• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN HUTAN KOLABORATIF ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERUM PERHUTANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PENGELOLAAN HUTAN KOLABORATIF ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERUM PERHUTANI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat

CLARA CHRISTINA THERESIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

2

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN HUTAN KOLABORATIF

ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERUM PERHUTANI

Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Clara Christina Theresia E 14104045

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(3)

RINGKASAN

CLARA CHRISTINA THERESIA. Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Dibimbing Oleh DIDIK SUHARJITO dan HANDIAN PURWAWANGSA

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sebagai strategi pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai mitra pemerintah perlu terus dikembangkan dengan berbagai inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi lokal masyarakat setempat (Perum Perhutani, 2005). Keberhasilan program PHBM di Perum Perhutani dipengaruhi oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bersedia memelihara kelestarian hutan serta mampu berkolaborasi dengan Perum Perhutani. Fokus dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menggambarkan hubungan antara dinamika kelompok, kolaborasi antara masyarakat dengan Perum Perhutani dan partisipasi LMDH dalam kegiatan pengelolaan hutan.

Penelitian ini dilaksanakan di tiga lokasi yaitu LMDH Cibanyuhurip di Desa Cimara RPH Cimara, LMDH Tani Mukti di Desa Sumurwiru RPH Cibeureum BKPH Cibingbin KPH Kuningan dan LMDH Mahoni Jaya di Desa Sukamulya RPH Sukajaya BKPH Cibenda KPH Majalengka pada bulan Mei 2008. Penelitian ini menggunakan metode survai melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan kuisioner. Data dan informasi disajikan dalam bentuk tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi LMDH Cibanyuhurip, LMDH Tani Mukti, dan LMDH Mahoni Jaya belum sepenuhnya dinamis. Hal ini terlihat dari tujuan kelompok telah jelas tentang tujuan pembentukan ketiga LMDH dalam program PHBM. Struktur kepengurusan ketiga LMDH sudah jelas namun masih perlu dikembangkan agar kelompok dapat berjalan lebih efektif. Hal ini terlihat dari banyaknya manfaat yang diperoleh dari keberadaan LMDH.

Kolaborasi antara Perum Perhutani dengan LMDH Cibanyuhurip, LMDH Tani Mukti dan LMDH Mahoni Jaya masih perlu dibangun. Terlihat dari faktor tujuan bersama antara LMDH Cibanyuhurip, LMDH Tani Mukti dan LMDH Mahoni Jaya mulai dipahami dengan jelas. Telah terbangun kepercayaan (Trust) antara pihak yang terlibat. Setiap pihak juga telah mengerti mengenai pembagian peran dan tanggung jawab. Kapasitas masing-masing pihak dinilai sudah dapat menunjang dalam pelaksanaan kegiatan PHBM. Ketiga LMDH telah merasakan manfaat dan hasil dari LMDH. Pentingnya resiko sudah dipahami bahwa sudah terpenuhinya dana, pekerja, peralatan dan waktu dalam proses kolaborasi.

Tingkat partisipasi LMDH Cibanyuhurip, LMDH Tani Mukti dan LMDH Mahoni Jaya dalam tahap perencanaan termasuk dalam kategori sedang, dalam tahap pelaksanaan berada dalam kategori tinggi, dalam tahap pemanfaatan hasil berada dalam kategori tinggi, dalam tahap monitoring dan evaluasi berada dalam kategori sedang.

(4)

4

SUMMARY

CLARA CHRISTINA THERESIA. Effectivity of Collaborative Forest Management Between Local Community and Perum Perhutani Cases CBFM at Forest District Kuningan and Forest District Majalengka Perum Perhutani Unit III West Java. Under Supervision of DIDIK SUHARJITO and HANDIAN PURWAWANGSA

The Community Based Forest Management (CBFM) as a strategic management that positions the communities as the government’s partners always need to be developed by innovating technology to accommodate the local communities conditions (Perum Perhutani, 2005). The success of CBFM in Perum Perhutani is influenced by the Rural Forest Community Organization (RFCO) which is willing to keep the forest maintenance and be able to collaborate with Perum Perhutani. This research focuses on explaining and describing the dynamic of communities, the collaborative between local community and Perum Perhutani, and the participation of RFCO in its forest management activity.

There are three research locations, they are RFCO Cibanyuhurip at Desa Cimara of Forest Resort Cimara, RFCO Tani Mukti at Desa Sumurwiru Forest Resort Cibeureum which are located in Subdistrict Cibingbin Forest District Kuningan and RFCO Mahoni Jaya at Desa Sukamulya of Forest Resort Sukajaya is located in Subdistrict Cibenda Forest District Majalengka. The research was held on May 2008. This research uses survey method by interviewing respondent using questionnaire. The data and information are formatted in the form of tabulation and explained descriptively.

According to the results of the research, the condition of RFCO Cibanyuhurip, RFCO Tani Mukti, and RFCO Mahoni Jaya are not dynamic yet. RFCO have clear aims and structure in its organization but need to be built up in order to developed more effectively. It can be viewed by the benefits that the members can get from RFCO.

The collaboration among Perum Perhutani with RFCO Cibanyuhurip, RFCO Tani Mukti and RFCO Mahoni Jaya need to be developed. It can be seen by multiple purposes factor among RFCO Cibanyuhurip, RFCO Tani Mukti and RFCO Mahoni Jaya that are clearly understood. Trust factor between each stakeholders have been built up. Everyone in the collaboration project has known about their roles and resposibilities. People’s capacity involved in the collaboration project can support CBFM activity. RFCO Cibanyuhurip, RFCO Tani Mukti and RFCO Mahoni Jaya members get many benefits from this organization. Risks has known that collaborative organization has adequate funds, staff, materials and time.

The level of participating of RFCO Cibanyuhurip, RFCO Tani Mukti and RFCO Mahoni Jaya on planning activity belogs to medium category, on actuating activity belongs to high category, on output using activity belongs to high category, on monitoring and evaluation activities belong to medium category. Keyword: collaborative

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Clara Christina Theresia NRP E14104045

(6)

6

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Nama : Clara Christina Theresia

NRP : E14104045

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Handian Purwawangsa, S.Hut. M,Si NIP. 132 104 680 NIP. 132 312 045

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788

(7)

KATA PENGANTAR

Maka jiwaku pun memuji-Mu

Sungguh besar Kau Allahku…

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas curahan kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2008 adalah Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini, antara lain kepada:

1. Papa, mama dan dede tercinta atas doa, semangat, perhatian, masukan, kesabaran serta kasih sayangnya.

2. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku dosen pembimbing I dan Handian Purwawangsa, S.Hut. MSi selaku dosen pembimbing II.

3. Prof. Dr. Ir. Elias selaku dosen penguji dari Departemen THH dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen KSH

4. Yohanes Aditya Wijaya dan Kel. Bpk. Supraptono W atas doa serta perhatiannya.

5. Keluarga Besar KPH Kuningan; Bpk Bambang SHP, Bpk Ahmad Faozan, Bpk Rudi H dan kel, Bpk Juju dan kel, Bpk Dudung serta Bpk Yamin.

6. Keluarga Besar KPH Majalengka; Ibu Rohilawati, Bpk Asep W, Bpk Budi, Bpk Eutik, Bpk Nendrik dan kel serta Ibu Nunung dan kel.

7. Pengurus dan anggota LMDH Cibanyuhurip, LMDH Tani Mukti dan LMDH Mahoni Jaya

8. Rekan-rekan Manajemen Hutan 41, Komisi Kesenian (KomKes 41) PMK dan Guru-guru Sekolah Minggu GKI Pengadilan Bogor

Serta pihak lain yang telah membantu dalam pembuatan dan penyelesaian penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008 Penulis

(8)

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau pada tanggal 2 November 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Marthinus Yohanes Djalimoen dan Lisbeth Arthaully Matondang.

Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Budi Mulia Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai panitia Seminar Planologi Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2006, panitia Temu Manajer (TM) Departemen Manajemen Hutan tahun 2007, staf Departemen Informasi dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB tahun 2006-2007. Selain itu penulis juga mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) Getas jalur Baturraden-Cilacap dan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dibimbing oleh Dr. Ir. Didik Suharjito, MS dan Handian Purwawangsa, S.Hut, M,Si.

(9)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ... 4

2.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan ... 5

2.3 Dinamika Kelompok ... 5

2.4 Kolaborasi dalam Pengelolaan Hutan. ... 7

2.5 Partisipasi Masyarakat... 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran... 15

3.2 Definisi Operasional... 17

3.2.1 Aspek-aspek Dinamika Kelompok... 17

3.2.2 Kolaborasi antara Perum Perhutani dengan LMDH... 17

3.2.3 Partisipasi LMDH dalam Program PHBM ... 19

3.3 Metode Penelitian... 19

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.5 Jenis Data... 20

3.6 Metode Pengumpulan Data... 20

3.7 Metode dan Pengolahan dan Analisis Data ... 20

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kesatuan Pemangku Hutan Kuningan dan Majalengka ... 21

(10)

2

4.1.2 Pembagian Wilayah dan Topografi ... 23

4.1.3 Iklim dan Tanah... 25

4.1.4 Sosial dan Ekonomi Masyarakat. ... 25

4.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan. ... 27

4.2.1 Sejarah LMDH Cibanyuhurip ... 27

4.2.2 Kegiatan LMDH Cibanyuhurip... 29

4.2.3 Sejarah LMDH Tani Mukti. ... 30

4.2.4 Kegiatan LMDH Tani Mukti... 31

4.2.5 Sejarah LMDH Mahoni Jaya... 32

4.2.6 Kegiatan LMDH Mahoni Jaya. ... 34

4.3 Karakteristik Keanggotaan. ... 36

4.3.1 Umur. ... 36

4.3.2 Tingkat Pendidikan... 37

4.3.3 Luas Lahan Andil. ... 38

4.3.4 Tingkat Kekosmopolitan... 39

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Dinamika Kelompok ... 41

5.1.1 Tujuan Kelompok ... 41

5.1.2 Struktur Kelompok ... 42

5.1.3 Efektivitas Kelompok ... 43

5.2 Kolaborasi antara Perum Perhutani dengan Masyarakat... 44

5.2.1 Faktor Tujuan Bersama... 44

5.2.2 Faktor Percaya (Trust). ... 48

5.2.3 Faktor Pembagian Peran dan Tanggung Jawab... 53

5.2.4 Faktor Kapasitas Masing-masing Pihak... 58

5.2.5 Faktor Hasil dari PHBM. ... 61

5.2.6 Faktor Pentingnya Resiko. ... 65

5.3 Partisipasi Masyarakat... 67

5.3.1 Partisipasi Tahap Perencanaan. ... 67

5.3.2 Partisipasi Tahap Pelaksanaan... 70

5.3.3 Partisipasi Tahap Pemanfaatan Hasil... 73

5.3.4 Partisipasi Tahap Monitoring dan Evaluasi. ... 79 ii

(11)

5.4 Efektivitas Kolaborasi Antara Masyarakat dan Perum Perhutani...80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 83

6.2 Saran... 84

DAFTAR PUSTAKA... 85

(12)

4

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Daftar Kepadatan Penduduk Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa

Sukamulya ... 26

2. Daftar Tingkat Pendidikan Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya ... 26

3. Daftar Mata Pencaharian Penduduk Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya ... 27

4. Distribusi Responden LMDH Berdasarkan Tingkat Umur... 36

5. Distribusi Responden LMDH Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 37

6. Distribusi Responden LMDH Berdasarkan Luas Lahan Andil... 38

7. Distribusi Responden LMDH Berdasarkan Tingkat Kekosmopolitan ... 39

8. Perolehan Skor Respoden Masyarakat dan Perum Perhutani terhadap Faktor Tujuan Bersama ... 45

9. Perolehan Skor Respoden Anggota LMDH terhadap Faktor Percaya (Trust)... 48

10. Perolehan Skor Respoden Anggota LMDH terhadap Faktor Pembagian Peran dan Tanggung Jawab... 53

11. Perolehan Skor Respoden Anggota LMDH terhadap Faktor Kapasitas Masing-masing Pihak... 58

12. Perolehan Skor Respoden Anggota LMDH terhadap Faktor Hasil dari PHBM... 61

13. Perolehan Skor Respoden Anggota LMDH terhadap Faktor Pentingnya Resiko... 65

14. Distribusi Respoden Anggota LMDH pada Tahap Perencanaan PHBM.. 67

15. Distribusi Respoden Anggota LMDH pada Tahap Pelaksanaan PHBM .. 70

16. Kejadian Pencurian Kayu di KPH Kuningan ... 72

17. Kejadian Pencurian Kayu di KPH Majalengka ... 72

18. Distribusi Respoden Anggota LMDH pada Tahap Pemanfaatan hasil PHBM... 74

(13)

19. Rata-Rata Pendapatan Petani Responden di LMDH Cibanyuhurip,

LMDH Tani Mukti dan LMDH Mahoni Jaya ... 75 20. Realisasi Sharing Kayu KPH Kuningan dan KPH Majalengka ... 77 21. Distribusi Respoden Anggota LMDH pada Tahap Monitoring dan

Evaluasi PHBM ... 79 22. Efektivitas Kolaborasi Antara Masyarakat dan Perum Perhutani ... 82

(14)

6

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka pemikiran pelaksanaan pengelolaan hutan secara kolaboratif

antara perum perhutani dengan masyarakat ... 16

2. Kawasan LMDH Cibanyuhurip... 28

3. Kawasan LMDH Tani Mukti... 30

4. Kawasan LMDH Mahoni Jaya ... 33

5. Tanaman nilam ... 68

6a. Patok batas lahan andil di LMDH Tani Mukti ... 69

6b. Batas lahan andil di LMDH Mahoni Jaya ... 69

7. Tumpang sari tanaman nilam di LMDH Cibanyuhurip ... 75

8. Padi gogo yang ditanam di LMDH Mahoni Jaya ... 76

9. Kegiatan penyulingan di LMDH Tani Mukti... 76

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Gambar Peta BKPH Cibenda Majalengka ... 89

2. Gambar Peta BKPH Cibingbin Kuningan... 89

3. Gambar Gubug Kerja Anggota LMDH Mahoni Jaya... 90

4. Gambar Penyakit Buldok pada tanaman nilam ... 90

5. Gambar Anggota LMDH Cibanyuhurip sedang memanen nilam ... 90

6. Gambar Anggota LMDH Mahoni Jaya sedang memelihara tanaman tumpangsari ... 90

7. Gambar Masyarakat LMDH Cibanyuhurip sedang merencek ... 91

8. Gambar Syukuran sebelum penebangan di RPH Cibeureum... 91

9. Gambar Tanaman nilam sedang dijemur ... 91

10. Gambar Tabung uap tanaman nilam ... 91

11. Gambar Penyulingan nilam di LMDH Tani Mukti... 91

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam pengelolaan hutan, ada beberapa pihak yang terkait dan masing-masing mempunyai kepentingan, diantaranya pemerintah, masyarakat dan swasta. Adanya perbedaan-perbedaan kepentingan ini seringkali menimbulkan konflik di antara pihak-pihak tersebut. Konflik pengelolaan sumber daya hutan yang paling sering terlihat adalah konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola hutan, yaitu pemerintah dan swasta yang dianggap mempunyai otoritas dalam mengelola sumberdaya hutan. Salah satu solusi dalam penyelesaian konflik tersebut yakni adanya pendekatan penyertaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Social forestry merupakan ilmu pengetahuan dan seni menumbuhkan pohon-pohon dan atau vegetasi lain pada lahan yang tersedia, di dalam dan di luar areal hutan tradisional dengan melibatkan masyarakat untuk tujuan menghasilkan tata guna lahan yang seimbang dan saling melengkapi (Tiwari, 1983 diacu dalam Suharjito dan Darusman, 1998). Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan program dari Perum Perhutani untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Keberhasilan program PHBM di Perum Perhutani perlu ditunjang dengan adanya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bersedia memelihara kelestarian hutan serta menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani.

PHBM merupakan topik yang biasa dikaji sehingga banyak dilakukan penelitian mengenai program ini di Perum Perhutani. Hasil dari penelitian yang dilakukan Sri Sudaryanti (2002) menunjukkan bahwa dengan adanya kedinamisan kelompok terjadi perubahan produktivitas anggota dalam kategori sedang. Pujo (2002) menyimpulkan bahwa alasan berpartisipasi peserta kehutanan sosial pada umumnya karena alasan terinduksi dan bahkan masih ada yang tidak berpartisipasi. Hanifah Kusumaningtyas (2003) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai tingkat partisipasi masyarakat Desa Cileuya pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan pada program PHBM termasuk dalam kategori

(17)

tinggi. Dengan kata lain, tingkat partisipasi masyarakat dalam PHBM dikategorikan tinggi. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Yuni Fitria (2007) menunjukkan bahwa di Desa Trijaya kemitraan PHBM gagal mensejahterakan seluruh masyarakat sekitar hutan, perbaikan kesejahteraan tidak meliputi berbagai lapisan masyarakat. Bahkan beberapa warga masyarakat yang menduduki lapisan kedua dan memiliki kepentingan serta hak yang sama dengan kelompok PHBM, tidak mendapat ruang partisipasi dalam kegiatan kehutanan.

Inovasi yang saat ini sedang dikembangkan adalah manajemen pengelolaan hutan secara kolaborasi. Manajemen kolaborasi adalah suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil sesuai dengan peran yang dimainkannya, dan ditempatkan dalam posisi yang setara dalam setiap proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan manajemen kegiatan, dalam hal ini manajemen pengelolaan hutan. Manajemen kolaborasi sudah dikembangkan dalam usaha pertanian di berbagai negara, seperti Afrika Selatan dan Filipina (Suharjito, 2004). Manajemen kolaborasi memandang masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan hutan, sama dengan pihak terkait lainnya (Tadjudin, 2000). Pengakuan status ini membuka peluang untuk membangun dan menguatkan kolaborasi antara Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan secara dinamis (Suharjito, 2008). Menurut Fitria Kurniawan (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa manajemen kolaborasi antara Perum Perhutani dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan di KPH Madiun dan KPH Nganjuk telah berjalan secara efektif. Namun, penelitian tersebut belum cukup menjelaskan tentang peran kolaborasi dalam pengelolaan hutan secara detil dan menyeluruh. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kondisi kolaborasi berkaitan dengan analisis dampak kolaborasi, hal-hal yang dapat mendukung terlaksananya kolaborasi serta hasil yang telah dicapai dengan adanya kolaborasi dalam program PHBM. Disamping itu penelitian ini tetap memperhatikan aspek dinamika kelompok dan aspek partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam program PHBM.

Fokus dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menggambarkan tentang model pengelolaan hutan secara kolaboratif dan faktor-faktor yang mempengaruhi terlaksananya proses kolaborasi. Penelitian ini dilakukan dengan

(18)

3

menggunakan metode kuantitatif dan sebagai unit analisisnya adalah ”organisasi” kolaborasi antara Perhutani dengan masyarakat setempat. Hal ini berfungsi untuk melihat keefektifan manajemen kolaborasi sebagai instrumen penyelesaian konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang nantinya digunakan sebagai metode pengelola hutan yang mengutamakan kelestarian hutan dan peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar hutan di masing-masing KPH.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan penelitian ini adalah: a. Bagaimana tingkat dinamika LMDH yang telah berlangsung? b. Bagaimana tingkat kolaborasi dalam pelaksanaan PHBM? c. Bagaimana tingkat partisipasi masing-masing LMDH?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menjelaskan tingkat dinamika setiap Lembaga Masyarakat Desa Hutan b. Menjelaskan tingkat kolaborasi dalam pelaksanaan PHBM

c. Menjelaskan tingkat partisipasi lembaga masyarakat desa hutan dalam program PHBM.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Perum Perhutani : sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam penentuan model pengelolaan hutan yang saling menguntungkan 2. Masyarakat : sebagai acuan dalam proses pembelajaran pelaksanaan

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) adalah suatu program dari Perum Perhutani yang dicetuskan pada tahun 1999. Konsep PHBM ini lahir sebagai manifestasi dari adanya perubahan paradigma yang terjadi di tubuh Perhutani. Dalam menerapkan PHBM, Perhutani mengeluarkan SK Direksi No. 136/KPTS/2001 sebagai kebijakan perusahaan. Program PHBM ini bermaksud untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antara pengelola hutan (Perhutani) dengan masyarakat disekitarnya dengan cara berbagi kewenangan dan berbagi hasil pengelolaan (Affianto, 2005).

PHBM merupakan suatu instrumen untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yaitu kelestarian hutan, keseimbangan ekologis dan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain adalah suatu kondisi dimana kepentingan para pihak dapat terpenuhi. Kegiatan pengelolaan hutan oleh masyarakat bermitra dengan perusahaan HTI memiliki kelebihan antara lain masyarakat mendapat bimbingan teknis, bantuan modal, jaminan kesempatan kerja dan kepastian pemasaran kayunya (Helmi, 2004). Dengan demikian hutan kemasyarakatan sebagai sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat intinya adalah masyarakat lokal merupakan titik sentral sebagai pelaku utama, pemerintah dan pihak lainnya berperan sebagai fasilitator yang memberi dukungan agar pengelolaan hutan yang dilakukan masyarakat berkembang secara adil dan lestari (Rosdiana, 2004).

Prinsip-prinsip dalam menerapkan PHBM meliputi prinsip saling percaya, prinsip kesepahaman, prinsip kesetaraan, prinsip keadilan, prinsip keterbukaan, prinsip kebersamaan dan prinsip kesediaan berbagi. Menurut Haeruman (2005), tujuan dilaksanakan program PHBM adalah :

1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan melepaskan dari kemiskinan, membangun pemupukan modal masyarakat

2. Meningkatkan kemampuan teknologi dan manajemen organisasi masyarakat lokal dalam melaksanakan PHBM

(20)

5

3. Membangun PHBM secara struktural, sehingga PHBM menjadi salah satu andalan usaha rakyat

4. Meningkatkan keanekaragaman jenis usaha dan jenis hasil yang lebih unggul dan tahan terhadap gejolak ekonomi

5. Meningkatkan persediaan sumberdaya kehutanan bagi pengembangan sektor kehutanan yang lebih luas. Ini terbentuk sebagai hasil akhir dari keberhasilan upaya penberdayaan masyarakat.

Tahapan-tahapan proses PHBM secara umum meliputi sosialisasi, dialog, penyiapan kelembagaan, negosiasi, pembuatan jaminan hukum dan pelaksanaan teknis di lapangan (Rahardjo dan Kahathur, 2006). Pada umumnya masyarakat yang tergabung dalam program pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani adalah kelompok masyarakat yang tidak mempunyai lahan.

2.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan

Pada dasarnya kelembagaan itu merupakan kelompok belajar bagi masyarakat desa hutan untuk menumbuhkan kesadaran baru akan pentingnya melindungi dan mengamankan hutan secara bersama, serta mendorong perubahan pengetahuan , sikap dan ketrampilan dikalangan masyarakat desa hutan (Rahardjo dan Kahathur, 2006). Menurut Sri Sudaryanti (2002), pembentukkan kelompok pada masyarakat yang tinggal di sekitar desa hutan merupakan upaya untuk mewujudkan keberhasilan pelaksanaan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kelompok yang dibentuk tersebut dapat merupakan sarana masyarakat desa hutan menyampaikan aspirasi dan atau menerima informasi dari pihak Perum Perhutani, sehingga hubungan antara keduanya diharapkan terjalin dengan baik.

Selain itu kelompok dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama antara pesanggem dalam hal ini adalah modal, tenaga kerja dan informasi serta lebih efektif melakukan kontrol sosial (Wong dalam Suharjito 1994). Kehadiran ketua sebagai pemimpin dalam kelompok sangat penting.

2.3 Dinamika Kelompok

Dalam sebuah sistem sosial terdapat keinginan dari masing-masing individu untuk menyatu baik berdasarkan keyakinan, keinginan, asal-usul yang

(21)

sama atau yang lainnya. Begitu juga dengan lembaga masyarakat desa hutan yang tidak terlepas dari tujuan utama pembangunan pedesaan secara menyeluruh yaitu dengan adanya pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan kesejahteraan sehingga antara masyarakat dengan kelembagaan merupakan mitra yang sejajar dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.

Kelompok tersebut dalam perjalanannya tidak selalu statis, tetapi dinamis dan bergerak, hidup, aktif dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Gerakan kekuatan yang ada dalam kelompok itulah yang disebut dinamika kelompok (Fitria Kurniawan, 2006). Dinamika kelompok akan mencakup faktor-faktor yang menyebabkan suatu kelompok hidup, bergerak, aktif dan efektif dalam mencapai tujuannya. Dinamika kelompok adalah suatu keadaan dimana suatu kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam situasi kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggota-anggotanya.

Terdapat sembilan unsur dalam melakukan analisis dinamika kelompok yaitu tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas, pembinaan dan pengembangan kelompok, kekompakkan kelompok, efektivitas kelompok dan maksud terselubung (Margono, 2001). Dalam penelitian ini digunakan tiga unsur dinamika kelompok, yaitu :

1. Tujuan Kelompok yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh kelompok, apakah tujuan itu sesuai dengan tujuan anggota, formal atau tidak formal, jelas atau tidak jelas, karena kedinamisan kelompok terjadi jika sesuai dengan keinginan individu

2. Struktur kelompok adalah bagaimana kelompok tersebut mengatur dirinya sendiri. Setiap kelompok memiliki struktur yang berbeda. Ketidakjelasan struktur akan menjelaskan ketidakjelasan wewenang, kewajiban setiap anggota sehingga dalam pelaksanaan kegiatan tidak dapat berlangsung dengan efektif

3. Efektivitas kelompok merupakan keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan. Semakin berhasil suatu kelompok maka anggota akan memiliki kebanggaan terhadap kelompoknya. Menurut Margono (2001) dilihat dari sudut pandang :

(22)

7

a. Dari hasil atau produktivitas yang dihasilkan dari anggota yang terlibat dalam kelompok

b. Dari moral kelompok, semangat serta kesungguhan yang terdapat pada masing-masing anggota

c. Dari tingkat kepuasan yang dirasakan oleh anggota.

2.4 Kolaborasi dalam Pengelolaan Hutan

Upaya-upaya penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya hutan selama ini belum berhasil menyelesaikan konflik secara komprehensif. Hal tersebut disebabkan konsep-konsep penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya alam tersebut memiliki banyak kelemahan baik pada tataran konseptual berupa lemahnya perencanaan maupun tataran praktis, yaitu ketidaksiapan para praktisi lapangan. Konflik pengelolaan sumberdaya alam sebagai buah dari missmanagement dalam pengelolaan hutan dengan demikian memerlukan suatu alternatif manajemen pengelolaan hutan (Betty Margitawaty, 2004). Pengelolaan secara kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan mereka.

Tadjudin (2000) mengartikan manajemen kolaboratif sebagai bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Menurut Marshall dalam Gurnitowati dan Maliki (2001), manajemen kolaboratif memiliki tujuh prinsip utama, yaitu :

1. Menghormati orang lain 2. Penghargaan dan integritas 3. Rasa memiliki dan bersekutu 4. Konsensus

5. Penuh rasa tanggungjawab dan tanggunggugat 6. Hubungan saling mempercayai

(23)

Sementara itu Tadjudin (2000) merumuskan lebih rinci mengenai tujuan-tujuan dari manajemen kolaboratif :

1. Menyediakan instrumen-instrumen untuk mengenali stakeholder yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan secara proposional

2. Meningkatkan potensi kerjasama antar stakeholder secara egaliter dengan memperhatikan prinsip ” sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan prinsip kelestarian lingkungan

3. Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat agar dapat mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan menyumbangkannya dalam wahana manajemen pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga diperoleh distribusi manfaat dan resiko yang adil antar stakeholder yang terlibat

4. Menciptakan mekanisme pembelajaran dialogik untuk memperoleh rumusan tentang bentuk dan pola pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari.

5. Memperbaiki tindakan-tindakan perlindungan sumberdaya hutan melalui mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan

6. Menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya

Untuk mengembangkan suatu kolaborasi, Munggoro (1999) mengemukakan tiga tahapan kegiatan yaitu : mempersiapkan kerjasama, mengembangkan kesepakatan, melaksanakan sekaligus selalu meninjau ulang kesepakatan yang telah dibangun. Ada beberapa indikator untuk melihat jalannya proses manajemen kolaborasi tersebut (Munggoro, 1999) yaitu :

1. Kesadaran stakeholder (terhadap isu-isu manajemen kolaboratif, event, jadwal, hak, tanggungjawab dan sebagainya)

2. Adanya mekanisme untuk pertukaran informasi dan forum untuk berkomunikasi dan menegosiasikan kesepakatan

3. Adanya fasilitator untuk membantu dalam pertemuan, mediasi konflik,berhubungan dengan bermacam-macam aktor diberbagai tingkat dalam masyarakat

(24)

9

4. Keterlibatan aktif para stakeholder dalam mengembangkan kesepakatan manajemen (partisipasi dalam rapat, penyampaian dan pembelaan posisi dan sebagainya)

5. Adanya kesepakatan manajemen antara stakeholder (baik oral, tertulis maupun informal)

6. Definisi spesifik tentang fungsi, hak dan tanggung jawab yang telah disepakati 7. Para stakeholder tunduk pada hak dan tanggungjawab yang telah disepakati 8. Para stakeholder menyatakan kepuasannya terhadap kesepakatan manajemen 9. Adanya badan atauorganisasi pengaduan jika terjadi konflik di dalam kerja

sama manajemen

10. Keterlibatan stakeholder dalam promosi perubahan kebijakan dan hukum yang mendukung kesepakatan manajemen kolaboratif

11. Seiring dengan berjalannya waktu, perpanjang kesepakatan baik secara geografis maupun secara kompleksitas.

Jalannya proses manajemen kolaborasi di tingkat komunitas akan bervariasi karena adanya faktor-faktor lokal yang mempengaruhinya. Rassmssen dan Mainzen Dick dalam Arnold (1998) mengemukakan tiga faktor utama yang ada di tingkat lokal dalam pengelolaan hutan sebagai common property, yaitu: karakteristiuk sumberdaya, karakteristik pengguna dan susunan kelembagaan (institutional arrangement).

Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajagi dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemacahan bagi keuntungan bersama. Perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, yang demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama (Wondolleck dan Yaffee dalam Suporahardjo, 2005).

Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pengembalian kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas manajemen mereka secara formal. Pada pengelolaan hutan

(25)

berbasis masyarakat terdapat suatu tantangan untuk membangun dan memelihara proses kolaborasi dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan inisiatif. Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada persepsi bahwa kesepakatan diantara stakeholder akan memberikan hasil yang positif bagi anggotanya. Menurut Katherine et al (2002) dalam Suporahardjo (2005), hal positif itu meliputi :

1. Keuntungan materiil

2. Pengakuan masa pemakaian dan hak penggunaan 3. Bertambahnya identitas budaya

4. Pencapaian kepentingan jangka pendek dan jangka panjang

Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi (Gray, 1989 dalam Suporahardjo, 2005) meliputi :

1. Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama 2. Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk

membangun kesepakatan

3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar

4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara stakeholder dimasa depan

5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatau proses dari pada sebagai resep.

Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), beberapa kendala dalam kolaborasi adalah :

1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi

2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah berlangsung lama diantara dua pihak

(26)

11

3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan (pendekatan kolaborasi lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangkan alokasi sumberdaya langka)

4. Perbedaan persepsi atas resiko 5. Kerumitan yang bersifat teknis 6. Budaya kelembagaan dan politik.

Sedangkan menurut Suharjito (2004) pengembangan model kolaboratif masih akan menghadapi kendala-kendala sebagai berikut :

1. Masing-masing pihak yang berkolaborasi belum mempunyai pemahaman yang jelas tentang tanggung jawab, resiko, dan keuntungan

2. Model pengelolaan hutan kemasyarakatan belum memberikan keuntungan finansial kepada pihak-pihak yang berkolaborasi

3. Pihak perusahaan belum mempunyai kemampuan untuk membangun kemampuan masyarakat dalam berkolaborasi.

Kusumanto et.al (2006) mengemukakan bahwa pengelolaan hutan secara kolaboratif memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan. Beberapa kelemahan pengelolaan hutan secara kolaboratif yang sering terjadi diantaranya sebagai berikut:

1. Para pengelola sering menggunakan istilah ”kolaborasi” dan ”partisipasi” dengan maksud yang sama. Hal ini bisa menjadi masalah jika istilah ”kolaborasi” hanya diartikan sebagai ajakan bagi masyarakat dan kelompok-kelompok lokal untuk berpartisipasi di tahap pelaksanaan saja, sehingga mereka tidak terlibat dalam menentukan cara menganalisis permasalahan ataupun melaksanakan dan memantau rencana yang dibuat.

2. Dengan demikian, tujuan, metode, dan rencana pengelolaan hutan dalam kenyataanya masih berada dalam ranah kegiatan ”orang luar”. Jika ”orang luar” itu kurang mengenal konteks lokal dan cenderung melihat permasalahannya dari sudut pandang mereka sendiri saja, rancangan pengelolaan bisa jadi tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mengakibatkan gagalnya pengelolaan

3. Potensi pengelolaan secara kolaboratif (seperti menciptakan peluang bagi berbagai kelompok untuk belajar bersama dan bernegosiasi) tidak bisa dicapai

(27)

jika ”partisipasi” tidak diartikan sebagai upaya penentuan nasib sendiri oleh kelompok-kelompok lokal.

Keterbatasan kolaborasi terjadi karena beberapa faktor:

1. Hubungan antara pemangku kepentingan maupun hubungan dalam kelompok-kelompok pemangku kepentingan tertentu ternyata lemah. Beberapa hal yang melatarbelakangi lemahnya hubungan tersebut:

a) Hubungan antara pengambil keputusan dengan pemangku kepentingan lainnya pada umumnya didasarkan pada hubungan kewenangan

b) Latar belakang sosial budaya para pemangku kepentingan yang berbeda-beda mengakibatkan terbatasnya komunikasi diantara mereka

c) Latar belakang sejarah d) Konteks Legal dan kebijakan. 2. Lemahnya komunikasi diantara mereka

3. Lemahnya peran lembaga-lembaga lokal dalam mengkoordinasikan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mengakibatkan tidak berkembangnya dasar struktural bagi para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi.

Lebih lanjut Kusumanto et.al (2006) mengemukakan bahwa kunci keberhasilan pengelolaan hutan secara kolaboratif adalah:

1. Para pemangku kepentingan kunci tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja, tetapi dalam semua tahapan pengelolaan: pengmatan, perencanaan, aksi, pemantauan dan refleksi

2. Pengembangan minat, keterampilan dan kemampuan lokal dapat membantu para pemangku kepentingan menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat setelah proyek selesai. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan para pemangku kepentingan dalam menanggapi perubahan adalah dengan mengikuti pembelajaranyang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan mereka.

Penerapan sistem kolaborasi tidak dapat dilakukan secara komando melainkan atas dasar kesetaraan dan menjunjung harga diri semua unsur yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Konsistensi kebersamaan antar pihak terbangun dan tumbuh dengan sendirinya dari posisi yang terhormat, bukan

(28)

13

karena uluran tangan belas kasihan dari satu pihak (Rahardjo dan Kahathur, 2006).

2.5 Partisipasi Masyarakat

Menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Kartasubrata (1986), partisipasi adalah istilah deskriptif yang mencakup berbagai kegiatan dan situasi yang beranekaragam karena besar sekali kemungkinan terjadinya kesalahpahaman tentang sebab dan akibat, ruang lingkup dan penyebarannya. Sedangkan menurut Soelaiman (1985) dalam Susiatik (1998), partisipasi anggota masyarakat dalam kegiatan pembangunan yaitu adanya sikap mendukung dan adanya keterlibatan masyarakat secara individu, kelompok atau ke dalam kesatuan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program atas dasar tanggung jawab sosial.

Ada beberapa macam atau bentuk partisipasi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut Yadov (1980) dalam Susiatik (1998) menjelaskan ada empat macam kegiatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu:

1. Partisipasi dalam pembuatan perencanaan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan

2. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan 3. Partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi

4. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan.

Syarat-syarat yang diperlukan untuk berpartisipasi rakyat dapat dikelompokkan dalam tiga golongan (Slamet dalam Kartasubrata, 2002) :

a. Ada kesempatan untuk membangun / untuk ikut dalam pembangunan b. Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu

c. Ada kemauan untuk berpartisipasi

Dimensi partisipasi mencakup jenis partisipasi yang sedang diselenggarakan, kelompok-kelompok perorangan yang terlibat dalam partisiapasi tersebut dan berbagai cara bagaimana terjadinya proses partisipiasi tersebut. Sedangkan konteks partisipasi berfokus pada hubungan antara ciri-ciri proyek pembangunan pedesaan dan pola-pola partisipasi yang ada dalam lingkungan daerah lokasi proyek.

Sastropoetro (1986) dalam Santosa (1999) membagi faktor yang mempengaruhi partisipasi seseorang menjadi tiga hal:

(29)

1. Keadaan sosial masyarakat yang tingkat pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan dalam sistem sosial

2. Kegiatan program pembangunan, kegiatan ini merupakan kegiatan yang dirumuskan dan dikendalikan oleh pemerintah

3. Keadaan alam sekitar yang mencakup faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat tersebut.

Delli Priscolli (1997) dalam Suporahardjo (2005) mengemukakan bahwa nilai inti dari partisipasi adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat harus punya suara dalam keputusan tentang tindakan yang mempengaruhi kehidupan mereka

2. Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat akan mempengaruhi keputusan

3. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi kebutuhan proses semua partisipasi

4. Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan mereka yang berpotensi untuk berpengaruh

5. Proses partisipasi melibatkan partisipasi dalam mendefinisikan bagaimana berpartisipasi

6. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan.

7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipasi informasi yang mereka butuhkan dengan cara yang bermakna.

Menurut Pujo (2002) pada kegiatan PMDH, masyarakat belum terlibat dengan baik pada semua tahap kegiatan bahkan pada tahap perencanaan dan pengendalian tingkat keterlibatannya masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aspek perencanaan dan pengendalian kegiatan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat. Pada kegiatan PHBM, masyarakat juga belum terlibat baik pada semua tahapan kegiatan. Walaupun demikian telah menunjukkan intensitas yang lebih baik jika dibandingkan pada program PMDH. Masyarakat pada umumnya berpartisipasi pada kegiatan yang dirasa memberikan manfaat langsung pada mereka yaitu pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan hasil.

(30)

15

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Pihak yang berkaitan langsung dengan keberadaan hutan khususnya di Pulau Jawa adalah Perum Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan. Kerjasama antara Perum Perhutani dengan masyarakat dibentuk menjadi sebuah kelompok yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Dalam perjalanannya LMDH tidak selalu statis melainkan dinamis.

Kedinamisan sebuah kelompok dapat dilihat melalui tujuan kelompok, struktur kelompok dan efektifitas kelompok. Semakin tinggi tingkat dinamika sebuah kelompok akan memiliki dampak pada tingkat kolaborasi antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan dengan Perum Perhutani pada Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat.

Untuk menilai tingkat kolaborasi yang sedang berlangsung ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor tujuan bersama, faktor percaya (trust), faktor pembagian peran dan tanggung jawab, faktor kapasitas masing-masing pihak, faktor hasil dari PHBM, serta faktor pentingnya resiko.

Hal ini berfungsi untuk melihat tingkat partisipasi LMDH yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap pemanfaatan hasil dan tahap monitoring dan evaluasi. Apabila LMDH aktif melakukan tahapan-tahapan partisipasi tersebut, niscaya PHBM dapat berjalan dengan baik dan optimal.

Secara skematis, faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan hutan secara kolaboratif sebagai kerangka kerja penelitian digambarkan seperti pada Gambar 1.

(31)

Gambar 1 Kerangka pemikiran pelaksanaan Pengelolaan Hutan secara Kolaboratif antara Perum Perhutani dengan Masyarakat.

Pertisipasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan:

Partisipasi dalam tahap perencanaan Partisipasi dalam tahap pelaksanaan Partisipasi dalam tahap pemanfaatan

Partisipasi dalam tahap monitoring dan evaluasi Aspek-aspek dinamika kelompok: Tujuan kelompok Struktur kelompok Efektivitas kelompok Kolaborasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Tujuan Bersama Perhutani dan Petani Kapasitas Masing-masing Pihak Perhutani dan Petani Pentingnya Resiko Pembagian Peran dan Tanggung jawab Perhutani dan Petani Saling Percaya (trust) Perhutani dan Petani Hasil dari PHBM

(32)

17

3.2 Definisi Operasional

3.2.1 Aspek-aspek Dinamika Kelompok

Aspek-aspek dinamika kelompok adalah indikator yang menjadikan kelompok tersebut mengalami kedinamisan, meliputi:

1. Tujuan kelompok yaitu sesuatu yang ingin dicapai kelompok, apakah tujuan itu sesuai dengan tujuan anggota, formal atau tidak formal, jelas atau tidak jelas, karena kedinamisan kelompok akan tercapai jika sesuai dengan tujuan individu.

2. Struktur kelompok adalah bagaimana kelompok tersebut mengatur dirinya sendiri.

3. Efektifitas kelompok merupakan keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan.

3.2.2 Kolaborasi antara Perum Perhutani dengan LMDH

1. Faktor tujuan bersama adalah apakah tujuan yang akan dicapai dengan adanya kolaborasi antara Perum Perhutani dan petani hutan dengan tiga indikator penilaian yaitu tujuan khusus, contoh yang konkret, tercapainya tujuan dan objektif serta berbagi pandangan.

2. Faktor saling percaya (trust) adalah bagaimana kepercayaan Perum Perhutani dan petani hutan dalam membangun kolaborasi dengan indikator penilaian diantaranya pihak-pihak yang berkolaborasi telah disetujui oleh tokoh setempat, iklim sosial dan politik yang menguntungkan, rasa saling percaya, menghormati dan tanggung jawab serta frekuensi komunikasi dan keterbukaan.

3. Faktor pembagian peran dan tanggung jawab adalah bagaimana peran dan tanggung jawab diantara dua belah pihak selama ini dalam membangun kolaborasi dengan indikator penilaian yaitu kemampuan berkompromi, bentuk partisipasi seluruh pihak, fleksibilitas, mengembangkan peran/tugas dan pedoman kebijakan secara jelas, pelaksanaan program dengan langkah-langkah yang tepat serta anggota LMDH merupakan pihak yang tepat untuk mewakili masyarakat.

(33)

4. Faktor kapasitas masing-masing pihak adalah bagaimana kemampuan kedua belah pihak dalam masalah manajemen PHBM dan ketersediaan SDM dengan indikator penilaian yaitu anggota turut berpartisipasi dalam pelaksanaan dan penentuan hasil akhir, menjalin komunikasi dan hubungan informal serta kemampuan pemimpin.

5. Faktor dari hasil PHBM adalah bagaimana menurut pandangan kedua belah pihak dari hasil yang diperoleh dari program PHBM dengan indikator penilaian yaitu sejarah mengenai proses kolaborasi di tengah masyarakat dan anggota merasa proses kolaborasi sebagai kebutuhan.

6. Faktor pentingnya resiko adalah bagaimana penyelenggaraan permodalan dalam pelaksanaan program PHBM dengan indikator penilaian yaitu penyesuaian (Adaptability) serta tercukupinya dana, pekerja, peralatan dan waktu.

Berdasarkan dari faktor-faktor di atas terdapat beberapa pernyataan yang menjelaskan tentang proses kolaborasi yang telah dan sedang berlangsung. Pernyataan-pernyataan tersebut dijawab berdasarkan dengan kondisi yang ada. Menurut Wilder (2001) jawaban dari setiap pernyataan dinilai dengan skoring berdasarkan tingkat kesesuaiannya, seperti berikut ini :

Sangat tidak sesuai : 1

Tidak sesuai : 2

Netral : 3

Sesuai : 4

Sangat Sesuai : 5

Skor setiap pernyataan dalam sebuah faktor dijumlahkan kemudian dicari rataanya.

Skor 4,0 memperlihatkan proses kolaborasi sudah berjalan dengan baik dan kemungkinan sudah tidak memerlukan perhatian khusus lagi

Skor 3,0-3,9 merupakan garis batas dan perlu diadakan diskusi dengan kelompok untuk melihat bilamana mereka membutuhkan perhatian

(34)

19

Setelah didapatkan rataanya, kita dapat mengetahui seberapa besar tingkat kolaborasi yang sudah berjalan dan dapat menentukan tindakan apa saja yang perlu dilakukan agar proses kolaborasi semakin berjalan dengan baik.

3.2.3 Partisipasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan dalam Program PHBM Partisipasi masyarakat dalam kegiatan program PHBM adalah keikutsertaan masyarakat yang termasuk dalam kelompok tani hutan yang meliputi:

1. Perencanaan PHBM, adalah proses pengambilan keputusan yang rasional dalam kegiatan PHBM dan dikategorikan rendah (tidak pernah terlibat), sedang (jarang terlibat) dan tinggi (sering terlibat).

2. Pelaksanaan PHBM, adalah kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan PHBM yang telah direncanakan dan dikategorikan menjadi rendah (tidak pernah terlibat), sedang (jarang terlibat) dan tinggi (sering terlibat). 3. Pemanfaatan hasil PHBM, adalah pembagian hasil usaha dari kegiatan PHBM

dan dikategorikan menjadi rendah (tidak pernah terlibat), sedang (jarang terlibat) dan tinggi (sering terlibat).

4. Monitoring dan evaluasi PHBM, adalah kegiatan yang mengarah pada evaluasi hasil dari program PHBM dan dikategorikan menjadi rendah (tidak pernah terlibat), sedang (jarang terlibat) dan tinggi (sering terlibat).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survai. Dasar pemilihan LMDH sebagai unit contoh dilakukan secara sengaja, yaitu ketika program PHBM telah berjalan dan menunjukkan hasil bagi anggotanya. Pemilihan responden dari tiap LMDH dilakukan secara acak sederhana dimana masing-masing LMDH diambil sebanyak 30 orang. Pemilihan responden dari Perum Perhutani dilakukan secara sengaja berkaitan dengan jabatan responden, masing-masing sebanyak 7 orang yang terdiri dari Asisten Perhutani, Mantri, Fasilitator PHBM, Supervisi Lapangan, Mandor tebangan, Mandor tanaman, dan pihak yang bersangkutan lainnya.

(35)

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitan

Penelitian ini dilaksanakan di KPH Kuningan dan KPH Majalengka, Unit III Jawa Barat. Pada KPH Kuningan dilakukan penelitian pada dua LMDH. Sedangkan pada KPH Majalengka hanya dilakukan penelitian pada satu LMDH. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Mei 2008.

3.5 Jenis Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer responden dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuisioner terstruktur. Sedangkan data sekunder dikumpukan dari keadaan lingkungan biofisik tempat penelitian dan data lain yang relevan dengan penelitian.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Teknik wawancara, yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan responden serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan kuisioner.

2. Teknik observasi, yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek peneliti.

3. Studi pustaka, yaitu cara pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian.

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif. Data dan informasi disajikan dalam bentuk tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif.

(36)

21

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kesatuan Pemangkuan Hutan Kuningan dan Majalengka 4.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis KPH Kuningan terletak pada 6° 51’- 70° 10’ Lintang Selatan dan 108°- 96° Bujur Timur. Luas KPH Kuningan adalah 29.830,15 Ha, yang terbagi ke dalam 2 wilayah, yakni wilayah Kabupaten Kuningan 26.861,34 Ha dan wilayah Kabupaten Cirebon yaitu 2.968,81 Ha.

Hutan tersebut, terbagi lagi atas dua kelas perusahaan, yaitu Kelas Perusahaan Jati seluas 15.313,61 Ha dan Kelas Perusahaan Pinus seluas 14.516,54 Ha.

Batas-batas KPH Kuningan adalah :

Sebelah Timur : KPH Pekalongan Barat Sebelah Barat : KPH Majalengka

Sebelah Utara : KPH Indramayu SPH Cirebon Sebelah Selatan : KPH Ciamis

Selain itu KPH Kuningan berbatasan langsung dengan wilayah Administratif : Sebelah Timur : Kabupaten Brebes

Sebelah Barat : Kabupaten Majalengka Sebelah Utara : Kabupaten Cirebon Sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis

Bila dilihat dari peta wilayah KPH Kuningan, maka BKPH Cibingbin terletak di sebelah timur Kabupaten Kuningan. BKPH Cibingbin mempunyai luas 4.726,48 Ha, terbagi kedalam hutan produksi 3037,78 Ha; hutan lindung 1.683,05 Ha; dan Lahan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) 5,65 Ha. Luas keseluruhan tersebut terbagi lagi menjadi 53 petak dan 147 anak petak dengan 1.114 pal batas. BKPH Cibingbin KPH Kuningan mempunyai batas-batas, yaitu :

Sebelah Timur : BKPH Banjarharjo

Sebelah Barat : BKPH Salem KPH Pekalongan Barat Sebelah Utara : BKPH Luragung

(37)

Selain itu BKPH Cibingbin KPH Kuningan berbatasan dengan wilayah Administratif :

Sebelah Timur : Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes Sebelah Barat : Kecamatan Karangkancana

Sebelah Utara : Kecamatan Cimahi

Sebelah Selatan : Kecamatan Salem Kabupaten Brebes

Wilayah kesatuan pemangkuan hutan (KPH) Majalengka terletak di Kabupaten Majalengka. Kabupaten Majalengka terletak di bagian timur Jawa Barat. Secara geografis KPH Majalengka terletak antara 5º 36’ - 70º 41’ Lintang Selatan dan 108º 70’- 108º 80’ Bujur Timur.

Luas wilayah kerja KPH Majalengka adalah 27.089,91 Ha. Dengan terbitnya SK Menteri Kehutan No. 424 Tahun 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, luas areal kerja KPH Majalengka berkurang menjadi 20.396,78 Ha. Hutan tersebut, terbagi lagi atas dua kelas perusahaan, yaitu Kelas Perusahaan Mahoni seluas 13.215,07 Ha dan Kelas Perusahaan Pinus seluas 7181,71 Ha.

Batas-batas KPH Kuningan adalah : Sebelah Timur : KPH Kuningan Sebelah Barat : KPH Sumedang Sebelah Utara : KPH Indramayu Sebelah Selatan : KPH Ciamis

Selain itu KPH Majalengka berbatasan dengan wilayah Administratif : Sebelah Timur : Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan Sebelah Barat : Kabupaten Sumedang

Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu

Sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya.

Bila dilihat dari peta wilayah KPH Majalengka, maka BKPH Cibenda terletak di sebelah Utara Kab. Majalengka. BKPH Cibenda mempunyai luas 4.911,83 Ha berupa areal hutan dan 17,12 Ha berupa alur. Luas keseluruhan tersebut terbagi lagi menjadi 58 petak.

BKPH Cibenda KPH Majalengka mempunyai batas-batas, yaitu : Sebelah Timur : BKPH Ujung Jaya KPH Sumedang

(38)

23

Sebelah Barat : BKPH Jatimunggul KPH Indramayu Sebelah Utara : BKPH Jatimunggul KPH Indramayu Sebelah Selatan : BKPH Ujung Jaya KPH Sumedang

Selain itu BKPH Cibenda KPH Majalengka berbatasan dengan wilayah Administratif :

Sebelah Timur : Kecamatan Ligung Kab. Majalengka Sebelah Barat : Kecamatan Jatimunggul Kab. Indramayu Sebelah Utara : Kecamatan Jati Tujuh Kab. Majalengka Sebelah Selatan : Kecamatan Ujung jaya Kab. Sumedang

4.1.2 Pembagian Wilayah dan Topografi

Wilayah KPH Kuningan terbagi kedalam 6 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan terbagi lagi atas 36 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Rincian luas kawasan hutan per BKPH :

1. BKPH Linggarjati : 145,80 Ha 2. BKPH Garawangi : 7.692,46 Ha 3. BKPH Luragung : 7.771,67 Ha 4. BKPH Cibingbin : 5.864,38 Ha 5. BKPH Waled : 3.285,75 Ha 6. BKPH Ciledug : 5.894,49 Ha Jumlah : 29.651,55 Ha Alur : 178,60 Ha Total : 29.839,15 Ha

Berdasarkan topografinya Kabupaten Kuningan memiliki kondisi yang bervariasi dari yang landai (Sebagian Kuningan Timur dan Utara), berbukit-bukit (Kuningan Barat dan Selatan Serta Sebagian Kuningan Timur), dan mempunyai banyak lembah serta jajaran pegunungan yang cukup tinggi. Untuk perbukitan ketinggiannya mempunyai kisaran antara 500 – 1200 mdpl. Untuk pegunungan, mencapai 3.068 mdpl (Gunung Ciremai).

Topografi KPH Kuningan tidak jauh berbeda dengan topografi Kabupaten Kuningan. BKPH Cibingbin juga mempunyai variasi yang sama dan landai hingga berbukit-bukit (Pegunungan) dengan puncak ketinggian mencapai 1.200

(39)

mdpl (puncak Gunung Tilu), dan pada daerah ini pula banyak dijumpai jurang-jurang yang kedalamannya mencapai ± 70m.

Wilayah KPH Majalengka terbagi kedalam 4 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan terbagi lagi atas 13 Resort Pemangkuan Hutan (RPH). Rincian luas kawasan hutan per BKPH :

1. BKPH Majalengka : 5.586,33 Ha 2. BKPH Talaga : 1.669,38 Ha 3. BKPH Ciwaringin : 2.540,82 Ha 4. BKPH Cibenda : 10.600,25 Ha Jumlah : 20.396,78 Ha

Secara umum keadaan morfologi dan fisiologi Kabupaten Majalengka sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya. Kabupaten Majalengka berdasarkan keadaan morfologi dan fisiografi lapangan dapat dibagi dalam 3 (tiga) zona :

1. Daerah pegunungan dengan ketinggian diatas 500 meter diatas permukaan laut (mdpl). Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, Bantarujeg, Cikijing dan Kecamatan Cikijing Utara. Kemiringan di daerah ini berkisar antara 25-40%. 2. Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 50-500 mdpl.

Morfologi berbukit bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh, Sukahaji Bagian Selatan, Maja dan sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah berkisar 15-40%.

3. Daerah dataran rendah dengan ketinggian 19-50 mdpl. Morfologi dataran rendah meliputi Kecamatan Kadipaten, Panyingkiran, Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Kertajati, Jatitujuh, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding dan Palasah. Kemiringan tanah berkisar 5-8%, kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah dengan kemiringan antara 15-25%.

(40)

25

4.1.3 Iklim dan Tanah

Iklim di Kabupaten Kuningan dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson, dengan temperatur bulanan berkisar antara 18º C - 32º C serta curah hujan pada bagian barat dan selatan terutama daerah lereng Gunung Ciremai berkisar antara 3000 – 4000 mm per tahun. Sedangkan daerah yang semakin datar di bagian Timur dan Utara berkisar antara 2000 – 3000 mm per tahun. Tipe iklim berdasarkan metoda Smith dan Fergusson menunjukkan secara umum nilai Q wilayah KPH Kuningan berkisar 15% nilai tersebut menunjukkan tipe iklim B.

Tipe iklim di Kabupaten Majalengka bervariasi. Suhu udara berkisar antara 18.8º C-37.0º C. Curah hujan rata-rata adalah 2230 mm. Tipe iklim berdasarkan metoda Smith dan Fergusson menunjukkan secara umum nilai Q wilayah KPH Majalengka berkisar 15.38%, nilai tersebut menunjukkan tipe iklim B.

Tanah yang berada di kawasan KPH Kuningan didominasi oleh jenis tanah merah (Oksisol dan Ultisol) pada perbukitan dan untuk lahan datar yang banyak ditanami jati adalah tanah cadas dengan sedikit berkapur. Sedangkan jenis-jenis tanah di BKPH Cibingbin diantaranya tanah merah (Ultisol dan Oksisol), sawah (Aluvial coklat), cadas dan tanah kapur.

Tanah yang berada di kawasan KPH Majalengka terdiri dari Aluvial, Regosol, Grumusol, Asosiasi Mediteran Coklat, Asosiasi Podsolik dan Hidromorf Kelabu. Sedangkan jenis-jenis tanah di BKPH Cibenda diantaranya Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu.

4.1.4 Sosial dan Ekonomi Masyarakat

LMDH Cibanyuhurip, LMDH Tani Mukti dan LMDH Mahoni Jaya terletak di lokasi yang berbeda. LMDH Cibanyuhurip terletak di Desa Cimara dan LMDH Tani Mukti terletak di Desa Sumurwiru. Desa Cimara dan Desa Sumurwiru terletak pada Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan. Sedangkan LMDH Mahoni Jaya terletak di Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka. Untuk menjelaskan struktur kependudukan maka dapat dilihat pada Tabel 1.

(41)

Tabel 1 Daftar Kepadatan Penduduk Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya

Jumlah Penduduk (orang)

No Desa

Luas Daerah

(Ha) Laki-laki Perempuan Total

Kepadatan Penduduk Orang/Ha 1. Desa Cimara 324,255 1826 1867 3693 11 2. Desa Sumurwiru 152,221 618 600 1218 8 3 Desa Sukamulya 1025,261 2214 2434 4648 4 Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya tahun 2007

Berdasarkan data yang diperoleh, mayoritas penduduk Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya berpendidikan rendah yaitu tamat SD/SR. Tingkat pendidikan masyarakat kedua desa dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Daftar Tingkat Pendidikan Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya

Desa Cimara Sumurwiru Desa Desa Sukamulya No Pendidikan Tingkat

orang Persen (%) orang Persen (%) orang Persen (%) 1 Belum sekolah 312 8,44 174 15,69 615 19,24 2 Tidak pernah sekolah 10 0,03 - - 612 19,15 3 SD tidak tamat 21 0,06 45 4,06 315 9,86 4 Tamat SD 2595 70,3 774 69,79 1185 37,09 5 SMP 401 10,9 61 5,5 260 8,13 6 SMA 272 7,4 41 3,7 183 5,72 7 D1 2 0,0005 8 0,0072 5 0,015 8 D2 16 0,043 - - 6 0,018 9 D3 28 0.08 - - 6 0,018 10 S1 36 0,1 6 0,0054 8 0,025

Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya tahun 2007

Sebagian besar penduduk dari Desa Cimara dan Sumurwiru bermata pencaharian sebagai petani. Sebanyak 1410 orang (64,44%) penduduk Desa Cimara bermata pencaharian sebagai petani. Begitu pula dengan Desa Sumurwiru, Sebanyak 237 orang (48,17%) bermata pencaharian sebagai petani. Sedangkan sebagian besar penduduk dari Desa Sukamulya bermata pencaharian sebagai buruh/karyawan swasta yaitu sebanyak 600 orang (45,38%). Biasanya penduduk bekerja sebagai tenaga kerja serabutan tanpa penghasilan tetap.

(42)

27

Mata pencaharian masyarakat desa di Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Daftar Mata Pencaharian Penduduk Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya

Desa

Cimara Sumurwiru Desa Sukamulya Desa No Pencaharian Mata

orang Persen (%) orang Persen (%) orang Persen (%)

1 Petani 1410 64,44 237 48,17 489 36,99 2 Buruh Tani 215 9,82 156 31,71 1 0,0075 3 Buruh/ Karyawan Swasta 63 2,89 20 4,06 600 45,38 4 PNS 73 3,33 15 3,04 46 3,48 5 Pedagang/ Pengusaha 263 12,02 5 1,01 67 5,06 6 Peternak - - 3 0,06 - - 7 Montir - - 1 0,02 5 0,037 8 TNI/POLRI 1 0,004 1 0,02 7 0,053 9 Penjahit 8 0,036 3 0,06 5 0,037 10 Supir 10 0.045 6 1,21 30 2,27 11 Tukang Batu 45 2,06 30 6,09 25 1,89 12 Tukang Kayu 30 1,37 15 3,04 40 3,03 13 Pensiunan 25 1,14 - - 5 0,037 14 Veteran 45 2,06 - - 2 0,015

Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa Sukamulya tahun 2007

4.2 Lembaga Masyarakat Desa Hutan 4.2.1 Sejarah LMDH Cibanyuhurip

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cibanyuhurip terletak di Desa Cimara yang berada dalam wilayah kawasan RPH Cimara BKPH Cibingbin KPH Kuningan. Pada awalnya di Desa Cimara ini telah terbentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) yang disahkan pada tanggal 30 Desember 2004. Lalu pada tanggal 17 Oktober 2006 dibentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan Cibanyuhurip dan disahkan dihadapan Notaris Yayan Sopyan, SH.,Mkn. Dengan akta Notaris Nomor : 07/2006.

Pelaksanaan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) disepakati bersama antara pihak Perhutani KPH Kuningan dengan pemerintah desa dan masyarakat Desa Cimara pada tanggal 24 April 2007 yang tertulis pada Nota Kesepakatan Bersama Nomor: 011/SJ-PHT/Kng/III/2007. Dalam Nota

(43)

Kesepakatan Bersama tercantum luas hutan pangkuan LMDH Cibanyuhurip adalah 1.252,28 Ha yang terbagi atas petak di wilayah Cimara seluas 1.038,88 Ha dan 213,40 Ha di wilayah Cibeureum. Penentuan luas dan lokasi lahan pangkuan sudah ditentukan langsung oleh Perum Perhutani. Aturan-aturan mengenai semua hal yang berkaitan dengan LMDH telah tercantum pada Akta Notaris dan Nota Kesepakatan Bersama.

Gambar 2 Kawasan LMDH Cibanyuhurip.

Sejak berdiri, jabatan Ketua LMDH Cibanyuhurip dipegang oleh Iim Tasrim, S.Pd, jabatan sekretaris dipegang oleh Karwan S.Pd dan jabatan bendahara oleh H. Muh. Tarsa. Pemilihan pengurus LMDH dilakukan oleh anggota LMDH Cibanyuhurip. Saat ini LMDH Cibanyuhurip mempunyai 239 anggota yang terbagi atas dua KTH, yakni KTH Pabrik dan KTH Kebun. Sebagian besar masyarakat yang merupakan anggota LMDH Cibanyuhurip menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pekerjaan utama anggota LMDH Cibanyuhurip adalah petani. Dari 30 orang responden di LMDH Cibanyuhurip 28 orang memiliki pekerjaan utama sebagai petani, 1 orang sebagai kepala sekolah dan 1 orang sebagai pengusaha pengolahan nilam.

(44)

29

4.2.2 Kegiatan LMDH Cibanyuhurip

Berdasarkan Nota Perjanjian Kerjasama antara Perum Perhutani KPH Kuningan dengan LMDH Cibanyuhurip tentang Penjagaan, Perlindungan dan Pengamanan sumber daya hutan kayu, kegiatan LMDH Cibanyuhurip diantaranya adalah:

1. Pengamanan Hutan

a) Pembuatan Gubug Kerja

Setiap anggota LMDH memiliki gubug kerja di setiap lahan andil mereka. Gubug Kerja ini digunakan sebagai tempat peristirahatan sekaligus tempat untuk menjaga dan mengawasi lahan andil mereka masing-masing.

b) Patroli Secara Pasif

Masing-masing anggota LMDH wajib melakukan pengawasan atas lahan andil mereka. Kegiatan pengawasan dapat dilaksanakan secara bersamaan pada saat anggota melakukan kegiatan di hutan.

2. Budidaya Tanaman Nilam

Budidaya tanaman nilam dalam kawasan hutan dengan pola agroforestry sudah dilakukan sejak tahun 2006. Kegiatan budidaya tanaman nilam ini dilakukan pada petak 30c seluas 20,00 Ha dengan jarak tanam 0,75m x 0,60m. Tanaman nilam ditanam dibawah tegakan Albizia KU I. Masa tanam nilam adalah empat bulan. Petani dapat menjual nilam basah dengan harga Rp 1700/Kg dan nilam kering dengan harga Rp 7000/Kg. Besarnya proporsi bagi hasil masing-masing pihak disepakati 90% untuk masyarakat desa hutan dan 10% untuk Perhutani.

Setelah melalui proses pengolahan, didapatkan minyak nilam yang dapat dijual dengan harga Rp 600.000/Kg.

3. Penanaman

Anggota LMDH Cibanyuhurip telah melakukan kegiatan penanaman di petak 30b, tanaman pokok Mindi dengan tanaman pengisi Mangium. Seluas 17,40 Ha. Penanaman dilakukan dengan sistem tumpang sari dengan jarak tanam 3 x 3 m. Kegiatan penanaman ini diikuti oleh 94 petani penggarap.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran pelaksanaan Pengelolaan Hutan secara                       Kolaboratif antara Perum Perhutani dengan Masyarakat
Tabel 1  Daftar Kepadatan Penduduk Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan Desa         Sukamulya
Tabel 3  Daftar Mata Pencaharian Penduduk  Desa Cimara, Desa Sumurwiru dan  Desa Sukamulya  Desa   Cimara  Desa  Sumurwiru  Desa  Sukamulya  No  Mata  Pencaharian
Gambar 2  Kawasan LMDH Cibanyuhurip.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan pola pengelolaan seluruh sumberdaya hutan di wilayah Perhutani oleh perhutani, masyarakat desa hutan, dan berbagai pihak

Dalam sistem informasi sumber daya hutan Perum Perhutani terdapat dua jenis database yaitu database SISDH-PDE (Sistem Informasi Sumber Daya Hutan-Pengolahan Data

Berdasarkan hasil penelitian diketahui Pola kemitraan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan tanaman antara Perum Perhutani, PT KIFC dan Masyarakat Desa

Tetapi kini keadaan telah berubah dan mulai membaik setelah diadakannya program PHBM yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani dengan melakukan kerjasama antara Perum Perhutani

Kerjasama anatara perum perhutani Kabupaten Malang dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yaitu Wana Fia Raharja perlu ditingkatkan lagi terutama dalam

Penelitian dengan judul “Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perum Perhutani sebagai implementasi tanggung jawab sosial perusahaan”

Kondisi sosial ekonomi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rukun Makmur sebelum adanya program CSR yang dilakukan oleh Perum Perhutani melalui Pengelolaan Hutan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa