• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI

3.6 Perawatan Bayi

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah dipotong dengan meng­ guna kan semilu, tali pusar yang masih melekat pada tubuh si bayi diberi

semburan kunyahan sirih oleh bidan kampung agar tali pusar tersebut cepat lepas. Apabila tali pusar sudah lepas, pusar bayi akan diberi lada pedih (merica) atau kacu (gambir). Berdasarkan pengetahuan masyarakat setempat, lada pedih dan kacu dapat mempercepat kering pusar bayi.

“… udah lepas tali pusok e (tali pusarnya), lada pedih (merica) kalau bahasa gayonya, dimasukkan di sini (di pusar bati). Udah lepas ya, dimasukkan lada pedih (merica) …,” jelas Empun(Nenek) Ar.

Sementara itu, tali pusar yang sudah lepas dari tubuh bayi akan disimpan di dinding rumah atau di tempat lain. Tali pusar tersebut sengaja disimpan karena suatu saat bisa menjadi obat bagi si bayi apabila bayinya sakit, misalnya si bayi mengalami sakit mata. Pada saat mata si bayi sakit, tali pusar tersebut direndam dengan air, kemudian air rendaman tali pusar tersebut diteteskan ke mata si bayi agar cepat sembuh. Selain sakit mata, sakit pada telinga juga dapat diobati dengan menggunakan air rendaman tali pusar. Tali pusar tersebut dapat digunakan sampai waktu tak terhingga, bahkan sampai usia puluhan tahun.

“… disimpan di sini, di rering pik anu dapur e (di antara dinding dapur). Apa namanya, sakit mata, berair mata ya, rendam di sini tetes kone (diteteskan ke situ),” jelas Empun (Nenek) Ar. “… iya, tali pusok tadi (tali pusar tadi). Sakit mata ya. Apa namanya sebangsa maih kemiringe (berair telinganya). Tep kone (diteteskan di situ) (tangannya sambil memperagakan seolah­olah menetes air ke telinga). Oya gune e (itulah gunanya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.

3.6.2 Upacara Turun Mani

Upacara turun mani adalah upacara memandikan bayi di luar rumah. Sebelum upacara ini dilakukan, bayi tidak boleh dimandikan di luar rumah dan dibawa bermain ke luar rumah. Bayi hanya boleh berada di dalam rumah. Hari upacara turun mani ini ditentukan oleh bidan kampung atau dukun kampung berdasarkan perhitungan hari baik menurutnya, sebelum masa nite berakhir. Jadi, upacara turun mani ini akan dilakukan pada masa nite, yaitu pada masa 44 hari setelah melahirkan. Biasanya upacara turun mani dilakukan pada minggu pertama, kedua, atau ketiga setelah

pada saat bayi berusia sekitar 7 sampai 28 hari. Selain itu, upacara turun mani biasanya dilakukan pada pagi hari, yaitu sekitar pukul 07.00 atau 08.00, pada saat matahari mulai menampakkan sinarnya.

Pada saat turun mani, banyak bahan dan peralatan yang disiapkan oleh dukun kampung. Peralatan pertama yang dibuat oleh bidan kampung adalah benang yang akan dikenakan di beberapa bagian tubuh bayi. Be­ nang tersebut terdiri atas lima warna, yaitu merah, hitam, putih, kuning, dan hijau. Lima warna benang tersebut disatukan dalam satu ikatan. Ada lima ikatan benang lima warna yang dibuat oleh dukun kampung. Empat ikatan mempunyai ukuran yang sama, yaitu kira­kira sepanjang 15 cm, sedangkan satu ikatan lagi mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu sekitar 25 cm.

Setelah menyelesaikan ikatan benang lima warna tersebut, kemudian bidan kampung menyiapkan bahan­bahan dan peralatan yang akan dibawa dan dibutuhkan pada saat berada di tempat pemandian si bayi. Bahan­bahan tersebut terdiri atas beras satu bambu (2 liter), mungkur (jeruk purut) sebanyak dua buah, kacu (gambir), pinang, sisir, cermin, sirih, konyel, sabun mandi, kerenem (kapur sirih), dubang (parang), dan kelapa yang sudah dikupas (tanpa serabut). Bahan­bahan tersebut diletakkan dan ditata rapi di dalam sebuah wadah, seperti baskom kecil. Bahan­bahan tersebut diletakkan di depan bidan kampung.

Pada saat bahan-bahan tersebut diletakkan di depan bidan kampung, bidan kampung mengambil lima ikatan benang yang telah dibuatnya. Lima ikatan benang tersebut lalu didoakan olehnya. Setelah didoakan, satu ikatan yang paling panjang yang berukuran kira­kira 25 cm, diikatkan pada pinggang si bayi yang pada saat itu telah berada di pangkuan neneknya yang duduk di sebelah bidan kampung. Empat ikatan benang yang lain diikatkan pada bagian pergelangan kaki kanan, kaki kiri, tangan kanan, dan tangan kiri si bayi.

Setelah mengikat benang­benang tersebut di beberapa bagian tubuh si bayi, bidan kampung mengambil sirih yang telah disiapkan sebelumnya. Sirih tersebut dioles dengan kapur sirih, setelah itu dibentuk seperti kerucut. Setelah sirih dibentuk menjadi kerucut, lalu ditaruh konyel dan pinang yang sudah dibelah kecil. Ada dua kerucut sirih yang dibuat oleh bidan kampung. Setelah itu, kerucut sirih tersebut diletakkan kembali di atas beras yang berada di dalam baskom bersama dengan bahan­bahan yang lain.

Setelah membentuk kerucut sirih, bidan kampung mengambil ke­ menyan, didoakan, lalu dibakar di atas bara api. Bara api yang membakar kemenyan tersebut lalu membakar demi yang telah disiapkan oleh bidan kampung. Demi adalah sebuah gulungan kain. Ketika dibakar, demi tersebut mengeluarkan asap. Demi inilah yang akan dibawa oleh bidan kampung ke tempat pemandian bayi.

Setelah semua perlengkapan dan peralatan turun mani dirasa telah lengkap, bidan kampung lalu menggendong bayi yang akan melakukan upacara turun mani. Bayi tersebut digendong dengan menggunakan kain baru. Hal ini dilakukan karena upacara turun mani dianggap mengantarkan bayi kepada kehidupan yang baru. Ketika bayi berada dalam gendongan bidan kampung, ada seorang perempuan yang memegang demi untuk dikelilingkan ke sekitar badan bidan kampung yang sedang menggendong bayi. Demi dikelilingkan tiga kali.

Setelah dikelilingkan ke sekitar badan bidan kampung, demi tersebut dipegang kembali oleh bidan kampung. Jadi, sambil menggendong bayi, bidan kampung memegang demi dan membawa tikar. Sementara itu, bahan­bahan yang berada di dalam baskom dibawa oleh nenek si bayi. Perjalanan keluar rumah pun di mulai. Sebelum keluar rumah, yaitu ketika berada di teras rumah, bidan kampung berdoa sambil menengadahkan tangannya ke atas. Setelah berdoa, bidan kampung pun melanjutkan perjalanannya keluar rumah. Pada saat menginjak tanah pertama kali di halaman rumah, bidan kampung mengambil satu kerucut sirih dan me­ letakannya di atas tanah. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan dalam masyarakat setempat bahwa ada nabi bumi yang bernama Ke­ namat. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih di atas tanah sebagai tan­ da izin kepada nabi bumi. Sebelum meletakkannya di atas tanah, bidan kampung terlebih dulu mendoakan kerucut sirih tersebut. Setelah mele-takkan kerucut sirih, bidan kampung melanjutkan perjalanannya lagi menuju tempat pemandian bayi.

Tempat pemandian bayi tidak jauh dari rumah si bayi, bahkan berada tepat di depan rumahnya. Tempat pemandian bayi dapat di mana saja, dengan syarat air yang terdapat di tempat tersebut merupakan air yang mengalir. Untuk itu, biasanya tempat pemandian turun mani dilakukan di MCK keluarga, di parit, atau di sungai. Rata­rata MCK di Desa Tetingi terbuat dari parit atau ada bak penampungan air yang memiliki pancuran air yang bersumber dari sungai. Ketika tiba di tempat pemandian, dukun

kerucut sirih tersebut diletakkan di pinggir air. Hal ini dilakukan karena adanya pengetahuan masyarakat setempat bahwa ada nabi air yang bernama Khairil. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih tersebut sebagai bentuk izin kepada nabi air. Selain nabi bumi dan nabi air, ada juga nabi kayu dan nabi batu dalam pengetahuan masyarakat setempat. Nabi kayu bernama Gusut, sedangkan nabi batu bernama Yati.

Setelah meletakkan kerucut sirih tersebut di pinggir parit, bidan kampung membelah mungkur yang telah disediakan. Air mungkur (jeruk purut) dimasukkan di dalam sebuah wadah yang telah berisikan cairan tepung dan kunyit. Ramuan tersebut dikenal dengan istilah pangir. Setelah membelah mungkur, bidan kampung meletakkan dubang (parang) di dalam air, sambil diinjak. Ritual memandikan bayi pun dimulai. Pertama-tama bidan kampung akan mengusap bagian kepala bayi dengan pangir. Selanjutnya seluruh tubuh bayi diusap dengan pangir. Setelah itu, bayi langsung dicelupkan ke dalam air dingin yang mengalir.

Setelah dicelupkan ke dalam air yang dingin, si bayi akan diangkat lagi. Pada saat diangkat, buah kelapa yang telah disediakan dipecahkan dengan menggunakan dubang (parang) oleh seorang ibu. Air kelapa yang keluar dari buah kelapa tersebut disiramkan ke seluruh badan bayi. Pemecahan buah kelapa di dekat si bayi dilakukan agar bayi tidak takut petir pada saat sudah besar nanti. Sementara itu, memandikan bayi dengan air kelapa juga dipercaya agar bayi tidak takut air hujan.

Setelah selesai mandi, si bayi akan dibalut dengan kain baru. Kain baru yang membalut si bayi melambangkan semangat baru bagi si bayi. Sebelum dibalut dengan kain, si bayi disisir rambutnya dan disuruh mengaca pada cermin yang telah disediakan. Pada saat mengaca, ibu­ibu dan orang­orang yang ada di sekitarnya berkata “biar gagah nanti”. Sambil mengaca, si bayi dibedaki dengan bedak yang telah disediakan dan bidan kampung mencumbunya bahwa dia adalah laki­laki yang tampan. Setelah itu, bayi dibalut dengan kain baru, lalu digendong kembali oleh bidan kampung untuk dibawa ke rumah.

Pada saat tiba di rumah, si bayi masih tetap dalam pangkuan bidan kampung. Tak lama kemudian, ibu si bayi datang mendekati bidan kampung sambil membawa beras penebus yang telah disiapkan sebelumnya. Beras penebus tersebut diberikan kepada bidan kampung. Pada saat memberikan beras penebus tersebut, si ibu bayi berkata kepada bidan kampung “Ini bi, oros ku bibi, win ke aku (Ini bi, beras untuk bibi, bayinya untukku).” Hal tersebut melambangkan bahwa sebelum upacara turun

mani dan sebelum beras penebus diserahkan, si bayi seolah-olah menjadi anak bidan kampung. Untuk itu, ibu si bayi memberikan beras penebus untuk bidan kampung. Sebelum menyerahkan anak tersebut pada ibunya, bidan kampung akan mendoakan anak tersebut terlebih dulu.

Beras penebus tersebut sebanyak satu bambu atau dua liter, di-simpan di dalam tapih. Selain beras juga terdapat bahan­bahan lain yang diletakkan di dalam tapih beras penebus. Bahan-bahan tersebut meli-puti kemiri 3 buah dan pinang 2 buah. Selain beras penebus, bidan kam­ pung juga menerima satu tapih lagi yang berisi beras satu bambu, sirih, konyel, pinang, dan kacu (gambir). Beras dalam tapih tersebut sengaja disiapkan sebagai ucapan terima kasih kepada bidan kampung karena telah membantu persalinan. Selain itu, beras satu bambu yang disediakan pada saat turun mani yang ditempatkan di dalam baskom kecil juga diperuntukkan bagi bidan kampung. Di dalam baskom kecil tersebut sudah tersedia uang sebanyak Rp100.000,00. Setelah si bayi diserahkan kepada ibunya dan bidan kampung telah mendapatkan berasnya, si ibu bayi akan membasuh tangan bidan kampung dengan menggunakan air dan sabun. Hal ini dilakukan sebagai simbol terima kasih karena bidan kampung telah membantunya melahirkan anaknya.

3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui