• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT

2.3 Kondisi Alam Tetingi dan Kependudukan

Dua dusun ini dipisahkan oleh Sungai Aih Sekat. Namun, sejak tahun 2008 terdapat titih (jembatan) yang menghubungkan dua dusun tersebut. Jembatan tersebut dibangun oleh pemerintah melalui PNPM. Keberadaan jembatan tersebut memudahkan masyarakat Dusun Arul Sirep untuk bertandang ke Dusun Tamak Nunang, begitu pula sebaliknya.

Panjang jembatan tersebut kurang lebih 40 meter, dengan lebar 1,5 meter. Di bawah jembatan tersebut mengalir Sungai Aih Sekat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk memandikan jenazah. Oleh sebab itu, sungai tersebut tidak digunakan untuk MCK karena diyakini akan berpengaruh pada kesehatan, seperti sakit perut, sakit mata, dan sebagainya. Hal ini seperti yang terjadi pada Je, seorang bocah laki­laki yang berumur sekitar 10 tahun yang mengalami kebutaan pada mata kirinya. Menurut ibunya, kebutaan yang dialami oleh Je terjadi pada saat Je berumur sekitar 6 tahun karena mandi di bawah jembatan setelah dua hari orang memandikan mayat di sana.

“... jangan mandi di sungai itu, apalagi di bawah jembatannya. Kalau mau (mandi) juga, tempatnya agak ke atas sedikit. Di bawah jembatan itu tempat orang mandiin mayat. Nanti kena

Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi. (Sumber: Desain Tim Peneliti, Juni 2012)

kontaknya. Sakit perut nanti. Liat mata Je itu kan sakit. Itu gara­ garanya waktu sebelum sekolah dia suka mandi di sungai di bawah jembatan itu. Itulah matanya sakit (tidak dapat melihat sebelah). Padahal dulu bagus matanya …,” jelas Inen Je.

2.3.1 Keadaan Pola Pemukiman

Terdapat perbedaan antara pola pemukiman Dusun Arul Sirep dengan Dusun Tamak Nunang. Sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep berada di sebelah timur jalan karena di sebelah barat jalan kondisi tanah berjurang dan terdapat sungai. Rumah penduduk di Dusun Arul Sirep menghadap ke timur sehingga sebagian besar rumah di Dusun Arul Sirep membelakangi jalan desa. Hal ini berbeda dengan rumah yang terdapat di Dusun Tamak Nunang. Di Dusun Tamak Nunang, rumah penduduk berdiri di sepanjang barat dan timur jalan desa. Selain itu, rumah penduduk tersebut berdiri menghadap jalan desa. Hal ini disebabkan karena kondisi alam Dusun Tamak Nunang lebih datar daripada kondisi alam di Dusun Arul Sirep.

Pada umumnya rumah penduduk Desa Tetingi terbuat dari kayu yang berdindingkan papan kayu, beratapkan seng, dan beralaskan kayu atau se-men plester, kecuali rumah bantuan dari pemerintah, masjid, dan poskes-des. Kayu­kayu tersebut dibeli di kota atau di pemotong kayu yang oleh masyarakat setempat biasa dikenal dengan istilah sinso. Berdasarkan penu-turan salah seorang warga Tetingi, harga kayu per lima meter kurang leb-ih Rp27.000,00. Keadaan rumah kayu yang dimiliki oleh masyarakat Desa Tetingi berkaitan dengan sejarah Desa Tetingi yang pernah dilanda gempa bumi yang dahsyat. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih rumah kayu dari-pada rumah semen atau beton sebagai tempat bernaung mereka.

“... di sini tidak ada rumah dari batu bata karena salah satunya kebiasaan dari nenek moyang dulu, jadi tidak terbiasa, lagian kalau dari beton jika ada musibah seperti gempa rumah kita gak akan roboh ...,” sapa Empun (Kakek) Mn.

Dulu sebelum menggunakan kayu sebagai bahan untuk membangun rumah, warga Tetingi menggunakan bambu sebagai bahan utama membuat rumah dan sangi sebagai bahan untuk atap rumah. Sangi adalah sejenis dedaunan pandan yang sudah dikeringkan sehingga berwarna cokelat dan kering. Perpindahan dari bambu menjadi kayu terjadi sekitar tahun 1980­ an.

“... kira­kira tahun 70 ke bawah, kebanyakan sebagian bambu dan 80­an ke atas, udah mulai ada sinso ..,.” jelas Aman MID.

Gambar 2.4. Bentuk rumah masyarakat Desa Tetingi. (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)

Setiap rumah di Desa Tetingi sudah mempunyai listrik sebagai sarana penerangan. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat telah memiliki televisi sebagai sarana hiburan dan sarana informasi. Membeli televisi sepertinya lebih menggiurkan daripada membangun MCK di dalam rumah. Hal ini terlihat dari sedikitnya masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di dalam rumah, sedangkan televisi lengkap dengan parabolanya dimiliki oleh “hampir” seluruh masyarakat Desa Tetingi. Menurut pengamatan kami, sebagian masyarakat Desa Tetingi telah memiliki televisi, namun hanya ada satu rumah yang mempunyai MCK lengkap di dalam rumahnya. Pemilik rumah tersebut adalah seorang pemilik tanah, kolam, dan kebun yang luas di Desa Tetingi. Dia adalah Empun (kakek) Mn.

Selain Empun (kakek) Mn, tidak ada lagi masyarakat Desa Tetingi yang memiliki MCK di dalam rumah, kecuali poskesdes. Sebagian besar masyarakat Tetingi menggunakan parit sebagai MCK. Beberapa warga Desa Tetingi ada juga yang membangun bak penampungan air yang diletakkan di luar rumah. Air yang mengalir ke bak tersebut adalah air yang bersumber dari mata air di pegunungan, yang mengalir ke pipa­pipa kecil yang dibuat

oleh masyarakat setempat. Berhubung bak penampungan air tersebut terletak di luar rumah, tetangga yang terletak di sekitar rumah pemilik juga ikut menggunakan bak penampungan air tersebut untuk keperluan mencuci dan mandi.

Selain parit dan bak penampungan air, masyarakat Desa Tetingi menggunakan MCK umum yang dibuat oleh PNPM pada tahun 2008. MCK umum tersebut dibagi menjadi dua, yaitu untuk laki­laki dan untuk perempuan. MCK tersebut terdiri atas tiga bak penampungan air dan lima jamban. Salah satu bak penampungan air digunakan oleh perempuan untuk mandi dan mencuci, sedangkan yang dua lagi digunakan untuk laki­ laki. Sementara itu, satu dari empat jamban digunakan untuk perempuan, dua digunakan untuk laki­laki, dan satu jamban lagi telah rusak.

Meskipun telah dibangun MCK umum oleh pemerintah, tetapi MCK tersebut tidak dirawat baik oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari keadaan MCK yang tidak terawat dan kadang kala masih ada kotoran manusia. Keadaan MCK yang tidak terawat inilah yang menyebabkan masyarakat masih membuang air besar di parit atau di kolam. Meskipun jamban dan bak penampungan air telah tersedia, tetapi masih banyak masyarakat setempat yang lebih suka membuang air besar di parit. Hal ini seperti

yang dilakukan oleh Kak Se, yang sempat menjadi pengasuh anak tenaga kesehatan yang ada di sana. Meskipun tinggal di poskesdes yang telah memiliki jamban di dalam rumah, Kak Se tetap memilih membuang air besar di parit yang ada di depan poskesdes. Menurutnya, ada kepuasan tersendiri ketika membuang air besar di parit.

Selain rumah penduduk, terdapat juga bangunan lain yang berdiri di antara pemukiman penduduk. Bangunan tersebut antara lain masjid, pos kesdes, poskamling, meunasah, dan rangkang. Meunasah adalah ba-ngunan tinggi berbentuk rumah panggung yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti tempat anak­anak mengaji, tempat merayakan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Acara keagamaan tersebut dilakukan di meunasah agar semua warga masyarakat dapat hadir, termasuk perempuan yang sedang haid. Jika acara diselenggarakan di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk sehingga tidak dapat mengikuti acara keagamaan tersebut. Oleh sebab itu, aca ra keagamaan sering kali dilakukan di meunasah, sedangkan masjid digu­ nakan hanya untuk shalat jumat dan shalat ied.

Di samping meunasah terdapat rangkang. Rangkang adalah ba-ngunan memanjang yang dibentuk bilik­bilik berukuran kira­kira 2 meter x 3 meter. Terdapat enam bilik di bangunan rangkang tersebut. Salah satu bilik rangkang tersebut dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Pada mulanya rangkang tersebut didirikan untuk anak laki­laki yang belajar mengaji di meunasah. Namun, rangkang tersebut tidak lagi dihuni oleh anak laki­laki sejak ada pesantren di Desa Cinta Maju. Di pesantren tersebut sebagian anak laki­laki dan anak perempuan Desa Tetingi yang duduk di bangku SMP belajar mengaji dan menimba ilmu agama, sepulang sekolah pada siang hari sampai usai shalat Isya. Sementara itu, anak laki­laki dan juga anak perempuan yang sedang duduk di bangku SD belajar mengaji di meunasah setelah sholat magrib usai. Anak laki­laki dan anak perempuan yang duduk di bangku SMP dan tidak nyantri di pesantren Cinta Maju, juga ikut belajar mengaji di meunasah. Kadang kala mereka juga ikut mengajar anak­anak yang baru belajar mengaji.

Selain meunasah, rangkang, dan masjid, juga terdapat poskesdes di Desa Tetingi. Poskesdes tersebut terletak di “pojok” pemukiman warga. Di poskesdes tersebut terdapat satu bidan desa yang tinggal bersama dengan keluarga kecilnya. Di poskesdes inilah masyarakat Desa Tetingi bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

2.3.2 Kondisi Persawahan, Perladangan, dan Peternakan

Hamparan sawah yang luas menjadi pemandangan indah yang ter­ dapat di Desa Tetingi ini. Sawah yang terdapat di sekitar pemukiman warga menjadi salah satu lahan bagi masyarakat setempat untuk menghidupi diri dan keluarganya. Selain sawah, perkebunan pun menjadi salah satu keindahan alam yang terdapat di desa Tetingi, seperti perkebunan daun serai wangi, tembakau, dan sebagainya. Selain sawah dan perkebunan, ladang juga menjadi tempat bagi warga Tetingi untuk bekerja. Istilah ladang dalam bahasa Gayo bermakna sebuah lahan luas yang ditanami berbagai jenis tanaman dan terletak jauh dari rumah, sedangkan lahan yang tidak terlalu luas dan berada di dekat rumah atau di belakang rumah dikenal dengan istilah empus. Ladang dan empus tersebut ditanami berbagai jenis tanaman, seperti kacang panjang, jagung, cabai, bawang merah, dan sebagainya.

Selain persawahan, perkebunan, dan perladangan, juga tampak ko lam ikan yang dibangun di sekitar pemukiman warga atau di sekitar per sawahan. Di kolam tersebut terdapat berbagai jenis ikan air tawar, seperti ikan mas, ikan mujahir, dan sebagainya. Ikan tersebut dikonsumsi sendiri oleh pemiliknya atau dijual apabila hasilnya tidak habis dikonsumsi sendiri. Selain peternakan ikan, juga tampak hewan ternak lain, seperti sapi, ayam, dan itik. Ayam dan itik dipelihara oleh sebagian masyarakat untuk dikonsumsi sendiri apabila waktunya telah tiba untuk dikonsumsi, sedangkan sapi dipelihara untuk tabungan dan dijual apabila ada kebutuh­ an keuangan yang mendesak.

2.3.3 Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di poskesdes pada tahun 2011, jumlah penduduk Desa Tetingi adalah 305 jiwa, yang terdiri atas 164 laki­laki dan 141 perempuan. Mereka menghuni area pemukiman yang terdapat di Dusun Arul Sirep dan Dusun Tamak Nunang. Tidak ada data yang tersedia di monografi desa atau di poskesdes yang menyatakan luas pemukiman penduduk yang dihuni oleh masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan perkiraan hasil observasi dan pernyataan masyarakat setempat, hanya seperempat dari luas Desa Tetingi yang dijadikan lahan pemukiman penduduk, sedangkan tiga per empat lainnya merupakan lahan persawahan, perkebunan, perladangan, dan lahan kosong yang ditumbuhi oleh rumput­rumput liar dan pohon­pohon yang menjulang

Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur Desa Tetingi tahun 2011.

(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari 129 laki­laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari SD sampai SMA. Anak­anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju yang jaraknya kira­kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di tempat­tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis Gayo. Mereka datang dari desa­desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan pada bab berikutnya. Selain etnis Gayo, ada juga etnis lain yang menghuni

Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur Desa Tetingi tahun 2011.

(Sumber: Poskesdes Tetingi)

Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari 129 laki­laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari SD sampai SMA. Anak­anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju yang jaraknya kira­kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di tempat­tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis Gayo. Mereka datang dari desa­desa yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan

Usia (Tahun)

Desa Tetingi, seperti etnis Alas yang berasal dari Kabupaten Aceh Teng­ gara dan etnis Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Etnis Alas datang ke Desa Tetingi karena adanya perkawinan dengan masyarakat setempat, sedangkan etnis Sunda datang ke Desa Tetingi karena sengaja merantau ke Gayo Lues. Berdasarkan pengamatan kami dan pernyataan masyarakat setempat, hanya ada dua orang yang berasal dari etnis Sunda tersebut.