan minyak goreng, dan (3) rumput kukur dicampur dengan kapur sirih. Tiga jenis obat tersebut dioleskan pada payudara yang bengkak secara bersamaan. Obat yang pertama dioles

getah yang berbentuk busa yang keluar dari daun tersebut dioleskan pada payudara yang bengkak. Setelah itu, tai ketol yang telah dicampur dengan air beras dioleskan pada payudara yang bengkak. Terakhir, abu bengkoang kering dioles bersama minyak goreng. Menurut Kak My, melalui pengobat­ an tradisional tersebut, rasa sakit pada payudaranya agar berkurang. “Ada kurang sikit (sedikit). Kurang sakitnya pun,” jelas Kak My. Sementara itu, untuk mengobati sakit panas yang diderita oleh Kak My, dukun kampung memberikan dedingin (sejenis cocor bebek) yang dicampur dengan beras, kemudian diremas. Setelah diremas, air dedingin dan beras tersebut di-minum oleh ibu nifas dan dioleskan ke seluruh badannya.

3.7.4 Tradisi Ulangan

Dalam masyarakat Gayo Lues, ada cara untuk melepas seorang anak untuk tidak menetek lagi. Apabila anak sudah berusia sekitar dua tahun, dia akan dibawa ke bidan kampung untuk melaksanakan ulangan, yaitu sebuah tradisi untuk melepaskan anak dari menyusui. Pada saat dibawa ke rumah bidan kampung, ibunya telah membawa perlengkapan untuk ulangan, seperti bertih (padi yang disangrai), satu butir telur yang sudah direbus, dan empat buah pisang mas. Bahan­bahan tersebut ditaruh di depan si anak dan anak duduk dalam posisi membelakangi si ibu. Pada saat itu, bidan kampung memberikan doa, mantra, dan nasihat kepada si anak agar dia tidak menyusui lagi. Selain bahan­bahan tersebut, ada juga air yang disediakan sebagai minum si anak, yaitu aih mulih (air yang berputar di sungai) atau air mengalir. Apabila pada hari pertama si anak tetap mau menyusu pada ibunya, si ibu akan membawanya lagi ke bidan kampung sampai si anak tidak ingin menetek lagi. Namun, biasanya setelah dilakukan ulangan, si anak sudah tidak mau menetek lagi dengan ibunya. Bertih, pisang emas, dan telur yang disediakan pada saat ulangan merupakan makanan yang disediakan untuk anaknya. Apabila si anak tidak mau makan makanan tersebut, ibunya akan memberinya makanan lain, seperti kue.

3.8 Balita dan Anak