• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKONOMI DAN PEMBANGUNAN"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI DAN PEMBANGUNAN

Jurnal

Muhammad Nasir, Alfan Mufrody

X Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh

Ir. Ramayana, MSi.

X Optimasi Pengolahan Minyak Nilam Pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat.

Rois, Supiandi Sabiham, Irsal Las, dan Machfud

X Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat

Usman Bakar

X Efektivitas Penerapan Keppres 80 Tahun 2003 pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Rangka Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat

Khalis Yunus, Ema Alemina

X Peranan Biofertilizer Bagi Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Yang Terkena Dampak Tsunami

Vivi Silvia

X Pengaruh Pendidikan dan Pendapatan Terhadap Mobilitas Pekerja Wanita dari Sektor Industri ke Sektor Jasa di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh

Hasanuddin Yusuf Adnan

(2)
(3)

TIM REDAKSI

JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli,

dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis dibidang

Ekonomi Pembangunan.

Pengarah : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Wakil Pengarah : Warqah Helmi

Penanggung Jawab : Hamdani Dewan Redaksi : Syahrizal Abbas

Saiful Mahdi Muhammad Nasir Ema Alemina Pimpinan Redaksi : Marthunis

Staf Redaksi : Aswar

Ida Irawan

Pimpinan Administrasi : Taufiqurrahman

Sekretariat : Nurbaya

Wahyuni

Suharna

T. Azwar Mirza

Vintana Gemasih Martunas Nelly Eliza

Alamat Redaksi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh

Bidang Penelitian dan Pengembangan

Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No.26 Banda Aceh Telepon (0651) 21440, 29713

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Berusaha keras meningkatkan dan memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder merupakan komitmen BAPPEDA Aceh. Wujud nyata upaya tersebut tercermin dari keberlanjutan penerbitan Jurnal Ekonomi dan Pembangunan.

Dalam rangka meningkatkan kualitasnya, staf redaksi melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan artikel yang lebih konsisten dan judul jurnal yang lebih mudah dimengerti dan dipahami.

Diharapkan perbaikan ini dapat menjembatani para akademisi, praktisi bisnis dan Pemerintah dalam menuangkan gagasannya, baik berupa hasil penelitian ataupun analisis ilmiah yang bagi perwujudan pembangunan berkelanjutan.

Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada para penyunting Ahli atas kesediaanya menjadi anggota dewan redaksi semoga peran sertanya dapat meningkatkan mutu penerbitan jurnal ini. Ucapan terimaksih juga disampaikan kepada para penulis artikel yang termuat tulisannya. Akhirnya, tanggapan serta kritikan pembaca sangat kami harapkan.

(6)
(7)

DAFTAR ISI

Muhammad Nasir, Alfan Mufrody

Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh ...

Ir. Ramayana, MSi.

Optimasi Pengolahan Minyak Nilam Pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat ...

Rois, Supiandi Sabiham, Irsal Las, dan Machfud

Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat ...

Usman Bakar

Efektivitas Penerapan Keppres 80 Tahun 2003 pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Rangka Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat ...

Khalis Yunus, Ema Alemina

Peranan Biofertilizer Bagi Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Yang Terkena Dampak Tsunami ...

Vivi Silvia

Pengaruh Pendidikan dan Pendapatan Terhadap Mobilitas Pekerja Wanita dari Sektor Industri ke Sektor Jasa di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh ...

Hasanuddin Yusuf Adnan

Konsep Syura dalam Islam ...

1

11

23

37

55

65

83

(8)
(9)

Analisis Hubungan Pengeluaran

Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) Aceh

(Relationship Analysis of Aceh Government Expenditure

for Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh)

Oleh : Muhammad Nasir1, Alfan Mufrody2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perubahan pengeluaran Pemerintah Aceh dengan perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran Pemerintah Propinsi Aceh yang merupakan data time series dari tahun 1994 sampai

dengan 2008. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Granger Causality

untuk meneliti pola atau arah hubungan kausalitas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan timbal balik antara total pengeluaran pemerintah dengan PDRB. Selain itu juga tidak terjadi hubungan timbal balik antara total belanja rutin

dengan PDRB.

Kata kunci: Granger causality, pengeluaran pemerintah, belanja rutin, PDRB.

AbstrAct

This research is aimed to know the relationship between the change in Aceh government spending and Gross Domestic Regional Product (GDRP). The data used is the time series data from 1994 to 2008. Whereas the method of analysis used is Granger Causality test in finding the pattern and sign of the causality relationship. The research finds that there is no causality relationship between total government expenditure and GDRP. There is also no causality relationship between total routine expenditure and GDRP.

(10)

Analisis Hubungan...

2

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi dapat

diartikan sebagai suatu perubahan

yang meningkatkan kapasitas produksi nasional. Peningkatan ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi. Indikator

pertumbuhan ekonomi tidak hanya bisa secara materi seperti meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga

peningkatan formasi modal non materi

seperti kebijakan sosial budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian.

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diupayakan berlandaskan prinsip otonomi daerah. Dengan demikian daerah mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada

agar dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di daerah tersebut. Dengan otonomi daerah, diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya.

Pengelolaan pemerintah daerah,

baik di tingkat propinsi maupun tingkat

kabupaten dan kota memasuki era baru

sejalan dengan diberlakukannya UU

No.22 tahun 1999 yang menempatkan otonomi secara utuh pada kabupaten/ kota. Khusus bagi propinsi, selain

sebagai daerah otonom juga merupakan

wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan pemerintah pusat melalui pelaksanaan dekonsentrasi. Selain itu, UU No.25 Tahun 1999 mengamanatkan

bahwa setiap penyerahan atau

pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada propinsi dan kabupaten/

kota harus diikuti dengan pembiayaannya.

Khusus untuk Aceh, dasar hukum

otonomi (khusus) lebih kuat lagi dengan adanya UU No.11 tahun 2006 yang dikenal sebagai Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai

usaha menjabarkan kesepakatan damai

di Aceh berdasarkan MoU Helsinki.

Pembangunan ekonomi adalah

serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat, memperluas kesempatan

kerja, mengarahkan pembagian

pen-dapatan masyarakat secara adil dan merata, serta meningkatkan hubungan ekonomi regional. Dalam mengatur dan

memajukan perekonomian regional diperlukan kebijakan dalam perencanaan

perekonomian yang matang dengan pengeluaran negara yang mendorong keseimbangan regional.

Pada pemerintah daerah terdapat

juga pengeluaran pemerintah yang

diharapkan memberikan kontribusi ter-hadap PDRB. Pengeluaran pemerintah

yang bersifat produktif dan investasi

akan memberikan kontribusi terhadap pemerintah daerah tersebut. Tingkat

aktivitas kegiatan pemerintah yang produktif terlihat pula dalam pengalokasian

pengeluaran pemerintah.

Angka-angka pendapatan regional

yang disajikan secara series dari tahun

ke tahun akan dapat memberikan gambaran pembangunan ekonomi suatu daerah, sebagai hasil dari pelaksanaan program pembangunan. Tabel 1 berikut

menunjukkan pengeluaran pemerintah

(11)

Analisis Hubungan...

Tabel 1 : Pengeluaran Pemerintah dan PDRB Propinsi Aceh (dalam milyar rupiah)

Tahun Pengeluaran Pemerintah (berdasarkan harga berlaku)PDRB Propinsi Aceh

2004 1.963,26 50.357,27

2005 2.169,78 56.951,60

2006 2.109,84 70.786,83

2007 4.047,19 73.196,28

2008 8.518,74 75.015,73

Sumber: APBD Propinsi Aceh, 2004-2008

Data pada Tabel 1 menunjukkan

adanya peningkatan pada pengeluaran Pemerintah Aceh maupun PDRB Aceh. Namun demikian, pertumbuhan

PDRB tidak sebesar pertumbuhan

pengeluaran Pemerintah Aceh. Penge-luaran pemerintah tahun 2004-2008 mengalami pertumbuhan sebesar 49,66%, sedangkan pertumbuhan PDRB sebesar 9,37%.

Pengeluaran pemerintah me-ru pakan salah satu indikator yang

menunjukkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan kesejahteraan

masyarakat. Semakin besar pengeluaran pemerintah diharapkan dapat mem-bawa dampak pada meningkatnya

kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan

salah satu tolok ukur PDRB. Oleh karena itu diharapkan dengan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah, maka akan semakin meningkat pula

PDRB dan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisa hubungan pengeluaran Pemerintah Aceh terhadap PDRB Aceh dengan menggunakan pendekatan Granger Causality.

MODEL ANALISIS

Penelitian ini menggunakan metode Granger untuk meneliti pola

atau arah hubungan kausalitas antara pengeluaran Pemerintah Aceh dengan PDRB Aceh selama kurun waktu

1994-2008. Untuk menghindari terjadinya

hubungan korelasi yang spurious, dalam

analisa ini digunakan Uji Akar-akar Unit

(Unit Root test) dan kointegrasi sebagai

uji prasyarat penggunaan metode

kausalitas Granger. Model empiris yang akan dipakai adalah:

1 1 1 1 1

...

...

0

ε

β

β

α

α

+

+

+

+

+

+

+

=

− − − − n t n t n t n t t

X

X

Y

Y

Y

Model 1: Hubungan PDRB dan

Total Belanja APBA

1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t TOTAL TOTAL PDRB PDRB PDRB 1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t PDRB PDRB TOTAL TOTAL TOTAL

Model 2: Hubungan PDRB dan

Belanja Rutin 1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t TOTAL TOTAL PDRB PDRB PDRB ) ( ) 1 ( 1 ... α α + + + = TOTALtnTOTALtn TOTAL

(12)

Analisis Hubungan...

4

Selanjutnya, uji akar unit

digunakan untuk melihat apakah data

yang diamati stationer atau tidak. Uji

standar Dickey-Fuller dilakukan dengan

mengestimasi persamaan regresi dalam tiga bentuk berbeda (Gujarati,

2004). Akhirnya, Granger Causality test digunakan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Granger Causality dilakukan karena

ketidaktahuan keterpengaruhan antar

variabel. Jika ada dua variabel X dan

Y, misalnya, ingin dikaji apakah X

menyebabkan Y atau Y menyebabkan X,

atau berlaku keduanya, atau tidak ada

hubungan antar keduanya. Variabel X

menyebabkan variabel Y artinya berapa

banyak nilai Y pada periode sekarang

dapat dijelaskan oleh nilai Y dan nilai X

pada periode sebelumnya.

A. Data

Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data pengeluaran

Pemerintah Aceh dan data PDRB Aceh mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 2008. Data yang digunakan

merupakan data sekunder yang berasal

dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dirjen

Perimbangan Keuangan, dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan

Aceh (DPKKA). Jenis-jenis pengeluaran

pemerintah sampai dengan tahun 2005

dibagi menjadi pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan. Namun setelah itu, pemerintah menerapkan

unified budget sehingga tidak lagi

membagi pengeluaran pemerintah

menjadi pengeluaran rutin dan

pembangunan.

B. Analisis dan Pembahasan

PDRB Aceh dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. PDRB Propinsi Aceh pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 567,15% yaitu 11.244.148,40 milyar rupiah pada tahun

1994 menjadi 75.015.730,00 milyar

rupiah pada tahun 2008. Pertumbuhan

PDRB Propinsi Aceh terbesar terjadi

pada tahun 1998 yatu sebesar 44,85% sedangkan pertumbuhan terendah

terjadi pada tahun 2008 yaitu hanya

2,49% (lihat Tabel 2).

Tabel 2: PDRB Propinsi Aceh Tahun 1994-2008

Tahun PDRB atas dasar Harga Berlaku tahun 1994-2008

Nilai (milyar rupiah) Pertumbuhan (%)

1994 11.244.148,40 -1995 13.091.230,00 16,43% 1996 14.637.990,00 11,82% 1997 17.229.040,00 17,70% 1998 24.956.859,30 44,85% 1999 26.991.583,10 8,15% 2000 27.972.558,70 3,63% 2001 34.733.400,00 24,17% 2002 42.157.460,00 21,37% 2003 48.619.150,00 15,33% 2004 50.357.270,00 3,57%

(13)

Analisis Hubungan... 2005 56.951.600,00 13,10% 2006 70.786.830,00 24,29% 2007 73.196.280,00 3,40% 2008 75.015.730,00 2,49% Sumber: BPS (1994-2008)

Salah satu konsekuensi dari

desentralisasi fiskal tentunya adalah

dituntutnya fungsi pengelolaan APBD yang

harus mempertimbangkan alokasi dan

prioritas dalam membiayai pembangunan

daerah. Dari sisi alokasi, belanja daerah

dilakukan untuk menyediakan barang dan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh

masyarakat banyak di daerah dan tidak

dapat disediakan sendiri oleh masyarakat daerah tersebut. Sedangkan dari segi

prioritas belanja daerah dilakukan untuk

sektor-sektor yang sangat mendesak kebutuhannya dan berpengaruh besar bagi seluruh kegiatan perekonomian

masyarakat. Tabel 3 berikut menunjukkan data mengenai distribusi belanja daerah

Propinsi Aceh selama periode

1994-2008 yang meliputi belanja rutin dan

pembangunan.

Tabel 3: Distribusi Belanja Daerah Propinsi Aceh (juta rupiah)

Tahun Belanja Daerah Tahun 1994-2008

Rutin Pembangunan Total

1994 146.196,57 54.991,71 201.188,28 1995 155.370,34 62.102,60 217.472,94 1996 168.697,95 84.144,51 252.842,46 1997 187.073,34 85.600,44 272.673,78 1998 103.452,22 68.250,17 171.702,39 1999 108.511,02 148,545,09 257.056,11 2000 87.421,03 158.464,48 245.885,51 2001 268.363,30 226.397,10 494.760,40 2002 309.969,97 1.074.522,28 1.384.492,25 2003 1.084.024,92 336.252,88 1.420.277,80 2004 1.613.753,08 349.513,36 1.963.266,44 2005 1.857.401,66 312.378,30 2.169.779,96 2006 1.316.562,54 431.500,27 2.109.838,49 2007 1.978.905,62 2.068.285,56 4.047.191,18

Untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan PDRB

digunakan uji Granger Causality. Uji ini pada intinya dapat mengindikasikan

suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau satu arah. Tetapi perlu diingat

bahwa pada uji ini yang dilihat adalah

pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang digunakan adalah data deret waktu (time series).

Dengan menggunakan model

hubungan PDRB dan Total Belanja APBA

dibangun model sebagai berikut:

1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t TOTAL TOTAL PDRB PDRB PDRB 1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t PDRB PDRB TOTAL TOTAL TOTAL

Dapat diketahui bahwa hasil

(14)

Analisis Hubungan...

6

dengan total belanja dalam kurun waktu tahun 1994-2008 bahwa Δ(PDRB) tidak mempunyai hubungan dengan Δ (Total). Artinya variabel Δ (PDRB) Granger tidak menyebabkan Δ (Total), dan Δ (Total) Granger tidak menyebabkan Δ (PDRB). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 4: Uji Granger Causality PDRB dengan Total Belanja APBA

Pairwise Granger Causality Tests Sample: 1994 2008

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

Lags: 1

TOTAL does not Granger Cause PDRB 14 0,11306 0,74301 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,13943 0,71595 Lags: 2

TOTAL does not Granger Cause PDRB 13 0,11492 0,89288 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,15214 0,86129 Lags: 3

TOTAL does not Granger Cause PDRB 12 0,82645 0,53332 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,27965 0,83837 Lags: 4

TOTAL does not Granger Cause PDRB 11 1,17333 0,50833 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,28326 0,86922

Sumber: Data diolah

Tabel 4 menjelaskan bahwa pertama dilakukan pengujian Granger Causality menggunakan lag = 1, terlihat hasilnya adalah “probability” lebih besar dari 5%. Dengan demikian, kita menerima

hipotesis nol. Artinya dapat dinyatakan bahwa PDRB dan total Belanja APBA tidak saling mempengaruhi atau tidak

mempunyai hubungan kausalitas.

Ketika lag diperbesar menjadi

2, 3, dan 4 yang terlihat pada Tabel 4, ternyata hasilnya memberikan keputusan yang sama dengan persamaan yang menggunakan lag sebanyak 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lag 2, 3, dan

4, PDRB dan total belanja APBA tidak

mempunyai hubungan kausalitas. Tidak adanya hubungan kausalitas

antara PDRB dan total belanja APBA menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi

utamanya sektor riil dan dunia usaha

pada umumnya yang diikuti dengan peningkatan PDRB tidak diikuti dengan

peningkatan penerimaan APBA. Artinya peningkatan PDRB tidak membawa dampak signifikan terhadap peningkatan

penerimaan daerah. Hal ini dapat

terjadi karena peningkatan penerimaan

lebih disebabkan oleh peningkatan sumber-sumber penerimaan di luar dari

pendapatan asli daerah (pajak daerah,

retribusi dan sumber-sumber lain yang sah), melainkan penerimaan daerah meningkat dari transfer keuangan dari

pemerintah pusat seperti pendapatan

melalui dana perimbangan. Dapat

disimpulkan bahwa peningkatan belanja

daerah seiring dengan peningkatan

(15)

Analisis Hubungan...

penerimaan daerah dari tahun ke

tahun tidak disebabkan bergairahnya

perekonomian sektor-sektor pendukung peningkatan PDRB.

Terjadinya peningkatan transfer

keuangan dari pemerintah pusat ke

Aceh adalah sejalan dengan terjadinya

perubahan peraturan perundang-undangan tentang pemerintah dan keuangan Aceh. Awalnya, Aceh

diistimewakan dengan UU No.24 Tahun 1956, namun kemudian berubah menjadi dan mengikuti UU No.44 Tahun 1999 dan terakhir menjadi UU No.11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan signifikan pada pendapatan

Aceh yang berasal dari transfer keuangan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 181 UU No.11 tahun 2006

yang menjelaskan bahwa pendapatan

daerah melalui transfer keuangan pusat berasal dari dana otonomi khusus dan perimbangan keuangan, yakni dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi umum (DAU), dan dana bagi hasil minyak dan gas (DBHMG), terutama adanya peningkatan persentase dari bagian pertambangan minyak sebesar 55% dan pertambangan gas bumi sebesar 40%.

Menurut teori Rostow dan Musgrave, perkembangan pengeluaran pemerintah dibagi ke dalam tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap

menengah dan tahap lanjut. Pada saat

ini kondisi Aceh dapat dikatakan masih berada di tahap awal. Lambannya pertumbuhan pembangunan di Aceh

diantaranya dikarenakan konflik yang

sehingga hampir semua infrastruktur yang ada mengalami kerusakan,

bahkan banyak pula yang tidak dapat

digunakan lagi. Kondisi ini berdampak pada pengeluaran pemerintah di mana sebagian besar pengeluaran digunakan untuk membangun dan memperbaiki fasilitas umum yang diperlukan.

Selain itu, dalam penyusunan

anggaran pemerintah tidak tertutup kemungkinan terjadinya salah urus

sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi terganggu. Faktor lain yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi adalah korupsi. Korupsi menyebabkan

ketidakpercayaan sektor swasta. Ketidakpercayaan ini akan mengakibatkan sektor swasta tidak berkembang dan

menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, korupsi dapat menurunkan pengembalian modal dari pemerintah. Pengeluaran pemerintah salah satu fungsinya adalah sebagai investasi

publik. Semakin besar tingkat korupsi

maka akan semakin lama pengembalian modal pemerintah, yang pada gilirannya akan menghambat pembangunan dan

pertumbuhan ekonomi.Djumashev (2007) menunjukkan adanya hubungan negatif antara korupsi dengan tingkat

kepercayaan sektor swasta dan pengembalian modal investasi yang dilakukan pemerintah. Singkatnya,

korupsi memberikan efek negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dan analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa

(16)

Analisis Hubungan...

8

total belanja Pemerintah Aceh. Artinya fluktuasi yang terjadi pada PDRB tidak berakibat apa-apa terhadap total belanja

Pemerintah Aceh, dan sebaliknya total

belanja daerah tidak mempengaruhi

pertumbuhan PDRB. Selain itu,

ditemukan bahwa penetapan kebijakan desentralisasi fiskal yang mengakibatkan meningkatnya belanja daerah juga tidak

berhubungan dengan pertumbuhan PDRB Aceh.

Karena itu, Pemerintah Aceh diharapkan mengalokasikan anggaran

dengan efektif pada pos-pos yang

dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi anggaran

yang bersifat tidak produktif. Pengeluaran

untuk konsumsi diharapkan dikurangi dan pengeluaran untuk investasi

ditingkatkan. Selain itu juga diharapkan

pengeluaran pemerintah yang

menunjang peningkatan kinerja sektor swasta lebih ditingkatkan. Pemerintah Aceh diharapkan lebih bijaksana dalam

pengelolaan anggarannya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan

(17)

Analisis Hubungan...

DAFTAR PUSTAKA

Bank Dunia. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru. Washington DC: World Ba

nk.

Djumashev, R. 2007. Corruption, uncertainty and growth, MPRA Paper No. 3716,

posted 7 November 2007, online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/3716. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

(18)
(19)

Optimasi Pengolahan Minyak Nilam pada Berbagai

Daerah Produksi dan Varitas

di Kabupaten Aceh Barat

Oleh : Ir. Ramayana, MSi.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis optimasi proses penyulingan minyak

nilam pada berbagai daerah produksi dan varitas di Kabupaten Aceh Barat. Metode

penelitian yang digunakan adalah rancangan bujursangkar latin atas dasar tipe daerah produksi, varitas nilam dan alat penyuling yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa optimasi kinerja alat penyulingan berbeda menurut spesifikasi

agroklimat wilayah produksi, varitas dan type alat penyuling. Hal ini pula yang

menyebabkan variasi kinerja dan keuntungan usaha penyulingan minyak nilam.

Semakin sesuai daerah produksi secara agroklimat dan agroekologi maka semakin kecil nilai investasi yang dibutuhkan untuk mencapai proses penyulingan yang

optimal. Untuk daerah yang kurang sesuai secara agroklimat masing-masing varitas diperlukan investasi dengan nilai yang lebih besar. Kinerja proses penyulingan semakin

(20)

Analisis Hubungan...

12

PENDAHULUAN

Tanaman nilam adalah salah satu tanaman yang sangat peka terhadap variasi kondisi agroklimat, dan agroekologi. Beberapa daerah di Provinsi Aceh memiliki iklim dan ekologi yang sesuai untuk pertanaman beberapa varitas nilam. Varitas unggul lokal adalah varitas dengan kualitas minyak nilamnya yang tergolong khas dan berbeda dengan daerah pertanaman nilam

lainnya. Kinerja penyulingan nilam

dapat diukur dengan besarnya manfaat lewat biaya yang dikeluarkan per satuan

minyak nilam yang dihasilkan. Kinerja

penyulingan minyak ini dipengaruhi oleh kualitas daun nilam dan alat penyulingan. Kualitas daun nilam sebagai bahan baku proses penyulingan ditentukan oleh varitas dan daerah produksi. Untuk Provinsi Aceh penyulingan minyak nilam menyebar di beberapa kabupaten dengan typology yang sangat bervariasi.

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan

bahwa daerah produksi, varitas nilam dan

spesifikasi alat penyuling menentukan hasil proses penyulingan. Selanjutnya, optimasi kinerja alat penyulingan berbeda menurut spesifikasi agroklimat

wilayah produksi, dan varitas nilamnya.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengkaji optimasi proses penyulingan

yang didasarkan pada nilai investasi,

kinerja produk dan keuntungan beberapa

typology daerah produksi, varitas nilam dan alat penyulingan minyak nilam ini.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah kombinasi survey kesesuaian agroklimat

dan agroekologi yang dibagi atas tiga

skala (sangat sesuai S1, sesuai S2 dan kurang sesuai S3). Dari masing-masing SPL (satuan peta lahan) diambil contoh daun nilam menurut varitas

yang ditanam dan disuling pada tiga

kelompok alat suling (type A, B dan C). Kemudian dilakukan perhitungan rerata: konsumsi bahan baku, konsumsi bahan bakar, hasil minyak/ rendemen, biaya energi per proses, biaya produksi dan keuntungan per proses. Biaya produksi per proses, prosentase biaya energi terhadap nilai minyak nilam, rendemen, dan keuntungan dihitung dengan rumus

–rumus seperti berikut:

K = a D1b D2c D3d V1e V2f V3g

T1h T2i T3j

Dimana:

K adalah kinerja proses penyulingan.

D adalah daerah produksi (luas areal pengembangan pada masing-masing kesesuaian agroklimat dan agroekologi (D1, D2, dan D3).

V adalah Jumlah produksi (V1, V2, dan V3).

T adalah type alat penyulingan yang digunakan (T1, T2, dan T3).

A, b, c …… j adalah koefisien elastisitas kinerja penyulingan.

Untuk analisis keuntungan

digunakan rumus ∏ = TR – TC, dimana

TR adalah total penerimaan (total revenue) yang diperoleh perkalian

jumlah/mutu produksi Q dengan harga

P; dan TC adalah total biaya (total cost) yang dihitung dari biaya investasi dan biaya operasi penyulingan nilam.

Untuk analisis kinerja digunakan

proven dengan membandingkan manfaat dengan biaya per satuan luas: K = TR/

(21)

Analisis Hubungan...

varitas dan teknologi yang digunakan.

Malalui analisis δK/ δDi . p1 = δK/ δVi . p2 = δK/ δTi . p3

Kondisi optimum untuk proses

pengolahan nilam dapat dianalisis

dengan kondisi dimana setiap tambahan

biaya pengolahan minyak nilam sama dengan nilai tambahan manfaat

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat 27 variasi kesesuaian lahan untuk tanaman nilam di Kabupaten Aceh Barat dengan 9 kluster

yang tergolong pada tiga kesesuaian

agroklimat dan agroekologi (S1, S2 dan S3). Kluster yang dikelompokkan terdiri

dari perbedaan curah hujan, suhu rata-rata, kemiringan lahan, jenis tanah, pH

tanah, kandungan hara tersedia N, P, K dan indeks karbon. Berdasarkan kluster

ini terdapat variasi kinerja penyulingan yang signifikan antar kluster dan

daerah pengembangan. Varitas yang

teramati adalah Aceh, Jawa, dan Sabun. Berdasarkan varitas proses optimum

paling baik adalah pada varitas Aceh yang

terdiri dari 12 kultivar. Semua ini akan

mempengaruhi biaya investasi, biaya operasi, rendemen, produksi minyak nilam, nilai produksi, dan keuntungan usaha.

A. Biaya Investasi

Biaya investasi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dari mulai usaha

sampai usaha tersebut mulai berjalan

(beroperasi), atau dengan kata lain biaya investasi merupakan biaya yang

barang modal selama usaha tersebut belum menghasilkan produk. Besarnya biaya investasi ini sangat tergantung

pada tipe penyuling. (T1, T2, dan T3).

Total biaya investasi yang dikeluarkan dalam mengusahakan dan pengolahan minyak nilam di Kabupaten Aceh Barat ini bervariasi dari Rp. 22.500.000. sampai dengan Rp 38.825.000.

B. Biaya Operasional

Biaya operasional merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung, atau dengan kata lain biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan selama usaha tersebut telah berproduksi. Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan pada usaha pembudidayaan dan pengolahan minyak nilam di 5 kecamatan di Kabupatan Aceh Barat adalah sebesar Rp. 27.000.000 per tahun. Biaya operasional yang dikeluarkan untuk alat penyulingan nilam rata-rata 38.000 per Kg minyak

nilam dengan variasi yang relatif besar

antara Rp 26.400 sampai dengan Rp 42.800. Variasi ini tergantung pada varitas dan daerah asal pengembangan.

C. Produksi dan Nilai Produksi

Produksi dan nilai produksi merupakan hasil yang diperoleh pada seluruh kegiatan usaha pengolahan minyak nilam pada masing-masing kluster dan varitas nilam. Nilai produksi

berasal dari jumlah produksi sesuai

dengan mutu yang dikalikan dengan

harga jual yang berlaku. Dengan asumsi harga jual untuk mutu I Rp. 260.000/kg;

(22)

Analisis Hubungan...

14

bervariasi antara Rp 46.800.000/tahun sampai dengan 72.000.000/tahun.

D. Kualitas Alat Suling Nilam

Untuk mendapatkan minyak nilam dengan kualitas baik dan memenuhi standar SNI yang telah ditentukan, maka

hal yang perlu diperhatikan yaitu kualitas

dari alat suling yang digunakan. Adapun kualitas alat suling nilam tersebut dapat

kita amati dari ketel air, ketel bahan

baku, kondensor dan bak pendingin.

Pada penelitian ini, kualitas alat suling dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu

T1 (modern), T2 (semi modern) dan T3 (tradisional). Pada ketel uap T1, bagian dalamnya dilengkapi dengan pipa api (asap) sehingga pemakaian panasnya

lebih optimal dan juga dilengkapi dengan

pengukur tekanan (manometer), klep keselamatan (safety valve), dan pipa pengukur.

Nurdjannah dkk. (2006)

menyatakan bahwa: pada ketel penyulingan, penggunaan bahan stainless steel sebagai bahan konstruksi sangat menguntungkan, karena masa pakai cukup lama dan tahan karat, dan

tidak memerlukan penyulingan ulang

karena minyak yang dihasilkan berwarna

kuning cerah dan bermutu tinggi. Pada

alat suling modern, dalam 100 kg nilam kering menghasilkan 1 kg minyak. Pipa pendingin merupakan bagian alat yang

sangat penting dalam penyulingan

minyak nilam karena pipa pendingin berfungsi sebagai penghantar hasil

sulingan yang telah diuapkan menjadi

minyak nilam setelah melalui proses pendinginan dalam bak pendingin.

Pada objek penelitian, bak pendingin

yang digunakan menggunakan material semen dan mampu menampung air ±2500 liter.

Berbeda dengan ketel uap T1, pada ketel kualitas T2 material yang digunakan terbuat dari plat besi yang

ditempah pada pengrajin lokal yang ada pada objek penelitian. Akan tetapi plat yang digunakan tidak digalvenis terlebih dahulu sehingga dalam jangka

waktu lama plat tersebut akan berkarat dan minyak yang dihasilkan akan keruh dan berwarna gelap. Untuk mengatasi hal ini petani menyuling kembali minyak tersebut untuk mendapatkan minyak yang berwarna kuning cerah. Material yang digunakan pada bak pendingin menggunakan papan kayu sebagai

dindingnya dan terpal plastik sebagai

wadah penampung air. Bak tersebut

tidak mampu bertahan lama sehingga

perlu perawatan yang intensif.

Usaha peningkatan jumlah

rendemen minyak yang dihasilkan dari proses penyulingan perlu diupayakan agar dapat dikembangkan di kalangan

petani dan industri kecil. Pada objek penelitian, kualitas alat suling nilam T3

merupakan yang paling dominan. Akan

tetapi kurangnya informasi dan tidak

meratanya penyuluhan yang dilakukan pemerintah membuat petani tetap beralih pada alat suling tradisional. Konstruksi ketel uap tradisional menggunakan drum bekas aspal yang telah ditempah

ulang oleh pengrajin lokal. Ketel uap T3 tidak mampu bertahan lama dan cepat

berkarat sehingga uap yang dikeluarkan mengandung korosi yang akan mempengaruhi kualitas minyak nilam itu sendiri. Minyak nilam yang dihasilkan

(23)

Analisis Hubungan...

cenderung berwarna merah gelap dan sebagian agak kehitaman.

Tidak berbeda dengan ketel

uap, konstruksi ketel penyulingan juga

menggunakan bahan yang sama dan

bersifat mudah karatan. Hal ini juga

akan mempengaruhi kualitas dari minyak nilam yang dihasilkan dan akan berwarna gelap. Untuk mengatasi hal tersebut, para petani nilam tradisional melakukan penyulingan berulang-ulang untuk mendapatkan minyak nilam yang berwarna cerah dan hal ini akan banyak menguras waktu dan tenaga.

Pada alat suling tipe T3

(tradisional), bahan yang digunakan

untuk bak pendingin tidak berbeda

dengan bak pendingin yang ada pada alat suling T2, yang membedakan terletak pada kapasitas air yang ditampung yaitu ± 500 liter air. Petani perlu melakukan pengawasan ekstra

untuk menjaga suhu air dalam bak

pendingin agar minyak yang akan

dihasilkan tidak banyak menguap.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan dari 81 macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan

titik uapnya, dan proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut

dalam air. Jumlah air yang menguap bersama-sama dengan uap air ditentukan

oleh tiga faktor, yaitu besarnya tekanan

uap yang digunakan, berat molekul dari masing-masing komponen dalam minyak dan kecepatan minyak keluar dari bahan yang mengandung minyak.

Dari 81 observasi terdapat 27

hasil pengamatan yang menunjukkan

efesiensi penggunaan tekanan uap air terhadap rendemen minyak nilam dan kualitas minyak. Untuk T1 semua varitas

dan asal nilam menunjukkan proses penyulingan yang optimum pada biaya

produksi Rp 27.600 sampai dengan Rp 31.000 per kilogram minyak nilam.

Umtuk T2 optimasi proses pengolahan

minyak nilam untuk varitas Aceh terdapat pada kondisi tekan uap air 68 s.d 72

ATM selama 4 jam 16 menit. Kondisi

ini memerlukan biaya pengolahan Rp 36.200 sampai dengan Rp 39.700 per kilogram. Variasi biaya ini tergantung

pada kadar air bahan baku dan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam

proses penyulingan.

E. Kualitas Bahan Baku

Kualitas bahan baku pada

penelitian diklarisifikasikan berdasarkan

varietas, kadar air, kadar air bahan baku

dan diameter rajangan. Untuk variasi

varitas dan kadar air menghasilkan kadar minyal dan kadar alkohol yang berbeda,

untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Tabel 1.dibawah ini.

Tabel 1. Tabel Kualitas Bahan Baku Daun Nilam dan Kinerja Minyak Pada Industri Minyak

Nilam di 5 Kecamatan Kabupaten Aceh Barat

No Varietas Hasil daun nilam kering (t/ha) Kadar minyak (%) Kadar patcholiAlcohol (ml) Kadar air(%)

1 Aceh 11,09 3,21 355,89 12

(24)

Analisis Hubungan...

16

Untuk mendapatkan bahan baku

berkualitas, yang perlu diperhatikan

oleh petani sebelum melakukan

penyulingan yaitu jenis daun nilam

yang akan disuling yaitu mempunyai

kandungan minyak yang tinggi baik dari

batang maupun daun. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kadar minyak paling

tinggi terdapat pada varietas nilam Aceh

dengan kadar minyak sebesar 3,21 % dan batas kekeringan daun nilam segar

menjadi daun nilam kering antara (25 –

30) % kadar air.

Faktor utama yang menyebabkan adanya kandungan besi terlarut di dalam minyak nilam adalah penggunaan peralatan penyulingan yang masih konvensional, terutama ketel yang berasal dari drum bekas. Pada

temperatur tinggi, besi dari drum berada

dalam bentuk ion akan terikut dengan uap dan terakumulasi dalam minyak, sehingga minyak yang dihasilkan akan keruh dan berwarna gelap. Hal ini akan mengurangi kadar mutu minyak yang dihasilkan (Ellyta dan Mustanir, 2004).

Pada penelitian ini, konstruksi alat

suling yang digunakan yang bervariasi dengan mulai dari menggunakan drum bekas, plat besi yang di tempah khusus, dan plat stainless stell tanpa digalvanis terlebih dahulu. Setelah penggunaan yang lama, plat tersebut akan berkarat dan minyak yang dihasilkan akan berwarna

gelap. Hal ini akan menurunkan harga jual

petani kepada agen pengumpul. Untuk mengatasi hal tersebut, petani melakukan

destilasi ulang untuk menghasilkan minyak yang berwarna jernih. Dengan

demikian, biaya yang dikeluarkan pun

akan bertambah dan hal ini tidaklah

efisien karena mengingat waktu yang terlalu lama dan upah tenaga kerja yang

harus dibayarpun bertambah besar. Hal ini sebenarnya bisa dihindari apabila petani mau merubah sistem pengolahan minyak nilam yang tradisional ke modern dengan menggunakan alat suling dan ketel yang terbuat dari besi stainless steel yang digalvanis sehingga minyak yang dihasilkan akan berkualitas

dan mempunyai harga jual yang tinggi.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, satu kali proses produksi dengan bahan baku ± 100 kg daun nilam kering,

memerlukan tenaga kerja 3 orang, kayu

bakar ± 2 m3. Lama penyulingan sekitar 4

– 5 jam. Dari 100 kg daun nilam kering, kita

akan memperoleh produk minyak nilam sebanyak 1,8 – 2,6 % dari berat daun nilam tersebut. Jadi, kalau besarnya rendemen 2,5 %, maka akan didapatkan minyak nilam : 2,5 % x 100 kg = 2,5 kg.

Dari 81 unit observasi pengolahan minyak nilam yang dibedakan menurut

daerah asal; varitas dan tipe alat

penyulingan maka terdapat variasi yang

sangat nyata. Kinerja yang diukur dengan

efesiensi biaya penyulingan tersebut

memberikan gambaran optimasi pada

masing-masing varian.

Variasi yang signifikan antar variatas dan tipe produksi ini secara

teknis dan ekonomis akan menentukan

titik optimasi proses pengolahan minyak nilam. Kinerja pengolahan minyak

nilam antara daerah asal (S1, S2, dan

S3) sangat berbeda; demikian juga antar varitas (V1, V2, dan V3) dan juga berdasarkan tipe alat penyulingan (T1, T2, dan T3) seperti yang ditunjukkan

(25)

Analisis Hubungan...

Tabel 2. Sebaran Kinerja Penyulingan Minyak Nilam di Lima Kecamatan Sentra Produksi

Berdasarkan Daerah, Varitas dan T1lat Penyulingan di Kabupaten Aceh Barat.

Kesesuaian Daerah V1 V2 V3 T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T2 T3 S1 0.58 0.51 0.42 0.52 0.45 0.36 0.46 0.39 0.3 0.51 0.44 0.47 0.45 0.38 0.41 0.39 0.32 0.35 0.54 0.46 0.41 0.48 0.4 0.35 0.42 0.34 0.29 S2 0.49 0.43 0.4 0.46 0.4 0.37 0.38 0.32 0.3 0.53 0.44 0.37 0.5 0.41 0.34 0.44 0.36 0.29 0.51 0.5 0.41 0.48 0.47 0.38 0.4 0.39 0.3 S3 0.48 0.3 0.22 0.45 0.27 0.19 0.37 0.19 0.12 0.42 0.29 0.28 0.39 0.26 0.25 0.33 0.21 0.2 0.38 0.27 0.24 0.35 0.24 0.21 0.27 0.16 0.13

Dari table tersebut terlihat bahwa

untuk varitas V1 kondisi optimum terdapat pada kluster S1 dengan curah hujan

rata-rata 1.200 mm per tahun dengan suhu 29 oC yang dikembangkan di dataran rendah dengan kemiringan 0 s/d 10 %.

Hasil analisis menunjukkan bahwa fungsi yang menggambarkan kinerja

penyulingan minyak nilam berdasarkan daerah produksi, varitas dan alat penyulingan adalah sebagai berikut:

K = 28.000 D10,0704 D20,1471 D30,1843 V10,0020 V20,0611 V30,1124 T10,0022 T20,1108 T30,3821

Pengujia secara serempak menunjukkan keberartian model yang diperoleh dengan R2= 0,81. Ini artinya bahwa kinerja penyulingan minyak nilam

di daerah ini 81 persen ditentukan oleh kesesuaian agrokilmat + agroekologi;

varitas nilam yang dikembangkan, dan tipe

alat penyulingan yang digunakan. Dengan mengalikan PMi dengan biaya pada masing-masing varian di atas maka yang paling murah biaya produksi untuk daerah

nilam Aceh dengan menggunakan alat penyulingan modern T1. Dengan demikian bila ingin dicapai efesiensi pemanfaatan faktor produksi pada proses penyulingan nilam maka faktor-faktor di atas perlu

diperhatikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian di atas dapat

disimpulkan bahwa kualitas daun nilam ditentukan oleh daerah penanaman

dan varitas yang digunakan. Selanjutnya

rendemen dan kualitas minyak nilam ditentukan oleh kualitas bahan baku dan

tipe alat penyulingan. Biaya investasi menentukan kinerja alat penyulingan

dan keuntungan dari usaha tersebut. Daerah pengembangan minyak nilam pada katagori S1 akan lebih efesien bila dibandingkan dengan daerah dengan kesesuaian S2 dan S3. Varitas nilam yang sangat efesien dikembangkan di Kabupaten Aceh Barat adalah varitas Aceh dengan 12

kultivar yang ada. Tipe alat penyulingan menentukan biaya investasi dan kinerja

(26)

Analisis Hubungan...

18

semakin baik mutu dan kapasitas alat sehingga nilai minyak nilam semakin

tinggi. Pada gilirannya, semakin tinggi pula

keuntungannya.

Untuk meningkatkan produksi minyak nilam di Kabupaten Aceh Barat perlu ditata wilayah pengembangan dengan katagori sangat sesuai dan sesuai dengan menggunakan varitas asli Aceh dengan

12 kultivar yang ada. Di samping itu perlu

dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi alat penyulingan nilam di beberapa sentra produksi nilam Kabupaten Aceh Barat.

(27)

Analisis Hubungan...

Lampiran 1. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Aceh Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe

Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat.

Daerah Pengembangan V1 Jumlah Rata-2 T1 T2 T3 S1 0.58 0.51 0.42 1.51 0.50 0.51 0.44 0.47 1.42 0.47 0.54 0.46 0.41 1.41 0.47 Jumlah 1.63 1.41 1.3 4.34 Rata-2 0.54 0.47 0.43 0.48 S2 0.49 0.43 0.4 1.32 0.44 0.53 0.44 0.37 1.34 0.45 0.51 0.5 0.41 1.42 0.47 Jumlah 1.53 1.37 1.18 4.08 0.45 Rata-2 0.51 0.46 0.39 0.45 S3 0.48 0.3 0.22 1 0.33 0.42 0.29 0.28 0.99 0.33 0.38 0.27 0.24 0.89 0.30 Jumlah 1.28 0.86 0.74 2.88 0.32 Rata-2 0.43 0.29 0.25 0.32 Total 4.44 3.64 3.22 11.3 Rerata 0.49 0.40 0.36 0.42

Lampiran 2. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Jawa Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe

Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat. Daerah Pengembangan V2 Jumlah Rata-2 T1 T2 T3 S1 0.52 0.45 0.36 1.33 0.44 0.45 0.38 0.41 1.24 0.41 0.48 0.4 0.35 1.23 0.41 Jumlah 1.45 1.23 1.12 3.8 Rata-2 0.48 0.41 0.37 0.42 S2 0.46 0.4 0.37 1.23 0.41 0.5 0.41 0.34 1.25 0.42 0.48 0.47 0.38 1.33 0.44 Jumlah 1.44 1.28 1.09 3.81 0.42

(28)

Analisis Hubungan...

20

Rata-2 0.48 0.43 0.36 0.42 S3 0.45 0.27 0.19 - 0.39 0.26 0.25 0.9 0.30 0.35 0.24 0.21 0.8 0.27 Jumlah 1.19 0.77 0.65 1.7 0.19 Rata-2 0.40 0.26 0.22 0.19 Total 4.08 3.28 2.86 9.31 Rerata 0.45 0.36 0.32 0.34

Lampiran 3. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Sabun Untuk Daerah Pengembangan dan

Tipe Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat.

Daerah V3 Jumlah Rata-2

T1 T2 T3 S1 0.46 0.39 0.3 1.15 0.38 0.39 0.32 0.35 1.06 0.35 0.42 0.34 0.29 1.05 0.35 Jumlah 1.27 1.05 0.94 3.26 Rata-2 0.42 0.35 0.31 0.36 0.36 S2 0.38 0.32 0.3 1 0.33 0.44 0.36 0.29 1.09 0.36 0.4 0.39 0.3 1.09 0.36 Jumlah 1.22 1.07 0.89 3.18 0.35 Rata-2 0.41 0.36 0.30 0.35 0.35 S3 0.37 0.19 0.12 0.68 0.23 0.33 0.21 0.2 0.74 0.25 0.27 0.16 0.13 0.56 0.19 Jumlah 0.97 0.56 0.45 1.98 0.22 Rata-2 0.32 0.19 0.15 0.22 0.22 Total 3.46 2.68 2.28 8.42 Rerata 0.38 0.30 0.25 0.31 0.31

(29)

Analisis Hubungan...

DAFTAR PUSTAKA

Buckingham,J.,1982,”Dictionary of Organic Compounds”, 5thedition, Chapman and

Hall, New York.

Daniels,F. dan R.A. Alberty,1959,”Physical Chemistry”, John Wiley and Sons, Inc.,Amsterdam.

Dummond,H.M.,1960, “Patcouli oil, Journal Perfumery and Essential Oil Record”, hal.484-493

Ellyta S, 2002,”Kuantifikasi Penyulingan minyak Nilam dari daunnya untuk peningkatan teknik dan kapasitas produksi yang memenuhi minyak nilam bermutu”, Thesis Magister, ITB, Bandung.

Ellyta S, 2004, “ Rancangan distribusi uap pada alat ketel suling untuk meningkatkan rendemennya; dalam kasus Minyak Nilam (Pogostemon Cablin Benth)”,

Lapaoran Penelitian, LPPM, Universitas Bung Hatta, Padang

Guenther,E,1985,“Minyak Atsiri,”jilid I (terjemahan) S. Kateren, Universitas Indonesia,

Jakarta.

Hobir,dkk., 1998,”Prospek Pengembangan Nilam di Indonesia“, Seminar Club Indonesia, Jakarta.

Irfan, 1989,”Pengaruh Lama Keringanginan dan Perbandingan Daun Nilam dengan Batang terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam’, Fateta, IPB, Bogor. Masada Y. ,1975,”Analysis of Essential Oils by Gas Chromatography and Mass

Spectrometry”, John Wiley and Sons Inc.,New York.

Perman dan Mulyazmi,1999,”Pemurnian Minyak Nilam Mentah”, Skripsi, Universitas

Bung Hatta, Padang.

Rusli dan Hasanah,1977,”Cara Penyulingan Daun Nilam Mempengaruhi Rendemen dan Mutu Minyaknya”, Pemberitaan LPTI (24):hal.1-9 LPTI Bogor

Syaifuddin,1993, ” Pengaruh Jenis Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Minyak Nilam”, Fateta, IPB.

Santoso, H.B.,1997,” Bertanam Nilam bahan industri wewangian”, Penerbit kanisius.

Standar Nasional Indonesia (SNI),1991,”Minyak Nilam”, Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta

(30)
(31)

Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan

Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan

Sungai Ambawang, Kabupaten

Kubu Raya-Kalimantan Barat

(Analysis of Sustainability Index and Status in the Utilization of Freshwater

Swamp in Pasak Piang Village, Sub-District of Sungai Ambawang, Kubu Raya

District - West Kalimantan Province)

Rois

1

, Supiandi Sabiham

2

, Irsal Las

3

, dan Machfud

4

ABSTRAK

Rawa merupakan sebutan bagi semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman maupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Provinsi Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas 35.436 hektar yang tersebar di 11 kabupaten. Di Kabupaten Kubu Raya, terdapat rawa lebak yang terdistribusi di empat kecamatan yang salah satunya adalah Kecamatan

Sungai Ambawang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan

pemanfaatan rawa lebak di Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang yang

didasarkan pada penilaian indeks dan status keberlanjutan dengan menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan Rap-Lebak (Rapid

Appraisal for Rawa Lebak). Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data

sekunder. Hasil ordinasi Rap-Lebak menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan

rawa lebak masing-masing dimensi bervariasi berkisar dari yang terendah 24.20

persen untuk dimensi ekonomi yang dikategorikan tidak berkelanjutan, diikuti

dimensi teknologi 28.92 persen, dimensi ekologi 45.36 persen, dan dimensi

sosial budaya 48.30 persen yang ketiganya dikategorikan kurang berkelanjutan, serta dimensi kelembagaan dengan nilai indeks tertinggi, yaitu 51.41 persen atau dikategorikan cukup berkelanjutan. Sedangkan hasil analisis leverage dari 37 atribut yang dianalisis diperoleh 19 atribut sensitif yang berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan sistem pengelolaan rawa lebak.

kata Kunci : indeks dan status keberlanjutan , rawa lebak

1 Mahasiswa S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan – Sekolah Pasca Sarjana IPB. 2 Staf Pengajar Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.

(32)

Analisis Indeks...

24

AbstrAct

Swamp is a definition for all areas that is stagnated by water. It is classified as seasonal or permanent, and overgrown by vegetation. In West Kalimantan Province, there is a freshwater swamp area of 35,436 hectares spread over 11 districts. In Kubu Raya district, there is a freshwater swamp which is distributed in four districts, including Sungai Ambawang sub-District. This research aimed to analyze sustainable utilization of freshwater swamp in Pasak Piang, Sungai Ambawang sub-District that is based on an index assessment and the status of sustainability by using Multidimensional Scaling (MDS) it’s called Rap-Lebak (Rapid Appraisal for Rawa Lebak). The used data consists of both primary and secondary data. Rap-Lebak Ordination Results showed that the values of sustainability index on freshwater swamp of each dimension was on various range, from a low 24.20 percent for the economic dimension is not considered sustainable, followed by technological dimensions 28.92 percent, 45.36 percent of the ecological dimension, and socio-cultural dimensions of 48.30 percent of all three categorized as less sustainable, and institutional dimension with the highest index value, which is 51.41 percent or categorized quite sustainable. While the results of analysis leverage of the 37 attributes that were analyzed obtaining 19 attributes that influence the sensitive index of freshwater swamp on sustainable management system.

(33)

Analisis Indeks...

PENDAHULUAN

Rawa merupakan sebutan bagi semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman maupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Indonesia mempunyai lahan rawa

sekitar 39 juta hektar yang terdiri dari

lahan rawa pasang surut dan rawa lebak.

Berdasarkan data dari Balittra tahun

2005, terdapat areal rawa pasang surut

seluas 24,2 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Irian Jaya 5,20 juta hektar.

Provinsi Kalimantan Barat dengan

luas total 14,64 juta hektar memiliki

rawa lebak sekitar 35.436 hektar dan baru sekitar 9.796 hektar atau 27,6 persen yang telah dimanfaatkan. Lahan ini tersebar di 11 kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Kubu Raya. Di Kabupaten Kubu Raya, rawa lebak tersebar di empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batu Ampar, Terentang, Sungai Raya dan Sungai Ambawang.

Khusus untuk penelitian ini difokuskan di

Kecamatan Sungai Ambawang, tepatnya desa Pasak Piang dengan luas rawa lebak yang ada mencapai 221 hektar (Dinas Pertanian Prov. Kalbar, 2008).

Saat penelitian ini dilaksanakan, rawa lebak di lokasi penelitian

dimanfaatkan berbagai macam tanaman

mulai tanaman pangan (jagung, ubi kayu, ubi jalar, keladi/talas, dan utamanya padi), palawija dan sayuran

(kacang tanah, kacang kedelai, kacang

hijau, terung, bayam, kangkung, cabe),

kelapa, dan kelapa sawit), dan sebagian kecil dimanfaatkan untuk kolam dan usaha peternakan, dengan rata-rata kepemilikan lahan hanya berkisar 0.5 – 1.0 hektar per kepala keluarga. Usahatani

dengan berbagai jenis tanaman yang

tersebut di atas, umumnya dilakukan

dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga, kecuali untuk tanaman karet. Secara umum menurut Noor (2007), pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari

dan masih tertinggal jika dibandingkan

dengan agroekosistem lain, seperti lahan

kering atau lahan irigasi. Hal itu dapat dipahami, karena rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak

dan hilang jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau pemukiman, tetapi juga rentan terhadap

perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain

itu, kendala non fisik, terutama masalah

status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non

petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan (Irianto,

2006). Dengan kondisi demikian, apabila

ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan

diatur dalam pemanfaatannya, maka hal

itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak

adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan.

(34)

Analisis Indeks...

26

gilirannya dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi.

Agar supaya dalam pemanfaatan rawa lebak dapat berlangsung secara

berkelanjutan, maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan

atau sustainable development.

Pembangunan berkelanjutan adalah

pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (Brundland Report, 1987). Substansi dari konsep

ini adalah tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan dapat berjalan secara

bersama-sama. Dalam penerapannya,

tujuan pembangunan berkelanjutan tidak hanya terbatas pada tiga dimensi

yaitu ekologi, ekonomi dan sosial, tetapi dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keragaman dari masing-masing wilayah atau daerah

yang diteliti.

Dalam penelitian ini, pendekatan

yang digunakan untuk mengetahui

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak

menggunakan lima dimensi. Hal ini

dengan mempertimbangkan berbagai

aspek yang mempengaruhi proses pemanfaatan rawa lebak tersebut. Adapun kelima dimensi yang digunakan adalah dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan.

Penelitian ini bertujuan untuk [1] mengetahui keberlanjutan sistem

pemanfaatan rawa lebak pada masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan, dan [2] mengetahui

atribut-atribut yang sensitif berpengaruh

terhadap sistem pemanfaatan rawa lebak.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di

Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang dilaksanakan

sejak bulan Februari sampai September 2010. Penentuan lokasi penelitian

dilakukan secara purposive sampling, sedangkan penentuan responden dilakukan secara random sampling yaitu sebanyak 28 responden.

Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian kuesioner, survey lapangan untuk mengetahui sistem usahatani di lokasi

penelitian. Data sekunder diperoleh

melalui penelusuran literatur hasil-hasil

penelitian, studi pustaka, laporan dan

dokumen dari berbagai instansi yang

berhubungan dengan bidang penelitian.

Metode analisis yang digunakan yaitu [1] teknik ordinasi Rap-Lebak melalui metode Multidimensional Scaling (MDS) untuk menilai indeks

dan status keberlanjutan pemanfaatan

rawa lebak, [2] analisis leverage untuk

mengetahui atribut-atribut sensitif

yang berpengaruh terhadap indeks

keberlanjutan dimasing-masing dimensi

[3] analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Nilai indeks Monte Carlo dibandingkan dengan indeks MDS. Penentuan nilai Stress dan Koefesien determinasi (R2)

(35)

Analisis Indeks...

tidaknya penambahan atribut, dan

mencerminkan keakuratan dimensi yang

dikaji dengan keadaan yang sebenarnya.

Bagan proses aplikasi Rap-Lebak yang

dimodifikasi dari Alder et al (2000); Fauzi dan Anna (2005) dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Bagan proses aplikasi Rap-Lebak (dimodifikasi dari Alder et al (2000); Fauzi dan

Anna (2005).

Mulai

Review atribut

(berbagai kategori dan skoring kriteri) Identifikasi pemanfaatan rawa lebak (didasarkan kriteri yang konsisten)

Penilaian skor setiap atribut

Multidimensional Scaling (untuk masing-masing atribut)

Analisis Leveage

(analisis anomali)

Analisis Monte Carlo (analisis keidakpastian)

Analisis keberlanjutan (sustainability assessment)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui indeks

keberlanjutan serta atribut sensitif yang

berpengaruh terhadap pemanfaatan rawa lebak dari masing-masing dimensi, dilakukan analisis Rap-Lebak dan analisis Leverage.

A. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi Ekologi

Hasil analisis Gambar 2a

menun-jukkan bahwa indeks keberlanjutan

pemanfaatan rawa lebak dimensi ekologi hanya mencapai nilai indeks 45.36 persen

(36)

Analisis Indeks...

28

Gambar 2 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi

Analisis Leverage Dimensi Ekologi Pasak Piang

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Persentase luas lahan Penggunaan pupuk Kelas kesesuaian lahan Kandungan bahan organik tanah Produktivitas lahan Periode tergenang Periode kekeringan Ketersediaan sistem irigasi A ttr ib ute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability

S u m b u Y set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab ili ty 45.36

b

a

Hasil analisis leverage Gambar

2b menunjukkan bahwa dari delapan

atribut yang dianalisis terdapat empat

atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan

rawa lebak, yaitu (1) kondisi bahan

organik tanah, (2) produktivitas lahan, (3)

periode tergenang, dan (4) penggunaan

pupuk. Keempat atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi

tersebut mempunyai keterkaitan yang

sangat erat dalam mempengaruhi

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. B. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi

Ekonomi

Hasil analisis Gambar 3a

menun-jukkan bahwa indeks keberlanjutan

pe-man faatan rawa lebak dimensi ekonomi hanya mencapai nilai indeks 24.20 persen

atau dengan kategori tidak berkelanjutan

(buruk).

Gambar 3 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi

Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Pasak Piang

0 2 4 6 8 10 12 14 16 Pendapatan rata-rata petani Produksi usahatani Ketersediaan modal usahatani Harga produk usahatni

Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Efesiensi ekonomi Attr ib ute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability

S um bu Y set el ah R ot asi : S kal a S ust ai nab ili ty 24.20 a b

(37)

Analisis Indeks...

Hasil analisis leverage Gambar

3b menunjukkan bahwa dari tujuh

atribut yang dianalisis terdapat empat

atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi dalam

pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. Keempat

atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi tersebut juga

mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu atribut dengan atribut lainnya dalam mempengaruhi

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. C. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi

Sosial Budaya

Hasil analisis Gambar 4a

menunjukkan bahwa indeks

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak

dimensi sosial budaya hanya mencapai nilai indeks 48.30 persen atau dengan

kategori kurang berkelanjutan.

Gambar 4 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya

a

b

RAPLEBAKOrdination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability

S u m b u Y set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab il it y 48.30

Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Pasak Piang

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Status kepemilkan lahan Jumlah rumah tangga

petani Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Peran adat dalam kegiatan pertanian Pola hub. Masyarakat dlm usaha pertanian Tingkat pendidikan formal petani Inensitas konflik A ttr ib ute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Hasil analisis leverage Gambar

4b menunjukkan bahwa dari tujuh

atribut yang dianalisis terdapat enam

atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya dalam

pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah

mengikuti penyuluhan pertanian, (3)

pola hubungan masyarakat dalam usaha

pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. Keenam atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya tersebut

mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu atribut dengan atribut lainnya dalam mempengaruhi

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. D. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi

Teknologi

Hasil analisis Gambar 5a

(38)

Analisis Indeks...

30

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak

dimensi teknologi hanya mencapai nilai indeks 28.92 persen atau dengan

kategori kurang berkelanjutan.

Gambar 5 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi teknogi, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi

RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability

S u m b u X set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab il it y 28.92

Analisis Leverage Dimensi Teknologi Pasak Piang

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Pengolahan tanah Pemupukan Pengendalian gulma Jml alat pemberantasan jasad pengganggu Ketersediaan mesin pompa air Ketersediaan mesin pasca panen Pola tanam Jadual tanam A ttr ib ute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

a

b

Hasil analisis leverage Gambar

5b menunjukkan bahwa dari delapan atribut yang dianalisis terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi dalam pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu,

(2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3)

ketersediaan mesin pasca panen. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi tersebut

merupakan atribut teknologi yang sangat berperan dalam mempengaruhi

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. E. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi

Kelembagaan

Hasil analisis Gambar 6a

menunjukkan bahwa indeks

keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak

dimensi kelembagaan hanya mencapai

nilai indeks 51.41 persen atau dengan

(39)

Analisis Indeks...

Gambar 6 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan

Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Pasak Piang

0 1 2 3 4 5 6 7 8 Keberadaan kelompok tani Intensitas pertemuan kelompok tani Keberadaan lembaga sosial Ketersediaan lembaga keuangan mikro Petugas penyuluh lapangan Kondisi prasarana jelan desa Keberadaan balai penyuluh pertanian A ttr ib ute

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability

S u m b u Y set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab il it y 51.41

a

b

Hasil analisis leverage Gambar

6b menunjukkan bahwa dari tujuh

atribut yang dianalisis terdapat dua

atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam

pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial. Kedua

atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan tersebut

mempunyai keterkaitan yang kurang erat

dalam mempengaruhi keberlanjutan

pemanfaatan rawa lebak.

Dari kelima dimensi yang dianalisis yang divisualisasikan dalam bentuk diagram layang (kite diagram) Gambar 7

menunjukkan adanya keragaman antara

satu dimensi dengan dimensi yang lain. Untuk dimensi kelembagaan yang

diperoleh nilai indeks relatif terbesar

yaitu 55.15 persen atau kategori cukup

berkelanjutan, jika dibandingkan dengan tiga dimensi (ekologi, sosial budaya, dan

teknologi) yang berada pada kategori

yaitu dimensi ekonomi mempunyai nilai indeks terendah yaitu 24.20 persen yang

berada pada kategori tidak berkelanjutan

Gambar

Tabel 1  : Pengeluaran Pemerintah dan PDRB Propinsi Aceh (dalam milyar rupiah)
Tabel   2: PDRB Propinsi Aceh Tahun 1994-2008
Tabel   3: Distribusi Belanja Daerah Propinsi Aceh (juta rupiah)
Tabel 4: Uji Granger Causality PDRB dengan Total Belanja APBA Pairwise Granger Causality Tests
+7

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan bahwa hubungan atau pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kinerja adalah positif yang berarti semakin baik Komitmen Organisasional pegawai PDAM Tirta

Persentase jenis campur kode yan terdapat pada majalah Orange tahun 2017, khususnya pada edisi LXIII, LXIV, LXV, dan LXVI yang berasal dari bahasa Jawa merupakan campur kode

Budi pekerti yang mencakup penanaman nilai religius dan nilai sosial pada siswa Tunagrahita Ringan di SDLB Negeri Bendo Kota Blitar dibagi menjadi tiga yakni penanaman

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian media massa adalah alat – alat dalam

Pada sistem ini, penerbit kartu akan diwajibkan untuk memberikan informasi kepada nasabah kartu terkait transaksi yang telah dilakukan melalui program transaction alert. Informasi

(2) Rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup visi dan misi serta tahapan sasaran yang akan diwujudkan, kebijakan

Banyak segi positif yang dapat diambil setelah relokasi tersebut dijalankan seperti : kewajiban Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai upaya penataan kota berjalan dengan lancar,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan obat golongan kortikosteroid pada pasien asma dewasa di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang