EKONOMI DAN PEMBANGUNAN
Jurnal
Muhammad Nasir, Alfan MufrodyX Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh
Ir. Ramayana, MSi.
X Optimasi Pengolahan Minyak Nilam Pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat.
Rois, Supiandi Sabiham, Irsal Las, dan Machfud
X Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat
Usman Bakar
X Efektivitas Penerapan Keppres 80 Tahun 2003 pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Rangka Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat
Khalis Yunus, Ema Alemina
X Peranan Biofertilizer Bagi Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Yang Terkena Dampak Tsunami
Vivi Silvia
X Pengaruh Pendidikan dan Pendapatan Terhadap Mobilitas Pekerja Wanita dari Sektor Industri ke Sektor Jasa di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh
Hasanuddin Yusuf Adnan
TIM REDAKSI
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN terbit dua kali setahun pada bulan Juli,
dan November yang berisi tulisan hasil penelitian dan kajian analisis kritis dibidang
Ekonomi Pembangunan.
Pengarah : Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh Wakil Pengarah : Warqah Helmi
Penanggung Jawab : Hamdani Dewan Redaksi : Syahrizal Abbas
Saiful Mahdi Muhammad Nasir Ema Alemina Pimpinan Redaksi : Marthunis
Staf Redaksi : Aswar
Ida Irawan
Pimpinan Administrasi : Taufiqurrahman
Sekretariat : Nurbaya
Wahyuni
Suharna
T. Azwar Mirza
Vintana Gemasih Martunas Nelly Eliza
Alamat Redaksi
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh
Bidang Penelitian dan Pengembangan
Jln. Tgk. H. M. Daud Beureueh No.26 Banda Aceh Telepon (0651) 21440, 29713
KATA PENGANTAR
Berusaha keras meningkatkan dan memajukan ilmu pengetahuan sekaligus memberikan informasi bagi stakeholder merupakan komitmen BAPPEDA Aceh. Wujud nyata upaya tersebut tercermin dari keberlanjutan penerbitan Jurnal Ekonomi dan Pembangunan.
Dalam rangka meningkatkan kualitasnya, staf redaksi melakukan perbaikan-perbaikan secara signifikan dalam hal penambahan dewan pakar, format penulisan artikel yang lebih konsisten dan judul jurnal yang lebih mudah dimengerti dan dipahami.
Diharapkan perbaikan ini dapat menjembatani para akademisi, praktisi bisnis dan Pemerintah dalam menuangkan gagasannya, baik berupa hasil penelitian ataupun analisis ilmiah yang bagi perwujudan pembangunan berkelanjutan.
Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada para penyunting Ahli atas kesediaanya menjadi anggota dewan redaksi semoga peran sertanya dapat meningkatkan mutu penerbitan jurnal ini. Ucapan terimaksih juga disampaikan kepada para penulis artikel yang termuat tulisannya. Akhirnya, tanggapan serta kritikan pembaca sangat kami harapkan.
DAFTAR ISI
Muhammad Nasir, Alfan MufrodyAnalisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah Aceh Terhadap Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh ...
Ir. Ramayana, MSi.
Optimasi Pengolahan Minyak Nilam Pada Berbagai Daerah Produksi dan Varitas di Kabupaten Aceh Barat ...
Rois, Supiandi Sabiham, Irsal Las, dan Machfud
Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat ...
Usman Bakar
Efektivitas Penerapan Keppres 80 Tahun 2003 pada Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Rangka Meningkatkan Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat ...
Khalis Yunus, Ema Alemina
Peranan Biofertilizer Bagi Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Yang Terkena Dampak Tsunami ...
Vivi Silvia
Pengaruh Pendidikan dan Pendapatan Terhadap Mobilitas Pekerja Wanita dari Sektor Industri ke Sektor Jasa di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh ...
Hasanuddin Yusuf Adnan
Konsep Syura dalam Islam ...
1
11
23
37
55
65
83
Analisis Hubungan Pengeluaran
Pemerintah Aceh Terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Aceh
(Relationship Analysis of Aceh Government Expenditure
for Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh)
Oleh : Muhammad Nasir1, Alfan Mufrody2ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perubahan pengeluaran Pemerintah Aceh dengan perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pengeluaran Pemerintah Propinsi Aceh yang merupakan data time series dari tahun 1994 sampai
dengan 2008. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Granger Causality
untuk meneliti pola atau arah hubungan kausalitas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan timbal balik antara total pengeluaran pemerintah dengan PDRB. Selain itu juga tidak terjadi hubungan timbal balik antara total belanja rutin
dengan PDRB.
Kata kunci: Granger causality, pengeluaran pemerintah, belanja rutin, PDRB.
AbstrAct
This research is aimed to know the relationship between the change in Aceh government spending and Gross Domestic Regional Product (GDRP). The data used is the time series data from 1994 to 2008. Whereas the method of analysis used is Granger Causality test in finding the pattern and sign of the causality relationship. The research finds that there is no causality relationship between total government expenditure and GDRP. There is also no causality relationship between total routine expenditure and GDRP.
Analisis Hubungan...
2
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi dapat
diartikan sebagai suatu perubahan
yang meningkatkan kapasitas produksi nasional. Peningkatan ini tercermin pada pertumbuhan ekonomi. Indikator
pertumbuhan ekonomi tidak hanya bisa secara materi seperti meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga
peningkatan formasi modal non materi
seperti kebijakan sosial budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diupayakan berlandaskan prinsip otonomi daerah. Dengan demikian daerah mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada
agar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut. Dengan otonomi daerah, diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya.
Pengelolaan pemerintah daerah,
baik di tingkat propinsi maupun tingkat
kabupaten dan kota memasuki era baru
sejalan dengan diberlakukannya UU
No.22 tahun 1999 yang menempatkan otonomi secara utuh pada kabupaten/ kota. Khusus bagi propinsi, selain
sebagai daerah otonom juga merupakan
wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan pemerintah pusat melalui pelaksanaan dekonsentrasi. Selain itu, UU No.25 Tahun 1999 mengamanatkan
bahwa setiap penyerahan atau
pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada propinsi dan kabupaten/
kota harus diikuti dengan pembiayaannya.
Khusus untuk Aceh, dasar hukum
otonomi (khusus) lebih kuat lagi dengan adanya UU No.11 tahun 2006 yang dikenal sebagai Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai
usaha menjabarkan kesepakatan damai
di Aceh berdasarkan MoU Helsinki.
Pembangunan ekonomi adalah
serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, memperluas kesempatan
kerja, mengarahkan pembagian
pen-dapatan masyarakat secara adil dan merata, serta meningkatkan hubungan ekonomi regional. Dalam mengatur dan
memajukan perekonomian regional diperlukan kebijakan dalam perencanaan
perekonomian yang matang dengan pengeluaran negara yang mendorong keseimbangan regional.
Pada pemerintah daerah terdapat
juga pengeluaran pemerintah yang
diharapkan memberikan kontribusi ter-hadap PDRB. Pengeluaran pemerintah
yang bersifat produktif dan investasi
akan memberikan kontribusi terhadap pemerintah daerah tersebut. Tingkat
aktivitas kegiatan pemerintah yang produktif terlihat pula dalam pengalokasian
pengeluaran pemerintah.
Angka-angka pendapatan regional
yang disajikan secara series dari tahun
ke tahun akan dapat memberikan gambaran pembangunan ekonomi suatu daerah, sebagai hasil dari pelaksanaan program pembangunan. Tabel 1 berikut
menunjukkan pengeluaran pemerintah
Analisis Hubungan...
Tabel 1 : Pengeluaran Pemerintah dan PDRB Propinsi Aceh (dalam milyar rupiah)
Tahun Pengeluaran Pemerintah (berdasarkan harga berlaku)PDRB Propinsi Aceh
2004 1.963,26 50.357,27
2005 2.169,78 56.951,60
2006 2.109,84 70.786,83
2007 4.047,19 73.196,28
2008 8.518,74 75.015,73
Sumber: APBD Propinsi Aceh, 2004-2008
Data pada Tabel 1 menunjukkan
adanya peningkatan pada pengeluaran Pemerintah Aceh maupun PDRB Aceh. Namun demikian, pertumbuhan
PDRB tidak sebesar pertumbuhan
pengeluaran Pemerintah Aceh. Penge-luaran pemerintah tahun 2004-2008 mengalami pertumbuhan sebesar 49,66%, sedangkan pertumbuhan PDRB sebesar 9,37%.
Pengeluaran pemerintah me-ru pakan salah satu indikator yang
menunjukkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan kesejahteraan
masyarakat. Semakin besar pengeluaran pemerintah diharapkan dapat mem-bawa dampak pada meningkatnya
kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan
salah satu tolok ukur PDRB. Oleh karena itu diharapkan dengan semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah, maka akan semakin meningkat pula
PDRB dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisa hubungan pengeluaran Pemerintah Aceh terhadap PDRB Aceh dengan menggunakan pendekatan Granger Causality.
MODEL ANALISIS
Penelitian ini menggunakan metode Granger untuk meneliti pola
atau arah hubungan kausalitas antara pengeluaran Pemerintah Aceh dengan PDRB Aceh selama kurun waktu
1994-2008. Untuk menghindari terjadinya
hubungan korelasi yang spurious, dalam
analisa ini digunakan Uji Akar-akar Unit
(Unit Root test) dan kointegrasi sebagai
uji prasyarat penggunaan metode
kausalitas Granger. Model empiris yang akan dipakai adalah:
1 1 1 1 1
...
...
0
ε
β
β
α
α
+
+
+
+
+
+
+
=
− − − − n t n t n t n t tX
X
Y
Y
Y
Model 1: Hubungan PDRB dan
Total Belanja APBA
1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t TOTAL TOTAL PDRB PDRB PDRB 1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t PDRB PDRB TOTAL TOTAL TOTAL
Model 2: Hubungan PDRB dan
Belanja Rutin 1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t TOTAL TOTAL PDRB PDRB PDRB ) ( ) 1 ( 1 ... α α + + + = TOTALt− nTOTALt−n TOTAL
Analisis Hubungan...
4
Selanjutnya, uji akar unit
digunakan untuk melihat apakah data
yang diamati stationer atau tidak. Uji
standar Dickey-Fuller dilakukan dengan
mengestimasi persamaan regresi dalam tiga bentuk berbeda (Gujarati,
2004). Akhirnya, Granger Causality test digunakan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Granger Causality dilakukan karena
ketidaktahuan keterpengaruhan antar
variabel. Jika ada dua variabel X dan
Y, misalnya, ingin dikaji apakah X
menyebabkan Y atau Y menyebabkan X,
atau berlaku keduanya, atau tidak ada
hubungan antar keduanya. Variabel X
menyebabkan variabel Y artinya berapa
banyak nilai Y pada periode sekarang
dapat dijelaskan oleh nilai Y dan nilai X
pada periode sebelumnya.
A. Data
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data pengeluaran
Pemerintah Aceh dan data PDRB Aceh mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 2008. Data yang digunakan
merupakan data sekunder yang berasal
dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dirjen
Perimbangan Keuangan, dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan
Aceh (DPKKA). Jenis-jenis pengeluaran
pemerintah sampai dengan tahun 2005
dibagi menjadi pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Namun setelah itu, pemerintah menerapkan
unified budget sehingga tidak lagi
membagi pengeluaran pemerintah
menjadi pengeluaran rutin dan
pembangunan.
B. Analisis dan Pembahasan
PDRB Aceh dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. PDRB Propinsi Aceh pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 567,15% yaitu 11.244.148,40 milyar rupiah pada tahun
1994 menjadi 75.015.730,00 milyar
rupiah pada tahun 2008. Pertumbuhan
PDRB Propinsi Aceh terbesar terjadi
pada tahun 1998 yatu sebesar 44,85% sedangkan pertumbuhan terendah
terjadi pada tahun 2008 yaitu hanya
2,49% (lihat Tabel 2).
Tabel 2: PDRB Propinsi Aceh Tahun 1994-2008
Tahun PDRB atas dasar Harga Berlaku tahun 1994-2008
Nilai (milyar rupiah) Pertumbuhan (%)
1994 11.244.148,40 -1995 13.091.230,00 16,43% 1996 14.637.990,00 11,82% 1997 17.229.040,00 17,70% 1998 24.956.859,30 44,85% 1999 26.991.583,10 8,15% 2000 27.972.558,70 3,63% 2001 34.733.400,00 24,17% 2002 42.157.460,00 21,37% 2003 48.619.150,00 15,33% 2004 50.357.270,00 3,57%
Analisis Hubungan... 2005 56.951.600,00 13,10% 2006 70.786.830,00 24,29% 2007 73.196.280,00 3,40% 2008 75.015.730,00 2,49% Sumber: BPS (1994-2008)
Salah satu konsekuensi dari
desentralisasi fiskal tentunya adalah
dituntutnya fungsi pengelolaan APBD yang
harus mempertimbangkan alokasi dan
prioritas dalam membiayai pembangunan
daerah. Dari sisi alokasi, belanja daerah
dilakukan untuk menyediakan barang dan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat banyak di daerah dan tidak
dapat disediakan sendiri oleh masyarakat daerah tersebut. Sedangkan dari segi
prioritas belanja daerah dilakukan untuk
sektor-sektor yang sangat mendesak kebutuhannya dan berpengaruh besar bagi seluruh kegiatan perekonomian
masyarakat. Tabel 3 berikut menunjukkan data mengenai distribusi belanja daerah
Propinsi Aceh selama periode
1994-2008 yang meliputi belanja rutin dan
pembangunan.
Tabel 3: Distribusi Belanja Daerah Propinsi Aceh (juta rupiah)
Tahun Belanja Daerah Tahun 1994-2008
Rutin Pembangunan Total
1994 146.196,57 54.991,71 201.188,28 1995 155.370,34 62.102,60 217.472,94 1996 168.697,95 84.144,51 252.842,46 1997 187.073,34 85.600,44 272.673,78 1998 103.452,22 68.250,17 171.702,39 1999 108.511,02 148,545,09 257.056,11 2000 87.421,03 158.464,48 245.885,51 2001 268.363,30 226.397,10 494.760,40 2002 309.969,97 1.074.522,28 1.384.492,25 2003 1.084.024,92 336.252,88 1.420.277,80 2004 1.613.753,08 349.513,36 1.963.266,44 2005 1.857.401,66 312.378,30 2.169.779,96 2006 1.316.562,54 431.500,27 2.109.838,49 2007 1.978.905,62 2.068.285,56 4.047.191,18
Untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan PDRB
digunakan uji Granger Causality. Uji ini pada intinya dapat mengindikasikan
suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau satu arah. Tetapi perlu diingat
bahwa pada uji ini yang dilihat adalah
pengaruh masa lalu terhadap kondisi sekarang, sehingga data yang digunakan adalah data deret waktu (time series).
Dengan menggunakan model
hubungan PDRB dan Total Belanja APBA
dibangun model sebagai berikut:
1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t TOTAL TOTAL PDRB PDRB PDRB 1 ) ( ) 1 ( 1 ) ( ) 1 ( 1 ... ... ε β β α α + + + + + + = − − − − n t n t n t n t PDRB PDRB TOTAL TOTAL TOTAL
Dapat diketahui bahwa hasil
Analisis Hubungan...
6
dengan total belanja dalam kurun waktu tahun 1994-2008 bahwa Δ(PDRB) tidak mempunyai hubungan dengan Δ (Total). Artinya variabel Δ (PDRB) Granger tidak menyebabkan Δ (Total), dan Δ (Total) Granger tidak menyebabkan Δ (PDRB). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4: Uji Granger Causality PDRB dengan Total Belanja APBA
Pairwise Granger Causality Tests Sample: 1994 2008
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability
Lags: 1
TOTAL does not Granger Cause PDRB 14 0,11306 0,74301 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,13943 0,71595 Lags: 2
TOTAL does not Granger Cause PDRB 13 0,11492 0,89288 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,15214 0,86129 Lags: 3
TOTAL does not Granger Cause PDRB 12 0,82645 0,53332 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,27965 0,83837 Lags: 4
TOTAL does not Granger Cause PDRB 11 1,17333 0,50833 PDRB does not Granger Cause TOTAL 0,28326 0,86922
Sumber: Data diolah
Tabel 4 menjelaskan bahwa pertama dilakukan pengujian Granger Causality menggunakan lag = 1, terlihat hasilnya adalah “probability” lebih besar dari 5%. Dengan demikian, kita menerima
hipotesis nol. Artinya dapat dinyatakan bahwa PDRB dan total Belanja APBA tidak saling mempengaruhi atau tidak
mempunyai hubungan kausalitas.
Ketika lag diperbesar menjadi
2, 3, dan 4 yang terlihat pada Tabel 4, ternyata hasilnya memberikan keputusan yang sama dengan persamaan yang menggunakan lag sebanyak 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lag 2, 3, dan
4, PDRB dan total belanja APBA tidak
mempunyai hubungan kausalitas. Tidak adanya hubungan kausalitas
antara PDRB dan total belanja APBA menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi
utamanya sektor riil dan dunia usaha
pada umumnya yang diikuti dengan peningkatan PDRB tidak diikuti dengan
peningkatan penerimaan APBA. Artinya peningkatan PDRB tidak membawa dampak signifikan terhadap peningkatan
penerimaan daerah. Hal ini dapat
terjadi karena peningkatan penerimaan
lebih disebabkan oleh peningkatan sumber-sumber penerimaan di luar dari
pendapatan asli daerah (pajak daerah,
retribusi dan sumber-sumber lain yang sah), melainkan penerimaan daerah meningkat dari transfer keuangan dari
pemerintah pusat seperti pendapatan
melalui dana perimbangan. Dapat
disimpulkan bahwa peningkatan belanja
daerah seiring dengan peningkatan
Analisis Hubungan...
penerimaan daerah dari tahun ke
tahun tidak disebabkan bergairahnya
perekonomian sektor-sektor pendukung peningkatan PDRB.
Terjadinya peningkatan transfer
keuangan dari pemerintah pusat ke
Aceh adalah sejalan dengan terjadinya
perubahan peraturan perundang-undangan tentang pemerintah dan keuangan Aceh. Awalnya, Aceh
diistimewakan dengan UU No.24 Tahun 1956, namun kemudian berubah menjadi dan mengikuti UU No.44 Tahun 1999 dan terakhir menjadi UU No.11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan signifikan pada pendapatan
Aceh yang berasal dari transfer keuangan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 181 UU No.11 tahun 2006
yang menjelaskan bahwa pendapatan
daerah melalui transfer keuangan pusat berasal dari dana otonomi khusus dan perimbangan keuangan, yakni dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi umum (DAU), dan dana bagi hasil minyak dan gas (DBHMG), terutama adanya peningkatan persentase dari bagian pertambangan minyak sebesar 55% dan pertambangan gas bumi sebesar 40%.
Menurut teori Rostow dan Musgrave, perkembangan pengeluaran pemerintah dibagi ke dalam tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap
menengah dan tahap lanjut. Pada saat
ini kondisi Aceh dapat dikatakan masih berada di tahap awal. Lambannya pertumbuhan pembangunan di Aceh
diantaranya dikarenakan konflik yang
sehingga hampir semua infrastruktur yang ada mengalami kerusakan,
bahkan banyak pula yang tidak dapat
digunakan lagi. Kondisi ini berdampak pada pengeluaran pemerintah di mana sebagian besar pengeluaran digunakan untuk membangun dan memperbaiki fasilitas umum yang diperlukan.
Selain itu, dalam penyusunan
anggaran pemerintah tidak tertutup kemungkinan terjadinya salah urus
sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi terganggu. Faktor lain yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi adalah korupsi. Korupsi menyebabkan
ketidakpercayaan sektor swasta. Ketidakpercayaan ini akan mengakibatkan sektor swasta tidak berkembang dan
menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, korupsi dapat menurunkan pengembalian modal dari pemerintah. Pengeluaran pemerintah salah satu fungsinya adalah sebagai investasi
publik. Semakin besar tingkat korupsi
maka akan semakin lama pengembalian modal pemerintah, yang pada gilirannya akan menghambat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi.Djumashev (2007) menunjukkan adanya hubungan negatif antara korupsi dengan tingkat
kepercayaan sektor swasta dan pengembalian modal investasi yang dilakukan pemerintah. Singkatnya,
korupsi memberikan efek negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dan analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Analisis Hubungan...
8
total belanja Pemerintah Aceh. Artinya fluktuasi yang terjadi pada PDRB tidak berakibat apa-apa terhadap total belanja
Pemerintah Aceh, dan sebaliknya total
belanja daerah tidak mempengaruhi
pertumbuhan PDRB. Selain itu,
ditemukan bahwa penetapan kebijakan desentralisasi fiskal yang mengakibatkan meningkatnya belanja daerah juga tidak
berhubungan dengan pertumbuhan PDRB Aceh.
Karena itu, Pemerintah Aceh diharapkan mengalokasikan anggaran
dengan efektif pada pos-pos yang
dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi anggaran
yang bersifat tidak produktif. Pengeluaran
untuk konsumsi diharapkan dikurangi dan pengeluaran untuk investasi
ditingkatkan. Selain itu juga diharapkan
pengeluaran pemerintah yang
menunjang peningkatan kinerja sektor swasta lebih ditingkatkan. Pemerintah Aceh diharapkan lebih bijaksana dalam
pengelolaan anggarannya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
Analisis Hubungan...
DAFTAR PUSTAKA
Bank Dunia. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru. Washington DC: World Ba
nk.
Djumashev, R. 2007. Corruption, uncertainty and growth, MPRA Paper No. 3716,
posted 7 November 2007, online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/3716. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Optimasi Pengolahan Minyak Nilam pada Berbagai
Daerah Produksi dan Varitas
di Kabupaten Aceh Barat
Oleh : Ir. Ramayana, MSi.ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis optimasi proses penyulingan minyak
nilam pada berbagai daerah produksi dan varitas di Kabupaten Aceh Barat. Metode
penelitian yang digunakan adalah rancangan bujursangkar latin atas dasar tipe daerah produksi, varitas nilam dan alat penyuling yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa optimasi kinerja alat penyulingan berbeda menurut spesifikasi
agroklimat wilayah produksi, varitas dan type alat penyuling. Hal ini pula yang
menyebabkan variasi kinerja dan keuntungan usaha penyulingan minyak nilam.
Semakin sesuai daerah produksi secara agroklimat dan agroekologi maka semakin kecil nilai investasi yang dibutuhkan untuk mencapai proses penyulingan yang
optimal. Untuk daerah yang kurang sesuai secara agroklimat masing-masing varitas diperlukan investasi dengan nilai yang lebih besar. Kinerja proses penyulingan semakin
Analisis Hubungan...
12
PENDAHULUAN
Tanaman nilam adalah salah satu tanaman yang sangat peka terhadap variasi kondisi agroklimat, dan agroekologi. Beberapa daerah di Provinsi Aceh memiliki iklim dan ekologi yang sesuai untuk pertanaman beberapa varitas nilam. Varitas unggul lokal adalah varitas dengan kualitas minyak nilamnya yang tergolong khas dan berbeda dengan daerah pertanaman nilam
lainnya. Kinerja penyulingan nilam
dapat diukur dengan besarnya manfaat lewat biaya yang dikeluarkan per satuan
minyak nilam yang dihasilkan. Kinerja
penyulingan minyak ini dipengaruhi oleh kualitas daun nilam dan alat penyulingan. Kualitas daun nilam sebagai bahan baku proses penyulingan ditentukan oleh varitas dan daerah produksi. Untuk Provinsi Aceh penyulingan minyak nilam menyebar di beberapa kabupaten dengan typology yang sangat bervariasi.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa daerah produksi, varitas nilam dan
spesifikasi alat penyuling menentukan hasil proses penyulingan. Selanjutnya, optimasi kinerja alat penyulingan berbeda menurut spesifikasi agroklimat
wilayah produksi, dan varitas nilamnya.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengkaji optimasi proses penyulingan
yang didasarkan pada nilai investasi,
kinerja produk dan keuntungan beberapa
typology daerah produksi, varitas nilam dan alat penyulingan minyak nilam ini.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah kombinasi survey kesesuaian agroklimat
dan agroekologi yang dibagi atas tiga
skala (sangat sesuai S1, sesuai S2 dan kurang sesuai S3). Dari masing-masing SPL (satuan peta lahan) diambil contoh daun nilam menurut varitas
yang ditanam dan disuling pada tiga
kelompok alat suling (type A, B dan C). Kemudian dilakukan perhitungan rerata: konsumsi bahan baku, konsumsi bahan bakar, hasil minyak/ rendemen, biaya energi per proses, biaya produksi dan keuntungan per proses. Biaya produksi per proses, prosentase biaya energi terhadap nilai minyak nilam, rendemen, dan keuntungan dihitung dengan rumus
–rumus seperti berikut:
K = a D1b D2c D3d V1e V2f V3g
T1h T2i T3j
Dimana:
K adalah kinerja proses penyulingan.
D adalah daerah produksi (luas areal pengembangan pada masing-masing kesesuaian agroklimat dan agroekologi (D1, D2, dan D3).
V adalah Jumlah produksi (V1, V2, dan V3).
T adalah type alat penyulingan yang digunakan (T1, T2, dan T3).
A, b, c …… j adalah koefisien elastisitas kinerja penyulingan.
Untuk analisis keuntungan
digunakan rumus ∏ = TR – TC, dimana
TR adalah total penerimaan (total revenue) yang diperoleh perkalian
jumlah/mutu produksi Q dengan harga
P; dan TC adalah total biaya (total cost) yang dihitung dari biaya investasi dan biaya operasi penyulingan nilam.
Untuk analisis kinerja digunakan
proven dengan membandingkan manfaat dengan biaya per satuan luas: K = TR/
Analisis Hubungan...
varitas dan teknologi yang digunakan.
Malalui analisis δK/ δDi . p1 = δK/ δVi . p2 = δK/ δTi . p3
Kondisi optimum untuk proses
pengolahan nilam dapat dianalisis
dengan kondisi dimana setiap tambahan
biaya pengolahan minyak nilam sama dengan nilai tambahan manfaat
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 27 variasi kesesuaian lahan untuk tanaman nilam di Kabupaten Aceh Barat dengan 9 kluster
yang tergolong pada tiga kesesuaian
agroklimat dan agroekologi (S1, S2 dan S3). Kluster yang dikelompokkan terdiri
dari perbedaan curah hujan, suhu rata-rata, kemiringan lahan, jenis tanah, pH
tanah, kandungan hara tersedia N, P, K dan indeks karbon. Berdasarkan kluster
ini terdapat variasi kinerja penyulingan yang signifikan antar kluster dan
daerah pengembangan. Varitas yang
teramati adalah Aceh, Jawa, dan Sabun. Berdasarkan varitas proses optimum
paling baik adalah pada varitas Aceh yang
terdiri dari 12 kultivar. Semua ini akan
mempengaruhi biaya investasi, biaya operasi, rendemen, produksi minyak nilam, nilai produksi, dan keuntungan usaha.
A. Biaya Investasi
Biaya investasi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan dari mulai usaha
sampai usaha tersebut mulai berjalan
(beroperasi), atau dengan kata lain biaya investasi merupakan biaya yang
barang modal selama usaha tersebut belum menghasilkan produk. Besarnya biaya investasi ini sangat tergantung
pada tipe penyuling. (T1, T2, dan T3).
Total biaya investasi yang dikeluarkan dalam mengusahakan dan pengolahan minyak nilam di Kabupaten Aceh Barat ini bervariasi dari Rp. 22.500.000. sampai dengan Rp 38.825.000.
B. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama proses produksi berlangsung, atau dengan kata lain biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan selama usaha tersebut telah berproduksi. Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan pada usaha pembudidayaan dan pengolahan minyak nilam di 5 kecamatan di Kabupatan Aceh Barat adalah sebesar Rp. 27.000.000 per tahun. Biaya operasional yang dikeluarkan untuk alat penyulingan nilam rata-rata 38.000 per Kg minyak
nilam dengan variasi yang relatif besar
antara Rp 26.400 sampai dengan Rp 42.800. Variasi ini tergantung pada varitas dan daerah asal pengembangan.
C. Produksi dan Nilai Produksi
Produksi dan nilai produksi merupakan hasil yang diperoleh pada seluruh kegiatan usaha pengolahan minyak nilam pada masing-masing kluster dan varitas nilam. Nilai produksi
berasal dari jumlah produksi sesuai
dengan mutu yang dikalikan dengan
harga jual yang berlaku. Dengan asumsi harga jual untuk mutu I Rp. 260.000/kg;
Analisis Hubungan...
14
bervariasi antara Rp 46.800.000/tahun sampai dengan 72.000.000/tahun.
D. Kualitas Alat Suling Nilam
Untuk mendapatkan minyak nilam dengan kualitas baik dan memenuhi standar SNI yang telah ditentukan, maka
hal yang perlu diperhatikan yaitu kualitas
dari alat suling yang digunakan. Adapun kualitas alat suling nilam tersebut dapat
kita amati dari ketel air, ketel bahan
baku, kondensor dan bak pendingin.
Pada penelitian ini, kualitas alat suling dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu
T1 (modern), T2 (semi modern) dan T3 (tradisional). Pada ketel uap T1, bagian dalamnya dilengkapi dengan pipa api (asap) sehingga pemakaian panasnya
lebih optimal dan juga dilengkapi dengan
pengukur tekanan (manometer), klep keselamatan (safety valve), dan pipa pengukur.
Nurdjannah dkk. (2006)
menyatakan bahwa: pada ketel penyulingan, penggunaan bahan stainless steel sebagai bahan konstruksi sangat menguntungkan, karena masa pakai cukup lama dan tahan karat, dan
tidak memerlukan penyulingan ulang
karena minyak yang dihasilkan berwarna
kuning cerah dan bermutu tinggi. Pada
alat suling modern, dalam 100 kg nilam kering menghasilkan 1 kg minyak. Pipa pendingin merupakan bagian alat yang
sangat penting dalam penyulingan
minyak nilam karena pipa pendingin berfungsi sebagai penghantar hasil
sulingan yang telah diuapkan menjadi
minyak nilam setelah melalui proses pendinginan dalam bak pendingin.
Pada objek penelitian, bak pendingin
yang digunakan menggunakan material semen dan mampu menampung air ±2500 liter.
Berbeda dengan ketel uap T1, pada ketel kualitas T2 material yang digunakan terbuat dari plat besi yang
ditempah pada pengrajin lokal yang ada pada objek penelitian. Akan tetapi plat yang digunakan tidak digalvenis terlebih dahulu sehingga dalam jangka
waktu lama plat tersebut akan berkarat dan minyak yang dihasilkan akan keruh dan berwarna gelap. Untuk mengatasi hal ini petani menyuling kembali minyak tersebut untuk mendapatkan minyak yang berwarna kuning cerah. Material yang digunakan pada bak pendingin menggunakan papan kayu sebagai
dindingnya dan terpal plastik sebagai
wadah penampung air. Bak tersebut
tidak mampu bertahan lama sehingga
perlu perawatan yang intensif.
Usaha peningkatan jumlah
rendemen minyak yang dihasilkan dari proses penyulingan perlu diupayakan agar dapat dikembangkan di kalangan
petani dan industri kecil. Pada objek penelitian, kualitas alat suling nilam T3
merupakan yang paling dominan. Akan
tetapi kurangnya informasi dan tidak
meratanya penyuluhan yang dilakukan pemerintah membuat petani tetap beralih pada alat suling tradisional. Konstruksi ketel uap tradisional menggunakan drum bekas aspal yang telah ditempah
ulang oleh pengrajin lokal. Ketel uap T3 tidak mampu bertahan lama dan cepat
berkarat sehingga uap yang dikeluarkan mengandung korosi yang akan mempengaruhi kualitas minyak nilam itu sendiri. Minyak nilam yang dihasilkan
Analisis Hubungan...
cenderung berwarna merah gelap dan sebagian agak kehitaman.
Tidak berbeda dengan ketel
uap, konstruksi ketel penyulingan juga
menggunakan bahan yang sama dan
bersifat mudah karatan. Hal ini juga
akan mempengaruhi kualitas dari minyak nilam yang dihasilkan dan akan berwarna gelap. Untuk mengatasi hal tersebut, para petani nilam tradisional melakukan penyulingan berulang-ulang untuk mendapatkan minyak nilam yang berwarna cerah dan hal ini akan banyak menguras waktu dan tenaga.
Pada alat suling tipe T3
(tradisional), bahan yang digunakan
untuk bak pendingin tidak berbeda
dengan bak pendingin yang ada pada alat suling T2, yang membedakan terletak pada kapasitas air yang ditampung yaitu ± 500 liter air. Petani perlu melakukan pengawasan ekstra
untuk menjaga suhu air dalam bak
pendingin agar minyak yang akan
dihasilkan tidak banyak menguap.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan dari 81 macam campuran atau lebih berdasarkan perbedaan
titik uapnya, dan proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut
dalam air. Jumlah air yang menguap bersama-sama dengan uap air ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu besarnya tekanan
uap yang digunakan, berat molekul dari masing-masing komponen dalam minyak dan kecepatan minyak keluar dari bahan yang mengandung minyak.
Dari 81 observasi terdapat 27
hasil pengamatan yang menunjukkan
efesiensi penggunaan tekanan uap air terhadap rendemen minyak nilam dan kualitas minyak. Untuk T1 semua varitas
dan asal nilam menunjukkan proses penyulingan yang optimum pada biaya
produksi Rp 27.600 sampai dengan Rp 31.000 per kilogram minyak nilam.
Umtuk T2 optimasi proses pengolahan
minyak nilam untuk varitas Aceh terdapat pada kondisi tekan uap air 68 s.d 72
ATM selama 4 jam 16 menit. Kondisi
ini memerlukan biaya pengolahan Rp 36.200 sampai dengan Rp 39.700 per kilogram. Variasi biaya ini tergantung
pada kadar air bahan baku dan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam
proses penyulingan.
E. Kualitas Bahan Baku
Kualitas bahan baku pada
penelitian diklarisifikasikan berdasarkan
varietas, kadar air, kadar air bahan baku
dan diameter rajangan. Untuk variasi
varitas dan kadar air menghasilkan kadar minyal dan kadar alkohol yang berbeda,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 1.dibawah ini.
Tabel 1. Tabel Kualitas Bahan Baku Daun Nilam dan Kinerja Minyak Pada Industri Minyak
Nilam di 5 Kecamatan Kabupaten Aceh Barat
No Varietas Hasil daun nilam kering (t/ha) Kadar minyak (%) Kadar patcholiAlcohol (ml) Kadar air(%)
1 Aceh 11,09 3,21 355,89 12
Analisis Hubungan...
16
Untuk mendapatkan bahan baku
berkualitas, yang perlu diperhatikan
oleh petani sebelum melakukan
penyulingan yaitu jenis daun nilam
yang akan disuling yaitu mempunyai
kandungan minyak yang tinggi baik dari
batang maupun daun. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kadar minyak paling
tinggi terdapat pada varietas nilam Aceh
dengan kadar minyak sebesar 3,21 % dan batas kekeringan daun nilam segar
menjadi daun nilam kering antara (25 –
30) % kadar air.
Faktor utama yang menyebabkan adanya kandungan besi terlarut di dalam minyak nilam adalah penggunaan peralatan penyulingan yang masih konvensional, terutama ketel yang berasal dari drum bekas. Pada
temperatur tinggi, besi dari drum berada
dalam bentuk ion akan terikut dengan uap dan terakumulasi dalam minyak, sehingga minyak yang dihasilkan akan keruh dan berwarna gelap. Hal ini akan mengurangi kadar mutu minyak yang dihasilkan (Ellyta dan Mustanir, 2004).
Pada penelitian ini, konstruksi alat
suling yang digunakan yang bervariasi dengan mulai dari menggunakan drum bekas, plat besi yang di tempah khusus, dan plat stainless stell tanpa digalvanis terlebih dahulu. Setelah penggunaan yang lama, plat tersebut akan berkarat dan minyak yang dihasilkan akan berwarna
gelap. Hal ini akan menurunkan harga jual
petani kepada agen pengumpul. Untuk mengatasi hal tersebut, petani melakukan
destilasi ulang untuk menghasilkan minyak yang berwarna jernih. Dengan
demikian, biaya yang dikeluarkan pun
akan bertambah dan hal ini tidaklah
efisien karena mengingat waktu yang terlalu lama dan upah tenaga kerja yang
harus dibayarpun bertambah besar. Hal ini sebenarnya bisa dihindari apabila petani mau merubah sistem pengolahan minyak nilam yang tradisional ke modern dengan menggunakan alat suling dan ketel yang terbuat dari besi stainless steel yang digalvanis sehingga minyak yang dihasilkan akan berkualitas
dan mempunyai harga jual yang tinggi.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, satu kali proses produksi dengan bahan baku ± 100 kg daun nilam kering,
memerlukan tenaga kerja 3 orang, kayu
bakar ± 2 m3. Lama penyulingan sekitar 4
– 5 jam. Dari 100 kg daun nilam kering, kita
akan memperoleh produk minyak nilam sebanyak 1,8 – 2,6 % dari berat daun nilam tersebut. Jadi, kalau besarnya rendemen 2,5 %, maka akan didapatkan minyak nilam : 2,5 % x 100 kg = 2,5 kg.
Dari 81 unit observasi pengolahan minyak nilam yang dibedakan menurut
daerah asal; varitas dan tipe alat
penyulingan maka terdapat variasi yang
sangat nyata. Kinerja yang diukur dengan
efesiensi biaya penyulingan tersebut
memberikan gambaran optimasi pada
masing-masing varian.
Variasi yang signifikan antar variatas dan tipe produksi ini secara
teknis dan ekonomis akan menentukan
titik optimasi proses pengolahan minyak nilam. Kinerja pengolahan minyak
nilam antara daerah asal (S1, S2, dan
S3) sangat berbeda; demikian juga antar varitas (V1, V2, dan V3) dan juga berdasarkan tipe alat penyulingan (T1, T2, dan T3) seperti yang ditunjukkan
Analisis Hubungan...
Tabel 2. Sebaran Kinerja Penyulingan Minyak Nilam di Lima Kecamatan Sentra Produksi
Berdasarkan Daerah, Varitas dan T1lat Penyulingan di Kabupaten Aceh Barat.
Kesesuaian Daerah V1 V2 V3 T1 T2 T3 T1 T2 T3 T1 T2 T3 S1 0.58 0.51 0.42 0.52 0.45 0.36 0.46 0.39 0.3 0.51 0.44 0.47 0.45 0.38 0.41 0.39 0.32 0.35 0.54 0.46 0.41 0.48 0.4 0.35 0.42 0.34 0.29 S2 0.49 0.43 0.4 0.46 0.4 0.37 0.38 0.32 0.3 0.53 0.44 0.37 0.5 0.41 0.34 0.44 0.36 0.29 0.51 0.5 0.41 0.48 0.47 0.38 0.4 0.39 0.3 S3 0.48 0.3 0.22 0.45 0.27 0.19 0.37 0.19 0.12 0.42 0.29 0.28 0.39 0.26 0.25 0.33 0.21 0.2 0.38 0.27 0.24 0.35 0.24 0.21 0.27 0.16 0.13
Dari table tersebut terlihat bahwa
untuk varitas V1 kondisi optimum terdapat pada kluster S1 dengan curah hujan
rata-rata 1.200 mm per tahun dengan suhu 29 oC yang dikembangkan di dataran rendah dengan kemiringan 0 s/d 10 %.
Hasil analisis menunjukkan bahwa fungsi yang menggambarkan kinerja
penyulingan minyak nilam berdasarkan daerah produksi, varitas dan alat penyulingan adalah sebagai berikut:
K = 28.000 D10,0704 D20,1471 D30,1843 V10,0020 V20,0611 V30,1124 T10,0022 T20,1108 T30,3821
Pengujia secara serempak menunjukkan keberartian model yang diperoleh dengan R2= 0,81. Ini artinya bahwa kinerja penyulingan minyak nilam
di daerah ini 81 persen ditentukan oleh kesesuaian agrokilmat + agroekologi;
varitas nilam yang dikembangkan, dan tipe
alat penyulingan yang digunakan. Dengan mengalikan PMi dengan biaya pada masing-masing varian di atas maka yang paling murah biaya produksi untuk daerah
nilam Aceh dengan menggunakan alat penyulingan modern T1. Dengan demikian bila ingin dicapai efesiensi pemanfaatan faktor produksi pada proses penyulingan nilam maka faktor-faktor di atas perlu
diperhatikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian di atas dapatdisimpulkan bahwa kualitas daun nilam ditentukan oleh daerah penanaman
dan varitas yang digunakan. Selanjutnya
rendemen dan kualitas minyak nilam ditentukan oleh kualitas bahan baku dan
tipe alat penyulingan. Biaya investasi menentukan kinerja alat penyulingan
dan keuntungan dari usaha tersebut. Daerah pengembangan minyak nilam pada katagori S1 akan lebih efesien bila dibandingkan dengan daerah dengan kesesuaian S2 dan S3. Varitas nilam yang sangat efesien dikembangkan di Kabupaten Aceh Barat adalah varitas Aceh dengan 12
kultivar yang ada. Tipe alat penyulingan menentukan biaya investasi dan kinerja
Analisis Hubungan...
18
semakin baik mutu dan kapasitas alat sehingga nilai minyak nilam semakin
tinggi. Pada gilirannya, semakin tinggi pula
keuntungannya.
Untuk meningkatkan produksi minyak nilam di Kabupaten Aceh Barat perlu ditata wilayah pengembangan dengan katagori sangat sesuai dan sesuai dengan menggunakan varitas asli Aceh dengan
12 kultivar yang ada. Di samping itu perlu
dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi alat penyulingan nilam di beberapa sentra produksi nilam Kabupaten Aceh Barat.
Analisis Hubungan...
Lampiran 1. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Aceh Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe
Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat.
Daerah Pengembangan V1 Jumlah Rata-2 T1 T2 T3 S1 0.58 0.51 0.42 1.51 0.50 0.51 0.44 0.47 1.42 0.47 0.54 0.46 0.41 1.41 0.47 Jumlah 1.63 1.41 1.3 4.34 Rata-2 0.54 0.47 0.43 0.48 S2 0.49 0.43 0.4 1.32 0.44 0.53 0.44 0.37 1.34 0.45 0.51 0.5 0.41 1.42 0.47 Jumlah 1.53 1.37 1.18 4.08 0.45 Rata-2 0.51 0.46 0.39 0.45 S3 0.48 0.3 0.22 1 0.33 0.42 0.29 0.28 0.99 0.33 0.38 0.27 0.24 0.89 0.30 Jumlah 1.28 0.86 0.74 2.88 0.32 Rata-2 0.43 0.29 0.25 0.32 Total 4.44 3.64 3.22 11.3 Rerata 0.49 0.40 0.36 0.42
Lampiran 2. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Jawa Untuk Daerah Pengembangan dan Tipe
Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat. Daerah Pengembangan V2 Jumlah Rata-2 T1 T2 T3 S1 0.52 0.45 0.36 1.33 0.44 0.45 0.38 0.41 1.24 0.41 0.48 0.4 0.35 1.23 0.41 Jumlah 1.45 1.23 1.12 3.8 Rata-2 0.48 0.41 0.37 0.42 S2 0.46 0.4 0.37 1.23 0.41 0.5 0.41 0.34 1.25 0.42 0.48 0.47 0.38 1.33 0.44 Jumlah 1.44 1.28 1.09 3.81 0.42
Analisis Hubungan...
20
Rata-2 0.48 0.43 0.36 0.42 S3 0.45 0.27 0.19 - 0.39 0.26 0.25 0.9 0.30 0.35 0.24 0.21 0.8 0.27 Jumlah 1.19 0.77 0.65 1.7 0.19 Rata-2 0.40 0.26 0.22 0.19 Total 4.08 3.28 2.86 9.31 Rerata 0.45 0.36 0.32 0.34Lampiran 3. Kinerja Penylingan Minyak Varitas Sabun Untuk Daerah Pengembangan dan
Tipe Alat Suling di Kabupaten Aceh Barat.
Daerah V3 Jumlah Rata-2
T1 T2 T3 S1 0.46 0.39 0.3 1.15 0.38 0.39 0.32 0.35 1.06 0.35 0.42 0.34 0.29 1.05 0.35 Jumlah 1.27 1.05 0.94 3.26 Rata-2 0.42 0.35 0.31 0.36 0.36 S2 0.38 0.32 0.3 1 0.33 0.44 0.36 0.29 1.09 0.36 0.4 0.39 0.3 1.09 0.36 Jumlah 1.22 1.07 0.89 3.18 0.35 Rata-2 0.41 0.36 0.30 0.35 0.35 S3 0.37 0.19 0.12 0.68 0.23 0.33 0.21 0.2 0.74 0.25 0.27 0.16 0.13 0.56 0.19 Jumlah 0.97 0.56 0.45 1.98 0.22 Rata-2 0.32 0.19 0.15 0.22 0.22 Total 3.46 2.68 2.28 8.42 Rerata 0.38 0.30 0.25 0.31 0.31
Analisis Hubungan...
DAFTAR PUSTAKA
Buckingham,J.,1982,”Dictionary of Organic Compounds”, 5thedition, Chapman and
Hall, New York.
Daniels,F. dan R.A. Alberty,1959,”Physical Chemistry”, John Wiley and Sons, Inc.,Amsterdam.
Dummond,H.M.,1960, “Patcouli oil, Journal Perfumery and Essential Oil Record”, hal.484-493
Ellyta S, 2002,”Kuantifikasi Penyulingan minyak Nilam dari daunnya untuk peningkatan teknik dan kapasitas produksi yang memenuhi minyak nilam bermutu”, Thesis Magister, ITB, Bandung.
Ellyta S, 2004, “ Rancangan distribusi uap pada alat ketel suling untuk meningkatkan rendemennya; dalam kasus Minyak Nilam (Pogostemon Cablin Benth)”,
Lapaoran Penelitian, LPPM, Universitas Bung Hatta, Padang
Guenther,E,1985,“Minyak Atsiri,”jilid I (terjemahan) S. Kateren, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Hobir,dkk., 1998,”Prospek Pengembangan Nilam di Indonesia“, Seminar Club Indonesia, Jakarta.
Irfan, 1989,”Pengaruh Lama Keringanginan dan Perbandingan Daun Nilam dengan Batang terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam’, Fateta, IPB, Bogor. Masada Y. ,1975,”Analysis of Essential Oils by Gas Chromatography and Mass
Spectrometry”, John Wiley and Sons Inc.,New York.
Perman dan Mulyazmi,1999,”Pemurnian Minyak Nilam Mentah”, Skripsi, Universitas
Bung Hatta, Padang.
Rusli dan Hasanah,1977,”Cara Penyulingan Daun Nilam Mempengaruhi Rendemen dan Mutu Minyaknya”, Pemberitaan LPTI (24):hal.1-9 LPTI Bogor
Syaifuddin,1993, ” Pengaruh Jenis Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Minyak Nilam”, Fateta, IPB.
Santoso, H.B.,1997,” Bertanam Nilam bahan industri wewangian”, Penerbit kanisius.
Standar Nasional Indonesia (SNI),1991,”Minyak Nilam”, Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta
Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan
Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan
Sungai Ambawang, Kabupaten
Kubu Raya-Kalimantan Barat
(Analysis of Sustainability Index and Status in the Utilization of Freshwater
Swamp in Pasak Piang Village, Sub-District of Sungai Ambawang, Kubu Raya
District - West Kalimantan Province)
Rois
1, Supiandi Sabiham
2, Irsal Las
3, dan Machfud
4ABSTRAK
Rawa merupakan sebutan bagi semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman maupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Provinsi Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas 35.436 hektar yang tersebar di 11 kabupaten. Di Kabupaten Kubu Raya, terdapat rawa lebak yang terdistribusi di empat kecamatan yang salah satunya adalah Kecamatan
Sungai Ambawang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan
pemanfaatan rawa lebak di Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang yang
didasarkan pada penilaian indeks dan status keberlanjutan dengan menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut dengan Rap-Lebak (Rapid
Appraisal for Rawa Lebak). Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Hasil ordinasi Rap-Lebak menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan
rawa lebak masing-masing dimensi bervariasi berkisar dari yang terendah 24.20
persen untuk dimensi ekonomi yang dikategorikan tidak berkelanjutan, diikuti
dimensi teknologi 28.92 persen, dimensi ekologi 45.36 persen, dan dimensi
sosial budaya 48.30 persen yang ketiganya dikategorikan kurang berkelanjutan, serta dimensi kelembagaan dengan nilai indeks tertinggi, yaitu 51.41 persen atau dikategorikan cukup berkelanjutan. Sedangkan hasil analisis leverage dari 37 atribut yang dianalisis diperoleh 19 atribut sensitif yang berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan sistem pengelolaan rawa lebak.
kata Kunci : indeks dan status keberlanjutan , rawa lebak
1 Mahasiswa S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan – Sekolah Pasca Sarjana IPB. 2 Staf Pengajar Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Analisis Indeks...
24
AbstrAct
Swamp is a definition for all areas that is stagnated by water. It is classified as seasonal or permanent, and overgrown by vegetation. In West Kalimantan Province, there is a freshwater swamp area of 35,436 hectares spread over 11 districts. In Kubu Raya district, there is a freshwater swamp which is distributed in four districts, including Sungai Ambawang sub-District. This research aimed to analyze sustainable utilization of freshwater swamp in Pasak Piang, Sungai Ambawang sub-District that is based on an index assessment and the status of sustainability by using Multidimensional Scaling (MDS) it’s called Rap-Lebak (Rapid Appraisal for Rawa Lebak). The used data consists of both primary and secondary data. Rap-Lebak Ordination Results showed that the values of sustainability index on freshwater swamp of each dimension was on various range, from a low 24.20 percent for the economic dimension is not considered sustainable, followed by technological dimensions 28.92 percent, 45.36 percent of the ecological dimension, and socio-cultural dimensions of 48.30 percent of all three categorized as less sustainable, and institutional dimension with the highest index value, which is 51.41 percent or categorized quite sustainable. While the results of analysis leverage of the 37 attributes that were analyzed obtaining 19 attributes that influence the sensitive index of freshwater swamp on sustainable management system.
Analisis Indeks...
PENDAHULUAN
Rawa merupakan sebutan bagi semua daerah yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman maupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Indonesia mempunyai lahan rawa
sekitar 39 juta hektar yang terdiri dari
lahan rawa pasang surut dan rawa lebak.
Berdasarkan data dari Balittra tahun
2005, terdapat areal rawa pasang surut
seluas 24,2 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Irian Jaya 5,20 juta hektar.
Provinsi Kalimantan Barat dengan
luas total 14,64 juta hektar memiliki
rawa lebak sekitar 35.436 hektar dan baru sekitar 9.796 hektar atau 27,6 persen yang telah dimanfaatkan. Lahan ini tersebar di 11 kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Kubu Raya. Di Kabupaten Kubu Raya, rawa lebak tersebar di empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batu Ampar, Terentang, Sungai Raya dan Sungai Ambawang.
Khusus untuk penelitian ini difokuskan di
Kecamatan Sungai Ambawang, tepatnya desa Pasak Piang dengan luas rawa lebak yang ada mencapai 221 hektar (Dinas Pertanian Prov. Kalbar, 2008).
Saat penelitian ini dilaksanakan, rawa lebak di lokasi penelitian
dimanfaatkan berbagai macam tanaman
mulai tanaman pangan (jagung, ubi kayu, ubi jalar, keladi/talas, dan utamanya padi), palawija dan sayuran
(kacang tanah, kacang kedelai, kacang
hijau, terung, bayam, kangkung, cabe),
kelapa, dan kelapa sawit), dan sebagian kecil dimanfaatkan untuk kolam dan usaha peternakan, dengan rata-rata kepemilikan lahan hanya berkisar 0.5 – 1.0 hektar per kepala keluarga. Usahatani
dengan berbagai jenis tanaman yang
tersebut di atas, umumnya dilakukan
dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, kecuali untuk tanaman karet. Secara umum menurut Noor (2007), pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari
dan masih tertinggal jika dibandingkan
dengan agroekosistem lain, seperti lahan
kering atau lahan irigasi. Hal itu dapat dipahami, karena rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak
dan hilang jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau pemukiman, tetapi juga rentan terhadap
perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain
itu, kendala non fisik, terutama masalah
status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non
petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan (Irianto,
2006). Dengan kondisi demikian, apabila
ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan
diatur dalam pemanfaatannya, maka hal
itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak
adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan.
Analisis Indeks...
26
gilirannya dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi.
Agar supaya dalam pemanfaatan rawa lebak dapat berlangsung secara
berkelanjutan, maka perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan
atau sustainable development.
Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (Brundland Report, 1987). Substansi dari konsep
ini adalah tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan dapat berjalan secara
bersama-sama. Dalam penerapannya,
tujuan pembangunan berkelanjutan tidak hanya terbatas pada tiga dimensi
yaitu ekologi, ekonomi dan sosial, tetapi dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keragaman dari masing-masing wilayah atau daerah
yang diteliti.
Dalam penelitian ini, pendekatan
yang digunakan untuk mengetahui
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak
menggunakan lima dimensi. Hal ini
dengan mempertimbangkan berbagai
aspek yang mempengaruhi proses pemanfaatan rawa lebak tersebut. Adapun kelima dimensi yang digunakan adalah dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan.
Penelitian ini bertujuan untuk [1] mengetahui keberlanjutan sistem
pemanfaatan rawa lebak pada masing-masing dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan, dan [2] mengetahui
atribut-atribut yang sensitif berpengaruh
terhadap sistem pemanfaatan rawa lebak.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di
Desa Pasak Piang, Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang dilaksanakan
sejak bulan Februari sampai September 2010. Penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara purposive sampling, sedangkan penentuan responden dilakukan secara random sampling yaitu sebanyak 28 responden.
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian kuesioner, survey lapangan untuk mengetahui sistem usahatani di lokasi
penelitian. Data sekunder diperoleh
melalui penelusuran literatur hasil-hasil
penelitian, studi pustaka, laporan dan
dokumen dari berbagai instansi yang
berhubungan dengan bidang penelitian.
Metode analisis yang digunakan yaitu [1] teknik ordinasi Rap-Lebak melalui metode Multidimensional Scaling (MDS) untuk menilai indeks
dan status keberlanjutan pemanfaatan
rawa lebak, [2] analisis leverage untuk
mengetahui atribut-atribut sensitif
yang berpengaruh terhadap indeks
keberlanjutan dimasing-masing dimensi
[3] analisis Monte Carlo digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen. Nilai indeks Monte Carlo dibandingkan dengan indeks MDS. Penentuan nilai Stress dan Koefesien determinasi (R2)
Analisis Indeks...
tidaknya penambahan atribut, dan
mencerminkan keakuratan dimensi yang
dikaji dengan keadaan yang sebenarnya.
Bagan proses aplikasi Rap-Lebak yang
dimodifikasi dari Alder et al (2000); Fauzi dan Anna (2005) dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 Bagan proses aplikasi Rap-Lebak (dimodifikasi dari Alder et al (2000); Fauzi dan
Anna (2005).
Mulai
Review atribut
(berbagai kategori dan skoring kriteri) Identifikasi pemanfaatan rawa lebak (didasarkan kriteri yang konsisten)
Penilaian skor setiap atribut
Multidimensional Scaling (untuk masing-masing atribut)
Analisis Leveage
(analisis anomali)
Analisis Monte Carlo (analisis keidakpastian)
Analisis keberlanjutan (sustainability assessment)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui indeks
keberlanjutan serta atribut sensitif yang
berpengaruh terhadap pemanfaatan rawa lebak dari masing-masing dimensi, dilakukan analisis Rap-Lebak dan analisis Leverage.
A. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi Ekologi
Hasil analisis Gambar 2a
menun-jukkan bahwa indeks keberlanjutan
pemanfaatan rawa lebak dimensi ekologi hanya mencapai nilai indeks 45.36 persen
Analisis Indeks...
28
Gambar 2 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi
Analisis Leverage Dimensi Ekologi Pasak Piang
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Persentase luas lahan Penggunaan pupuk Kelas kesesuaian lahan Kandungan bahan organik tanah Produktivitas lahan Periode tergenang Periode kekeringan Ketersediaan sistem irigasi A ttr ib ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
S u m b u Y set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab ili ty 45.36
b
a
Hasil analisis leverage Gambar
2b menunjukkan bahwa dari delapan
atribut yang dianalisis terdapat empat
atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan
rawa lebak, yaitu (1) kondisi bahan
organik tanah, (2) produktivitas lahan, (3)
periode tergenang, dan (4) penggunaan
pupuk. Keempat atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekologi
tersebut mempunyai keterkaitan yang
sangat erat dalam mempengaruhi
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. B. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi
Ekonomi
Hasil analisis Gambar 3a
menun-jukkan bahwa indeks keberlanjutan
pe-man faatan rawa lebak dimensi ekonomi hanya mencapai nilai indeks 24.20 persen
atau dengan kategori tidak berkelanjutan
(buruk).
Gambar 3 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi
Analisis Leverage Dimensi Ekonomi Pasak Piang
0 2 4 6 8 10 12 14 16 Pendapatan rata-rata petani Produksi usahatani Ketersediaan modal usahatani Harga produk usahatni
Ketersediaan sarana produksi Keuntungan usahatani Efesiensi ekonomi Attr ib ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
S um bu Y set el ah R ot asi : S kal a S ust ai nab ili ty 24.20 a b
Analisis Indeks...
Hasil analisis leverage Gambar
3b menunjukkan bahwa dari tujuh
atribut yang dianalisis terdapat empat
atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi dalam
pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. Keempat
atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan ekonomi tersebut juga
mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu atribut dengan atribut lainnya dalam mempengaruhi
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. C. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi
Sosial Budaya
Hasil analisis Gambar 4a
menunjukkan bahwa indeks
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak
dimensi sosial budaya hanya mencapai nilai indeks 48.30 persen atau dengan
kategori kurang berkelanjutan.
Gambar 4 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya
a
b
RAPLEBAKOrdination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
S u m b u Y set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab il it y 48.30
Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya Pasak Piang
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Status kepemilkan lahan Jumlah rumah tangga
petani Rumah tangga petani yg pernah mengikuti penyuluhan pertanian Peran adat dalam kegiatan pertanian Pola hub. Masyarakat dlm usaha pertanian Tingkat pendidikan formal petani Inensitas konflik A ttr ib ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Hasil analisis leverage Gambar
4b menunjukkan bahwa dari tujuh
atribut yang dianalisis terdapat enam
atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya dalam
pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah
mengikuti penyuluhan pertanian, (3)
pola hubungan masyarakat dalam usaha
pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. Keenam atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan sosial budaya tersebut
mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu atribut dengan atribut lainnya dalam mempengaruhi
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. D. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi
Teknologi
Hasil analisis Gambar 5a
Analisis Indeks...
30
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak
dimensi teknologi hanya mencapai nilai indeks 28.92 persen atau dengan
kategori kurang berkelanjutan.
Gambar 5 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi teknogi, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi
RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
S u m b u X set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab il it y 28.92
Analisis Leverage Dimensi Teknologi Pasak Piang
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Pengolahan tanah Pemupukan Pengendalian gulma Jml alat pemberantasan jasad pengganggu Ketersediaan mesin pompa air Ketersediaan mesin pasca panen Pola tanam Jadual tanam A ttr ib ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
a
b
Hasil analisis leverage Gambar
5b menunjukkan bahwa dari delapan atribut yang dianalisis terdapat tiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi dalam pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu,
(2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3)
ketersediaan mesin pasca panen. Ketiga atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan teknologi tersebut
merupakan atribut teknologi yang sangat berperan dalam mempengaruhi
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak. E. Keberlanjutan Rawa Lebak Dimensi
Kelembagaan
Hasil analisis Gambar 6a
menunjukkan bahwa indeks
keberlanjutan pemanfaatan rawa lebak
dimensi kelembagaan hanya mencapai
nilai indeks 51.41 persen atau dengan
Analisis Indeks...
Gambar 6 [a] Indeks dan status keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan, [b] faktor sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan
Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Pasak Piang
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Keberadaan kelompok tani Intensitas pertemuan kelompok tani Keberadaan lembaga sosial Ketersediaan lembaga keuangan mikro Petugas penyuluh lapangan Kondisi prasarana jelan desa Keberadaan balai penyuluh pertanian A ttr ib ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) RAPLEBAK Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120
Sumbu X setelah Rotasi: Skala Sustainability
S u m b u Y set el ah R o tasi : S kal a S u st ai n ab il it y 51.41
a
b
Hasil analisis leverage Gambar
6b menunjukkan bahwa dari tujuh
atribut yang dianalisis terdapat dua
atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam
pengelolaan rawa lebak, yaitu (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial. Kedua
atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan tersebut
mempunyai keterkaitan yang kurang erat
dalam mempengaruhi keberlanjutan
pemanfaatan rawa lebak.
Dari kelima dimensi yang dianalisis yang divisualisasikan dalam bentuk diagram layang (kite diagram) Gambar 7
menunjukkan adanya keragaman antara
satu dimensi dengan dimensi yang lain. Untuk dimensi kelembagaan yang
diperoleh nilai indeks relatif terbesar
yaitu 55.15 persen atau kategori cukup
berkelanjutan, jika dibandingkan dengan tiga dimensi (ekologi, sosial budaya, dan
teknologi) yang berada pada kategori
yaitu dimensi ekonomi mempunyai nilai indeks terendah yaitu 24.20 persen yang
berada pada kategori tidak berkelanjutan