BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENYAKIT GINJAL KRONIK
2.1.1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik 16
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, yang umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana akan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Kriteria PGK dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi >3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
a. kelainan patologis
b. terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,atau kelainan dalam tes pencitraan
2. LFG <60ml/mnt/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Sumber : Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. 16
2.1.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik 16
PGK diklasifikasikan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x berat badan *) 72 x kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan
(ml/mnt/1,73m2) LFG
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialysis
Sumber : Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. 16
2.1.3. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik 16 Penatalaksanaan PGK meliputi:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
f. Terapi pengganti ginjal
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) diperlukan pada penderita PGK stadium terminal, ketika LFG <15 ml/mnt/1,73m2, dimana ginjal tidak dapat mengkompensasi kebutuhan tubuh untuk mengeluarkan zat-zat sisa hasil metabolisme yang dikeluarkan melalui pembuangan urin, mengatur keseimbangan asam-basa dan keseimbangan cairan serta menjaga kestabilan lingkungan dalam.17
pengganti ginjal yang tersedia saat ini ada 2 pilihan: dialisis dan transplantasi ginjal. Ada 2 metode dialisis yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis.16
2.2 CAIRAN TUBUH
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Kandungan rata-rata ialah sekitar 60 % dari berat badan untuk laki-laki yang berusia antara 17-40 tahun, dan 51 % untuk perempuan pada rentang usia yang sama. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk ( obes ) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk.18
2.2.1. Kompartemen Cairan Tubuh
Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen yaitu ekstraseluler dan cairan intrasel. Cairan ekstrasel dibagi lagi menjadi plasma dan cairan interstitial.
Gambar. 2.1. Cairan total tubuh dengan kompartemen intrasel dan ekstrasel
Sumber : Dikutip dari Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan
Elektrolit. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.3 Tabel 2.3. Volume cairan kompartemen tubuh
Jenis Cairan % dari BB Volume untuk BB 70 kg (L)
Cairan tubuh total 60 42
Cairan tubuh intraseluler 40 28
Cairan ekstraseluler 20 14
- Plasma 4 2,8
- Cairan interstisial 16 11,2
Sumber : Dikutip dari Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.3 2.2.2 Gangguan Keseimbangan Cairan Tubuh
osmolalitas atau oleh tekanan osmotik. Osmolalitas adalah perbandingan antara jumlah solut dan air. Solut-solut yang mempengaruhi osmolalitas dalam tubuh adalah natrium, kalium, glukosa dan urea. Makin tinggi osmolalitas maka makin tinggi tekanan osmotik.18
Tabel 2.4. Masuk dan keluarnya Air
Masuk Keluar
Minuman 800 – 1.500 Urin 800 – 1.500
Air Makanan 745 - 725 Tinja 125
Air Oksidasi 250 Kehilangan tidak disadari
Kulit
Paru
Keringat
Masuk Total 1525-2475 Keluar Total 1525-2475
Pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg, dalam lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang sedang dan tanpa kerja fisik yang berlebihan. Harga dalam satuan ml/24 jam
Sumber : Dikutip dari Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.3
Ada beberapa keadaan yang dapat kita temukan dalam hal gangguan keseimbangan air antara lain : hipovolemia, dehidrasi, hipervolemia, dan edema.3 a. Hipovolemia 3,18
Hipovolemia adalah berkurangnya cairan ekstrasel dimana air dan natrium berkurang dalam jumlah yang sebanding. Hipovolemia dapat terjadi pada kehilangan air dan natrium melalui saluran cerna seperti muntah, diare, perdarahan atau melalui pipa sonde. Dapat juga melalui ginjal antara lain penggunaan diuretik, diuresis osmotik, salt-loosing nephropathy, hiperaldosteronisme, melalui kulit dan saluran nafas seperti insensible water losses, keringat, luka bakar, atau juga melalui sekuesterasi cairan seperti pada ileus obstruksi, trauma, fraktur, dan pankreatitis akut.
b. Dehidrasi 3,18
Dehidrasi adalah keadaan dimana berkurangnya volume air tanpa elektrolit ( natrium ) atau berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel. Akibatnya terjadi peningkatan natrium padadalam ekstra sel sehingga cairan intrasel akan masuk ke ekstrasel ( volume cairan intrasel berkurang ). Dengan kata lain, dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan ekstrasel secara bersamaan dimana 40 % dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60 % berasal dari intrasel.
Pada keadaan dehidrasi, akan terjadi hipernatremia karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang hipotonik. Dehidrasi dapat terjadi pada keadaan keluarnya air melalui keringat, penguapan dari kulit, saluran intestinal, diabetes insipidus ( sentral dan nefrogenik ), diuresis osmotik, yang kesemuanya disertai oleh rasa haus dengan gangguan akses cairan. Dehidrasi dapat pula terjadi bila cairan ekstrasel masuk ke intrasel secara berlebihan pada kejang hebat atau setelah melakukan latihan berat,atau bila asupan cairan natrium hipertonik berlebihan. 3
c. Hipervolemia
melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan air melalui ginjal, saluran intestinal dan kulit. Keadaan ini lebih dipermudah dengan adanya gangguan pada otot jantung ( gagal jantung kongestif ) atau pada gangguan fungsi ginjal berat ( Penyakit Ginjal Kronik Stadium IV dan V atau pada Gagal Ginjal Akut oligurik ). 3
d. Edema 3,19
Edema adalah suatu pembengkakan yang dapat diraba akibat penambahan volume cairan interstitium.
Ada dua faktor penentu terhadap terjadinya edema, antara lain :
a. Perubahan hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan keluarnya cairan intravaskular ke dalam jaringan interstitium ( permeabilitas kapiler, tekanan hidrostatik, dan tekanan onkotik ).
b. Retensi natrium di ginjal
c. Retensi natrium dipengaruhi oleh : a). Aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron yang erat kaitannya dengan baroreseptor di arteri aferen glomerulus ginjal
d. Aktivitas saraf simpatis, ADH yang erat kaitannya dengan baroreseptor di sinus karotikus
e. Osmoreseptor di hipotalamus
Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah misalnya pada gagal jantung kongesti, sirosis hati, sindrom nefrotik, gagal ginjal, jumlah total natrium tubuh kan meningkat oleh karena adanya retensi natrium ginjal akibat peningkatan system renin-angiotensin-aldosteron. Akibat semua ini terjadi penimbunanan air pada interstisium yang akan menimbulkan edema umum.
2.2.3 Perubahan Hemodinamika Cairan Pada Pasien dengan HD Reguler
Pada pasien dengan HD regular terjadi perubahan hemodinamik cairan dalam tubuh, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :20,21
akumulasi cairan dan elektrolit dalam tubuh. Hal ini menyebabkan peninggian volume cairan tubuh terutama volume ekstraseluler.
b. Malnutrisi oleh karena masukan protein dan kalori yang rendah dan peningkatan katabolisme protein akibat asidosis. Hal ini akan menyebabkan penurunan berat badan dimana terjadi penurunan lemak dan otot tubuh disertai dengan peninggian volume cairan tubuh terutama volume ekstraseluler.
c. Keadaan anemia yang menyebabkan dilatasi dan hipertropi jantung serta gagal jantung. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi ginjal yang menyebabkan retensi air dan garam.
Disamping itu selama sesi hemodialysis, dua mekanisme yaitu difusi dan ultrafiltrasi digunakan untuk menurunkan toksin uremik, penyesuaian elektrolit dalam darah dan pengeluaran cairan tubuh dari cairan intravaskular. Pengisian kembali volume intravaskular tergantung pada perpindahan cairan dari interstisium. Hal ini menyebabkan pada akhir hemodialysis terjadi keseimbangan cairan yang baru dalam tubuh. Penarikan cairan yang berlebihan akan menyebabkan hipovolemia dan penarikan yang kurang menyebabkan hipervolemia yang menyebabkan komplikasi sirkulasi selama dan setelah terapi hemodialysis. Hipovolemia akan menyebabkan hipotensi, pusing, kram otot, gangguan gastrointestinal, tinnitus dan kolaps sirkulasi yang dapat menyebabkan penghentian prosedur hemodialysis. Hipervolemia akan menyebabkan hipertensi, edema pulmonum, yang meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawat daruratan hemodialisis, dan meningkatkan resiko dilatasi dan hipertropi jantung, yang akhirnya meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien hemodialisis. Berdasarkan hal tersebut diatas dibutuhkan penilaian status volume cairan tubuh dan penentuan berat badan kering pasien yang merupakan komponen kunci utama dalam evaluasi dan penatalaksanaan pasien hemodialisis regular.5,6,21
karena adanya perubahan-perubahan yang bersifat sementara pada pasien misalnya perubahan jumlah lemak dalam tubuh ataupun perubahan status nutrisi yang mempengaruhi berat badan. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan alat bantu yang dapat menentukan berat badan kering pasien secara kuantitatif. 6,21
2.2.4. Metode Pengukuran Volume Cairan Tubuh
Metode pengukuran volume cairan tubuh dapat dilakukan secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung mempunyai ketepatan/akurasi 100 % yang dilakukan pada post mortem. Metode pengukuran ini disebut body dissection.
Pengukuran secara tidak langsung volume cairan tubuh terbatas hanya memperkirakan persentase dari volume cairan tubuh dan juga komponen-komponen tubuh yang lain. Beberapa metode pengukuran yang ada antara lain adalah : Hydrostatic weighing/ Under water weighting, Dual Energy X-Ray Absorptiometry ( DEXA ), Bod Pod Air Displacement, Near Infrared Interactance
( NIR ), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Total Body Electrical Conductivity
( TOBEC ), Total Body Water ( TBW ), Total Body Potassium ( TBK ), dan
Bioelectrical Impedance Analysis ( BIA ). Dari semua metode pengukuran tersebut diatas BIA mempunyai kelebihan yaitu, dapat dilakukan dengan cepat, biaya murah, dan akurasi mendekati nilai yang sebenarnya.22,23
2.3. HEMOPERFUSI
hemopilter, Chang memperkenalkan proses mikroenkapsulasi di mana partikel-partikel sorben dilapisi dengan polimer membran, seperti albumin-collodion. 24
Hemoperfusi dilakukan dengan syarat sebagai berikut: artificial hemoperfusi memiliki perangkat inlet dan outlet untuk saluran darah, akses vaskular pada pasien, pompa darah yang cukup untuk mempertahankan kecepatan aliran darah 200-300 ml/menit, pengukur untuk mendeteksi tekanan arteri dan vena, pompa heparin terus-menerus untuk menghindari terjadinya pembekuan darah. 24
Gambar 2.2. Gambar ekstrakorporeal hemoperfusi
Sumber : Dikutip dari Winchester JF, Replacement of Renal Function by
Dialysis24
2.3.1. Indikasi dilakukan hemoperfusi
Beberapa indikasi hemoperfusi seperti24 :
1. Intoksikasi klinis yang menyebabkan kerusakan progresif.
2. Intoksikasi berat dengan depresi fungsi otak tengah mengarah ke hipoventilasi , hipotermia , atau hipotensi .
3. Koma akibat dari pneumonia atau septikemia atau adanya kondisi yang mendasari predisposisi komplikasi tersebut ( misalnya , penyakit paru obstruktif kronik ) .
4. Eliminasi obat-obatan
Selain kriteria tersebut, hemoperfusi harus dipertimbangkan dalam pengelolaan pasien dengan keracunan obat-obatan seperti berikut :
barbiturat short acting dan menengah > 200 / lmolll ( 50/lglml ) glutethimide dan methaqualone > 160 / lmolll ( 40 / lglml ) salisilat > 5 mmolll ( 800 / lglml )
etklorvinol > 1 mmolll ( 150 / lglml ) meprobamate > 460 / lmolll ( 100 / lglml ) trichloroethanol > 335 / lmolll ( 50/lglml ) paraquat > 0,5 / lmolll ( 0,1 / lglml )
Tabel 2.5. Obat yang dapat dibuang oleh sorben hemoperfusi
Barbiturat Solvents/gases
Amobarbital carbon tetrachloride
Butabarbital ethylene oxide
Heptabarbital Cardiovascular agents
Hexobarbital Digoxin
pentobarbital β-methyl-digoxin
Quinalbital Digitoxin
Secobarbital Methylproscillarin
Thiopental N-acetylprocainamide
Vinalbital Procainamide
Nonbarbiturate hypnotics, sedatives, tranquilizers
Alcohols
Bromisovalum Ethyl-alcohol
carbamazeline Methyl-alcohol
carbromal Analgesics
chlorpromazine Acetyl salicylic acid
chloral hydrate methyl salicylate
Diazepam Acetaminophen
Ethchlorvynol Phenylbutazone
glutethimide Antimicrobials/anticancer agents
meprobamate Adnamycin
methaqualone Ampicillin
methypryion Cephalothin
promazine Chloroquine
promethazine Clindamycin
Antidepressants Erythromycin
amitriptiline Gentamicin
clomipramine Isoniazid
desipramine Methotrexate
nortriptyline Penicillin
Plant/animal toxins
Miscellaneous
herbicides/insecticides Caffeine
amanita phalloides Camphor
amanitin Phencyclidine
chlorinated insecticides Phenformin
demeton-s-methyl sulfoxide Theophylline
dimethoate
methyl-parathion
nitrostigmine
paraoxon
parathion
paraquat
phenol
phallaoidin
polychlorinated biphenyls
Sumber : Dikutip dari Winchester JF, Replacement of Renal Function by Dialysis 24
2.3.2. Sorbent Hemoperfusi
Sorben yang digunakan dalam perangkat hemopilter adalah karbon (arang), atau resin ion atau resin non-ion. Sorben tersedia dalam berbagai bentuk dan umumnya berbentuk granular dilapisi dengan albumin selulosa nitrat (collodion) polimer atau dengan hydrogel akrilik polimer. Pelapis lain adalah selulosa asetat, atau dengan hidrogel metakrila.24
sebagai berikut; micropores (a radius ofless dari 20 A) yang pada pokoknya menentukan efisiensi adsorpsi, pori-pori transisi (radius 20 sampai 500 A) dan pori-pori makro (radius sama dengan atau lebih besar dari 500 A). Untuk penggunaan medis hemofilter harus memiliki kualitas berikut: bebas dari 'microparticulate', mudah di cuci, tahan gesekan, kapasitas serap tinggi, morfologi permukaan halus, mikropartikel rendah , tanpa ion beracun, tinggi kompatibilitas darah , dan sterilisasi mudah, toksisitas rendah dan pirogenitas rendah 24.
Gambar 2.3. Contoh gambar dialyzer hemoperfusi
Sumber : Dikutip dari Winchester JF, Replacement of Renal Function by Dialysis 24
2.3.3. Spektrum zat terlarut adsorbed dan efek dari lapisan sorben
Spektrum zat terlarut yang diserap oleh karbon aktif dan khususnya molekul-molekul racun uremik ditunjukkan pada Tabel 2.6. 24.
Tabel 2.6. Toksin uremia putative yang di hapus oleh sorbent (dengan batas berat
molekul 60 sampai 21.500).24
Adrenocorticotrophin Myoinositol
Aldosterone non-protein nitrogen
amino acids nor-epinephrine
Calcium oeganic acids
25,OH-cholecalciferol Oxalate
Creatinine parathyroid hormone
Epinephrine Phosphate
folic acid polyamino acids
Gastrin Renin
Glucagon Ribonuclease
Glucose Serotonin
growth hormone Thyroxine
Guanidine trace metals; As, Co.
Indoles Cr, Se
Insulin Triglycerides
L-dopamine Triiodothyronine
Magnesium Urea
middle molecule peaks uric acid
vitamin B12
Sumber : Dikutip dari Winchester JF, Replacement of Renal Function by Dialysis 24
2.3.4. Manfaat klinis dalam pengobatan stadium akhir penyakit ginjal
Manfaat klinis hemoperfusi berhubungan dengan spektrum absorsi arang dan perbaikan dalam gejala-gejala uremik. (Yatzidis). Hal ini menunjukkan bahwa hemoperfusi mungkin memiliki peran dalam pengobatan uremia. Hemoperfusi tidak menyebabkan ultrafiltrasi, perpindahan cairan dan proses dialisis. Hemofiltrasi hanya mengabsorsi molekul racun melalui permukaan adsorben. Sehingga sangat mungkin mengabungkan hemodialisis dangan hemofiltrasi untuk mencapai tujuan efisiensi dan kapasitas pembersihan darah yang lebih besar. 24
2.3.5. Kombinasi hemoperfusi dengan hemodialisis pada pasien penyakit
ginjal kronik dengan hemodialisis
menunjukkan tingkat pembersihan racun molekul uremik menengah dan besar, tingkat efektifitasnya jika diurutkan sebagai berikut : Hemodialisis (HD) + hemoperfusion ( HP ) > HP > bio-artificial kidney > hemodiafiltration ( HDF ) > hemofiltration ( HF ) > HD 14.
Pada beberapa penelitian jangka pendek (kurang dari 3 bulan), kombinasi hemodialiasis dan hemoperfusi arang meningkatkan bersihan rata-rata dari
creatinine, urate dan molekul sedang. Analisis total dari solute yang dibuang, menunjukkan jumlah total solute yang dibuang dalam 2 jam pada kombinasi hemodialisis dan hemoperfusi lebih banyak bila dibandingkan dengan hanya dengan dialisis selama 5 jam. Pada analisis berikutnya Gerfald dan Winchester menunjukkan molekul kecil seperti urea, asam urat, guanidine, dan fenol dengan tidak dapat dibersihkan oleh hemoperfusi sendiri, dan harus dikombinasi dengan hemodialisis untuk efisiensi yang lebih besar (Chen et al, 2011).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Chen dan kawan-kawan terhadap 100 pasien yang menjalani hemodialisis reguler, yang dibagi ke dalam 2 sub grup dimana sub grup pertama pasien hanya dengan hemodialisis dan subgrup kedua pasien dengan hemodialisis dikombinasikan dengan hemoperfusi. Pengamatan pasien dilakukan selama 2 tahun, dinilai primary end point berupa kematian dan
secondary end point berupa leptin, high sensitive C-reactive protein (hsCRP), interleukin-6 (IL-6), β2 microglobulin (β2-MG), immunoreactive parathyroid
hormone (iPTH), tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan SF-36. Penelitian ini mendapatkan kombinasi hemodialisis dengan hemoperfusi lebih superior daripada hemodialisis sendiri dimana kombinasi tersebut secara reguler mampu mengeliminasi toksin uremia dengan berat molekul menengah ( middle molecule)
dan berat molekul besar ( large moleclule ) secara lebih baik.
dapat dibersihkan oleh hemoperfusi sendiri, dan harus dikombinasi dengan hemodialisis untuk efisiensi yang lebih besar 24.
Penelitian-penelitian jangka panjang menunjukan bahwa kombinasi hemoperfusi dengan hemodialisis dapat memperbaiki kecepatan konduksi saraf, perbaikan elektromiogram, pruritus dan perikarditis. Stefoni dan kawan-kawan serta chang dan kawan-kawan dari penelitian yang mereka lakukan, kombinasi hemodialisis dan hemoperfusi dapat mengurangi waktu dialisis tanpa menghasilkan efek samping. Penelitian yang lain yang telah mengkombinasikan hemodialisis dan hemoperfusi secara sukses mengurangi frekuensi hemodialisis pada pasien dengan gangguan akses veskular. Capodicasa dan kawan-kawan menjelaskan bahwa kombinasi hemodialisis dan hemoperfusi memberikan out come yang baik sehingga secara ekonomi mengurangi biaya. 14
Gambar2. 4. Skema kombinasi hemodialisis dan hemoperfusi.
Sumber : Dikutip dari Winchester JF, Replacement of Renal Function by Dialysis 24
Tabel 2.7. Penelitian-penelitian pendek sebelumnya tentang kombinasi HD/HP 24
Fisher albumin
UA(↓68%) Platelets variable Ota
Suteliffe-Tabel 2.8. Penelitian-penelitian panjang sebelumnya tentang kombinasi HD/HP24
UA(↓62%) Headache, pyrexia, Disequilibrium Platelets rose
dia lyzer. Dia lyzer mengandung ribuan serat sintetis yang berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam lubang serat sementara dialisat mengalir diluar serat, sedangkan dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel tempat terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik melintasi membran dialyzer
dengan cara menerapkan tekanan negatif kedalam kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut berpindah dari darah kedalam cairan dialisat untuk selanjutnya dibuang 17.
Proses hemodialisis pada umumnya tidak bisa membersihkan molekul racun uremik menengah dan besar dan racun yang terikat protein, akibatnya muncul penumpukan racun uremia molekul sedang dan besar.
Gambar 2.5. Proses hemodialysis
Sumber : Dikutip dari Suhajono dan Susalit E, Buku ajar ilmu penyakit dalam Jiid I17
2.5 BIOELECTRICAL IMPEDANCE ANALYSIS
unit hemodialisis. BIA menganalisa komposisi cairan tubuh secara tidak langsung dengan mencatat perubahan impedance arus listrik segmen tubuh.23
Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh merupakan konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasel dan intrasel berfungsi sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam serta dengan konsentrasi, mobilitas dan temperatur medium. Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk 23,27.
Gambar 2.6. Arus listrik yang dipengaruhi panjang dan tebal jaringan
Sumber : Shumei S, et al. Epidemioogical Application of Body Composition. Annals New York Ac. Of Science 23
Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam BIA yaitu impedance, resistance (R) dan capacitance (Xc). Impedance adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kombinasi dari resistance dan capacitance. Resistance
Impedance total adalah kombinasi dari reistance dan reactance sepanjang jaringan. Resistance dan capacitance dapat diukur dengan berbagai tingkat frekuensi. Pada frekuensi nol gelombang tidak dapat menembus membrane sel yang berfungsi sebagai insulator, dan karenanya gelombang hanya melewati cairan ekstraselular, sedangkan frekuensi tinggi gelombang dapat menembus membrane sel yang menjadi kapasitor sempurna, dan karenanya gelombang melewati cairan intraselular dan ekstraselular. Dengan frekuensi 50 kHZ, gelombang melewati baik cairan intraselular dan ekstraselular, meskipun proporsinya berbeda dari jaringan ke jaringan. 23,27,28
Hubungan antara resistance dan capacitance merefleksikan perbedaan elektrik dari jaringan yang dipengaruhi oleh berbagai penyakit, status nutrisi dan status volume cairan tubuh. Pengukuran dari hubungan ini merefleksikan volume cairan tubuh ( Total Body Water ( TBW ), Extra Celluler Water ( ECW ) dan Intra Celluler Water ( ICW ) dan status nutrisis tubuh ( Body Cell Mass = BCM ), Fat Free Mass ( FFM )< dan Fat Mass ( FM ). 23,27,28
Elektroda BIA umumnya di tempelkan pada permukaan tangan dan kaki, pengukuran dilakukan pada temperatur ruangan normal dimana pasien tidak merasa kedinginan atau kepanasan. Pengukuran tidak boleh dilakukan segera setelah makan, minum dan olahraga. Pengukuran biasanya dilakukan 10 menit sebelum HD atau 10 menit setelah HD. 28,12
Sumber :Dikutip dari GRAF Maltron Bioscan 916 interpretation manual. 200512 Dalam penatalaksanaan pasien –pasien heodialisis regular, aplikasi klinis pemakaian BIA mencakup :
1. Menentukan status volume cairan tubuh
Salah satu tujuan terapi hemodialysis adalah mencapai dan mempertahankan keadaan euvolemik yang disebut sebagai berat badan kering. Pengeluaran cairan yang inadekuat dapat menyebabkan hipertensi, sesak nafas, edema dan edema pulmonum, pengeluaran cairan yang berlebihan akan menyebabkan hipotensi, kram otot dan muntah-muntah. Pengukuran langsung Total Body Water (TBW) dan kompartemennya dapat membantu secara kwantitatif dalam menentukan status volume cairan tubuh.1
2. Memahami mekanisme perubahan fisiologik dan hemodinamik selama sesi hemodialisis
Dengan adanya perbedaan volume cairan antar kompartemen, BIA dapat digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi perpindahan cairan antar kompartemen, mempelajari perubahan fisiologik cairan selama hemodialysis dan menentukan strategi untuk mendapatkan hemodialysis yang efektif dan dapat ditoleransi. 1
3. Monitoring adekuasi hemodialisis
4. Penentuan status nutrisional
Malnutrisi dan penurunan massa lemak tubuh ( FFM ) adalah faktor resiko signifikan dalam kenaikan angka mortalitas pasien yang menjalani hemodialisis. Penelitian belakangan ini menunjukkan konsentrasi serum albumin < 40 gr/L pada pasien hemodialisis berhubungan dengan peningkatan risiko kematian. Faktor – faktor yang menyebabkan malnutrisi adalah asupan yang kurang oeh karena anoreksia atau muntah, peningkatan katabolisme protein oleh karena hemodialisis inadekuat, asidosis metabolic dan kehilangan asam amino bebas selama hemodialisis. Pengukuran FFM dan Fat Mass oleh BIA dapat membantu mendeteksi kondisi malnutrisi pasien. 1