• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI

3.1 Remaja Gayo Lues; Beberu dan Bebujang

Dalam masyarakat Gayo, seorang anak laki­laki yang sudah meng-injak masa remaja disebut sudah bujang, dan anak perempuan disebut beru. Sementara itu, para remaja laki-laki disebut bebujang dan para remaja perempuan disebut beberu (Melalatoa, 1982:94). Seorang anak laki-laki sudah bisa disebut bujang apabila dia sudah dikhitan dan ber usia sekitar 13 tahun, sedangkan anak perempuan sudah bisa disebut beru apabila dia sudah mengalami menstruasi dan berusia sekitar 13 tahun. Namun, istilah beru dan bujang ini digunakan untuk menyebut seorang anak yang tidak sekolah dan belum menikah. Untuk itu, meskipun seorang anak telah berusia 13 tahun dan sudah dikhitan untuk laki-laki dan sudah mengalami menstruasi untuk perempuan tetapi dia masih sekolah, maka dia tidak disebut bujang atau beru. Oleh sebab itu, jika ada seorang anak berhenti sekolah, maka dia akan ditanya oleh masyarakat setempat “Hana ti sekolah ko? Male jadi seberu ke? (Mengapa kamu tidak sekolah? Mau jadi beru kampungkah kamu?).

“… seberu dan sebujang itu bisa dikatakan mulai umur 13 itu saya bilang. Kalau enggak sekolah dia. Kalau sekolah, nggak bilang orang seberu. Nah, itu anak pelajar…,” jelas Empun (kakek) Mn, seorang tokoh masyarakat di Desa Tetingi.

Para beberu dan bebujang ini mempunyai kegiatan sendiri dalam masyarakat, misalnya bebujang menari tari Saman, sedangkan beberu menari tari Bines. Tarian tersebut ditarikan pada acara tertentu, misalnya acara silaturahmi antarkampung. Tari Saman dan tari Bines memang

dikhususkan dan diutamakan untuk beberu dan bebujang. Oleh sebab itu, apabila ada seberu atau sebujang tidak bisa mengikuti tari Saman atau tari Bines pada suatu acara, dia akan didenda sesuai dengan jumlah yang telah disepakati bersama. Namun karena jumlah beberu dan bebujang di Desa Tetingi semakin sedikit, para pelajar yang sudah remaja pun diajak untuk menari tari Saman dan tari Bines apabila penarinya kurang.

“… tapi kalau seperti adikmu tadi yang kuliah di Jogja, misalnya dia pulang kemari, dia kan tinggal di desa ini. Itu dicatat orang ini menjadi sebujang dia dalam buku saja. Kalau misalnya pigi (pergi) ke daerah mana untuk tari saman, kalau bisa dia ikut, ikutlah. Kalau nggak, nggak apa­apa. Kalau nggak sekolah itu, kalau nggak ikut, didenda itu …,” jelas Empun (kakek) Mn.

3.11 Interaksi Sosial Remaja Gayo Lues.

Menurut masyarakat setempat, seorang laki­laki yang belum menikah (perjaka) dilarang untuk berkunjung ke rumah seorang perempuan yang masih gadis, meskipun hanya sekadar “bermain” atau bertandang, begitu pula sebaliknya. Apabila ada seorang perjaka datang ke rumah seorang gadis dengan maksud hanya untuk bertandang bukan untuk melamar, akan menjadi “omongan” bagi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, orang tua si gadis pun akan melarangnya. “Omongan” yang muncul dalam masyarakat tersebut secara tidak langsung menjadi social control bagi masyarakat setempat yang menjadi aturan tata­kelakuan (mores). Mores atau tata-kelakuan mencerminkan sifat­sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar atau tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota­anggotanya (Soekanto, 1990:221).

Aturan yang “melarang” seorang perjaka untuk datang ke rumah seorang gadis menyebabkan seorang gadis di Desa Tetingi sering kali dilamar oleh seorang perjaka yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Tr, seorang gadis berusia 15 tahun dan pada saat ini sedang duduk di bangku kelas 2 SMP. Menurut Tr, pada saat dia duduk di bangku kelas 6 SD, dia pernah dilamar oleh seorang laki­laki. Laki­ laki tersebut langsung datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya. Namun lamaran tersebut ditolak Tr karena masih ingin bersekolah.

Cerita yang sama juga dialami oleh Ay, seberu di Desa Tetingi berusia 17 tahun. Pada pertengahan Juni 2012, ada sebujang yang datang melamarnya, padahal dia belum pernah bertemu sama sekali dengan sebujang tersebut. Namun, Ay menolak lamaran sebujang dengan cara

yang halus agar sebujang tidak sakit hati. Untuk menolak sebujang tersebut, Ay berkata bahwa dia belum siap menikah dan dia akan me-nikah 3 tahun lagi. Menurut Ay, peristiwa lamaran pada pertengahan Juni tersebut bukan peristiwa pertama baginya. Pada usianya yang ke­17 tahun, dia sudah tujuh kali didatangi oleh sebujang untuk melamarnya. Lamaran pertama datang pada saat dia duduk di bangku kelas 2 SMP. Pada saat itu, usianya 14 tahun. Menurut pengakuan Ay, sebenarnya alasannya untuk menolak sebujang tersebut bukan karena dia ingin menikah 3 tahun lagi, tetapi karena dia sudah mempunyai seorang kekasih. Dia sudah dua bulan berpacaran (bebiak) dengan pacarnya. Selama dua bulan tersebut komunikasi dengan pacarnya dilakukan melalui handphone.

Kehadiran handphone telah mempermudah remaja Desa Tetingi untuk berkomunikasi dengan teman­temannya, termasuk dengan keka­ sihnya. Handphone tersebut ada yang dibelikan oleh orang tuanya, ada pula yang membeli sendiri dari hasil pentas tari Saman atau tari Bines. Sekali pentas, biasanya para penari tersebut mendapat uang sekitar Rp50.000,00­Rp100.000,00. Uang tersebut dikumpulkan untuk membeli handphone. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Tr. Menurut Tr, dia membeli handphone dari uang yang dia peroleh dari pentas tari Bines. Melalui handphone tersebut dia dapat berkomunikasi dengan teman­ temannya, termasuk kekasihnya. Meskipun handphone tersebut adalah miliknya, tetapi adiknya dan teman­teman yang ada di sekitarnya juga ikut menggunakannya untuk berkomunikasi dengan teman­temannya.

Komunikasi melalui handphone bukan hanya dialami oleh Ay dan Tr. Kak My dan Kak Se yang sekarang sudah menjadi inen mayak juga mengaku bahwa dia berkomunikasi dengan pacarnya, yang sekarang telah menjadi suaminya, melalui handphone. Kemajuan teknologi komunikasi seperti kehadiran handphone di tengah masyarakat desa menyebabkan sistem gaya pacaran di kalangan remaja semakin mudah. Melalui short message service atau SMS atau telepon, para remaja tersebut bisa menjalin hubungan dengan kekasihnya. Menurut Aman Mi (tokoh masyarakat setempat) kehadiran handphone di tengah masyarakat menjadi faktor banyaknya kawin lari yang dilakukan oleh para remaja yang kadang kala umurnya masih di bawah 15 tahun, padahal menurut aturan adat yang terdapat di Desa Tetingi, seseorang dapat diperbolehkan menikah sekitar umur 17 sampai 20 tahun.

“… alasannya kebanyakan dia kawin lari, itu penyebabnya terutama ya kan, dia punya hp. Kalau menurut aturan, dari umur dia sekitar 18, 17, 20 sampai ke atas. Yang kebanyakan kalo di sini sekarang ya kan, itu ga sampe pun 14, 12, kan gitu …,” jelas Aman Mi.

Selain faktor globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi, faktor lingkungan juga menjadi penyebab banyaknya pernikahan dini yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Banyaknya masyarakat yang menikah pada usia muda menyebabkan umur di atas 19 atau 20 tahun menjadikan usia yang tua untuk menikah atau sudah dikatakan “terlambat” untuk menikah. Hal ini seperti yang telah diutarakan oleh salah seorang pemuda Desa Tetingi berikut ini.

“… aku pun ni udah dibilang tua, ga nikah­nikah bang. Umurku 21 aku bang …,” kata Bang Ja.

Tidak ada dokumen atau arsip desa yang menjelaskan tentang rata­ rata usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan peng­ amatan dan wawancara mendalam dengan beberapa warga masyarakat setempat, dapat diketahui usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi berkisar dari umur 14 tahun sampai 20 tahun, yaitu pada saat seorang anak duduk di bangku SMP atau SMA.

Usia pernikahan yang masih dikatakan sangat muda menyebabkan mereka (yang menikah) masih hidup bersama orang tuanya atau berada dalam satu atap dengan orang tua mereka. Orang tua pun secara tidak langsung bertanggung jawab untuk mengajari mereka untuk menjadi keluarga yang mandiri. Misalnya, orang tua mengajak mereka untuk turun ke sawah bersama, bekerja bersama dengan bapak dan ibunya, dan memasak bersama. Untuk itu, dalam satu rumah di Desa Tetingi dapat dihuni oleh beberapa rumah tangga. Apabila rumah tangga anak sudah dianggap mampu untuk berdiri sendiri, orang tua akan men­jawe-kan (memisahkan) mereka dengan cara mendirikan rumah bagi anaknya dan menyerahkan sebagian tanah sawahnya untuk dikelola oleh anaknya.

“… itulah makanya dia kalo sekarang kayak umur gitu kawin, itu harus tanggung jawab orang tua, kenapa­kenapa pasti anak itu belum dapat mendirikan apanya itu, orang tua harus tanggung jawab apa yang kekurangannya harus diapakan, ya kan, dan lakinya itu harus cepat dia suruh mencari pekerjaan,

kalau tidak cepat kita dukung, cerai dia itu …,” tutur Aman Mi, seorang tokoh masyarakat setempat.

“… sudah dipisahkan sama orang tuanya, dibikin rumahnya, ditunjukkan sawahnya. Kalian sudah saya pisahkan dari rumah, itu rumah, saya bikin kecil. Itu sawah kalian, itu kebun kalian. Apa kalian mu tanam, tanam terus, kalo ga ada modal minta dari saya, berapa dapat saya kasih. Gitu …,” lanjut Aman Mi.