HILMA SYAFLY
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
Nutritional Status Of Children in Jambi City. Supervised by Yayuk Farida Baliwati
The purpose of this research is to analysis the relationship of nutrition care family atitude with children’s nutritional status in Jambi City. This research conducted through secondary data of “Assessment of Nutritional Status and Nutrition Care Family in Jambi City” by Health Office Section of Jambi. Data analysis process was conducted using descriptive and inferencial methods. The correlation among variables were analyzed with rank Spearman correlation test.
Result of this research showed that most of subject has father’s level of education in the low group and mother in the medium group, father and mother’s age in the intermediate adult group, and families size was in small family group. Most of subjects has implemented five indicator of nutrition care’s family principle (KADARZI). More than half of subject already became nutrition care’s family, however the government’s target is not yet achieved on several programs namely exclusive breastfeeding and nutrition’s care family. Most of subject has children with normal status based on body weight to age indicator and height to age indicator.
Statistically, family social caracteristic’s has correlation with nutriton care family attitude is father’s age (p = 0.082) and maternal education (p = 0.030). family social caracteristic’s has correlation with fave of nutrition care family indicator is maternal education with variety of foods consumed (p = 0.022), father’s age with exclusive breastfeeding (p = 0.028), family size with children’s weight (p = 0.005). Nutriton care family attitude has correlation with children’s nutritional status is variety of foods consumed with children’s nutritional status based on height to age indicator (p=0.073) and children’s weight with children’s nutritional status based on height to age indicator (p=0.017).
HILMA SYAFLY. Hubungan Perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) dengan Status Gizi Balita di Kota Jambi. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI.
Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan perilaku keluarga sadar gizi (KADARZI) terhadap status gizi balita di Kota Jambi. Tujuan khususnya yaitu : (1) Menganalisis karakteristik sosial keluarga. (2) Menganalisis perilaku keluarga sadar gizi (KADARZI) berdasarkan lima indikator KADARZI di Kota Jambi (3) Menganalisis status gizi balita berdasarkan berat badan menurut umur dan tinggi badan menurut umur. (4) Menganalisis hubungan karakteristik sosial keluarga terhadap perilaku KADARZI. (5) Menganalisis hubungan perilaku KADARZI terhadap status gizi balita.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Data penelitian merupakan data dari Survei ”Penilaian Status Gizi dan KADARZI di Kota Jambi Tahun 2010” ini merupakan bagian dari penelitian ”Penilaian Status Gizi dan KADARZI di Provinsi Jambi Tahun 2010” yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jambi. Analis data penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus – Oktober 2010. Sampel ditentukan secara acak purposive dimana populasi berjumlah 240 kepala keluarga.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, meliputi data karakteristik sosial keluarga (pendidikan ibu, umur ibu dan jumlah anggota keluarga), KADARZI (penimbangan berat badan, pemberian ASI eksklusif, konsumsi makanan beraneka ragam, penggunakan garam beryodium, dan konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan) serta data antropometri balita (berat badan, tinggi badan dan umur). Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif statistik dan inferensial dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan kemudian dianalisa dan diolah dengan program SPSS 16,0 for windows. Hubungan antara variabel diuji dengan uji korelasi Spearman.
Tingkat pendidikan ayah contoh relatif rendah sedangkan tingkat pendidikan ibu relatif sedang. Secara umum persentase terbesar tingkat pendidikan ayah berada pada kelompok tingkat pendidikan rendah (tamat ≤SMP) yaitu sebesar 46.7%, sedangkan persentase terbesar tingkat pendidikan ibu berada pada kelompok tingkat pendidikan sedang (tamat SMA), yaitu sebesar 52.1%. Umur orang tua contoh terbanyak berada pada kelompok dewsa madya (30-49tahun) dimana persentase ayah adalah 74.2% dan ibu 55.4%. Jumlah anggota keluarga berkisar antara 3 sampai 14 orang. Hampir separuh dari jumlah keseluruhan contoh (44.2%) merupakan keluarga kecil yaitu beranggotakan ≤ 4 orang, persentase terkecil adalah keluarga besar yaitu 21.7%.
untuk ASI ekslusif dan 75% dari 90% target yang ingin dicapai untuk pemberian TTD pada ibu hamil. Lebih dari separuh contoh (57.9%) merupakan keluarga sadar gizi dengan telah melaksanakan lima indikator KADARZI secara baik. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian KADARZI masih jauh dari target yang diharapkan yaitu sebesar 80%.
Terdapat 1.7% dan 7.9% contoh yang memiliki status gizi balita berdasarkan indikator berat badan menurut umur pada kelompok gizi buruk dan gizi kurang serta terdapat 30.4% contoh yang memiliki status gizi balita berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur pada kelompok pendek.Hasil diatas menunjukkan bahwa penurunan angka kekurangan gizi (gizi kurang dan buruk) telah tercapai target yang diharapkan yaitu 9.6% (7.9% gizi kurang dan 1.7% gizi buruk) dari 18.4% target pemerintah. Sedangkan berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur diketahui bahwa balita dengan kategori pendek yaitu 30.4%, hal ini menunjukkan bahwa target pemerintah dalam penurunan angka anak pendek masih belum tercapai yaitu 25.0%.
Proporsi terbesar contoh dengan tingkat pendidikan ayah rendah dan sudah KADARZI yaitu 33.3%, tingkat pendidikan ibu sedang dan sudah KADARZI yaitu 32.1%. Bila dilihat berdasarkan masing-masing indikator KADARZI, proporsi terbesar contoh dengan perilaku KADARZI baik dan tingkat pendidikan ayah rendah, berturut sebesar 52.9%, 41.7%, 60.4%, 55.0% dan 60.4%, dan perilaku KADARZI baik dengan tingkat pendidikan ibu sedang, serturut turut sebesar 46.2,%, 38.3%, 52.1%, 47.9% dan 52.1%. Umur ayah-ibu dengan kategori dewasa madya memiliki proporsi terbesar pada contoh dengan perilaku sudah KADARZI yaitu 42.1% dan 31.2%. Bila dilihat berdasarkan masing-masing indikator KADARZI, proporsi terbesar yaitu contoh dengan perilaku KADARZI baik dengan umur ayah-ibu dewasa madya, berturut sebesar 64.6%, 51.7%, 74.2%, 68.3% dan 74.1%, serta 48.3%, 40.0%, 55.4%, 49.6% dan 55.4%. Besar keluarga dengan kategori keluarga kecil memiliki proporsi terbesar pada contoh dengan perilaku sudah KADARZI yaitu 27.5%. Bila dilihat berdasarkan masing-masing indikator KADARZI, proporsi terbesar yaitu contoh dengan perilaku KADARZI baik dan besar keluarga adalah keluarga kecil, berturut sebesar 38.3,%, 32.1%, 44.2%, 42.1% dan 44.2%. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik sosial keluarga yang memiliki hubungan dengan perilaku KADARZI contoh yaitu umur ayah (p = 0.082), dan tingkat pendidikan ibu (p = 0.030). Karakteristik sosial keluarga yang memiliki hubungan dengan lima indikator KADARZI yaitu pendidikan ibu dengan makan makanan beragam (0.022), umur ayah dengan pemberian ASI ekslusif (p= 0.028) dan besar keluarga dengan penimbangan balita (p = 0.005).
HILMA SYAFLY
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
DENGAN STATUS GIZI BALITA DI KOTA JAMBI Nama : HILMA SYAFLY
NRP : I 14086021
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621204 198903 1 002
Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak H.Syafrizal dan Ibu Hj.Nurlaili. Pada tahun 1992 penulis mulai mengenyam pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah Negeri Singaraja. 6 tahun menimba ilmu di Sekolah Dasar, penulis melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren madrasah Tarbiyah Islamiyah
Candung di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tahun 1998. 4 tahun mempelajari ilmu agama secara khusus, penulis melanjutkan pendidikan di
SMUN 1 Ampek Angkek pada tahun 2002.
Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa Jurusan Gizi di
Politeknik Kesehatan Depkes Padang. Pada tahun 2008 Penulis melaksanakan PKL di beberapa instansi diantaranya di RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung, Dinas Kesehatan Kota Solok, Hotel View Parai Bukittinggi, dan pada
tahun 2008 penulis berhasil mendapat gelar Ahli Madya Gizi.
Pada Bulan Oktober 2008 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di
Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut pertanian Bogor. Pada akhir 2009 penulis lulus dalam tes CPNS yang dilaksanakan Pemerintah
Daerah Kota Jambi dan bertugas di Puskesmas Perawatan Olak Kemang Kota Jambi. Pada tahun 2010 penulis mendapat pengalaman yang sangat berharga
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Hubungan Perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) dengan Status Gizi Balita Kota Jambi” sebagai
salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan S1 Mayor Ilmu Gizi
Departement Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dari
berbagai pihak. Maka dari itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, memberi saran dan arahannya kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan dan sarannya kepada penulis untuk lebih menyempurnakan skripsi ini.
3. Ayah dan Ibu yang senantiasa mendoakan dan memberi dukungan serta
semangat moril dan materil kepada penulis, serta kepada kakak dan adik-adikku (Syafly bersaudara) semoga moto ”Rumahku Ka’bahku” selalu
tertanam dalam diri kita
4. Teman-teman seperjuangan X10C gizi angkatan 2 terutama ”anak padang”
yang selalu penuh dengan motivasi, serta semua pihak yang banyak memberi nasehat dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari pembaca, yang sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Amin.
Bogor, April 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR LAMPIRAN ... iv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Hipotesis ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Konsep Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)... 4
Indikator KADARZI... 6
Penilaian KADARZI... 12
Karakteristik Sosial Keluarga... 14
Status Gizi Balita ... 18
KERANGKA PEMIKIRAN ... 21
METODE PENELITIAN ... 24
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 24
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 24
Jenis dan Cara pengumpulan Data ... 24
Pengolahan dan Analisis Data ... 25
DEFINISI OPERASIONAL ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN... 30
Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 30
Karakteristik Sosial Keluarga... 30
Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)……… 32
Status Gizi Balita………... 35
Hubungan Antar Variabel... 37
KESIMPULAN DAN SARAN... 44
Kesimpulan... 44
Saran... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Kuesioner PSG dan KADARZI Dinas Kesehatan Provinsi Jambi 50
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam
Sistem Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
yang optimal (Depkes RI 1997a). Memasuki abad ke 21, pembangunan kesehatan tidak lagi berlandaskan pada paradigma sakit, tetapi berlandaskan
paradigma sehat. Upaya peningkatan, pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat ditempatkan sebagai bagian ujung tombak paradigma sehat
untuk mencapai Indonesia sehat 2010 (Depkes 2000a).
Sesuai dengan paradigma sehat, perbaikan gizi pada Indonesia sehat
2010 lebih ditekankan pada peningkatan status gizi melalui upaya promotif dan preventif. Upaya-upaya ini dilakukan antara lain melalui pemberdayaan baik pada
petugas kesehatan, masyarakat maupun keluarga. Salah satu strategi meningkatkan pemberdayaan keluarga adalah melalui upaya mewujudkan keluarga sadar gizi (KADARZI). Upaya ini merupakan suatu langkah strategis,
mengingat sebagian masalah gizi timbul akibat pendidikan, perilaku dan lingkungan yang tidak mendukung (Depkes RI 2000b).
Masalah gizi di Indonesia masih banyak terjadi terutama pada anak balita yang merupakan golongan rawan gizi. Data dari Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2007 yang menyebutkan bahwa status gizi buruk dan kurang pada balita berturut-turut adalah 5.4% dan 13.0%, dan Provinsi Jambi termasuk
dalam 19 provinsi yang prevalensi gizi buruk dan kurang diatas prevalensi rataan nasional. Prevalensi balita kurus dan sangat kurus berturut-turut yaitu 7.4% dan
6.2%, dan Provinsi Jambi juga termasuk dalam 21 provinsi yang prevalensi balita sangat kurusnya diatas rataan nasional dan 25 provinsi yang prevalensi balita
kurusnya diatas rataan nasional.
Kasus gizi yang ditemukan di Provinsi Jambi berdasarkan indikator berat badan menurut umur yang berada pada kelompok gizi buruk tahun 2007 sebesar
1.8%, angka ini cenderung menurun dibanding 3 tahun sebelumnya yaitu 1.9% di tahun 2006, 2.05% di tahun 2005 dan 2.1% di tahun 2004. Kasus gizi menurut
indikator berat badan menurut umur di Kota Jambi pada tahun 2007 terdapat 1.1% balita gizi buruk dan 6.7% balita gizi kurang (Dinkes Provinsi Jambi 2008b).
balita yang menderita gizi buruk dan 24 balita gizi kurang berdasarkan indikator berat badan menurut umur, berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur ke
28 balita tersebut termasuk kategori pendek tetapi tidak ada satupun dari 28 balita tersebut yang mengalami gizi buruk berdasarkan indikator berat badan menurut tinggi badan.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jambi hasil pemetaan 2001 – 2004 mengenai KADARZI diketahui bahwa pada 2001 dari 7.583 Keluarga
terdapat 55.90% yang telah KADARZI, pada tahun 2002 meningkat menjadi 56.51%, pada tahun 2003 menurun menjadi 48.50% dan pada tahun 2004
semakin menurun menjadi 42.09%. Data KADARZI di Kota Jambi pada tahun 2002 diketahui persentase keluarga yang sudah KADARZI dari 1000 Keluarga
terdapat 52.80 yang KADARZI, pada tahun 2003 menurun drastis menjadi 19.64% dan pada tahun 2004 meningkat kembali menjadi 52.00%, naik turunnya
persentase keluarga yang KADARZI salah satu penyebabnya dikarenakan kurangnya peran serta masyarakat terhadap program KADARZI (Dinkes Provinsi Jambi 2008a).
Merubah perilaku keluarga menjadi keluarga sadar gizi guna menunjang perbaikan gizi masyarakat bukanlah hal yang mudah. Pendidikan gizi masyarakat
yang terus menerus, termasuk penyebarluasan informasi melalui media masa, pembinaan dan penggerakan tokoh dan kelompok-kelompok masyarakat, serta
pendampingan keluarga baik oleh tenaga profesional maupun masyarakat terlatih (Depkes 2007b). Guna memantau pencapaian dari masing-masing
kegiatan tersebut dan mengetahui pencapaian target pemerintah maka diperlukan pemantauan terhadap situasi KADARZI dan status gizi balita.
Tujuan Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalsis hubungan situasi keluarga sadar gizi (KADARZI) dengan status gizi balita di Kota Jambi. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini : 1. Menganalisis karakteristik sosial keluarga
2. Menganalisis perilaku KADARZI berdasarkan lima indikator KADARZI di Kota Jambi yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberikan air susu ibu
suplemen gizi (tablet tambah darah, kapsul vitamin A dosis tinggi) sesuai anjuran
3. Menganalisis status gizi berdasarkan berat badan menurut umur dan tinggi badan balita menurut umur
4. Menganalisis hubungan karakteristik sosial keluarga dengan perilaku
KADARZI
5. Menganalisis hubungan perilaku KADARZI dengan status gizi balita.
Hipotesis
1. Karakteristik keluarga berkaitan dengan perilaku KADARZI keluarga
2. Karakteristik keluarga berkaitan dengan perilaku KADARZI berdasarkan lima indikator KADARZI
3. Perilaku KADARZI keluarga berkaitan dengan status gizi balita
4. Perilaku KADARZI keluarga berdasarkan lima indikator KADARZI berkaitan
dengan status gizi balita.
Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
Dinas Kesehatan Kota Jambi dan Pemda Kota Jambi mengenai perilaku keluarga sadar gizi (KADARZI) serta status gizi balita. selain itu, diharapkan bisa
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)
Keadaan gizi masyarakat Indonesia masih belum menggembirakan.
Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium dan gizi lebih (obesitas) masih
banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga
dalam menyediakan pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam memilih, mengolah dan membagi
makanan di tingkat ruma tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan
gizi masyarakat yang berkualitas (Depkes 2007b).
Perbaikan status gizi masyarakat merupakan fokus prioritas poin kedua
dalam kerangka kebijakan pembangunan kesehatan sebagaimana yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) bidang kesehatan tahun 2010-2014. Salah satu upaya untuk memperbaiki status gizi masyarakat
yaitu dengan cara peningkatan pelayanan gizi dan masyarakat melalui pembinaan gizi masyarakat yaitu melalui program KADARZI (Sarjunani 2009).
KADARZI mulai dicanangkan sejak tahun 1998 yang dimotori oleh Departemen Kesehatan. Disebut keluarga sadar gizi jika sikap dan perilaku keluarga dapat
secara mandiri mewujudkan keadaan gizi yang sebaik-baiknya yang tercermin pada pola konsumsi yang beraneka ragam dan bergizi seimbang (Luciasari dkk
1996).
KADARZI adalah keluarga yang telah mempraktekkan perilaku gizi yang
baik dan benar sesuai kaidah imu gizi, dapat mengenali masalah gizi yang ada dalam keluarga atau lingkungan, serta mampu melakukan tindak lanjut untuk
mengatasi masalah gizi yang ada berdasarkan potensi yang dimilikinya (Depkes RI 2000b). Depkes (2009a) lebih menjabarkan lagi pengertian KADARZI sebagai suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi
setiap anggotanya.
Tujuan umum program KADARZI adalah seluruh keluarga berperilaku
sadar gizi, sedangkan tujuan khususnya yaitu agar meningkatnya kemudahan keluarga dan masyarakat untuk memperoleh informasi gizi serta agar
keluarga terutama ibu memiliki peran yang sangat penting terhadap keadaan gizi anaknya, terutama balita karena balita belum mampu untuk mengurus dirinya
sendiri dengan baik.
Strategi yang dilakukan untuk mencapai sasaran KADARZI yaitu 1) meningkatkan fungsi dan peran posyandu sebagai wahana masyarakat dalam
memantau dan mencegah secara dini gangguan pertumbuhan balita ; 2) menyelenggarakan pendidikan atau promosi gizi secara sistematis melalui
advokasi, sosialisasi, komunikasi informasi edukasi (KIE) dan pendampingan keluarga ; 3) menyelenggarakan kerjasama dengan lintas sektor dan kemitraan
dengan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta pihak lainnya dalam mobilisasi sumberdaya untuk penyediaan pangan rumah tangga,
peningkatan daya beli keluarga dan perbaikan asuhan gizi ; 4) mengupayakan terpenuhinya kebutuhan suplementasi gizi terutama zat gizi mikro dan MP-ASI
bagi balita GAKIN ; 5) meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas dan jaringannya dalam pengelolaan dan tata laksana pelayanan gizi ; 6) mengupayakan dukungan sarana dan prasarana pelayanan untuk
meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi di puskesmas dan jaringannya ; serta 7) mengoptimalkan survailans berbasis masyarakat melalui
pemantauan wilayah setempat gizi, sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa gizi buruk dan system kewaspadaan pangan dan gizi (Depkes 2004).
Depkes (2007b) menjelaskan bahwa suatu keluarga dikatakan KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi
yang diharapkan terwujud terutama 1) menimbang berat badan secara teratur ; 2) memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam
bulan (ASI eksklusif) ; 3) makan beraneka ragam ; 4) menggunakan garam beryodium ; dan 5) minum suplemen gizi sesuai anjuran. Maka pada penelitian
ini keluarga dikategorikan pada dua kategori yaitu (1) belum KADARZI bila keluarga belum melaksanakan kelima indikator KADARZI secara baik; dan (2)
sudah KADARZI bila keluarga telah melaksanakan kelima indikator KADARZI secara baik.
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2007 mengenai KADARZI,
garam cukup iodium. 6 provinsi salah satunya Provinsi Jambi telah mencapai target Universal Salt Iodization 2010 (90%). Persentase nasional anak 6-59 bulan
yang mendapatkan kapsul vitamin A dosis tinggi adalah 71.5% dan Provinsi Jambi memililiki persentase diatas persentase nasional. Prevalensi nasional kurang makan buah dan sayur pada penduduk umur > 10 tahun adalah 93.6%
dan Provinsi Jambi memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional (Depkes 2007a).
Standar pencapaian KADARZI yaitu 80% dari keluarga menjadi KADARZI (Depkes 2007b). Target jumlah bayi dan balita yang dipantau pertumbuhannya
setiap bulan dengan cara penimbangan berat badan yaitu sebesar 90%, jumlah bayi 0-6 bulan yang memperoleh ASI ekslusif sebesar 80%, keluarga
menggunakan garam beryodium sebesar 90%, keluarga makan beraneka ragam sesuai kebutuhan 80%, bayi usia 6 – 11 bulan serta balita usia 12-59 bulan
mendapatkan kapsul vitamin A dua kali pertahun sebesar 90%, ibu hamil mendapatkan minimal 90 tablet Fe selama masa kehamilan sebesar 95% dan ibu nifas mendapatkan kapsul vitamin A sebanyak 2 buah sebesar 90% (Depkes RI
2008).
Indikator Keluarga Sadar Gizi
Suatu keluarga dikatakan telah menjadi keluarga sadar gizi bila telah mempraktekkan dengan baik lima indikator KADARZI berikut :
Penimbangan berat badan secara teratur
Perubahan berat badan merupakan indikator yang sangat sensitif untuk
memantau pertumbuhan anak. Bila kenaikan berat badan anak lebih rendah dari yang seharusnya, pertumbuhan anak terganggu dan anak berisiko akan
mengalami kekurangan gizi. Sebaliknya bila kenaikan berat badan lebih besar dari yang seharusnya merupakan indikasi risiko kelebihan gizi (Depkes 2009b).
Menurut Gabriel (2008) perubahan berat badan menggambarkan perubahan konsumsi makanan atau gangguan kesehatan.
Berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan kemampuan yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah
anak mengalami gangguan pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan dari berbagai kelompok anak sangat
Tujuan dari pemantauan berat badan yaitu untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, mencegah memburuknya
keadaan gizi, mengetahui kesehatan ibu hamil dan perkembangan janin, mencegah ibu melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir rendah dan terjadinya pendarahan pada saat melahirkan, dan mengetahui kesehatan
anggota keluarga dewasa dan usia lanjut (Dinkes DKI Jakarta 2002 dalam Gabriel 2008).
Cakupan kunjungan bayi 6 – 11 bulan dan cakupan pelayanan anak balita 12 – 59 bulan sebagai bagian dari Pelayanan kesehatan dasar (PKD) yang
termuat dalam standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
741/MENKES/PER/VII/2008, bahwa bayi dan balita memperoleh pelayanan pemantauan pertumbuhan setiap bulan, minimal 8 kali dalam setahun (Depkes
RI 2008). Senada dengan hal tersebut Dinkes Pemprov Jambi (2010) menjelaskan bahwa minimal pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dilakukan 4 kali dalam 6 bulan. Target pemerintah untuk pelayanan pemantauan
pertumbuhan bayi dan balita yaitu pada tahun 2010, 90% bayi dan balita dipantau pertumbuhannya minimal 8 kali dalam setahun (Depkes RI 2008).
Pemberian ASI eksklusif pada bayi
ASI adalah makanan dan minuman yang paling utama bagi bayi. Selain
karena tidak akan pernah ada manusia yang sanggup memproduksi susu buatan sekualitas dengan ASI, juga ASI merupakan pemberian Allah SWT kepada
seluruh anak manusia, untuk menjamin kesehatan ibu dan anak, serta menjamin kelangsungan hidup anak manusia itu kelak di kemudian hari (Suhendar 2002).
Depkes (2000a) mendefenisikan ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi. Tidak ada satupun makanan lain yang dapat menggantikan ASI, karena ASI
mempunyai kelebihan yang meliputi 4 aspek, yaitu aspek gizi, aspek kekebalan, aspek ekonomi, dan aspek kejiwaan, berupa jalinan kasih sayang yang penting
untuk perkembangan mental dan kecerdasan anak. Jelliffe & Jelliffe (1979) menyebutkan bahwa bayi baru lahir secara kodrati memerlukan ASI sebagai sumber zaat gizi. Melalui kegiatan menyusui, bayi tidak hanya mendapatkan
makanan dan zat gizi pelindung yang perlu bagi pertumbuhannya, tetapi juga banyak hal lain yang secara psikologis berarti besar bagi perkembangan kualitas
ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang
berguna sebagai makanan bagi bayi atau anak. Keunggulan ASI sebagai makanan bayi tidak diragukan lagi karena ASI mempunyai nilai gizi yang tinggi, mengandung zat-zat kekebalan yang dapat mencegah berbagai penyakit infeksi,
terutama di negara-negara sedang berkembang (Winarno 1995). Menurut Depkes (1997b) ASI mengandung zat gizi berkualitas tinggi, yaitu kandungan
asam amino essensial yang sangat penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi terutama usia bayi 6 bulan. Kandungan antibodi dalam ASI dapat melindungi
bayi dari penyakit dan membantunya meningkatkan sistem kekebalan tubuh. ASI mengandung protein tinggi yang mudah diserap oleh bayi, juga mengandung
laktosa dan karbohidrat yang tinggi. Mineral yang terkandung di dalam ASI mudah diserap oleh bayi (Perkins & Vannais 2004).
Depkes (2007b) menganjurkan pemberian ASI tanpa makanan pendamping hingga bayi berusia 6 bulan (ASI eksklusif). Roesli (2009), mendefinisikan ASI eksklusif sebagai pemberian ASI tanpa makanan dan
minuman tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Lebih tepatnya pemberian ASI secara Eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja,
tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit,
bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan
dengan makanan padat. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun.
Menurut Muchtadi (2002), ASI eksklusif terutama diberikan selama enam bulan pertama karena pada masa-masa ini bayi dalam kondisi kritis.
Pertumbuhan dan pembentukan psikomotor terjadi sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat
mendukung.
Program ASI ekslusif merupakan salah satu dari pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar pelayanan minimal, bahwa bayi usia 0 – 6 bulan hanya memperoleh ASI saja tanpa makanan
2015 jumlah bayi 0 – 6 bulan yang hanya mendapat ASI saja tanpa ada makanan pendamping yang lain yaitu sebesar 80%. (Depkes RI 2008).
Makan makanan beraneka ragam
Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Konsumsi pangan
merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi (Pramuditya 2010). Penganekaragaman pangan adalah upaya untuk menganekaragamkan pola
konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk
(Almatsier 2006).
Makanan dikatakan beraneka ragam adalah apabila setiap hidangan
terdiri dari minimal 4 jenis bahan makanan yang terdiri dari bahan makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan yang bervariasi (Depkes 2000a).
Pada buku lain Depkes (2009a) memberi pengertian mengenai makan beraneka ragam yaitu apabila balita mengkonsumsi makanan pokok, lauk-pauk, sayur dan buah setiap hari, apabila tidak ada balita maka pengertiannya menjadi, apabila
keluarga mengkonsumsi makanan pokok, lauk-pauk, sayur dan buah setiap hari. Dalam Depkes (2000b) menjabarkan lagi bahwa makanan aneka ragam adalah
hidangan dengan menu yang bervariasi, paling sedikit terdiri dari : 1) satu jenis makanan pokok, misalnya nasi, jagung, ubi kayu, kentang, sagu dan sebagainya
yang merupakan sumber zat tenaga ; 2) satu jenis lauk pauk, misalnhya tempe, tahu, telur, ikan dan daging, dan sebagainya yang merupakan zat pembangun ;
dan 3) satu jenis sayuran dan buah-buahan yang merupakan zat pengatur. Konsumsi makanan merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi status seseorang (Hardinsyah & Martianto 1988). Menurut Depkes (2000a) ketidak sukaan seseorang terhadap makanan tertentu
berdampak negatif terhadap pencapaian keseimbangan gizi. Oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi maka perkenalan dan berikanlah aneka ragam
makanan sejak usia dini. Hendaknya berbagai jenis bahan makanan diperkenalkan sejak usia dini.
Program makan makanan beragam merupakan salah satu dari pelayanan
kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar
sayur atau buah. Target pemerintah untuk program makan makanan beragam yaitu pada tahun 2015 jumlah keluarga yang mengkonsumsi sekurang-kurangnya
bahan pangan pokok, lauk, sayur atau buah yaitu sebesar 80%. (Depkes RI 2008).
Penggunaan garam beryodium
Garam beryodium adalah garam yang dikonsumsi setelah ditambahkan dengan kalium yodat (KIO3) sebanhyak 30 – 80 ppm. Yodium adalah sejenis
mineral yang terdapat di alam baik tanah maupun air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Bila
terjadi banjir dan hujan lebat pada suatu daerah akan menyebabkan terjadinya erosi yodium dan akan dibawa ke laut. Yodium dibutuhkan untuk pembentukan
hormone tiroksin yang diperlukan oleh tubuh untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan mulai dari janin sampai dewasa (Dinkes Provinsi Jambi 2004)
sedangkan menurut (Depkes 2000a) yodium adalah salah satu mineral yang sangat penting peranannya bagi tubuh manusia. Kekurangan yodium dapat menyebabkan berbagai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup
lama (Dinkes Provinsi Jambi 2004). Adapun gejala dan penyakit yang disebabkan oleh GAKY yaitu gondok, gangguan pertumbuhan fisik dan mental,
serta menurunnya konsentrasi dan tingkat kecerdasan (Depkes 2000a). Konsumsi garam yang mengandung yodium dapat mengurangi risiko kejadian
GAKY (Dinkes Provinsi Jambi 2004).
Program konsumsi garam beriodium merupakan salah satu dari
pelayanan kesehatan dasar cakupan program desa siaga aktif pada subbidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang termuat dalam standar
pelayanan minimal,bahwa keluarga mengkonsumsi garam yang telah difortifikasi dengan mineral iodium. Target pemerintah untuk program konsumsi garam
beriodium yaitu pada tahun 2015 jumlah keluarga yang mengkonsumsi garam beriodium yaitu sebesar 90%. (Depkes RI 2008).
Konsumsi suplemen gizi sesuai anjuran
Konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan RI (2007b) yaitu kapsul vitamin A dosis tinggi (kapsul biru untuk bayi usia 6-11
Pada bayi dan balita kapsul vitamin A berguna untuk kesehatan mata, terutama pada proses penglihatan dimana vitamin A berperan dalam membantu
proses adaptasi dari tempat yang terang ke tempat yang gelap. Kekurangan vitamin A mengakibatkan kelainan dalam penglihatan karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar-kelenjar tidak memprosuksi cairan
yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata, yang disebut xerosis konjutiva. Bila kondisi ini terus berlanjut akan terbentuk bercak bitot (bitot spot)
dan berujung pada kebutaan (Dinkes Provinsi Jambi 2004). Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu cakupan kunjungan bayi 6 – 11 bulan dan cakupan
pelayanan anak balita 12 – 59 bulan pada pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam standar pelayanan minimal yaitu pemberian kapsul Vitamin A
dosis tinggi, 100.000 IU (biru) untuk bayi dan atau 200.000 IU (merah) untuk balita sebanyak 2 buah pertahun. Target pemerintah untuk pemberian vitamin A
dosis tinggi pada bayi dan balita yaitu pada tahun 2010, 90% bayi dan balita telah mendapat vitamin A dosis tinggi sesuai umur sebanyak 2 tablet pertahun.
Pada ibu nifas kapsul vitamin A diberikan kepada ibu agar bayi yang
disusui tercukupi asupan vitamin A-nya mengingat bayi usia di bawah 6 bulan belum mendapatkan kapsul vitamin A (Dinkes Provinsi Jambi 2004).
Berdasarkan Depkes RI (2008) salah satu cakupan pelayanan nifas pada pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam standar pelayanan minimal
untuk ibu nifas yaitu adanya pemberian kapsul Vitamin A dosis 200.000 IU (merah) sebanyak 2 buah. Dinkes Provinsi Jambi (2010) menambahkan bahwa
pemberian kapsul vitamin A yaitu hingga 28 hari setelah melahirkan. Target pemerintah untuk pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas yaitu pada
tahun 2015, 90% ibu hamil telah mendapat vitamin A dosis tinggi (Depkes RI 2008).
Tablet tambah darah berguna untuk meningkatkan kandungan zat besi (Fe) dalam tubuh. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau
hambatan pada pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak sehingga pada ibu hamil apabila terjadi kekurangan zat besi dapat menyebabkan ibu hamil mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir rendah (BBLR)
pada bayi yang dilahirkannya, serta dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan sebelum dan pada saat melahirkan dan beresiko terjadinya kematian ibu dan
pelayanan minimal yaitu ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilan. Minimal 30 tablet pada masing-masing trimester kehamilan (Dinkes
Provinsi Jambi 2010). Target pemerintah untuk pemberian TTD pada ibu hamil yaitu pada tahun 2015, 95% ibu hamil telah mendapat TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilan sebagai bagian dalam pencapaian cakupan kunjungan
ibu hamil K-4 pada pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI 2008).
Secara keseluruhan penggunaan 5 indikator KADARZI disesuaikan
dengan karakteristik keluarga sebagai berikut (Depkes 2009a) :
Tabel 1 Penggunaan lima indikator KADARZI disesuaikan dengan karakteristik keluarga
No Karakteristik keluarga
Indikator kadarzi
yang berlaku Keterangan
1 2 3 4 5
1 Bila keluarga mempunyai ibu hamil, bayi 0 – 6 bulan, balita 6 – 59 bulan
√ √ √ √ √ Indikator ke-5 yang digunakan
adalah balita mempunyai kapsul vitamin A
2 Bila keluarga mempunyai bayi 0 – 6 bulan dan balita 6 – 59 bulan
√ √ √ √ √
3 Bila keluarga mempunyai ibu hamil, dan balita 6 – 59 bulan
√ - √ √ √ Indikator ke-5 yang digunakan
adalah balita memdapat kapsul vitamin A
4 Bila keluarga mempunyai ibu hamil
- - √ √ √ Indikator ke-5 yang digunakan adalah ibu hamil mendapat TTD minimal 90 tablet selama masa kehamilan atau minimal 30 tablet pertrimester kehamilan 5 Bila keluarga mempunyai
bayi 0 – 6 bulan
√ √ √ √ √ Indikator ke-5 yang digunakan
adalah ibu nifas mendapat suplemen gizi
6 Bila keluarga mempunyai balita 6 – 59 bulan
√ - √ √ √
7 Bila keluarga tidak
mempunyai bayi, balita, dan ibu hamil
- - √ √ -
Keterangan : 1) Menimbang berat badan secara teratur, 2) Memberikan ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan, 3) Makan makanan beragam, 4) Menggunakan garam beryodium, 5) Minum suplemen gizi sesuai anjuran, ( √ ) berlaku, ( - ) tidak berlaku.
Penilaian KADARZI
Penilaian yang dilakukan terhadap keluarga untuk menentukan apakah keluarga tersebut telah KADARZI atau belum KADARZI dilihat berdasarkan lima
indikator berikut :
Penimbangan berat badan
penimbangan dicatat dalam KMS atau KIA. Pengukuran penimbangan berat badan dapat menjadikan 1 orang anggota keluarga yang rajin menimbangkan
berat badannya sebagai indikator, anggota keluarga yang biasa ditimbang berat badannya adalah balita, pemantauan penimbangan berat badan dilihat 6 bulan kebelakang dari waktu pemantauan, lalu di kelompkkan berdasarkan
pengelompokan di bawah ini (Dinkes Provinsi Jambi 2010) : 1. Balita berusia 12 – 59 bulan
• Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir
• Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir
2. Bayi berusia 6 – 11 bulan
• Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir
• Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir
3. Bayi berusia 4 – 5 bulan
• Belum baik : bila balita ditimbang < 3 kali sejak lahir • Baik : bila balita ditimbang ≥ 3 kali sejak lahir 4. Bayi berusia 2 – 3 bulan
• Belum baik : bila ballita ditimbang < 2 kali sejak lahir • Baik : bila balita ditimbang ≥ 2 kali sejak lahir 5. Bayi berusia 0 – 1 bulan
• Belum baik : bila balita belum pernah ditimbang sejak lahir • Baik : bila balita ditimbang minimal 1 kali sejak lahir.
Pemberian ASI ekslusif pada bayi
Cara pengukuran pemberian ASI eksklusif dapat dilihat berdasarkan pengelompokan di bawah ini (Dinkes Provinsi Jambi 2010) :
1 Belum baik : bila sudah diberikan makanan dan minuman lain selain ASI hingga bayi berusia 6 bulan
Makan makanan beraneka ragam
Metoda untuk mengukur keanekaragaman makanan keluarga dapat
dilakukan dengan cara menanyakan kepada ibu konsumsi makan keluarga tentang konsumsi lauk hewani, buah dan atau sayur dalam menu keluarga. Dan dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1) belum baik bila dalam 3 hari terakhir
tidak makan lauk hewani, buah dan atau sayur, 2) baik bila dalam 3 hari terakhir keluarga makan lauk hewani, buah dan atau sayur (Dinkes Provinsi Jambi 2010).
Penggunaan garam beryodium
Cara pengukuran penggunaan garam yodium yaitu dengan menguji
contoh garam yang digunakan keluarga dengan tes yodina / tes amilum. Dikategorikan belum baik bila hasil tes warna tidak berubah / muda, hal ini
menunjukkan bahwa garam tidak mengandung yodium, dan baik bila hasil tes berwarna ungu, hal ini menunjukkan bahwa garam yang digunakan sudah
mengandung yodium (Dinkes Provinsi Jambi 2010).
Konsumsi suplemen gizi sesuai anjuran
Cara pengukuran konsumsi suplemen gizi pada KADARZI dijabarkan oleh
(Dinkes Provinsi Jambi 2010) sebagai berikut : 1. Bila terdapat bayi usia 6 – 59 bulan
• Belum baik : bila tidak mendapat kapsul vitamin A biru dan atau merah • Baik : bila mendapat kapsul vitamin A biru pada bulan Februari
dan Agustus (pada bayi usia 6 – 11 bulan) atau bila mendapat kapsul vitamin A merah pada bulan Februari dan Agustus (pada balita usia 12 –
59 bulan).
2. Bila terdapa ibu hamil
• Belum baik : bila jumlah TTD yang diminum belum sesuai anjuran • Baik : bila jumlah di yang diminum sudah sesuai anjuran 3. Bila terdapat ibu nifas
• Belum baik : bila tidak mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke 28
• Baik : bila mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke 28.
Karakteristik Sosial Keluarga
keluarganya. Perilaku gizi seimbang yaitu pengetahuan, sikap dan praktek keluarga yang mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung semua zat
gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu dalam keluarga dan bebas dari pencemaran (Depkes 2004). Berdasarkan Depkes (2007c) keluarga sadar gizi ditandai dengan adanya
kemampuan keluarga tersebut untuk memenuhi pangan bagi semua anggota keluarga, menjaga kesehatan lingkungan, mencegah penyakit infeksi,
memberikan pengasuhan gizi dan kesehatan, serta perilaku keluarga tersebut mampu untuk memanfaatkan pendapatan, distribusi pangan dalam keluarga,
memantau pertumbuhan dan perkembangan, memberkan pertolongan awal masalah kelainan gizi dan memperoleh pelayanan kesehatan.
Menurut Gabriel (2008) faktor yang mempengaruhi keluarga mau berperilaku KADARZI diantaranya adalah faktor sosio demografi yang meliputi
tingkat pendidikan orang tua, umur orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap gizi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitri (2008) di Kota
Payakumbuh menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap perilaku KADARZI dan status gizi. Perilaku KADARZI dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan tingkat kesadaran keluarga akan pentingnya gizi. Sedangkan berdasarkan penelitian Simanjuntak (2009) bahwa
perilaku KADARZI dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi keluarga dimana keluarga yang memiliki pendapatan lebih tinggi lebih banyak menerapkan
KADARZI dari pada keluarga dengan pendapatan rendah.
Pendidikan orang tua
Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik.
Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Rahmawati
(2006) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan
kesehatan anak. Adnyadewi (2004) menambahkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam kaitannya dengan partisipasi
Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta cara pemberian makan yang sehat
dan bergizi untuk anaknya (Soetjiningsih 1995), sedangkan menurut Suhardjo (1989) keadaan tingkat pendidikan orang tua yang rendah terutama ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga terutama pola
konsumsi pangan sehari-hari.
Hasniyati (2010) menkategorikan tingkat pendidikan orang tua dalam 3
kategori yaitu 1) rendah, jika ≤SMP ; 2) sedang jika tamat hingga SMU ; dan 3) tinggi jika pendidikan terakhir adalah perguruan tinggi. Dan hasil penelitiannya
menunjukkan adanya hubungan signifikan (p-value 0,023) antara tingkat pendidikan ibu dengan perilaku kesehatan ibu untuk diri sendiri dan keluarga.
Umur orang tua
Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak dan emosi seseorang.
Usia yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda (Hurlock 1995 dalam Adwinanti 2004). Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam
mengasuh anak sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, usia muda juga
cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kuantitas dan kualitas
pengasuhan terhadap anak menjadi kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya sebagai seorang ibu dengan
sepenuh hati (Hurlock 1998).
Berdasarkan WNPG (2004) dalam Yulianti (2010) umur orang tua
dikategorikan pada 4 kelompok yaitu : 1) remaja (< 20 tahun) ; 2) dewasa muda (20-29 tahun) ; 3)dewasa madya (30-49 tahun) ; dan 4) dewasa lanjut(≥ 50 tahun).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Hasniyati (2010) dapat
diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan (p-value 0,033) antara usia ibu dengan perilaku kesehatan ibu untuk diri sendiri dan keluarga. Hal ini dikarenakan semakin matang umur ibu maka semakin baik perilaku dan pola
asuhnya terhadap anak sehingga dapat mempengaruhi perilaku kadarzi.
Besar Keluarga
mempengaruhi pula kesehatan anak-anak. Jumlah anggota yang banyak, menyebabkan perhatian orang tua terutama ibu terhadap anak-anaknya dan
anggota keluarga yang lain berkurang, demikian pula dengan perhatian ibu terhadap dirinya sendiri (Sukarni 1994). Afriyenti (2002) Menambahkan bahwa jumlah anggota keluarga (besar keluarga) juga berhubungan dengan pembagian
ruang dan konsumsi zat gizi per penghuni rumah.
Rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya
konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit. Sehingga dapat mempengaruhi status gizi keluarga (Notoatmodjo 1997). Pada rumah tangga
miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah bila jumlah orang yang harus diberi makan sedikit. Anak-anak yang sedang tumbuh paling rentan
mengalami gizi kurang bila dibandingkan anggota keluarga yang lain. Hal ini disebabkan karena bila besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap
anak berkurang dan orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi dari pada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989). Hal ini lebih dikuatkan lagi dalam Suhardjo (1996) bahwa
semakin sedikit jumlah anak makan kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang semakin baik.
Selain konsumsi, besar keluarga juga ikut mempengaruhi perhatian orang tua, bimbingan, petunjuk dan perawatan kesehatan (Sediaoetama 2006). Harjono
(2000) menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga berdampak pula terhadap kurangnya perhatian pada kaidah-kaidah hidup sehat, seperti
penyediaan makanan yang seimbang, kelayakan fasilitas rumah dan usaha untuk mewujudkan perilaku hidup yang sehat.
Berdasarkan Hurlock (1998), besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1) keluarga besar (≥ 8 orang) ; 2) keluarga sedang (5-7 orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang). Sedangkan untuk di Indonesia berdasarkan rujukan dari BKKBN (1998) besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kelompok
yaitu 1) keluarga besar (≥7 orang) ; 2) keluarga sedang (5-6 orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Widiyawati (2004)
Status Gizi Balita
Status gizi adalah suatu kondisi dari beberapa kesehatan satu atau
sekelompok orang karena konsumsi, penyerapan, dan pemanfaatan nutrisi (Riyadi 1993). Menurut Tarwotjo dan Soekirman (1987) status gizi merupakan indikasi keseimbangan antara asupan gizi dan eksresi. Dengan kata lain, bahwa
status gizi merupakan cerminan dari konsumsi makanan dan pemanfaatannya. Riyadi (2001) lebih menjelaskan bahwa status gizi menggambarkan kesehatan
tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi makanan.
Status gizi anak merupakan cerminan dari status gizi masyarakat (Suharjo dan Riyadi 1990). Menurut Suhardjo (1989), berat badan anak
merupakan indikator yang baik bagi penentuan status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan kemampuan
yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah anak mengalami gangguan pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan dari berbagai kelompok anak sangat bervariasi, namun
telah banyak diketahui bahwa hal ini terjadi karena perbedaan dalam status gizi dan status kesehatan. Riyadi (2001) menjelaskan bahwa variabel-variabel yang
digunakan untuk mengukur status gizi adalah tinggi badan, berat badan dan usia. Penggunaan variabel-variabel tersebut dikombinasikan menjadi pengukuran
tinggi badan menurut usia, berat badan menurut usia, dan berat badan menurut tinggi badan.
Karakteristik berat badan yang sensitif, indeks berat badan menurut umur menggambarkan status gizi saat ini (Supariasa et al 2001). Riyadi (2001) lebih
menjabarkan lagi bahwa indeks antropometri yang sering digunakan untuk menilai status gizi anak adalah berat badan menurut usia. Berat badan menurut
umur digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang karena berat badan sangat labil terhadap perubahan keadaan mendadak (sakit atau kurang
nafsu makan). Status gizi indeks tinggi badan menurut umur menurut Soekirman (2000) dapat memberikan gambaran perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat dari waktu ke waktu.
Data status gizi berat badan menurut umur dikategorikan dalam kategori berdasarkan Depkes (2010) yaitu 1) gizi buruk (z-score < -3 SD) ; 2) gizi kurang
(z-score > -2 SD). Status gizi tinggi badan menurut umur di kategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1) pendek (z-score < -2 SD) ; 2) normal (z-score ≥ -2).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jambi Pada tahun 2007 terdapat balita dengan status gizi buruk yaitu sebesar 1.8%, angka ini cenderung menurun dibanding 3 tahun sebelumnya yaitu 1.9% di tahun 2006, 2.05% di
tahun 2005 dan 2.1% di tahun 2004. Kasus gizi berdasarkan indikator berat badan menurut umur di Kota Jambi pada tahun 2007 terdapat 1.1% balita gizi
buruk dan 6.7% gizi kurang (Dinkes Provinsi Jambi 2008b). Kekurangan gizi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan kematian secara langsung. Namun
biasanya terlebih dahulu anak mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi (Depkes 1994b).
Faktor yang menyebabkan kurang gizi pada balita menurut UNICEF meliputi beberapa tahapan yaitu penyebab langsung, tidak langsung, pokok
masalah dan akar masalah. Berdasarkan Soekirman dalam (Depkes 2000b) faktor penyebab kurang gizi dijelaskan sebagai berikut : pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi. Kedua, penyebab tidak
langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketiga, pokok masalah yaitu
berupa kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat sehingga mempengaruhi kurangnya pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan. Dan keempat, akar masalah adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial.
Pemeliharaan gizi anak sangat menentukan pertumbuhan fisiknya. Selain itu organ jaringan tubuh baru dapat berfungsi sempurna bila mendapat makanan
yang cukup dan bergizi seimbang. Tingkat kesehatan yang buruk yang diakibatkan kurang baiknya pola asuh gizi dan kesehatan di rumah, secara
langsung maupun tidak langsung berdampak pada status gizi anak (Depkes 1994a). Pola asuh Gizi dan Kesehatan yang dapat diterapkan dalam tingkat
rumah tangga salah satunya adalah KADARZI (Depkes 2007b). Cara menjaga agar anak tetap sehat yaitu anak diberi makanan yang cukup dengan menu seimbang, perlu adanya pemantauan berat badan dan tinggi badan secara
teratur setiap bulan, serta konsumsi suplemen yang dianjurkan (Depkes 1994b). Berdasarkan Surjani (2009) target yang ingin dicapai pemerintah yang
kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk) dari 25.8% menjadi 18.4% dan menurunkan prevalensi anak balita yang pendek dari 36.8% menjadi 25.0%.
Kerangka Pemikiran
Keluarga sadar gizi (KADARZI) adalah keluarga yang berperilaku gizi
seimbang, mampu mengenali dan menganalisis masalah gizi setiap anggota keluarganya. Perilaku gizi seimbang yaitu pengetahuan, sikap dan praktek keluarga yang mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung semua zat
gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu dalam keluarga dan bebas dari pencemaran (Depkes 2004).
Berdasarkan Depkes (2007c) keluarga sadar gizi ditandai dengan adanya kemampuan keluarga tersebut untuk memenuhi pangan bagi semua anggota
keluarga, menjaga kesehatan lingkungan, mencegah penyakit infeksi, memberikan pengasuhan gizi dan kesehatan, serta perilaku keluarga tersebut
mampu untuk memanfaatkan pendapatan, distribusi pangan dalam keluarga, memantau pertumbuhan dan perkembangan, memberkan pertolongan awal
masalah kelainan gizi dan memperoleh pelayanan kesehatan. Menurut Gabriel (2008) faktor yang mempengaruhi keluarga mau berperilaku KADARZI diantaranya adalah faktor sosio demografi yang meliputi tingkat pendidikan orang
tua, umur orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap gizi.
Depkes (2007a) menyatakan bahwa suatu keluarga dikatakan KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik secara terus menerus. Perilaku sadar gizi
yang diharapkan terwujud terutama 1) menimbang berat badan secara teratur ; 2) memberikan air susu ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam
bulan (ASI eksklusif) ; 3) makan beraneka ragam ; 4) menggunakan garam beryodium ; dan 5) minum suplemen gizi sesuai anjuran. Kadarzi diharapkan
mampu mengatasi masalah gizi. Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas dan
jangkauan pelayanan kesehatan. Masalah gizi yang sering dijumpai di masyarakat antara lain : kurang energi protein (KEP), gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB) dan kekurangan vitamin A (KVA). Menurut Gabriel (2008) faktor yang mempengaruhi KADARZI diantaranya adalah faktor sosio demografi yang meliputi tingkat pendidikan orang tua, umur
orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap gizi.
tindakan gizi dan kesehatan yang kurang oleh keluarga terutama ibu (Depkes 2009b). Menurut Riyadi (2001), status gizi menggambarkan kesehatan tubuh
seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi makanan. Pemeliharaan gizi anak sangat menentukan pertumbuhan fisiknya. Selain itu organ jaringan tubuh baru dapat
Kerangka Pemikiran
Keterangan :
= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti
= Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti Tingkat Pendidikan Ibu
Jumlah Anggota Keluarga Umur Ibu
KADARZI
Penimbangan berat badan secara teratur Pemberian ASI ekslusif
Makan makanan beraneka ragam Penggunaan garam beryodium Konsumsi suplemen yang dianjurkan
Status Gizi Balita Berat Badan Menurut
Umur
Status Gizi Balita Tinggi Badan Menurut
Umur
Karakteristik Keluarga Pola asuh makan Pola asuh kesehatan
Pengetahuan dan keterampilan kebersihan pribadi dan lingkungan
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian
dilaksanakan di Kecamatan Danau Teluk Kota Jambi Provinsi Jambi, yang mana pemilihan tempat penelitan merupakan kecamatan yang memiliki kasus gizi buruk dan kurang yang cukup tinggi di Kota Jambi. Penelitian ini menggunakan
data yang berasal dari Survei ”Penilaian Status Gizi dan KADARZI di Kota Jambi Tahun 2010” ini merupakan bagian dari penelitian ”Penilaian Status Gizi dan
KADARZI di Provinsi Jambi Tahun 2010” yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jambi. Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data Kecamatan
Danau Teluk Kota Jambi, dimana contoh dari penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak balita. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus – Oktober
2010.
Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh
Survei ”Penilaian Status Gizi dan KADARZI di Kota Jambi Tahun 2010” dilaksanakan di semua kelurahan di Kota Jambi yaitu 62 kelurahan dari 8 kecamatan yang ada di Kota Jambi. Pada masing-masing Kecamatan di tentukan
jumlah klusternya, satu kluster mewakili satu rukun tetangga (RT). Satu kluster diambil 10 kepala keluarga (KK) sebagai contoh, 8 KK adalah KK yang memiliki
balita dan 2 KK tanpa balita. Pemilihan keluarga yang menjadi contoh di dalam penelitian ini didapatkan secara purposive. Di kecamatan Danau Teluk terdapat
30 kluster, yang diteliti hanya pada KK yang memiliki balita, sehingga jumlah contohnya yaitu 240 KK. Data balita yang diambil adalah data balita termuda
dalam keluarga tersebut.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder meliputi data karakteristik sosial keluarga (pendidikan orang tua, umur orang tua dan jumlah anggota keluarga), data KADARZI (penimbangan berat badan, pemberian ASI
eksklusif, Konsumsi makanan beraneka ragam, penggunakan garam beryodium, dan konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan) serta data antropometri balita
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data sekunder
No Kelompok data Data Cara pengumpulan data
1 KADARZI Penimbangan berat badan
Pemberian ASI eksklusif
Konsumsi makanan beraneka ragam
Konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan
Penggunakan garam beryodium
Wawancara dengan menggunakan koesioner
Wawancara dengan menggunakan koesioner
Wawancara dengan menggunakan koesioner
Wawancara dengan menggunakan koesioner
Pengujian garam yang digunakan dengan tes yodina / tes amilum 2 Karakteristik sosial
keluarga
Pendidikan orang tua
Umur orang tua
Jumlah anggota keluarga
Wawancara dengan menggunakan koesioner
Wawancara dengan menggunakan koesioner
Wawancara dengan menggunakan koesioner
3 Antropometri balita Pengelompokan status gizi balita berdasarkan berat badan, tinggi badan dan umur
Pengukuran langsung
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan dientry menggunakan Microsoft excel
for windows. Data dianalisis statistik dengan program Statistical Program for
Social Science (SPSS) versi 16.0 for Windows dan dipaparkan secara deskriptif
dan pengkategorian serta disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui hubungan antar variabel yang berupa data ordinal lalu dikategorikan diuji mengunakan korelasi spearman.
Data KADARZI diukur berdasarkan lima indikator KADARZI. Keluarga dikategorikan pada dua kategori yaitu (1) belum KADARZI bila keluarga belum
melaksanakan kelima indikator KADARZI ; dan (2) sudah KADARZI bila keluarga telah melaksanakan kelima indikator KADARZI.
Data indikator KADARZI berupa penimbangan berat badan diukur dengan cara mengajukan pertanyaan mengenai kebiasaan ibu membawa balita ke
posyandu untuk ditimbang berat badannya. Penilaian pengukur penimbangan dapat dilihat berdasarkan pengelompokan di bawah ini (Dinkes Provinsi Jambi
2010) :
1 Balita berusia 12 – 59 bulan
• Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir
2 Bayi berusia 6 – 11 bulan
• Belum baik : bila balita ditimbang < 4 kali dalam 6 bulan terakhir
• Baik : bila balita ditimbang ≥ 4 kali dalam 6 bulan terakhir
3 Bayi berusia 4 – 5 bulan
• Belum baik : bila balita ditimbang < 3 kali sejak lahir • Baik : bila balita ditimbang ≥ 3 kali sejak lahir 4 Bayi berusia 2 – 3 bulan
• Belum baik : bila ballita ditimbang < 2 kali sejak lahir • Baik : bila balita ditimbang ≥ 2 kali sejak lahir 5 Bayi berusia 0 – 1 bulan
• Belum baik : bila balita belum pernah ditimbang sejak lahir • Baik : bila balita ditimbang minimal 1 kali sejak lahir.
Data pemberian ASI eksklusif diukur dengan cara mengajukan pertanyaan mengenai sampai anak umur berapa ibu memberikan ASI tanpa
adanya pemberian makanan / minuman lain. Cara pengukuran pemberian ASI eksklusif dapat dilihat berdasarkan pengelompokan di bawah ini (Dinkes Provinsi
Jambi 2010) : belum baik : bila sudah diberikan makanan dan minuman lain selain ASI hingga bayi berusia 6 bulan dan baik : bila hanya diberikan ASI saja,
tidak diberikan makanan dan minuman selain ASI hingga usia 6 bulan
Data konsumsi makanan beraneka ragam diukur dengan cara
mengajukan pertanyaan mengenai konsumsi lauk hewani, buah dan atau sayur dalam menu keluarga keluarga dalam 3 hari terakhir. Cara pengukuran konsumsi
makanan beraneka ragam dapat dilihat berdasarkan pengkategorian yaitu belum baik bila sekurangnya dalam 3 hari teerakhir keluarga tidak makan lauk hewani, buah dan atau sayur, baik bila sekurangnya dalam 3 hari terakhir keluarga
makan lauk hewani, buah dan atau sayur (Dinkes Provinsi Jambi 2010).
Data konsumsi suplemen gizi yang dianjurkan diukur dengan cara
mengajukan pertanyaan megenai konsumsi suplemen yang dianjurkan yang meliputi kapsul vitamin A untuk bayi (biru) dan balita (merah) pada bulan Februari
dan Agustus dan kapsul vitamin A merah bagi ibu nifas, serta TTD untuk ibu hamil. Cara pengukuran konsumsi suplemen gizi pada KADARZI dijabarkan oleh
1. Bila terdapat bayi usia 6 – 59 bulan
• Belum baik : bila tidak mendapat kapsul vitamin A biru dan atau merah • Baik : bila mendapat kapsul vitamin A biru pada bulan Februari
dan Agustus (pada bayi usia 6 – 11 bulan) atau bila mendapat kapsul
vitamin A merah pada bulan Februari dan Agustus (pada balita usia 12 – 59 bulan).
2. Bila terdapa ibu hamil
• Belum baik : bila jumlah TTD yang diminum belum sesuai anjuran • Baik : bila jumlah di yang diminum sudah sesuai anjuran 3. Bila terdapat ibu nifas
• Belum baik : bila tidak mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke 28
• Baik : bila mendapat 2 kapsul vitamin A merah sampai hari ke 28.
Data penggunaan garam beryodium diukur berdasarkan hasil tes yodina / tes amilum pada garam yang dipakai keluarga untuk memasak sehari-harinya.
Dan dikategorikan berdasarkan (Dinkes Provinsi Jambi 2010) : 1) belum baik bila hasil tes warna tidak berubah / muda, hal ini menunjukkan bahwa garam tidak
mengandung yodium, dan 2) baik bila hasil tes berwarna ungu, hal ini menunjukkan bahwa garam yang digunakan sudah mengandung yodium.
Data karakteristik sosial keluarga berupa data mengenai umur orang tua,
tingkat pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Umur orang tua dikategorikan dalam empat kelompok yaitu 1) remaja ; 2) dewasa muda ; 3)
dewasa madya dan 4) dewasa lanjut. Pendidikan orang tua dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu 1) rendah, jika pendidikan dibawah setingkat SMP ; 2) sedang,
jika pendidikan setara setara tingkat SMA ; dan 3) tinggi, jika pendidikan terakhir setara perguruan tinggi. Jumlah anggota keluarga dikategorikan dalam 3
kelompok yaitu 1) keluarga besar (≥ 8 orang) ; 2) keluarga sedang (5 – 7 orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang).
Data status gizi berdasarkan indikator berat badan menurut umur dikategorikan dalam kategori berdasarkan Depkes (2010) yaitu 1) gizi buruk (z-score < -3 SD) ; 2) gizi kurang (z-(z-score -3 s/d < -2 SD) ; 3) normal (z-(z-score -2 s/d
2 SD) ; dan 4) gizi lebih (z-score > -2 SD). Status gizi berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur di kategorikan dalam 2 kelompok yaitu 1) pendek (z-score <
Data yang telah dikategorikan kemudian dianalisis korelasi antar variabel yang diteliti. Cara analisis korelasi antar variabel ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3 Cara analisis korelasi antar variabel yang diteliti
No Hubungan Variabel Yang Diteliti Analisis
1 2 3 4
5
Hubungan pendidikan ibu dengan situasi KADARZI Hubungan umur ibu dengan situasi KADARZI Hubungan besar keluarga dengan situasi KADARZI Hubungan situasi KADARZI dengan status gizi berat badan perumur
Hubungan situasi KADARZI dengan status gizi tinggi badan perumur
Korelasi spearman Korelasi spearman Korelasi spearman Korelasi spearman
Korelasi spearman
Definisi Operasional
Pendidikan orang tua : tingkat pendidikan yang ditempuh oleh orang tua yang dikategorikan dalam 3 kategori yaitu 1) rendah, jika ≤SMP ; 2) sedang
jika tamat hingga SMU ; dan 3) tinggi jika pendidikan terakhir adalah perguruan tinggi.
Umur orang tua : hasil selisih antara tanggal lahir orang tua dengan tanggal pengukuran yang dinyatakan dengan ukuran tahun yang dikategorikan pada 3 kelompok yaitu : 1) remaja (< 20 tahun) ; 2)
dewasa muda (20-29 tahun) ; 3)dewasa madya (30-49 tahun) ; dan 4) dewasa lanjut(≥ 50 tahun).
Jumlah anggota keluarga : jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dengan satuan orang dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu 1) keluarga
besar (≥7 orang) ; 2) keluarga sedang (5-6 orang) ; dan 3) keluarga kecil (≤ 4 orang).
Penimbangan berat badan : penimbangan yang dilakukan terhadap bayi dan atau balita secara rutin setiap bulannya selama enam bulam terakhir dan disesuaikan dengan usia bayi, dikategorikan dalam 2 kategori
yaitu 1) belum baik, bila tidak melaksanakan penimbangan berat
badan bayi dan atau balita minimal 4 kali selama 6 bulan terakhir atau disesuaikan dengan usia bayi; 2) baik, bila telah melaksanakan penimbangan bayi dan atau balita minimal 4 kali dalam 6 bulan
terakhir atau disesuaikan dengan usia bayi.
Konsumsi makanan beraneka ragam : Makanan yang dimakan keluarga dalam 3 hari terakhir minimal terdiri dari bahan makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan atau sayur-sayuran yang bervariasi. Dikategorikan