• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BIDANG ARSIP DAN MUSEUM"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT

RAPAT DENGAR PENDAPAT /RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA RUU TENTANG PENDIDIKAN TINGGI KOMISI X DPR-RI

(PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA, PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF, DAN PERPUSTAKAAN NASIONAL)

Tahun Sidang : 2011-2012

Masa Sidang : I (Satu)

Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar Pendapat Umum Panja RUU tentang Pendidikan Tinggi Komisi X

Sifat Rapat : Terbuka

Rapat Ke :

Hari, tanggal : Selasa, 25 Oktober 2011 Waktu : Pukul 14.00 WIB s.d. selesai

Tempat : Ruang Rapat Komisi X DPR-RI

Dengan : 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Rektor UIN Sunan Gunug Djati Bandung 3. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 4. Rektor IAIN Sunaan Ampel Surabaya 5. Rektor IAIN Walisongo Semarang 6. Rektor STAIN Cirebon

7. Rektor STAIN Surakarta

8. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Jakarta

9. Rektor Institut Agama Islam Shalahuddin Al Ayyubi 10. Ketua Forum Komunikasi Ma’had Aly Seluruh

Indonesia

Ketua Rapat : Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si/Wakil Ketua (F-PG) Sekretaris Rapat : Agus Salim, S.H./Kabagset. Komisi DPR-RI

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(2)

2 Acara : 1. Mendapatkan masukan terhadap RUU tentang

Pendidikan Tinggi;

2. Lain-lain.

Anggota Hadir : 16 Anggota dari 26 Anggota

Pemerintah : -

PIMPINAN PANJA RUU TENTANG PENDIDIKAN TINGGI 1. Prof. Dr. H. Mahyuddin NS, SP.OG (K) (F.PD/Ketua) 2. Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si (F.PG/Wakil Ketua) 3. Drs. Utut Adianto (F.PDIP/Wakil Ketua) 4. H. Asman Abnur, SE., M.Si (F.PAN/Wakil Ketua) FRAKSI PARTAI DEMOKRAT

1. Drs. Parlindungan Hutabarat 2. Theresia EE. Pardede, S.Sos 3. Angelina Sondakh, SE, M.Si 4. Juhaini Alie, SH, MH 5. H. Sholeh Soe’aidy, SH 6. Rinto Subekti, SE., MM FRAKSI PARTAI GOLKAR 1. Dra. Hj. Oelfah AS. Harmanto 2. Dra. Hj. Harbiah Salahuddin, M.Si 3. HM. Nasruddin, SH

4. Ir. H. Zulfadhli

FRAKSI PDI PERJUANGAN 1. Nyoman Dhamantra 2. Dr. Ir. Wayan Koster, MM 3. Puti Guntur Soekarno, S.IP

4. Asdy Narang, SH., M.COMM., LAW FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA 1. H. Raihan Iskandar, Lc

2. Tamsil Linrung

FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL 1. Drs. Ibrahim Sakty Batubara, M.AP.

FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 1. Reni Marlinawati

2. Drs. H. Hisyam Alie

FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 1. H. Dedi Wahidi, S.Pd.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(3)

3 FRAKSI PARTAI GERINDRA

1. Jamal Mirdad

FRAKSI PARTAI HANURA 1. Djamal Aziz, B.Sc., SH, MH

KETUA RAPAT (IR. RULLY CHAIRUL AZWAR, M.SI/F-PG) :

Bandung ada ya? Dari Sunan Kaligojo Jogja ada, dari IAIN Sunan Ampel Surabaya ada pak? Dari IAIN Walisongo ada? Dari STAIN Cirebon, oh IAIN sudah bukan STAIN lagi ya? STAIN Surakarta oh sedang keluar ya? Tadi ada ? Sekolah Tinggi Agama Islam AL-Hikmah? Institut Agama Islam Solahudin Al-Ayyubi, ini ada undangan-undangan khusus ini rupanya dari panitia ini.

Forum Komunikasi ...Seluruh Indonesia, Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnadjah ada?

Universitas Muhamadyah Jakarta.

Jadi kita mulai saja?

Assalamua'laikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat sore dan salam sejahtera untuk kita semua.

Yang kami hormati seluruh Pimpinan ini ada Rektor, Direktur, Ketua dari Sekolah Pendidikan Tinggi Agama Islam seluruh Indonesia yang kami undang.

Rekan-rekan dari Panitia Kerja Undang-undang Pendidikan Tinggi yang berbahagia.

Mohon maaf sebelumnya saya selaku Ketua Panja membuka dulu Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Undang-undang Dikti.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 15.45 WIB) Terima kasih.

Kami sekali lagi mohon maaf atas keterlambatan dan tidak bisa dihindari karena besok itu sudah harus ada Rapat Paripurna untuk pengesahan anggaran dan memang acara tadi siang ini tidak dijadwalkan karena jadwal yang sebetulnya ada adalah jadwal ini jam dua kita ketemu Panja Dikti. Tapi karena anggaran itu tidak bisa harus diputuskan di Komisi dulu sebelum dibawa ke Paripurna karena ada perubahan setelah resufhle dimana Kementerian Budpar menjadi Kementerian Parekraf sehingga tejadi perubahan dari satuan kerja dan anggarannya, nah ini meminjam waktu, rencananya jam satu sampai jam dua rencananya sejam saja. Tapi jadinya rupanya tiga setengah jam ya? Dua setengah jam. Jadi kami mohon maaf atas keterlambatan ini bukannya disengaja tetapi memang ada insert, ada tambahan ada pengisian jadwal diluar program yang memang mendesak dan tidak bisa dihindari.

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Sore ini kami dari dari Panitia Kerja Undang-undang Pendidikan Tinggi ingin melakukan komunikasi kembali walaupun sebelumnya kita pernah ketemu dengan forum yang mungkin agak berbeda sedikit. Dalam kaitan pertama kita ingin melaporkan menyampaikan bahwa perkembangan daripada pembahasan Undang-undang Pendidikan Tinggi. Yang kedua highlight yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan diskusi kita bahwa terjadi beberapa kecenderungan

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(4)

4 yang perlu kita sama-sama sepakati. Yang ketiga ya tentu apa yang menjadi aspirasi dan pikiran daripada seluruh Pimpinan Pendidikan Tinggi Islam yang perlu diwadahi dalam RUU ini tentu.

Karena RUU ini namanya juga pendidikan tinggi sebetulnya yang namanya pendidikan ya pendidikan gitu ya, ada ketentuannya bagaimana sektor utama pendidikan umum, istilah pendidikan umum itu ada ditangan Kementerian Dikbud sekarang namanya, ini ganti-ganti namanya juga ini, susah juga ini, jadi kalau nanti di Undang-undang tadinya Diknas jadi Dikbud sekarang. Menteri yang mengurusi pendidikan tinggi apa...supaya kalau ganti nama lagi sudah nggak ada masalah ya?

Karena itu kami sebelum mendengarkan apa yang menjadi pikiran dari bapak dan ibu kami menyampaikan sedikit bahwa perkembangan pembahasan Undang-undang RUU yang kita awali sampai dengan Juni tapi DIM-nya sendiri baru masuk sudah menjelang masa sidang yang lalu.

Sehingga kita sebetulnya sudah masuk ke masa sidang kedua sekarang, tapi waktu masuknya DIM dari pemerintah itu sudah bulan Juli kalau nggak salah dan setelah DIM itu dibahas didalam Panja internal antara pemerintah dengan DPR mengalamai beberapa kali perubahan dan yang kami ingin sampaikan adalah tidak ada perbedaan yang terkait dengan masalah-masalah yang politis tidak ada. Secara politik antara fraksi-fraksi dan DPR itu tidak banyak berbeda dan mungkin sama. Bahkan pemerintah dengan DPR pun akhirnya menyepakati untuk persandingan DIM itu dikompromikan kembali untuk jadi naskah baru yang secara bangun baru itu bisa mewadahi tiga tujuan atau sasaran besar yang kita inginkan dari hasil RUU ini pertama adalah daya tampung pendidikan tinggi bermutu itu pertama banyak, tidak hanya terkonsentrasi kepada beberapa perguruan tinggi favorit saja. Jadi daya tampung yang bermutu menjadi kata kunci bukan jumlah pendidikan tinggi ditambah sekarang sudah banyak, 3.1520 pendidikan tinggi ditambah dengan perguruan tinggi Islam mungkin jumlahnya ada 531. Jadi sebenarnya jumlah pendidikan tinggi itu sudah luar biasa banyak ya? Cuma sekarang yang kita mau tambah adalah yang bermutunya yang mau ditambah. Sehingga disitu ada pesan-pesan bagaimana menjamin mutu, bagaimana membuat pendidikan tinggi ini bermutu.

Yang kedua yang paling penting menurut saya adalah membuat pendidikan itu bukan barang eksklusif, barang mahal yang tidak terjangkau oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Keterjangkauan ini menjadi kata kunci kedua, sebenarnya kita mencari akal sedemikian rupa bagaimana terjangkau ini bukan murah ya? Memang ada cost tetapi cost itu bisa terjangkau oleh mahasiswa. Jadi itu mencari dari aspek program studinya sendiri disubsidikah atau dibuat sedemikian efisienkah atau mahasiswanya diperkuat dengan beasiswa atau bantuan-bantuan yang bisa membuat mereka itu menjangkau.

Yang ketiga mengembalikan fungsi pendidikan tinggi sebagai central of excellent , disitulah ada penelitian, disitu ada pengabdian masyarakat, disitulah siswa datang mencari kompetensi bukan mencari gelar atau ijasah. Mengembalikan fungsi pendidikan tinggi itu betul-betul menjadi tempatnya mencari kompetensi. Walaupun tidak semua harus menjadi Insinyur, Sarjana atau Magister atau Doktor, bisa juga menjadi ahli-ahli yang bidang Vokasi yang bisa terapan langsung.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(5)

5 Saya pikir tiga ... inilah yang membuat kita me-review kembali seluruh program, tanggal 27 September kita buat naskah yang baru. Naskah itu sangat berbeda dengan sebelumnya, makanya kami laporkan kita undang lagi karena ada naskah baru, dimana dalam pikiran ini terkait juga dengan masalah tata kelola nanti, tata kelola itu untuk membuat pengelolaannya lebih bermutu tadi, dalam kaitan mutu tata kelola itu. Sehingga ada 3 macam tata kelola. Kedua, kita ingin nantinya ada satu penyederhanaan. Tidak semua program studi dikelola oleh kementerian- kementerian yang sebetulnya tugas pokoknya bukan menangani pendidikan. Kecuali Kementerian Agama, begitu ya. Kementerian Agama, kita anggap mempunyai historis yang cukup panjang didalam mengelola pendidikan keagamaan, sehingga ini yang ingin kita uji.Walaupun ada catatan dari teman-teman, ini catatannya ya, ya kita kembalikanlah kalau memang ada prodi keagamaan ya, keagamaan ini benar-benar yang keagamaan yang kental keagamaan. Kalau UIN bagaimana, ya Pak Komar ya? UIN memang sekarang sudah memadukan, walaupun kita paham bahwa unsur- unsur yang masuk kedalam prodi umumnya makin lama makin dominan begitu ya, tapi tetap argumennya apapun juga, Prodi keagamaannya tetap memancarkan begitu ya, nilai-nilai ke semua unsur umum itu ya, kami setuju-setuju juga begitu. Tapi nanti kita bicara, bagaimana kita membuat satu bangun baru, yang nanti jelas tanggung jawabnya, begitu. Kementerian Diknas, kementerian lain, dan Agama. Jadi ini nanti dalam diskusi saya juga belum tahu sejauh mana kita bisa nanti memperdebatkan ini, mempersoalkan ini atau mendialogkan ini, membahas ini, kalau UIN ini ada didalam pembinaan Kementerian Diknas, bagaimana ya kira-kira pemikiran Bapak-Ibu, kira-kira begitu. Tapi kalau yang perguruan tinggi-perguruan tinggi yang memang masih kental sekali prodi agamanya ya tetap lanjutkan, begitu. Kita tidak mempersoalkan eksistensinya. Harus ada, harus sudah ada kok, begitu ya. Cuma masalahnya tinggal dalam pembinaan kementeriannya saja, begitu, yang pindah. Agama tetap mempunyai, Mahat Ali sudah pasti kental agamanya, itu sudah pasti dibawah Kementerian Agama itu, misalnya ya contoh. Jadi yang diniyah ini, kebanyakan kita yang diniyah ya, diniyah ini juga kita pilah lagi. Kita ingin nanti, jangan sampai ada 2 paradigma pendidikan umum, sehingga pendidikan umum yang sekarang ada dalam tugas pokoknya Kementerian Diknas ini, ini salah sejarah kita. Sejarah mengatakan bahwa kita tidak cepat menangani itu, membiarkan sesuatu berlarut-larut dan nanti terjadi semacam ini, semacam dispute lagi, begitu. Padahal maksudnya semua sama-sama, kita ingin semua berjalan dengan baik, tetapi dalam relnya yang memang kita atur dalam hal-hal administrasilah ini. Ini bidang administrasilah ini, menurut saya begitu. Ini berjalan lebih efisien, lebih tertib. Kalau contentnya kita tidak ikut campurlah.

Itu saja ya pengantar kami, kami minta nanti satu per satu bicara. Tidak mungkin ini karena ini tidak bisa mewakili satu ...

F-PKS (H.RAIHAN ISKANDAR, LC) :

Pimpinan, mungkin sebelum semua sektor kepala ini bicara, perlu dibatasi waktunya sampai jam berapa, Pimpinan, supaya pembagian pembicaraan lebih jelas.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(6)

6 Terima kasih Pimpinan.

KETUA RAPAT:

Nah ini mohon maaf ya, kami mulainya terlambat ya? Kami biasanya dari jam 14.00 WIB sampai jam 16.00 WIB biasanya itu. Kalau sekarang jam 16.00 WIB, sampai jam 18.00 WIB.

Paling lambat jam 18.00 WIB kita sudah harus menyelesaikan tugas, kalau bisa lebih cepat. Jadi disini kalau kita mau inventarisasi, ada 12 unsur disini. Kalau kita punya waktu, Bapak-Bapak sejam dulu bicara, nanti kasih kesempata kita ini, dari Pemerintah dan dari Dewan menanggapi, lalu nanti akan ada dialog sedikit. Kita kasih waktu 1 jam lagi, sehingga acara bisa kita tutup jam 18.00 WIB paling lambat, sebelum Magrib. Kalau disepakati, kita buat dulu sampai jam 18.00 WIB, supaya kita tidak menganggu Magrib kita ya? Karena itu 17.30 WIB lebih cepat lebih baiklah, biar bisa lebih cepat. Supaya jangan menganggu waktu Magrib juga lah.

Kedua, karena itu pembicaraan kita bisa cukup efektif, efisien menyampaikan masukan, kalau ada 12 pembicara, masing-masing kita beri waktu dulu kira-kira 5 menit sudah sejam itu. Ada yang mau pakai hak bicara atau tidak, terserah, tapi saya tidak bisa membatasi, kita mulai saja langsung dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Silakan Pak Komar.

REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH (KOMARUDIN HIDAYAT) : Terima kasih Bapak Pimpinan.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Izinkanlah saya langsung saja menyampaikan beberapa pointers, karena mengingat waktu. Pertama, kebetulan edisi jurnal wisuda kami, sudah saya sampaikan itu, temanya itu sekarang, 6 UIN untuk umat dan bangsa, dan sudah saya sampaikan ke Pak Pimpinan. Dalam halaman 40 itu saya menulis kolom tentang UIN dalam Perbincangan, halaman 40.

Secara umum, saya akan mulai dengan merefer dulu Pak Munawir Sazali kemudian beberapa Menteri, Cak Nur, Gus Dur, itu kepikir begini, bagaimana menarik umat Islam yang dulu termarginalkan, yang bisanya marah-marah, dia merasa mayoritas, tapi minoritas dalam kualitas, ini mengalami transformasi. Dan perubahan itu tidak ada jalan lain, kecuali pendidikan. Dan pendidikan disini, meneruskan dengan sejarah pendidikan abad tengah, bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi agama dan umum. Menurut Qur’an juga tidak ada. Itulah sebabnya kemudian waktu itu Pak Munawir Sazali mengirim sebanyak-banyaknya anak santri untuk studi ilmu sosial ke barat.

Dan sekarang ini orang-orang yang dikirim Pak Munawir sudah mulai nampak bermunculan, berdatangan. Jadi ketika bicara tentang Islam in democracy, Islam in human right dan seterusnya, sesungguhnya kita tidak bisa melupakan itu jasa waktu Pak Munawir Sazali mengirimkan itu.

Yang kedua, kemudian, IAIN menjadi UIN, itu juga ingin mengajak agar umat Islam itu mempunyai kemampuan teknokratik, sehingga mereka terlibat untuk bisa memiliki negara ini.

Sebab kalau tidak, nanti mereka marah-marah dan mereka hanya mengganggu pembangunan.

Nah oleh karena itu, salah satu peran yang didesain IAIN-IAIN ini, satu, menarik gerbong masyarakat yang terpinggirkan, lembaga-lembaga pesantren dan sebagainya, agar mereka itu

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(7)

7 merasa mantap, percaya diri, bagian dari negara, dari Pemerintah ini. Dengan kata lain, peran pendidikan di IAIN sebenarnya meredam radikalisme yang ada di Indonesia, dan ini sudah kami lakukan.

Nah yang ketiga, bahwa UIN ini masih baru. Jadi kalau ingin melihat hasilnya, jangan sekarang ini. Tapi kita lihat visinya, misinya, strateginya. Bahkan di UIN ini sekarang kami, UIN Jakarta sekarang mahasiswanya ada 22.000, tapi kami punya keinginan, rancangan cukup 15.000 saja. Kita cari yang pintar-pintar, kita kasih perbanyak beasiswa, dan sekarang sudah banyak beasiswa, sehingga mereka betul-betul anak yang pintar-pintar. Dengan demikian dari kampus inilah menjadi sumber peradaban, ditengah maraknya parpol ormas keislaman, yang kadang- kadang mereka itu miskin, wawasan komprehensif konseptual. Nah mestinya kampus punya wibawa moral, intelektual, ditengah dinamika politik, ormas dan sebagainya. Jadi arahnya kesana.

Oleh karena itu, salah satu visi, misi, UIN ini programnya, integrasi, jadi ketika dulu saya dipesantren saya ditanya, “disini pelajaran agama berapa persen, umum berapa persen” Kyai saya mentertawakan, “disini agama 100%, umum 100%” begitu. Sebab 50%, namanya setengah- setengah, begitu lho. Tapi pesan moral dari itu adalah apa? Bahwa kita itu mengintegrasikan.

Makanya kalau dilihat, UIN itu yang umum berapa persen, prodinya 70, agama 30, itu tidak kena untuk membaca UIN. Karena tujuannya itu adalah integrasi. Nah integrasi inilah yang kita harapkan sebagai suatu lokomotif, menarik gerbong, membangun sikap percaya diri. Disini ada 6 alasan mengapa jadi UIN. Tapi saya ingin singkat saja, bahwa bagaimana kira-kira, apakah UIN ini mau masuk di Depag atau di Diknas. Bagi saya, itu sekunder. Yang primer adalah, bagaimana menarik, mendorong, agar terjadi transformasi mobilitas intelektual dan keIndonesiaan dari orang- orang yang selama ini menjadi client, nasabah, santri dari IAIN-IAIN itu sehingga mereka merasa tertarik, sehingga mereka tidak mengandalkan massa, tapi kualitas. Bagi saya, kalau toh masuk DIknas, tidak apa-apa, tapi asal konsepnya jelas. Masuk Depag, oke, tapi harus ada perbaikan.

Sehingga pertanyaan saya, apa yang dianggap fatal sekarang ini, kalau toh UIN ini masuk Diknas, begitu. Dan apa alasan yang kuat kalau tetap dipertahankan di Depag. Sebab kalau tidak hati-hati, kita sekali salah membuat undang-undang, peraturan, itu dampaknya bisa generasional. Makanya saya senang kalau kawan-kawan di DPR juga melalukan riset yang cukup mendalam, mendalami, mengkaji, interview lapangan, sehingga tahu betul apa yang sesungguhnya ada dibawah itu.

Jadi terakhir, sekali lagi saya sampaikan, terima kasih, tapi intinya bahwa setiap perubahan undang-undang ini, ini menjanjikan masa depan.

Sebagai penutup, saya itu ngiri. Kalau di Amerika itu ada IFI League, Ada Harvard, ada Boston, ada Yale, dia itu punya wibawa moral, intelektual. Kalau di Inggris ada Oxford, ada Cambridge, di Perancis ada Sorbonne, kemudian di Mesir ada Alhamdulillah Azhar. Indonesia ini dikenal bagi bangsa asing, the largest and the most moslem country in the world. Tapi tidak ada perguruan tinggi yang kualitatif. Nah saya ingin bahwa UIN didorong menjadi seperti itu, sebagai window bagi dunia, dan ini sebagai mitra bagi masyarakat, jembatan bagi Pemerintah, dan disitulah muncul orang-orang yang memang menjadi leader, dalam arti kepemimpinan. Dan

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(8)

8 makanya ke depan, kami ingin UIN ini mahasiswanya sedikit saja. Seperti ITB. ITB itu hanya 15.000 kalau tidak salah. Kompetitif sekali, dan ini di UIN sudah kami mulai. Kedokteran, itu highly competitive, itu di Kedokteran. Dan ke depan, kita akan membuat kompetitif seperti itu, sehingga sedikit tapi bermutu. Nanti mau masuk Diknas atau Depag, kami akan mendengarkan berbagai pikiran-pikiran dari berbagai stakeholder yang ada.

Sementara itu Pimpinan, terima kasih.

KETUA RAPAT :

Terima kasih Pak Komar.

Jadi pikiran Pak Komar sangat kita perhatikan Pak, bahwa itulah saya pikir, yang lain juga tidak peduli siapa Bapaknya, yang penting Bapak tanggung jawab begitu ya, yang penting anaknya sekolah dengan baik.

Baik, yang saya catat adalah esensinya, mau Departemen Agama atau Dikbud, tidak ada masalah ya? Silakan dari Sunan Gunung Jati, Bandung.

REKTOR UNIVERSITAS GUNUNG JATI BANDUNG : Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yang terhormat Pak Ketua,

Saya tahun 2007 kalau tidak salah diajak oleh Pak Presiden, keliling Timor Tengah, ada 6 negara. Kebetulan waktu itu ada sekitar 10 Menteri, dan saya waktu itu sebagai Presiden ICMI, bukan sebagai rektor. Diajak untuk keliling Timur Tengah. Waktu keliling Timur Tengah itu, masuk ke perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada disana. Diseluruh perguruan tinggi di Timur Tengah itu, mulai dari Kuwait, Saudi Arabia, Qatar, dan lain-lain, itu tidak ada satupun perguruan tinggi itu yang hanya khusus prodi agama. Dalam arti khusus sekolah tinggi agama Islam, misalnya begitu.

Tapi semua disitu, perguruan tinggi yang dikunjungi itu, disitu pasti ada prodi agama, dalam arti ilmu-ilmu keIslaman, dan ada sains dan teknologi. Saya tanya kenapa bisa begini. “Pak, katanya, ini kalau kita ingin mengembalikan sesuai dengan semangat Alquran dan secara empirik menunjukkan bahwa umat Islam pernah menguasai peradaban dunia pada waktu Ibnu Sina lahir.

Ibnu Sina yang ahli kedokteran tapi fasih bicara agama, Ibu Khaldun, ahli ilmu sosial tapi fasih bicara agama, ini seperti ini, katanya. Tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan umum. Nah, jadi perguruan tinggi yang hanya ada agama saja itu ada di Indonesia, sebenarnya.

Oleh karena itu maka kembali kepada persoalan pokok bahwa kenapa IAIN mesti berubah menjadi UIN, itu sebenarnya ingin mengembalikan kepada yang sebenarnya, yang juga seperti di Timur Tengah tadi. Itu Al Azhar itu, itu kedokterannya itu hebat sekali. Cuma prodi agamanya seperti yang paling unggul di Indonesia. Padahal disitu banyak orang Indonesia kelulusan dokter pertanian yang dari Al Azhar, tapi kebetulan yang muncul adalah lulusan-lulusan agama saja.

Kembali ke persoalan pokok Pak Ketua, begini ya, setelah IAIN berubah menjadi UIN, misalnya Bandung saja ya, asalnya yang 5000 mahasiswa, 2001-an, sekarang ini sudah 22000 mahasiswa. Yang kedua, peminat, peminta tertinggi itu, pendidikan agama. Peminat kedua baru

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(9)

9 teknik informatika. Pertanyaan berikutnya, apakah yang kurang peminatnya? Yang kurang peminatnya itu dari prodi agama ada, misalnya apa? Perbandingan agama. Prodi umu apa, yang dunia kurang? Fisika dan biologi. Jadi wajar-wajar saja. Jadi, logika saya ketemu dengan Pak Joko Dirjen Dikti. “Pak, kok jadi berkurang, setelah jadi UIN, prodi agama”. Saya bilang “dari mana data itu, itu tidak benar”. Prodi agama juga sama ada yang kurang peminatnya, prodi umum juga sama, ada. prodi agama, prodi umum juga, ada yang tinggi peminatnya, prodi semua ada. tidak benar itu.

Jadi kalau dengan kehadiran UIN, prodi agama terpinggirkan, sama sekali terbantahkan data itu.

Tapi justru dengan kehadiran UIN, bahwa itulah, pendidikan yang benar itu memang mendikotomikan antara agama dan umum. Dan saya pikir sesuai dengan tuntutan pembangunan.

Seperti kata Pak Komar tadi, partisipasi umat Islam itu harus diberi ruang yang lebih dari ritual agama dalam pengertian.... tapi aspek-aspek ghairu magdah atau aspek-aspek sosial dan kemasyarakatan. Sehingga dia merasa in di Indonesia ini, dia bicara ilmu-ilmu agama, tapi juga berbicara, fasih bicara masalah-masalah kemasyarakatan pembangunan. Sehingga merasa duduk di rumahnya sendiri, tidak dipinggirkan oleh karena sistem pendidikan. Nah dengan adanya UIN ini, seperti lahirnya Kedokteran, ahli teknik informatika, dari .... itu sudah semacam ada percaya diri yang kuat, tapi dia juga fasih bicara agama.

Kemudian yang berikutnya Pak Ketua, Peraturan Presiden No. 54 itu, pendirian IAIN jadi UIN itu, itu disebutkan, Prodi agama itu tugas dari Departemen Agama, prodi umum itu pengembangannya, akademiknya adalah tugas Diknas. Yang sekarang dalam realitas, yang agak mandeg ini, tugas prodi umum dikembangkan, dibina oleh Diknas. Karena tidak ada kerja sama, saya sudah pernah mengusulkan, maka diundang waktu itu Dirjen Dikti masih Pak Fasli, ke Bandung, 6 UIN dikumpulkan. Bahwa prodi umum itu tugas Diknas, menurut Peraturan Presiden itu. Prodi agama, tugas Departemen Agama. Nah karena itu harus dipayungi, harus dijabarkan, dari Peraturan Presiden itu antara MOU antara Menteri Agama dan Menteri Diknas, dan Dirjen Pendidikan Agama dan Dirjen Pendidikan Dikti. Akhirnya, akan sejalan apa yang disebut dalam Peraturan Presiden. Kata Pak Fasli, betul kalau begitu, ini tugas undang-undang, bahwa saya membina prodi umum di UIN itu adalah tugas saya, katanya. Termasuk masalah interpretasi anggaran. Nah ini yang tidak jalan. Tidak jalan dari aspek tugas Menteri Diknas membina prodi umum di UIN. Termasuk anggarannya tidak jalan. Sehingga terjadi, kalau dosen UIN mau ikut testing sekolah ke luar negeri, yang 1000 orang, tidak bisa, karena ini Departemen Agama, ini hanya untuk DIknas. Padahal menurut semangat undang-undang, harusnya boleh. Persoalannya adalah karena di Direktur yang menjabarkan ini, tidak ada payung hukumnya untuk MOU.

Nah karena itu Pak Ketua, melalui wakil rakyat ini, wakil-wakil kami, Bapak-Bapak ini.

Aspirasi kami ini, saya tidak akan basa-basi seperti Pak Komar. Kalau ini boleh, kalau ini boleh, kalau ini boleh. Bahwa UIN berada di Departemen Agama itu adalah lebih baik, kalau menurut saya. Dan saya usul, pertahankan ini. Tapi tutupi kekurangannya. Kekurangannya itu tadi, Peraturan Presiden No. 54 tentang Perubahan jadi UIN, segera MOU antara Menteri Agama dengan Menteri Diknas, Dirjen Pendidikan Islam dengan Dirjen Pendidikan Tinggi, untuk

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(10)

10 memprosentasikan anggaran, sehingga sejajar, dibiayai dan dibina. Nah dengan demikian, saya sependapat dengan Pak Komar, nanti jangan ada kesalahan sejarah, sehingga kita ini misalnya memindahkan UIN dibina oleh Departemen Pendidikan Nasional, yang akhirnya ahistoris dari aspek pengembangan ini tadi.

Saya usul sekali lagi, dan saya akan pertanggungjawabkan, dan ini sudah bicara dengan civitas akademika UIN Bandung, bahwa pertahankan di Departemen Agama. Tapi apa kekurangannya? Itu lakukan. Dimana kesalahannya? Saya berpendapat, ini kesalahannya adalah di level jajaran untuk mempersentasikan Peraturan Presiden itu tadi. baik di level Menteri, di level dirjen dan direktur. Sederhana, sebenarnya. Sebenarnya tidak ada undang-undang Pendidikan Tinggi saja. UIN itu, sepertinya ini bisa jalan, asal Perpresnya dijabarkan. Oleh karena itu untuk BHMN, untuk ini, terserah saja, ada khusus, ada macam-macam. Tapi UIN, seperti hari ini, harus kita pertahankan.

Terima kasih Pak.

KETUA RAPAT :

Baik, terima kasih, dari Gunung Jati.

Ini memang persoalan ini terjadi karena sudah dari awalnya ada Menteri Agama mengurusi pendidikan ya? Kalau dinegara lain tidak ada, Pak. ITu satu saja yang mengurusi pendidikan. Negaranya Islam, tapi yang mengurus pendidikan satu. Jadi tidak ada dua paradigma.

Indonesia sudah kadung ada 2 yang mengurusi pendidikan, bahkan sekarang jadi 18, bukan 2 lagi.

Semuanya mengurus pendidikan, semuanya mengatakan kurang anggaran. Persoalannya di adminstrasi kok, bukan di rohnya contentnya ya? Contentnya kita sepakat, tidak ada masalah.

Karena administrasinya pecah, inilah kita mau buat undang-undang, undang-undang ini harus menyelesaikan persoalan tuntas, Pak. Kalau tidak tuntas ya kita menyisakan persoalan lagi.

Baik, yang bagus sih sebetulnya satu kementerian mengurusi pendidikan, yang bagus Pak ya? Dan isinya, semuanya itu warnanya itu ada yang didalam pendidikan itu, mau prodi apapun juga. Agama juga ada didalam, mestinya itu begitu Pak. Tapi ada historis ya Bapak ya? Tadi Bapak ya? Nah Islam ini punya historis yang tidak bisa kita, nah itu yang kita pikirkan.

Silakan dari yang ketiga, kita minta pendapatnya dari Yogyakarta, UIN, silakan.

REKTOR IAIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA:

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saya ingin menambahi dari rekan terdahulu. Siang ini kita membicarakan Undang-undang Pendidikan dalam konteks NKRI. Kalau kita bicara mengenai NKRI, maka keutuhan NKRI itu mendapatkan tantangan dari paling kurang 2 hal. Yang pertama, kesenjangan dan kedua, radikalisme. Kalau kesenjangan itu makin tajam, juga ini akan mendorong radikalisme. Kalau kita lihat keadaan ini, maka sebenarnya UIN itu lahir dari usaha untuk memberi jawaban terhadap kesenjangan dan radikalisme. Dan ini dibuktikan oleh beberapa temuan, bahwa radikalisme keagamaan itu muncul karena pemahaman agama yang parsial. Di kita bisa dilihat bahwa

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(11)

11 sesungguhnya radikalisme keagamaan itu justru muncul dari pemahaman agama yang setengah- setengah. Itu yang pertama.

Yang kedua, kita melihat bahwa UIN itu lahir untuk memberikan jalan keluar dari kehidupan umat Islam yang sebagian besar itu masih dihimpit kemiskinan dan pendidikannya termarginalisasi. Jadi UIN ini sebenarnya lahir dari jawaban untuk menjawab tantangan itu. Jadi menurut kami, kalau kita ingin supaya pendidikan di Indonesia ini bisa menjaga NKRI, maka radikalisme dan kesenjangan itu harus diatasi. Dan itu jawabannya antara lain adalah lahirnya Universitas Islam Negeri itu. Sebagai contoh umpamanya saya kira ini perlu dipahami realitasnya itu kayak apa, supaya ketika undang-undang itu dijadikan undang-undang, itu tidak menjadi masalah, sebagaimana bermasalahnya banyak undang-undang yang dilahirkan. Nah pemahaman realitas itu perlu, juga pemahaman terhadap kenapa muncul UIN yang seperti sekarang lagi kita bahas. Buat kami, substansi dari UIN itu sebagai upaya untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, yang kalau berada pada posisi bertentangan, itu tidak menguntungkan buat NKRI. Jadi substansinya itu harus dijaga. Kami tidak mempersoalkan dia harus ditangani oleh siapa. Tetapi NKRI yang ingin menjaga multi kulturalisme dan juga mengatasi kesenjangan ini juga maka substansi UIN itu harus tetap dipertahankan. Bahwa itu kemudian yang menangani kementerian yang mana, sebenarnya lebih, bagi kami adalah lebih baik kita menjaga substansinya. Karena kalau di kementerian yang satu, kami juga substansinya juga tidak terjaga, juga sama saja, apakah itu dimana saja.

Jadi singkatnya, yang ingin kami sampaikan adalah, NKRI itu sebenarnya yang membutuhkan UIN itu, untuk menjaga tadi. Nah substansi ini harus dijaga, oleh siapapun yang mendapatkan tugas dari Undang-undang ini untuk mengembangkan ini. Saya kira itu saja tambahan dari saya, kurang lebihnya mohon maaf.

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT :

Maksudnya Pak? Semua nanti kebagian bicara, Pak.

Baik, terima kasih dari Sunan Kalijaga. Sekarang saya persilakan Sunan Ampel. Bapak ya?

PUREK IAIN SUNAN AMPEL (ABDUL A’LA) : Terima kasih.

Jadi memperkuat yang disampaikan, KETUA RAPAT :

Pak, namanya diperkenalkan.

PUREK IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA (ABDUL A’LA) :

Jadi saya ini ban serep, Pak Prof. Syam ini lagi off, ada 2 bulan lagi di Pejompongan. Jadi saya PR I, Abdul A’la, saya, di PR I IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pak Rully.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(12)

12 Jadi memperkuat apa yang disampaikan Pak Komar, kemudian Pak Musa, betul. Secara teknis, kita tidak mempersoalkan. Dimanapun tempat kita, mungkin tidak persoalan. Yang penting, Islam Nusantara, Islam Indonesia, itu harus kita jaga untuk mengembangkan, untuk melestarikan NKRI. Mengapa lahir Pak Komar, mengapa lahir Pak Amin Abdullah, mengapa lahir Pak Musa? Itu hasil didikan dari substansinya UIN. Cuma persoalannya, ketika dia harus hengkang dari Kementerian Agama ke Kemendiknasbud, ada persoalan yang mungkin justru sedikit menggugat tentang keutuhan NKRI ini. Ketika dia harus di Kemendiknas, maka apakah dia masih berhak, mencoba memberikan bobot mata kuliah agama, keagamaan Islam, dalam hal ini UIN memang Islam, lebih dibandingkan dengan PTN yang lain. Apakah harus dianakemaskan, UIN ini? Kalau harus dianakemaskan, bagaimana misalnya PTN-PTN yang disana mayoritas Kristen? Mereka juga akan menuntut seperti itu, pasti akan menuntut, kalau kurikulumnya tetap seperti sekarang, tidak sama dengan PTN yang lain, maka seperti disana, di Timor NTT misalnya, kemudian di daerah Papua, Cendrawasih, ada kemungkinan akan menuntut hal itu, harus menuntut yang sama.

Kemudian yang lain, seperti UGM, apa posisinya? Dia misalnya akan melakukan hal yang serupa.

Yang terjadi adalah sebuah diskriminasi. Berbeda misalnya di Kemenag, karena memang di Kemenag ada tugas pendidikan bernuansa keagamaan. Jadi tidak salah. Nah ketika bernuansa keagamaan, dalam perspektif Islam, agama seperti disampaikan Prof. Komar tadi, tidak terbatas kepada fiqih teologi dan akhlak, tapi mencakup aspek humaniora, minimal bagaimana kita membutuhkan filsafat, kemudian sosiologi untuk mendekati Islam secara kontekstual, sehingga lahirlah islam nusantara itu, Islam seperti Pak Komar, Islam kita semua, yang mayoritas. Dan saya tidak membayangkan, seandainya, misalnya, disalah satu PTN, bagaimana gerakan Islam Trans nasional itu begitu kuatnya. Mereka tidak tahu lagi tentang Islam Indonesia, mereka tahunya adalah Islam Arab sana misalnya. Tapi coba Bapak cari di UIN Yogya atau di UIN Syarif Hidayatullah, mungkin ada satu, tapi lama-lama tidak kerasan, begitu. Ini sumbangsih UIN.

Menurut saya tidak ada persoalan, baik di Kemendiknas, maupun di Kemenag. Tapi ada persoalan-persoalan, jadi ketika diundangkan seperti ini tadi, jangan sampai kita membuat kesalahan.

Mungkin itu, terima kasih.

KETUA RAPAT :

Terima kasih Pak, dari Sunan Kalijaga, eh Sunan Ampel, maaf.

Selanjutnya, dari Walisongo Pak, Semarang.

REKTOR IAIN WALISONGO SEMARANG : Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Nama saya ...., kalau berbicara masalah idealnya, itu ya pendidikan itu berada dibawah Kementerian Pendidikan, idealnya, kalau kita berbicara ideal. Tetapi Indonesia ini kan negara yang unik, begitu. Jadi ada Kementerian Agama yang juga tidak bisa dinafikkan dari baik itu aspek sejarahnya juga kenyataannya sekarang ini, ada perguruan tinggi swasta saja itu ada sekitar 600,

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(13)

13 yang negeri 53, belum lagi madrasahnya yang puluhan ribu. Jadi ini sebuah kenyataan. Oleh karena itu menurut saya, dalam menetapkan undang-undang itu supaya tadi itu tidak terjadi hal-hal yang salah kemudian hari, sehingga akibatnya akan sangat-sangat merugikan kita semua.

Kemudian kalau saya melihat tadi ada semacam tawaran, begitu, tawaran apakah universitas negeri itu akan masuk dalam pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional atau Agama. Barangkali dari wacana inilah yang kemudian kami menjadi korban, Pak. Kami, saya itu, dalam arti IAIN Walisongo dan juga IAIN Sunan Ampel. Beberapa waktu yang lalu kami kan sudah memproses, bahkan memproklamirkan diri, bahkan hampir setiap hari saya itu menulis dalam web saya, dan hampir setahun ini untuk memperjuangkan itu, salah satunya. Tetapi pada bulan-bulan yang lalu sebelum bulan puasa, itu kami kan diundang untuk presentasi. Menurut para panelis itu kami sudah pantas, memenuhi syarat untuk menjadi UIN. Tapi sampai sekarang itu tidak ada rekomendasi, jadi kami tidak bisa memproses. Padahal dari berbagai aspek itu, kalau tidak dilanjutkan itu, ada kerugian. Karena kami sudah mempersiapkan 2 tahun terakhir, rekruitment dosen itu kami persiapkan untuk prodi-prodi yang kami ajukan ke DIkti. Waktu itu bahkan kami mengundang Dirjen Dikti, Prof. Joko itu untuk datang, dan Alhamdulillah perhatiannya cukup lumayan. Rektor UNDIP dan UNAIS juga datang mendukung. Jadi sesungguhnya dari warga dan juga dari tokoh-tokoh sekitar itu sudah mendukung. Kami ini sekarang selalu ditanya, kalau ketemu tokoh-tokoh itu, kapan realisasi UINnya? Karena semua tahu bahwa UIN sebagaimana tadi yang disampaikan oleh Prof. Komar, Prof. Musa, itu keberadaannya itu memang sangat tidak bisa dinafikkan, dalam arti ketika kita merujuk kepada ajaran Islam, Alquran misalnya itu, itu tidak ada perbedaan, antara ilmu agama dan ilmu umum. Disana tidak ada, itu ya harus integrasi. Integrasi keilmuan. Jadi tidak berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang ada itu, karena sebagai umat Islam yang mengkaji tentang Islam itu tentu ya harus mengikutsertakan itu, meskipun tidak seluruhnya sama, begitu. Nah ini antara lain yang barangkali, barangkali ya, karena ada semacam “ketakutan” dari Kementerian Agama, jangan-jangan nanti kalau jadi UIN semua itu, garapan pendidikan menjadi hilang. Sebagaimana dulu itu kan pernah kehilangan Pengadillan Agama yang dulu di apa itu kemudian di Mahkamah Agung. Kalau pendidikan ini hilang dari Kementerian Agama, maka yang dikerjakan oleh Kementerian Agama mungkin hanya haji dan mungkin sedikit hanya tentang pelayanan administrasi keagaamaan lain. Tapi pendidikan ini paling banyak dan anggarannya pun tentu kalau itu dibandingkan dengan yang lain, itu menjadi banyak, begitu.

Karena itu kami mohon disini karena kita berbicara di Negara kita, di Indonesia yang tadi saya katakan unik, dan Kementerian Agama tidak mungkin bisa dipisahkan dari pendidikan ini.

Tapi kalau itu idealnya dan ada revolusi yang katakanlah dalam bentuk revolusi itu ya, tidak ada salahnya. Tapi kalau itu belum sampai, ya apa yang sekarang ini ada, Universitas Islam, kemudian IAIN, STAIN, dan Sekolah Tinggi Agama lain, itu tetap berada didalam pembinaan Kementerian Agama. Menurut saya, tidak ada persoalan. Pembinaan-pembinaan dalam rangka pengembangan keilmuan itu sudah jelas, begitu. Ini yang kami rasakan, sehingga saya mencatat, terus-terang

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(14)

14 saya itu sudah mencermati beberapa draft RUU ini, tetapi ternyata baru kemarin sore saya dapat yang diemail dari sini dan setelah tadi malam saya baca itu memang sudah banyak yang sesuai.

Tetapi ada beberapa yang perlu saya sampaikan, barangkali ini di Pasal 43 ayat (3) itu apakah memang itu disengaja atau kelupaan? Jadi disini Pasal 42 ayat (3) , pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kan disitu tercantum ayat (1), mestinya ayat (2) kan itu, berbentuk institute, sekolah tinggi dan atau akademi.

Universitasnya hilang. Padahal kalau tadi, sejarah dan juga argumentasi yang dikemukakan oleh kawan-kawan yang lebih awal itu, UIN itu masih tetap diharapkan di Kementerian Agama.

Meskipun secara ideal tadi, itu sudah dikatakan itu. Kalau kemudian ini menjadi Undang-undang, kemudian kan UIN secara otomatis itu tidak berada di Kementerian Agama, karena ini disini tidak ada universitas, hanya institute, kemudian Sekolah tinggi. Ini yang saya catat disini. Kemudian masih banyak salah ketik juga ada.

Kemudian juga yang Pasal 1 ayat (26) itu antara ilmu pengetahuan dan teknologi itu perlu ada tanda koma. Ini hanya teknis saja. Pasal 4 itu, mungkin hanya sekedar rasa bahasa yang tidak enak, begitu, perguruan tinggi bertujuan disini bertujuan, berkembangnya, begitu. Nah akan lebih manis misalnya kalau bertujuan : a. mengembangkan potensi mahasiswa dan seterusnya, bukan berkembangnya. Dan juga b. dihasilkannya, itu bukan dihasilkannya, tapi bertujuan untuk menghasilkan dan seterusnya, sampai d.

Sementara fungsi, biasanya itu kata-kata yang bergandengan dengan fungsi itu tidak berupa kata kerja. Kalau disini, Pasal 5 itu, perguruan tinggi berfungsi mengembangkan. Ini akan lebih manis kalau perguruan tinggi berfungsi sebagai : a. pengembang kemampuan, jadi tidak langsung kata kerja. Biasanya kalau fungsi itu tidak berhadapan dengan kata kerja.

Kemudian ada satu hal yang menurut saya ini sulit untuk dilaksanakan, Pasal 13 Pak, dalam draft ini, ayat (5), program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi sebelum di buka. Ini saya menjadi bertanya-tanya, kalau sebelum dibuka mau diakreditasi itu, yang mau diakreditasi apanya? Barangkali itu hanya nanti menteri atau yang didelegasikan pada Direktorat Jenderal atau yang lain, itu ketika melakukan visitasi untuk menilai kelayakan dan tidaknya itu disitu. Tetapi akreditasi itu dilaksanakan setelah itu ada dan kemudian batasannya adalah sebelum meluluskan. Jadi ketika meluluskan mahasiswa atau alumni, itu sudah harus terakreditasi. Tapi akreditasi itu kan bukan kewenangan dari Dirjen atau apa, tapi dari BAN PT. Jadi BAN PT itu kan melakukan akreditasi itu karena sudah ada wujudnya, ada mahasiswanya, barangkali ada aspek-aspek yang belum, karena belum meloloskan, tapi sudah ada akreditasi. Kalau saya disitu, sebelum meluluskan, bukan sebelum dibuka. Kalau sebelum dibuka itu yang akreditasi itu yang lucu juga itu, itu yang Pasal 13.

Kemudian saya mencatat Pasal 53 dan 55, disini dijelaskan dengan PTN yang berbadan hukum. Kalau saya merujuk ke Undang-undang Sisdiknas, jadi Sisdiknas itu Pasal 53, bahwa penyelenggara dan atau satuan pendidikan ayat (1) nya itu, formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum. Yang dulu almarhum Undang-undang BHP itu

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(15)

15 sesungguhnya ini sudah kesana, tetapi memang karena sudah almarhum, atau dialmarhumkan, maka ada semangat di Undang-undang Sisdiknas bahwa penyelenggara itu berbentuk badan hukum. Tetapi disini, dirancangan ini, ada yang berbadan hukum, ada yang tidak, begitu. Nah ini nanti antara satu Undang-undang dengan Undang-undang lainnya barangkali bisa bertabrakan.

Jadi ini perlu penjelasan dan menurut saya kok tidak perlu itu ada pasal yang seperti itu.

Kemudian ada satu lagi, Pasal 79 ayat (5), dana pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud oleh ayat (1) dan (4) dikelola oleh Kementerian. Ini saya juga bingung. Pertanyaannya ini, bagaimana mekanismenya? Kan menjadi sulit. Mengapa tidak langsung dikelola oleh perguruan tinggi. Kalau kita mengacu pada Undang-undang SIsdiknas yang disitu membicarakan pendidikan tinggi, mulai Pasal 19-25, disitu jelas ada beberapa pasal yang menjelaskan pengelolaan sendiri, kemudian otonomi, baik otonomi dalam kebebasan akademik, mimbar akademik, atau otonomi keilmuan, kemudian juga dalam rangka untuk pengelolaan dana dan seterusnya. Jadi ini menurut saya itu ada beberapa hal yang perlu dicermati ulang untuk beberapa pasal yang tadi saya tunjukkan.

Itu yang sekedar kami dapat mencermati, karena memang sekali lagi, saya sudah membuat catatan yang cukup banyak, tapi draftnya itu keliru. Baru draft ini yang saya terima kemarin sore, yang tadi malam sempat saya baca dan menemukan itu. Tapi draft yang dulu itu sudah masuk di rancangan Undang-undang ini. Secara umum, Undang-undang ini menurut saya sudah lumayan maju, ketimbang ketika kami diundang untuk RDP yang beberapa bulan lalu itu masih terlalu detail begitu, untuk sebuah Undang-undang.

Saya kira itu, sekali lagi kami berharap diundangkannya RUU ini, RUU Pendidikan Tinggi ini nanti, tidak akan membawa masalah atau menimbulkan masalah, tetapi justru akan menyelesaikan masalah. Kami sangat setuju, manakala perguruan tinggi diberikan kebebasan untuk mengembangkan dirinya, dalam arti untuk lebih memperkuat tadi itu, barisan NKRI itu. Dan salah satunya memang universitas. Kami sudah yakin dan kami sudah punya konsep integrasi keilmuan, dan kami sudah presentasikan, tetapi memang mungkin kami menjadi korban itu, karena ada semacam tawaran, UIN itu setelah menjadi UIN menjadi hilang nanti, malah hilang, begitu.

Hilang dari Kementerian Agama, masuk ke dalam Kementerian Pendidikan Nasional. Barangkali salah satu alasannya adalah itu, kami belum tahu apa itu proses selanjutnya. Karena sesungguhnya kalau kami tidak diberitahu bahwa kami sudah layak dari aspek sarana prasarana, SDMnya terutama, dan persyaratan lain karena meskipun kami IAIN, kami sudah mempunyai mahasiswa hampir 10.000, 9.000 lebih pada tahun ini dan itu secara formal administrasi sudah memenuhi untuk menjadi UIN sebagaimana yang dijelaskan dalam pembicaraan-pembicaraan ketika kami akan mengusulkan sebagai universitas. Saya kira itu saja yang bisa disampaikan.

Terima kasih.

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(16)

16 KETUA RAPAT:

Waalaikumsalam.

Ini lengkap banget Bapak, supaya dibaca detail ya, terima kasih Pak.

Berikutnya, karena waktu kita memang harus ada batasnya, dari IAIN Cirebon, hadir?

REKTOR IAIN CIREBON:

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Maksum, Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Karena baru, jadi perlu diperkenalkan.

Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian,

Saya ingin memulai pembicaraan ini bahwa ada pendidikan di Departemen Agama, saya ingin melihat sebagai proses kreatif bangsa. Dengan cara melihat seperti ini, maka kemudian keberadaan pendidikan di Departemen Agama itu tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan, tapi sebagai sebuah sumbangan. Jadi kalau tata cara lihatnya politis tadi, kita akan selalu disalahkan, keberadaan pendidikan di Departemen Agama itu. Dari pikiran yang semacam itu, dimana kreatifnya? Kreatif pertama adalah, bahwa dengan adanya pendidikan di Departemen Agama itu, disitu terbuka peluang tadi, untuk melakukan integrasi kebangsaan, yang tadi sudah dikemukakan, itu bisa menjadi radikalisme, dan kemudian karena dimarginalkan, kemudian tadi apa, terjadi perlawanan-perlawanan yang berkelanjutan, kan begitu? Seperti itu. Itu kreatifitas yang pertama.

Kreatifitas yang kedua adalah bahwa ternyata pendidikan yang selama ini dikelola Departemen Agama itu menuangkan nuansa baru, yang kita sebut dengan integrasi tadi. Yang tadi diungkapkan oleh Prof. Komar dan rektor-rektor dari UIN tadi. Nah integrasinya apa? Yang dulu itu hanya konsentrasi pada pendidikan agama, tetapi sekarang bagaimana pendidikan agama itu kemudian diintegrasikan dengan ilmu-ilmu umum? Saya ingat ketika saya dulu masuk di Ummul Quray University di Mekkah, itu disitu hanya ada Fakultas Syariah. Tetapi sekarang Ummul Quray University itu sudah seperti UI sekarang, jadi ada Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian dan seterusnya, itu menunjukkkan ada proses integrasi dan itu merupakan ciri dari keilmuan Islam. Jadi saya ingin kembali bahwa tadi, dengan proses kreatif integrasi itulah maka kemudian tergambar dari sejarah kita, yang ada sekarang dari lembaga kita itu ada STAIN, IAIN, ada UIN, itu kita gambarkan sebagai sebuah proses, dalam menuju integrasi. Sehingga tadi ketika kita membicarakan Undang-undang kemudian ingin memisahkan UIN dari STAIN dan IAIN, dari prose situ maka kelihatannya adalah proses pembonsaian. Jadi perkembangan itu kemudian diputus dengan UIN, selesai, UIN kemudian dikelola oleh yang lain, kemudian IAIN dan STAIN dipisahkan dari perkembangan berikutnya. Dengan proses kreatif ini juga ingin kita mengatakan bahwa STAIN dan IAIN sekarang ini berpotensi menjadi UIN semuanya. Jadi didalam pendidikannya juga, didalam STAIN dan IAIN sudah terjadi pengintegrasian berbagai ilmu yang ada pada keilmuan keislamanan. Hanya memang tadi, karena peraturan-peraturan yang ada tadi tidak memberikan peluang untuk memberikan perkembangan yang sama, maka beberapa saja yang menjadi UIN.

Padahal sesungguhnya semua potensial untuk menjadi UIN, seperti itu. Maka menurut saya, yang kita bahas disini adalah tadi, bukan masalah pemisahan UIN ke departemen apa atau STAIN, IAIN

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(17)

17 di departemen apa. Tapi menurut saya, adalah bagaimana memberikan peluang agar tadi, proses kreativitas dalam memajukan pendidikan dan keilmuan itu bisa sungguh-sungguh terjadi di perguruan-perguruan tinggi Islam. Saya kira itu Pak. Jadi kalau pembicaraannya nanti kita mengarah kepada bagaimana memisahkan UIN dengan STAIN dan IAIN, maka saya kira justru mungkin bahasanya ahistoris dari sisi yang lain.

Terima kasih Pak.

KETUA RAPAT:

Baik Pak, kami catat.

Kami lanjutkan, STAIN sekarang ya, Surakarta. Ada Pak? Silakan, perkenalkan nama.

IAIN SURAKARTA:

Ini ralat Pak ya, di STAIN Surakarta itu sudah berubah menjadi IAIN Surakarta, Pak.

Melalui Perpres No. 1 Tahun 2011.

Terima kasih Bapak Pimpinan.

Nama saya Imam Sukardi, Pak dari IAIN Surakarta.

Saya sebetulnya setuju dengan pendapat Bapak Pimpinan, bahwa sebaiknya pendidikan itu dibawah satu atap, Pak. Jadi satu atap di Mendiknas dan satu atap di Kementerian Agama begitu barangkali. Saya tidak terlalu mempersoalkan atapnya nanti ke Kementerian Agama atau ke Kementerian Pendidikan, tetapi kita mengacu kepada kualitas Pak, seperti yang disinggung oleh Bapak Pimpinan bahwa kualitas dari mahasiswa itu juga perlu diperhatikan.

IAIN Surakarta, itu mempunyai sejarah yang unik, Pak. Jadi dia didirikan pada tahun 1992 oleh Pak Munawir Sazali pada waktu itu, Beliau itu ingin mencetak ulama intelek dan intelek ulama.

Yang dimulai dari persiapan Beliau mendirikan Madrasah Aliyah Program khusus yang dibiayai oleh Negara. Dan hasilnya itu bagus, Pak. Kemudian setelah Pak Munawir Sazali itu tidak menjabat lagi, tidak tahu kemana program itu. Sehingga kualitas daripada IAIN Surakarta yang dulu dicanangkan untuk menjadi center of excellent, itu bubar.

Kemudian saya mencoba untuk menyoroti, setelah menjadi IAIN ini. IAIN-IAIN yang ada di Indonesia ini, atau UIN yang ada di Indonesia, itu kayaknya masih belum memproklamirkan diri sebagai center of excellent didalam rumpun apa atau cabang ilmu apa, begitu. Saya kira akan lebih baik kalau kita mencoba untuk berbagi tugas. Karena seperti yang dikatakan oleh Rektor UIN Yogya tadi, kita perlu menjaga kebhinekaan. Maka dari itu, IAIN atau UIN yang ada di Indonesia ini, saya kira tidak harus berpikir hanya berpikir tentang alih status dari STAIN ke IAIN ataupun dari IAIN ke UIN, tetapi dia juga harus berbicara tentang perguruan tinggi itu atau lembaga itu, kira-kira akan menjadi center of excellent dibidang apa? Ini juga perlu diperhatikan.

Kemudian IAIN Surakarta, karena tempatnya ditengah-tengah, di Central Java, itu mencoba untuk menjembatani bagi saya itu kekosongan ini. IAIN Surakarta ingin mencoba untuk melihat simbiosis antara agama dan budaya di Indonesia. Maka dari itu, basis daripada pengajaran di IAIN Surakarta itu mencoba untuk memadukan kearifan lokal dengan agama. Dan itu juga, saya kira akan menjadi trade mark daripada perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia. Karena Islam

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(18)

18 di Indonesia itu sebetulnya kalau saya lihat itu berjalannya atau pun masuknya Islam ke Indonesia secara damai, kemudian pada akhir-akhir ini kok tidak seperti itu. Terutama ini Solo yang biasanya menjadi sorotan ya, saya tidak tahu persis mengapa bisa terjadi demikian. Karena kalau saya lihat secara sosiologis, harmonisasi masyarakat Solo itu pada awalnya bagus. Seperti tadi dikatakan juga oleh UIN Bandung ya, dia berkesempatan untuk pergi ke luar negeri khususnya ke Timur Tengah dan sebagainya, Pak Komar ke Amerika dan lain sebagainya itu, dia memang untuk sebuah aspirasi dan inspirasi memang bagus. Tapi baiklah, sebetulnya yang harus kita ramu , yang harus kita openi di Indonesia itu sangat banyak. Maka dari itu, IAIN dan UIN ataupun STAIN di Indonesia saya kira akan lebih baik untuk memfokuskan diri kepada center of excellent dari rumpun-rumpun ilmu pengetahuan ataupun cabang ilmu tertentu.

Kemudian harapan kita dari IAIN Surakarta, akan lebih baik Pak ya, kalau kita ingin mendapatkan mahasiswa yang bermutu, itu dipersiapkannya sejak dia SLTA. Sehingga nanti kalau dia masuk di perguruan tinggi, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keilmuan, itu tidak ada persoalan lagi.

Terima kasih Pak.

KETUA RAPAT:

Baik, Pak, terima kasih dari IAIN Surakarta.

Selanjutnya kita ke Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah Jakarta. Siapa yang akan?

Silakan, perkenalkan namanya Pak.

STAI AL-HIKMAH CILANDAK JAKARTA:

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pimpinan dan para peserta rapat yang saya hormati,

Saya dari Sekolah Tinggi Agama Islam Jakarta yang berada di Cilandak, Jl. Jeruk Purut.

Belakang Mitra 10 eh Ratu Prabu I. Mohon maaf, Pimpinan kami tidak bisa hadir, Bapak DR.

Suparta, MA, karena ada kegiatan. Nama saya Suhada, Pak-Bu.

Pertama, ada yang sangat mengagetkan pada pemahaman saya, bahwa apakah ketika IAIN kemudian berubah menjadi UIN, lalu kemudian ada semacam sisi tendensi bahwa UIN harus berada pada naungan Diknas atau tidak, kalaupun misalnya ada, apakah itu merupakan sebuah kesalahan atau penataan, begitu? Kalau misalnya ada tendensi ke arah sana, maka 2 hal tadi itu, penataan dan kesalahan paling tidak jadi satu bahan perbincangan yang menarik begitu ya? Saya termasuk sosok diantara jutaan orang yang lulus dari IAIN, begitu. Artinya, ketika kemudian ada semacam pemahaman bahwa ketika adanya perubahan nama menjadi universitas, dalam rangka untuk membawah satu atapkan kependidikan pada sebuah lignas, maka saya yakin pada tingkat bawahpun terjadi berbagai macam pendapat-pendapat dan pemahaman yang berbeda. “Disinipun kita masih dalam berdebatan” begitu. Kalau kemudian dalam rangka UIN menjembatani ketika ia berubah berdda dalam naungan Dikti, dalam hal untuk Islam itu adalah kompleks, abstrak dan sebagainya, maka saya yakin UIN pun harus berkaca pada awal ketika dia belum menjadi sebuah universitas, begitu. Artinya apa? Ada faktor historis, menurut saya, ketika RUU ini dikembangkan

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(19)

19 dan diarahkan pada sebuah pengalihan bahwa lembaga pendidikan harus dibawah pada satu nauangan, yaitu Diknas. Ada berbagai macam kajian-kajian, apakah harus kearah sana atau tidak begitu.

Terus yang kedua, kalau begitu, saya kuatir ada lembaga-lembaga yang dibawah umum Pak, misalnya semacam, di Indonesia kita kan termasuk banyak perguruan tinggi Islam yang memang swasta, misalnya. Ketika nanti ada satu keputusan dari RUU ini bahwa UIN itu akan dibawah Diknas, berarti tidak ada lagi yang namanya SKB 2 Menteri atau SKB 3 Menteri, karena memang sudah berada pada naungan Diknas. Terus yang kedua, saya rasa ada semacam apa namanya, semacam sedikit kekuatiran dan juga semacam satu harapan begitu, kekuatiran betul tadi kalau tidak salah yang dari Sunan Ampel mengatakan itu, eh dari Sunan Walisongo, sebenarnya ketika ada keinginan RUU itu mengarahkan UIN ke Diknas, tidak kuatir adanya sebuah timbal balik atau tumpang tindih antara Departemen Agama dengan Diknas, ya. Tapi sejarah juga membuktikan bahwa ketika UIN berbeda dengan DIknas, itu adalah juga sebagian dari tidak adanya dikotomi masalah pendidikan, begitu. Artinya berarti bukan permasalahan ini harus ada di Diknas atau ada di Depag. Permasalahannya adalah pada masalah betul yang tadi kawan tadi itu, adalah bagaimana kita bisa memberikan suatu sumbangsih kepada anak bangsa, pada berbagai macam departemen yang memang disitu dan saya rasa cukup untuk kita jadikan sebagai rujukan, itu Departemen Agama, begitu.

Terus kemudian, mohon maaf, saya kuatir konsistensi dari Diknas, yang begitu banyak menghadapi dan mengerjakan berbagai masalah, ketika kemudian ada satu keinginan bahwa UIN akan di Diknas itu, akan menjadi PR besar, Pak. Ataupun yang hadir disinilah, kami ingin bertanya begitu, penyelesaian pendidikan yang ada di Indonesia, termasuk dalam DIknas itu, sampai sekarang, dimedia-mediapun belum bisa menjawab itu, begitu. Apalagi ketika permasalahan yang notabenenya katakan ada semacam pemisahan dengan Agama lalu kemudian dia ke Diknas itu, dan itu konsekuensinya adalah ... bagaimana permasalahan, apakah juga akan bisa menyelesaikan permasalahan? Tidak. Jadi permasalahannya bukan disitu. Permasalahannya adalah bagaimana dua departemen ini bisa memberikan sebuah jawaban kepada anak bangsa itu, begitu. Betul yang tadi dari Cirebon, seperti itu.

Terus yang ketiga, dalam masalah pemahaman materi agama. Selama ini kan banyak masyarakat bawah, lagi-lagi masyarakat bawah, ketika mereka tidak ada semacam kesamaan begitu ya, antara sisi yang diperoleh dari Diknas ataupun agama, ujung-ujungnya adalah dikotomi atau adanya semacam diskriminasi, begitu. Nah sebenarnya permasalahannya adalah bagaimana Pemerintah itu memberikan satu pemahaman, sebenarnya tidak ada sisi anak dan bukan emas pada departemen ini, begitu. Hakekatnya adalah sama, sebenarnya. Itu muncul karena apa?

Karena memang selama ini ada pemahaman ke arah dikotomi itu. Ada yang ke arah namanya diskriminasi itu, begitu. Kalau saja umpamanya dari Pemerintah memberikan satu warna yang sama, begitu, saya yakin tidak ada arah yang mengatakan dikotomi dan diskriminasi itu Pak.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(20)

20 Dan yang paling terakhir, peluang. Betul yang dari Pak Cirebon tadi, peluang Pak.Saya rasa Departemen Agama dengan sementara ini dia ada UIN, ada STAIN, ada IAIN dan sebagainya itu, telah memberikan sebuah kontribusi yang besar, begitu ya. Ketika kemudian pada forum ini, dalam ... mengarah pada tidak ada kekuatiran, maka menurut saya, adanya satu kajian khusus mengapa UIN itu harus berada dibawah naungan Diknas, karena faktor historisnya sangat besar.

Itu barangkali Bapak, sebagai satu pendapat dari kami.

Terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT:

Waalaikumsalam.

Terima kasih Pak.

Berikutnya kami persilakan Rektor dari Institut Agama Islam Al-Ayubi, silakan.

IAIN SALAHUDIN AL-AYUBI BEKASI (M. FAUZI YUNUS):

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bapak Pimpinan yang kami hormati,

Saya M. Fauzi Yunus dari UNISA, Tambun, Bekasi.

Kaitannya dengan masalah satu atap, memang kami sering mendengar anekdot begitu bahwa Menteri Pendidikan di negara kita kok banyak ya? Jadi bukan hanya satu Menteri pendidikan. Sebab yang menangani pendidikan itu bukan hanya Kementerian Diknas, tapi juga Departemen Agama, Dalam Negeri, bahkan hampir setiap departemen itu mengurus pendidikan.

Sampai kadang-kadang ini buat gurauan-gurauan yang mungkin sebenarnya tidak ada artinya.

Saya pribadi melihat secara komprehensif, ya artinya tidak melihat dari satu sisi. Tapi melihat dari secara keseluruhan dan untuk ke depan, barangkali begitu ya. Yang konon katanya SDM Indonesia ini masih diatas rangking ke-100 begitu, sedangkan Malaysia-Singapura saja ya dibawah 60, mungkin itu. Artinya, bahwa pendidikan di negara kita ini memang ya boleh dibilang tertinggallah, begitu. Nah oleh karena itu, kalau ada wacana untuk satu atap untuk mengelola pendidikan itu, sepertinya bagus juga begitu. Dalam arti begini,.... atau lingkungan, itu kan afshohu, begitu, lisanul hal itu memang afsohu, ... itu kalau kita memikirkan suatu lingkungan pendidikan yang bagus, katakanlah umpamanya satu atap ini memang bagus, mengapa tidak, begitu? Artinya kita melihatnya secara komprehensiflah ya, artinya jangan historis, atau jangan karena jasa dan lain sebagainya. Tapi kita ke depan, begitu. Apa sih sesungguhnya yang harus kita lakukan dalam membangun dan mengembangkan pendidikan kita itu? Nah, kaitannya dengan masalah integrasi agama dan ilmu pengetahuan pun, kalau satu atap itu lebih memungkinkan. Karena nanti masing- masing lembaga pendidikan itu akan sering berkomunikasi dan sering berdekatan, begitu. Nanti situasi yang seperti inilah memungkinkan akan terintegrasinya ilmu pengetahuan agama dan pendidikan agama dan umum. Sebab begini, menurut pengamatan pribadi saya, mungkin salah, begitu ya. Ketika pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan umum itu berada di Kementerian Pendidikan, dan Pendidikan Agama itu berada di Kementerian Agama, terpisah, sehingga tidak

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(21)

21 ada, kurang, kurang begitu ya, kurang adanya komunikasi antara dua sisi ini. Sehingga untuk integrasinya itu sedikit agak lambat, begitu. Bahkan kalau mau berjalan bersama pun, perlu SK bersamalah, membutuhkan waktu. Disamping itu juga saya melihat ya, ketika alumni atau lulusan- lulusan katakanlah seorang doktor, atau ekonom atau teknokrat, mereka itu sepertinya agak terpisah dengan roh keagamaan itu. Karena mungkin tidak punya komunikasi, begitu. Tetapi kalau misalnya itu ada satu atap, ya, banyak komunikasi, berdekatan, maka akan saling mempengaruhi.

Bahkan di Jawa Barat juga pernah disusul satu kurikulum yang mengintegrasikan antara agama dengan ilmu. Katakanlah misalnya Bahasa Inggris, Matematika, itu dibingkai dengan agama. Nah kalau beda kementerian, itu sulit untuk melaksanakan itu. Tapi kalau dalam satu kementerian, maka sering berkomunikasi dan sering saring mempengaruhi, dan disanalah kita membutuhkan jiwa besar, bagaimana kita menatap pendidikan kita ini ke depan, begitu. Bukan hanya sekedar kepentingan-kepentinganlah, kepentingan-kepentingan sesaat, kepentingan-kepentingan sekelompok, dan lain sebagainya, begitu. Jadi kalau memang ada wacana kesana itu, secara pribadi saya cukup mendukung, sehingga nanti bagaimana masalah teknisnya saya kira Bapak- Bapak sudah tahu.

Kemudian yang kedua kaitannya dengan masalah RUU ini yang tadi kaitannya dengan Pasal 13, memang dilematis ya, satu sisi mahasiswa kalau mendaftar itu melihat, sudah terakreditasi atau belum, begitu. Tapi disisi lain, ya kalau kita mau mengakreditasi, tidak ada mahasiswanya, susah juga, begitu. Nah mungkin jalan tengahnya untuk Pasal ini bukan mendapatkan akreditasi, tetapi mempunyai izin penyelenggaraan. Jadi izin penyelenggaraan sebelum dibuka. Mungkin kalau untuk izin penyelenggaraan mungkin tidak terlalu seperti proses akreditasi yang memang agak susah, begitu.

Saya kira itu, terima kasih.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Pak Fauzi.

Kami lanjutkan, ini ada Forum Komunikasi Mahat Ali. Silakan diperkenalkan Pak ya?

FORUM KOMUNIKASI MAHAT ALI (ABDUL DJALAL):

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yang kami hormati Bapak Pimpinan serta semua peserta rapat.

Nama saya Abdul Djalal, dipanggil Djalal begitu, satu nama yang mudah dihapal, termasuk orangnya mudah diingat.

Yang ingin saya sampaikan pertama kali adalah rasa hormat saya yang sangat tinggi karena Bapak Pimpinan tadi sudah di forum yang terhormat ini, ini menyebut Mahat Ali. Dan tidak salah, karena ada orang salah, menyebut Mahat Ali itu dengan Mohamad Ali. Yang orang Madura bilang Mat Ali. Alhamdulillaah itu yang kami syukuri di forum yang terhormat ini Mahat Ali sudah bergaung.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(22)

22 Bapak Pimpinan serta peserta rapat yang kami hormati,

Kami dari Mahat Ali Pondok Pesantren Salafiyyah Tarbiyah Situbondo tetapi di forum ini mengatasnamakan Ketua Forum Komunikasi Komunitas Mahat Ali se-Indonesia. Kenapa se- Indonesia? Karena secara realitas Mahat Ali sudah ada mulai dari Aceh sampai NTB. Di Aceh dinaungi oleh Dewan Dayah. Kemudian di Jawa Timur ada namanya Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah, dan seterusnya. Jadi, di propinsi-propinsi sudah bergerak sedemikian rupa untuk menaungi Mahat Ali-Mahat Ali di daerahnya. Oleh karena itu, saya 2007-2008 dipercaya oleh teman-teman untuk mengomandoi Dorum Komunikasi Komunitas Mahat Ali se-Indonesia ini atau FOKMASI.

Begini Bapak Pimpinan, bahwa kita semua pasti mengakui bahwa pendidikan pesantren adalah salah satu pendidikan tertua di Indonesia. Tetapi kemudian pendidikan pesantren ini kan mengalami dinamisasinya sendiri yang berbeda dengan pendidikan yang tadi sudah IAIN, UIN, STAIN. Alhamdulillaah juga kita melihat di dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 itu sudah mengakomodir tentang pesantren dan pendidikan diniyah sebagai jenis pendidikan keagamaan karena di pasal-pasalnya disebutkan bahwa jenis pendidikan keagamaan adalah berbentuk pendidikan pesantren dan diniyah. Salah satunya begitu.

Akan tetapi kemudian pesantren pada awalnya itu secara cultural memang dia sebagai kader ulama. Dia yang paling kita ambil contoh pesantrennya Kyai Khoir Bangkalan yang kemudian melahirkan Kyai Maksum dan seterusnya. Yang itu tidak banyak, santrinya Kyai Bangkalan itu sepanjang masa hanya 40, tidak banyak. Secara cultural begitu tetapi dalam perkembangannya kemudian pesantren berhadapan dengan kultur-kultur lain dengan peradaban lain ada benturan disitu dan ternyata pesantren mengalami degradasi ketika dia mengadopsi pendidikan umum, pendidikan formal lalu kepenglihatan kualitas menjadi tergerus. Ini kemudian dalam dinamika pendidikan di pesantren membutuhkan sebuah pelembagaan. Mulai dari pelembagaan madrasah diniyah, dari dasar menengah dan kemudian perkembangan terakhir adalah jenjang tinggi itulah yang disebut dengan Mahat Ali.

Ini secara historis, secara realitas bisa kita lihat. Akan tetapi yang jelas Mahat Ali ini lahir dari kegelisahan bahwa kaderisasi ulama yang dicita-citakan lahir dari UIN, IAIN, dan seterusnya ternyata tidak terlahirkan. Begitu pesantren menerima mengadopsi pendidikan perguruan tinggi seperti IAIN, institute dan seterusnya itu juga mengalami kekalahan dalam pertarungan itu sehingga akhirnya para kyai pada 1980an sampai 1990an mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Mahat Ali. Ini sudah berjalan 20 tahun lebih, lulusannya sudah menyebar dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi kemudian ketika lulusan Mahat Ali dibutuhkan oleh masyarakat karena seluruhnya dia pemihakan kepada kualitas terus terang Bapak, di Mahat Ali di Situbondo santrinya sejak berdiri 1990 sampai sekarang tidak banyak, berkisar 40-100. Dan memang itu diseleksi betul. Jadi, mulai dari input itu sudah pemihakan kualitas sangat ketat.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(23)

23 Akan tetapi kemudian kebutuhan masyarakat adalah butuh legilitas, butuh formalitas.

Ketika kebutuhan masyarakat terhadap lulusan Mahat Ali yang dibutuhkan oleh masyarakat itu buntuk karena tidak ada payung hukum sehingga mereka buntu sampai detik ini mungkin.

Kita melihat bahwa ada kesenjangan antara kebutuhan masyarakat beradab lulusan Mahat Ali dengan kebuntuan peraturan perundang-undangan. Ini diperjuangkan oleh para kyai sejak 1995 smapai detik ini dan kemarin kita kumpul di Hotel Orchard Alaqoh untuk membahas itu juga. Sudah berkali-kali untuk bagaimana menjembatani kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan kebuntuan peraturan perundang-undangan.

Saya kira forum kali ini untuk membahas RUU Pendidikan Tinggi adalah momen yang sangat kita tunggu dan sangat kita nantikan bagaimana pembahasan RUU tentang Pendidikan Tinggi bisa mengakomodir Pendidikan Mahat Ali, Pendidikan Tinggi ala Pesantren sebagai salah satu bentuk pendidikan tinggi di Indonesia karena mereka berbeda dengan universitas, berbeda dengan sekolah tinggi, berbeda dengan institute, dan lain-lain. Mereka adalah pendidikan tinggi ala pesantren dan kita kelola sedemikian rupa dalam rangka untuk melahirkan kader-kader ulama yang sekarang di Indonesia betul-betul sedang krisis mulai dari Aceh sampai Papua, semua hasil survey saya, hasil komunikasi saya semua krisis akna ulama, krisis orang-orang yang bisa menjawab terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat terhadap pertanyaan-pertanyaan agama.

Ini riil, Pak. Oleh karena itu, juga Propinsi Jambi mengirim ustadz-ustadznya ke Situbondo untuk belajar agama. Jadi, khusus agama untuk dikader menjadi kader ulama dan ulama bagi Mahat Ali adalah tidak hanya sekedar ahli agama tetapi ada 2 unsur penting ulama, itu nanti bedanya dengan kyai.

Dua unsur penting ulama adalah disamping pendalaman ilmu agama, ta’amuk dalam ilmu agama juga memiki khosiyatullah, rasa takut kepada Allah yang sangat tinggi atau dengan kata lain memiliki integritas moral yang sangat tinggi, penggabungan dari 2, itulah yang disebut ulama bagi kita.

Yang terakhir yang ingin saya sampaikan karena waktu halaqoh Prof. Anwar mempertanyakan bagi Mahat Ali ini Islam itu agama apa ilmu. Bagi Mahat Ali agama Islam bisa dilihat dari 2 sisi; dia sebagai ajaran yaitu syariat dan tidak bisa diutak-atik karena sudah qot’I, pasti, tetapi kemudian ada dimensi fiqih dimensi hal-hal yang dhoni, hal-hal yang sangat bisa dipikirkan kembali. Inilah sebagai ilmu. Dan ini porsinya lebih banyak di dalam teks-teks Al Quran ataupun hadits. Oleh karena itu, pengembangan terhadap Islam sebagia ilmu, inilah yang digodok di dalam, diajarkan dalam Mahat Ali sementara Islam sebagai ajaran ini yang ditanamkan nilai- nilainya ke dalam hati sanubari para santri Mahat Ali. Jadi, sekali lagi kami mengusulkan kepada Panja RUU Pendidikan Tinggi agar mengakomodir Mahat Ali sebagai salah satu bentuk pendidikan tinggi di Indonesia dalam jenis pendidikan keagamaan dan ini sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.

Saya kira itu dari kami, kurang lebihnya mohon maaf.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

(24)

24 Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

KETUA RAPAT:

Terima kasih dari Mahat Ali. Kita juga baru tahu, Pak ya secara langsung penjelasan dari Ketua Mahat Ali seluruh Indonesia, Pak ya, Bapak Djalal.

Silakan selanjutnya Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah.

STAI DARUNNAJAH JAKARTA:

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Terima kasih Bapak Pimpinan.

Saya Annurrofiq dari STAI Darunnajah. Ini kayaknya urutan terakhir.

Ketika IAIN berubah menjadi UIN dengan membuka jurusan-jurusan umum maka banyaklah isu-isu dan tuduhan negative yang ditujukan kepada rector-rektor UIN saat itu.

tuduhannya diantaranya adalah, gara-gara UIN buka jurusan prodi-prodi umum maka prodi-prodi agama, keagamaan surut, berkurang. Ternyata ini sudah disanggah tadi, ternyata memang isu-isu itu, tuduhan-tuduhan itu tidak benar karena terbukti dri jumlah yang ada di UIN Bandung ternyata memang lebih banyak, masih tetap imbang antara prodi agama dan umum. Tetapi saya tidak tahu persis apakah ini benar atau salah yang di UIN Jakarta memang prodi-prodi keagamaan seperti yang di syariah atau mungkin di jurusan islamiyah memang secara kuantitas menurun mahasiswanya dan juga kualitas. Menurut saya sebenarnya pokok masalah menurunnya kualitas dan kuantitas itu bukan karena UIN buka prodi-prodi umum sehingga prodi agama menurun tetapi ada satu kebijakan yang menurut hemat saya tidak benar yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dimana Departemen Agama itu membubarkan, menutup sekolah-sekolah MAK-MAK dimana mereka-mereka ini adalah bibit-bibit unggul kualitas yang akan melanjutkan di UIN, IAIN.

Yang ada sekarang adalah Madrasah Aliyah Keagamaan yang itu adalah bukan satuan pendidikan tetapi hanya jurusan. Itu mungkin salah satu kebijakan yang akhirnya fatal sehingga bibit-bibit unggul, input-input yang ke UIN mungkin kurang kualitasnya. Itu karena diantaranya adalah dibubarkannya, ditutupnya sekolah-sekolah unggulan untuk Madrasah Aliyah MAPK. Itu diantaranya menurut hemat saya.

Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh rector dari Bandung bahwa memang UIN tetap berafiliasi ke Departemen Agama, itu dilihat dari beberapa aspek pun historis, dan sebagainya filosofi tentang Islam, ilmu keislaman tidak ada dikotomi itu memang sudah on the right track, cuma memang dikuatkan kembali duduk bersama antara menteri antara dirjen dari Departemen Diknas dengan Departemen Agama.

Kemudian saya juga, karena saya baru mendapatkan draft ini tadi malam baru sepintas membaca, saya setuju tadi sudah disampaikan yang halaman 10 tadi sudah disampaikan 2 kali, ada salah mungkin bahwa prodi halaman 10 pasal 13 ayat (5) Prodi (program studi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan ijin, akreditasi itu tidak mungkin, impossible tetapi mungkin maksudnya disitu bukan mendapatkan akreditasi tetapi ijin operasional. Kalau ijin

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM

Referensi

Dokumen terkait

Mereka adalah bagian dari masyarakat yang terkena dampak sosial ekonomi paling parah karena keterbatasan kemampuan dalam menghadapi banjir.(Media Indonesia, 25 Februari

sel negatif terhadap Annexin V dan pewarna vital tidak mengalami apoptosis: translokasi PS belum terjadi dan membran masih utuh.

BIDANG ARSIP DAN MUSEUM.. Peningkatan tersebut antara lain adalah untuk belanja pegawai pusat dan daerah otonom serta belanja barang. Meningkartnya pengeluaran rutin

Dengan demikian undang-undang yang baru disahkan ini benar-benar berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya serta

Djadi umpamanja didalam dari pada rapat jang sah tadi, maka .keputusan jang diambil hal kita tadi, kalau jang setudju atau jang tidak setudju hanja 40 atau zelfs hanja 59,

Kami memberikan apresiasi yang setinggi -tingginya atas perhatian Pimpinan dan anggota Pansus DPR RI yang terhormat, yang dengan segala kesabarannya telah mendengarkan

Tidak, itu kan berkembang di Tim Perumus, sementara yang kita bahas ini adalah rekap hasil dari Panja. Panja yang kita putuskan di Pansus. Nah kalau usulan baru Timus silakan

1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD mengamanatkan kepada MPR untuk memasyarakatkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia