BAB III PEREMPUAN GAYO, DARI REMAJA SAMPAI
3.2 Sistem Perkawinan
Dalam masyarakat Gayo Lues terdapat berbagai macam jenis per ka winan. Menurut hemat kami, jenis perkawinan tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu (1) berdasarkan status pe ngantin yang berkaitan dengan unyuk (maskawin), dan (2) berdasarkan cara lakilaki mempersunting pengantin perempuan. Kategori pertama terdapat dua jenis, yaitu juelen dan angkap, sedangkan kategori yang kedua juga terdapat dua jenis yaitu bejejeroh dan naik.
Berdasarkan status pengantin perempuan atau lakilaki terdapat dua jenis perkawinan, yaitu juelen dan angkap. Juelen berasal dari kata juel yang artinya jual. Sesuai dengan artinya tersebut, pengantin perempuan diibaratkan dijual kepada pihak keluarga lakilaki. Setelah menikah, pe ngantin perempuan akan tinggal dengan kerabat suaminya (virilokal). Jika seorang perempuan dengan status juelen masih sering bergaul dengan kerabat pihak orang tuanya, secara langsung atau tidak dia akan dicela oleh kerabat suaminya (Melalatoa,1982:80)
Dalam perkawinan juelen, ada unyuk (maskawin) yang harus dipe nuhi oleh pihak laki-laki. Unyuk tersebut dapat berupa uang, emas, hewan ternak, atau sawah. Namun, pada umumnya unyuk yang diberikan pada saat ini adalah emas dalam hitungan mayam. Satu mayam setara dengan 3 gram emas. Menurut Inen Je, ratarata unyuk yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan adalah 3 mayam. Besarnya unyuk yang diberikan kepada pihak keluarga perempuan tergantung pada status sosial pengantin perempuan. Semakin tinggi status sosial seorang perempuan, semakin tinggi pula nilai unyuk yang ditawarkan. Misalnya, ada seorang perempuan mempunyai pendidikan yang tinggi sampai sarjana, unyuk yang diberikan dapat mencapat 25 mayam emas dan uang sebesar Rp25.000.000,00.
“… kalau makin tinggi pangkatnya, makin tinggi pula maharnya. Kayak di bawah itu kana da pangkatnya udah tinggi. Udah bidan. Itu diminta 25 juta dan 25 mayam …,” jelas Inen Je.
Selain unyuk, ada juga istilah teniron dalam perkawinan juelen. Dua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Unyuk adalah permintaan keluarga perempuan kepada keluarga lakilaki, sedangkan teniron adalan permintaan khusus dari pengantin perempuan kepada pengantin lakilaki. Dalam masyarakat Desa Tetingi, teniron biasanya berbentuk emas atau benda lain yang diinginkan oleh pengantin perempuan.
“… kalau mahar untuk walinya, kalau teniron untuk yang ber sangkutan (pengantin perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar. Dalam masyarakat Desa Tetingi, perkawinan dengan cara juelen ini sering terjadi. Oleh sebab itu, banyak ibu di Desa Tetingi merupakan pendatang dari desa lain yang ada di Kabupaten Gayo Lues, seperti Kuta Panjang, Terangon, Pining, dan sebagainya, bahkan ada yang datang dari kabupaten lain, seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan sebagainya. Untuk itu, dalam sistem perkawinan juelen ini, pihak keluarga lakilaki mempunyai peran penting dalam kehidupan keluarga anak lakilakinya, termasuk dalam kehamilan dan proses persalinan menantunya.
Selain perkawinan juelen, ada juga perkawinan angkap, yaitu pe-ngantin lakilaki yang menyerahkan diri kepada pihak keluarga pepe-ngantin perempuan. Dengan status ini seolaholah pihak lakilaki tidak mampu membayar mahar atau teniron sehingga tidak dapat mengambil seorang perempuan masuk ke dalam lingkungannya (Melalatoa, 1982:82). Oleh sebab itu, setelah menikah, sepasang pengantin tersebut akan tinggal dalam pihak keluarga perempuan (uxorilokal) karena pihak lakilaki tidak mampu “membeli” perempuannya. Dengan kata lain, dalam sistem perkawinan angkap ini lakilaki “menjual” dirinya kepada pihak perempuan dengan cara menyerahkan dirinya kepada keluarga perempuan.
“… enggak ada lagi mungkin sapinya, kerbaunya. Enggak bisa bayar. Diangkapkannya dia. Enggak dikasih pigi (pergi) anak perempuan itu tadi ke tempat yang lakilaki. Netap dia di situ (di lingkungan perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar.
Menurut Melalatoa (1982:82), banyak latar belakang yang menyebab kan terjadinya perkawinan dengan sistem angkap, di antaranya (1) kadang
kadang karena pihak keluarga perempuan hanya mempunyai anak tunggal perempuan, oleh karena itu orang tuanya sangat berat melepaskan anak tunggalnya itu dari lingkungannya, (2) ada pula seorang perjaka yang orang tuanya tidak mampu memenuhi mahar dan teniron dari pihak perempuan, (3) ada lagi kenyataan seorang gadis itu memang tidak ada orang yang melamarnya sehingga harus diambil lakilaki pendatang yang memang mencari induk semang di rantau orang (Djauhari, 1973:4042 dalam Melalatoa, 1982:82), dan (4) ada pula seorang perjaka yang memang senang dengan status angkap ini, justru orang tua yang mempunyai anak tunggal ini adalah orang memiliki harta kekayaan dan terpandang.
Selain jenis perkawinan berdasarkan status pengantin yang berkaitan dengan unyuk (maskawin), ada juga jenis perkawinan berdasarkan cara lakilaki mempersunting pengantin perempuan. Seorang lakilaki dapat mempersunting seorang perempuan pujaan hatinya dengan dua cara, yaitu (1) dengan cara “baikbaik” menghadap keluarga perempuan untuk “meminta” anak perempuannya untuk menjadi istrinya, dan (2) dengan cara “belakang”, yaitu langsung mengajak perempuan ke rumah penghulu, imam, geuchik, atau tokoh masyarakat setempat untuk menikah tanpa meminta “izin” dari keluarga perempuan. Cara pertama tersebut dalam masyarakat Gayo disebut kerje bejejeroh dan cara kedua disebut kerje naik atau kawin lari.
Kerje bejejeroh melewati proses yang panjang, dimulai dari lamaran kepada keluarga perempuan sampai terjadi kesepakatan antara pihak lakilaki dan pihak perempuan. Pada saat lamaran, keluarga lakilaki datang ke rumah keluarga perempuan untuk menanyakan kesediaan dan kesepakatan mengenai unyuk. Apabila disepakati, selanjutnya akan dilihat kecocokan antara calon pengantin perempuan dan lakilaki oleh orang tua. Apabila sudah ditemukan kecocokan antara keduanya, akan ditentukan “hari baik” oleh orang tua untuk melangsungkan pernikahan.
Berbeda dengan kerje bejejeroh yang melewati proses lamaran, dalam kerje naik tidak ada proses lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kerje naik terjadi karena sama-sama suka, namun mendapat hambatan dari salah satu atau kedua keluarga, sehingga lakilaki mengajak perempuan pergi ke rumah imam, geuchik, atau tokoh masyarakat setempat untuk menikah. Cara ini juga terkadang dimanfaatkan lakilaki untuk “memaksa” perempuan pujaan hatinya untuk menikah, misalnya dengan sengaja dia mengajak perempuan pujaannya
seorang pemuda mengajak seorang perempuan ke rumah imam atau tokoh masyarakat setempat, biasanya si pemuda bermaksud menikahi perempuan tersebut tanpa izin dari pihak keluarga perempuan terlebih dulu. Apabila hal ini terjadi dan perempuan tersebut menolak untuk dinikahkan, nama baik perempuan tersebut sudah tidak ada lagi karena dianggap telah melakukan hubungan suami istri. Dalam masyarakat Desa Tetingi, sistem perkawinan kerje naik sering terjadi di Desa Tetingi karena dianggap lebih murah dan lebih mudah, tidak harus melalui proses yang panjang seperti pinangan dan pertunangan.
“… kawin lari itu cepat prosesnya. Enggak ada acara pinang meminang, tunangan. Kalau kawin biasa (bejejeroh) kan lama, ada pinangan, tunangan. Itu kan perlu banyak biaya. Kalau kawin lari kan murah. Sekarang itu udah banyak yang kawin lari. Udah biasa. Sekarang itu udah enggak sekuno dulu lagi …,” jelas Inen Je yang merupakan pendatang dari desa tetangga.
Kepada setiap pasangan yang melakukan kerje naik akan diajukan pertanyaan “Apakah sudah melakukan hubungan suami istri atau belum”. Apabila mereka tidak mau mengaku bahwa mereka sudah melakukan hubungan suami istri, mereka akan ditakuttakuti dengan pisau atau dengan katakata yang bernada “ancaman”, seperti mereka tidak boleh masuk rumah dan makanan yang mereka masak hukumnya haram. Apabila ada sepasang calon pengantin yang melakukan kerje naik mengaku bahwa mereka sudah melakukan hubungan seks sebelum menikah, dia akan dimandikan dengan menggunakan tanah merah dan mungkur (jeruk purut) sebelum dinikahkan. Orang yang memandikan mereka adalah orang yang bisa membacakan doa sebelum dimandikan, seperti bidan kampung atau dukun kampung lainnya.
Tanah merah yang digunakan untuk mandi sebanyak dua genggam orang dewasa. Setelah dimandikan dengan tanah merah tersebut, kemudian dua sejoli tersebut akan disiram dengan air. Setelah tanah merahnya hilang dari tubuhnya, kemudian akan dimandikan lagi dengan jeruk purut sebanyak tiga buah. Apabila dua sejoli tersebut sudah di mandikan, mereka sudah dianggap suci dan makanan yang mereka ma sak pun sudah halal untuk dimakan. Namun, jika dua sejoli tersebut belum dimandikan dengan tanah merah dan jeruk purut, mereka tidak boleh masuk rumah karena tubuhnya dianggap najis (kotor). Selain itu, makanan yang mereka masak pun tidak boleh atau haram untuk dimakan.
Pernikahan mereka pun dianggap tidak sempurna dan tidak sah.
“…sebelum diresmikan dia ditanya dulu, masih suci enggak. Bagaimana kalian sudah suka, betulbetul mau kawin sama dia. Bagaimana kalian sudah melalui batas. Kalau enggak, bisa masak. Kalo udah melewati batas, enggak bisa masak, kalian harus dimandikan dulu, disucikan dulu baru bisa masak. Ditaruh di dalam baskom, ditaruh tanah, air dikasih jeruk purut (hanya dipotong). Ada doa, cuma syarat aja …,” jelas seorang imam di Desa Tetingi.
“…kalau nggak dimandikan, nggak sempurna nikahnya ya. Sama dengan nikah sama anjing …,” jelas Empun (nenek) Ar.
Setelah dinikahkan, kedua mempelai tersebut akan tinggal bersama keluarga perempuan (uxorilokal) atau keluarga lakilaki (virilokal) sesuai dengan unyuk yang dibayarkan. Apabila dalam kerje naik ini, pihak laki-laki membayar unyuk kepada pihak perempuan sesuai dengan permin taan, kedua mempelai tersebut akan tinggal di lingkungan lakilaki (virilokal). Namun apabila pihak lakilaki tidak membayar unyuk kepada keluarga perempuan, kedua mempelai akan tinggal di lingkungan perem puan (uxorilokal). Besarnya unyuk yang dibayarkan tersebut dapat mem pengaruhi peran keluarga besar dalam keluarga inti, termasuk pada masa kehamilan dan pengambilan keputusan dalam persalinan.