PEREMPUAN DALAM PENJARA
(Studi Deskriptif Kehidupan Narapidana Kasus Narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan)
SKRIPSI
Oleh :
EFRILIANY PUTRI
150901053
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Kasus narkotika di Indonesia telah menjadi masalah yang paling krusial di masyarakat. Hal ini terlihat dengan semakin meningkatnya peredaran narkotika di kalangan masyarakat. Adapun pelaku dalam peredaran narkotika juga bukan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, kaum perempuan juga terlibat dalam kasus tersebut. Peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh perempuan terdapat di berbagai Lembaga Pemasyarakatan, salah satunya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan. Mayoritas narapidana yang ditahan ialah mereka yang terjerat kasus narkotika, khususnya peredaran narkotika.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, pengamatan, serta studi kepustakaan. Analisis teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Tindakan Sosial Max Weber serta konsep stereotip.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat motif dan tujuan narapidana wanita terlibat dalam peredaran narkotika. Selain itu, juga terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi peredaran narkotika tersebut, baik dari faktor lingkungan sosial maupun faktor ekonomi. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terdapat tindakan rasional narapidana wanita kasus narkotika dalam melakukan peredaran narkotika di masyarakat. Adapun sterotip juga dialami oleh narapidana yang berstatus residivis.
Kata Kunci : Narapidana narkotika, Residivis, Tindakan Rasional, Stereotip.
ABSTRACT
Drug cases in Indonesia have become the most crucial problem in society.
This can be seen from the increasing circulation of narcotics in the community.
The perpetrators of drug trafficking are also not only carried out by men, women are also involved in the case. The increase in crime committed by women is found in various Correctional Institutions, one of which is in Women's Prison Class II A, Tanjung Gusta, Medan. The majority of prisoners detained are those who are caught in narcotics cases, especially drug trafficking.
The research method used is a descriptive study with a qualitative approach.
Data collection techniques are carried out by in-depth interviews, observations, and library studies. The theoretical analysis used in this study is Max Weber's Theory of Social Action and stereotypical concepts.
The results of this study show that there are motives and objectives of female prisoners involved in drug trafficking. In addition, there are also factors underlying the circulation of narcotics, both from social environmental factors and economic factors. This study also shows that there are rational actions of female prisoners in narcotics cases in the distribution of narcotics in the community. The stereotypes were also experienced by convicts who are recidivists.
Keywords : narcotics prisoners, recidivists, rational actions, stereotypes.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan kasih karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan karya tulis berupa skripsi yang berjudul:
“PEREMPUAN DALAM PENJARA (Studi Deskriptif Kehidupan Narapidana Kasus Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan)
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Dr. Harmona Daulay, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosiologi dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih untuk gagasan, saran, serta motivasi yang Ibu berikan kepada penulis. Semoga Ibu tetap sehat dan senantiasa dalam lindungan Tuhan.
4. Ibu Dr. Hadriana Marhaeni Munthe, M.Si selaku Dosen Penguji penulis.
Terimakasih untuk ide, saran dan kritik yang Ibu berikan pada penulis.
Semoga Ibu senantiasa dalam lindungan Tuhan.
5. Bapak Prof. Sismudjito, M.Si selaku Ketua Penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk hadir di Ujian Komprehensif penulis.
Terimakasih untuk ilmu yang selama ini Bapak berikan pada penulis.
Semoga Bapak sehat senantiasa dalam lindungan Tuhan.
6. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam masa studi lebih kurang 4 tahun. Semoga Tuhan membalas kebaikan Ibu.
7. Terimakasih untuk seluruh Bapak/Ibu Dosen Sosiologi yang telah memberikan pengajaran dan ilmu yang berharga bagi penulis selama masa perkuliahan. Semoga Bapak/Ibu selalu dalam lindungan Tuhan.
8. Ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan pada kedua orang tua yang terkasih J.Lim/A. Purba, yang telah membesarkan dan memberikan dukungan, pengorbanan serta cinta pada penulis selama ini.
Semoga kalian tetap sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan.
9. Terimakasih sedalam-dalamnya penulis ucapkan pada opung tercinta Dewi Juita Purba yang turut membantu, memotivasi, dan mendukung penulis baik dari segi moril maupun materiil.
10. Terimakasih penulis ucapkan pada kedua adik tercinta, Cindy Octavia dan Samuel Steven yang turut mendukung dan mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini . Semoga kakak bisa menjadi motivasi bagi kalian untuk mencapai pendidikan setinggi-tingginya sehingga dapat membanggakan kedua orangtua.
11. Terimakasih kepada Seluruh Staff Kementerian Hukum dan HAM yang telah membantu penulis dalam hal administrasi surat menyurat.
12. Terimakasih juga penulis sampaikan pada seluruh Staff Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta Medan yang telah
membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian. Khususnya pada Ibu Hadawiyah, Ibu Siti, Ibu Ida, dan pegawai lainnya yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi. Terimakasih juga penulis ucapkan untuk Kak Wulan yang telah membantu penulis dalam pencarian informan penelitian. Tanpa bantuan seluruh pihak Lapas tentu penyelesaian skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar.
13. Terimakasih juga penulis sampaikan pada seluruh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan yang dengan ramah menerima kedatangan penulis, khususnya narapidana yang menjadi informan penelitian. Kalian adalah wanita hebat dan kuat. Semoga kita dapat bertemu di lain waktu.
14. Terimakasih juga penulis sampaikan pada Staff/Pegawai Program Studi Sosiologi, Bang Abel, Kak Ernita, dan Kak Tiwi yang telah membantu penulis dalam urusan akademik dan surat menyurat.
15. Terimakasih juga pada Girls Squad, Silvia Annisa, Christy Audina, Indah Shavira, Nur Hayati, Novia Theresia untuk 4 tahun yang sudah kita lewati.
Banyak suka, duka, canda tawa yang mengiringi perkuliahan kita. Semoga sukses untuk kita ke depannya.
16. Terimakasih pada kawan seperjuangan angkatan 2015. Kalian luar biasa.
Tetap semangat dan teruslah berjuang kawan. Semoga sukses untuk kita semua.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai kesempurnaan. Namun penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, semua itu dikarenakan karena keterbatasan
dan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis akan menerima dengan hati terbuka atas segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memiliki guna dan manfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Medan, 10 Juni 2019 Penulis
Efriliany Putri
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
a. Manfaat Teoritis ... 7
b. Manfaat Praktis ... 7
1.5 Defenisi Konsep ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12
2.1 Konsep Perempuan ... 12
2.2 Lembaga Pemasyarakatan ... 13
2.3 Stereotip ... 15
2.4 Teori Tindakan Sosial ... 16
2.5 Penelitian Terdahulu ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 24
3.1 Jenis Penelitian ... 24
3.2 Lokasi Penelitian ... 25
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 25
3.3.1 Unit Analisis ... 25
3.3.2 Informan ... 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.4.1 Data Primer ... 26
3.4.2 Data Sekunder ... 28
3.5 Interpretasi Data ... 28
3.6 Jadwal Kegiatan ... 29
3.7 Keterbatasan Penelitian ... 29
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 31
4.1 Deskriptif Sejarah dan Profil Lembaga Pemasyarakatan ... 31
4.1.1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia ... 31
4.1.2. Tujuan dan Fungsi Sistem Pemasyarakatan ... 37
4.1.3. Asas Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan ... 38
4.1.4. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Medan ... 40
4.1.5. Visi dan Misi Lapas Wanita Kelas II A Medan ... 42
4.1.6. Tugas Pokok dan Fungsi Lapas Wanita Kelas II A Medan ... 43
4.1.7. Struktur Organisasi Lapas Wanita Kelas II A Medan ... 43
4.1.8. Letak Geografis Lapas Wanita Kelas II A Medan ... 49
4.1.9. Sarana dan Prasarana Lapas Wanita Kelas II A Medan ... 49
4.1.10. Gambaran tentang Narapidana dan Tahanan Lapas Wanita ... 51
4.2 Profil Informan ... 56
4.3 Gambaran Kehidupan Narapidana Kasus Narkotika... 78
4.4 Motif dan Tujuan Narapidana Kasus Narkotika ... 82
4.5 Faktor-Faktor Peredaran Narkotika ... 86
4.5.1 Faktor Lingkungan Sosial ... 88
4.5.2 Faktor Ekonomi ... 95
4.6 Respon Masyarakat ... 98
4.7 Respon Keluarga ... 100
4.8 Stereotip Narapidana (Residivis) Kasus Narkotika ... 102
4.9 Upaya Menghadapi Stereotip Narapidana Kasus Narkotika ... 106
4.10 Analisis Tindakan Sosial Narapidana Wanita Kasus Narkotika ... 107
4.11 Analisis Stereotip Narapidana Wanita (Residivis) Kasus Narkotika .... 112
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114
5.1 Kesimpulan ... 114
5.2 Saran ... 116
DAFTAR PUSTAKA ... 118
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Komposisi Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Kelas II A Tanjung Gusta, Medan ... 5
Tabel 1. 2 Klasifikasi Tipe Tindakan Sosial Weber ... 19
Tabel 4. 1 Komposisi Narapidana Wanita berdasarkan Jenis Hukuman dan Kewarganegaraan ... 51
Tabel 4. 2 Komposisi Tahanan Wanita berdasarkan Jenis Hukuman dan Kewarganegaraan ... 53
Tabel 4. 3 Komposisi Narapidana dan Tahanan berdasarkan Usia... 54
Tabel 4. 4 Komposisi Narapidana dan Tahanan berdasarkan Jenis Kejahatan ... 54
Tabel 4. 5 Profil Informan ... 77
Tabel 4. 6 Motif dan Tujuan Narapidana ... 85
Tabel 4. 7 Faktor Lingkungan Keluarga ... 92
Tabel 4. 8 Faktor Lingkungan Tempat Tinggal/Teman ... 94
Tabel 4. 9 Klasifikasi Pekerjaan Informan... 95
Tabel 4. 10 Faktor Ekonomi ... 97
Tabel 4. 11 Respon Masyarakat ... 100
Tabel 4. 12 Respon Keluarga ... 102
Tabel 4. 13 Proses Tindakan Sosial Peredaran Narkotika ... 111
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Jumlah Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia ... 3 Gambar 4. 1 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Wanita ... 45 Gambar 4. 2 Stigma Sebagai Suatu Ketidakadilan Yang Dialami Oleh Mantan Narapidana Perempuan ... 105
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan globalisasi yang cepat, seiring dengan peningkatan kemajuan teknologi telah memberikan nilai tambah yaitu misalnya kemudahan mengakses ke berbagai jenis informasi dan pengetahuan, penggunaan prasarana dan sarana yang selanjutnya dapat berdampak pada perubahan perilaku masyarakat (Kurniawaty, 2012). Perubahan yang terjadi tidak hanya mengarah pada perilaku yang bersifat positif atau yang biasa disebut dengan konformitas, namun ada juga yang bersifat negatif. Hal yang bersifat negatif ini yang sering disebut sebagai perilaku menyimpang.
Perilaku menyimpang bukanlah sebuah fenomena baru. Perilaku tersebut sudah ada sejak anak-anak Nabi Adam, Habil dan Qabil, menentang aturan ayahnya, homoseksualitas kaum Nabi Luth yang dilaknat Tuhan, hingga tindakan anak pada masa kini yang mengonsumsi narkoba serta berbagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh gembong narkoba dan kejahatan antarnegara (Setiadi &
Kolip, 2011). Adapun menurut Robert M. Z. Lawang (dalam Kartono, 2004) perilaku menyimpang meliputi semua tindakan yang menyimpang dari norma- norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang.
Dengan pelbagai bentuk perilaku menyimpang yang terdapat di dalam masyarakat, maka didirikan suatu institusi atau lembaga untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan penyimpangan, yaitu Lembaga Pemasyarakatan. Berbicara mengenai Lembaga Pemasyarakatan, tidak dapat dipungkiri bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah banyak yang sudah overcapacity. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, periode Oktober 2018, terlihat bahwa dari 33 Kanwil yang ada di Indonesia, sebanyak 30 Kanwil (90,90%) di antaranya memiliki jumlah penghuni (baik narapidana maupun tahanan) yang telah melebihi kapasitas. Adapun ketiga Kanwil yang belum melebihi kapasitas yaitu Kanwil D.I. Yogyakarta, Kanwil Maluku, dan Kanwil Maluku Utara (SDP, 2018). Dengan adanya hal ini, dapat dikatakan bahwa semakin banyaknya narapidana dan tahanan yang ada di setiap Kanwil, berarti semakin banyak masyarakat yang berperilaku menyimpang. Perilaku menyimpang sangat beragam bentuknya, dan salah satu yang menjadi fokus penelitian ini ialah peredaran narkotika di masyarakat. Karena mayoritas penghuni Lembaga Pemasyarakatan ataupun Rutan ialah mereka yang terkait dengan kasus narkotika.
Kasus narkotika di Indonesia telah menjadi masalah yang paling krusial di masyarakat. Pada periode Januari s.d. Desember 2017, telah diungkap 46.537 kasus Narkoba dan 27 kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang bersumber dari kejahatan Narkoba (Press Release BNN, 2017). Jumlah penyalahgunaan narkotika (Kelompok Umur 10-59 tahun) pada tahun 2017 sebesar 3.376.115 pengguna, dimana Sumatera Utara menempati peringkat kelima tertinggi dengan jumlah 256.657 pengguna dan berada di bawah Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta (Survei Nasional BNN, 2017). Adapun grafiknya dapat dilihat seperti di bawah ini.
Sumber : Survei Nasional BNN, 2017
Gambar 1. 1 Jumlah Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia
Dari data grafik yang tertera di atas, terlihat jelas bahwa jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, khususnya Sumatera Utara cukup tinggi.
Tidak heran jika mayoritas Lembaga Pemasyarakatan maupun Rutan (Rumah Tahanan) yang berada di wilayah Sumatera Utara dihuni oleh mereka yang terkait dengan kasus narkotika. Adapun pelaku dalam peredaran narkotika juga bukan
0 100 200 300 400 500 600 700
Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah DKI Jakarta Sumatera Utara 645.482
492.157
284.186
260.656
256.657
Jumlah Penyalahgunaan Narkotika
hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, kaum perempuan juga terlibat dalam kasus tersebut. Fakta ini membantah pernyataan dari Jane. C. Ollenburger dan Hellen A. Moore dalam bukunya Sosiologi Wanita yang menyatakan bahwa perempuan jarang melakukan tindak kejahatan dan sedangkan laki-laki sering melakukan tindak kejahatan.
Namun kenyataan di dalam masyarakat sekarang ini, keterlibatan perempuan dalam bentuk kejahatan atau perilaku menyimpang semakin meningkat. Kejahatan yang dilakukan juga bukan hanya kejahatan konvensional, seperti penipuan, penggelapan, dan pencurian. Tetapi kejahatan tersebut sudah menjalar pada kejahatan yang extraordinary, seperti perdagangan narkotika.
Menurut Sihite (2007) perubahan sosial dan kondisi ekonomi yang terjadi tampaknya berujung pada semakin bervariasinya kejahatan yang dilakukan perempuan, sehingga mereka terlibat dalam peredaran narkoba dalam skala kecil dengan motif ekonomi karena penghasilan tidak mencukupi, hidup sebagai single parent, pendapatan suami menurun atau suami tidak bekerja, atau alasan ekonomi lainnya.
Peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh perempuan terlihat di berbagai Lembaga Pemasyarakatan, salah satunya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan. Hal ini dapat dilihat dari data tabel yang tertera di bawah tentang jumlah narapidana wanita berdasarkan kasus pidana khusus di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan.
Tabel 1. 1 Komposisi Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan
Jenis Kejahatan Jumlah Narapidana (Frekuensi)
Persentase (%)
KOR 12 3,22
NKB 330 88,47
NKP 25 6,70
TER 1 0,27
LOG 0 0
TRA 5 1,34
PCU 0 0
GNS 0 0
Jumlah Narapidana 373 orang 100%
Sumber : Sistem Database Pemasyarakatan, 2018
Keterangan :
KOR : Korupsi LOG : Illegal Logging
NKB : Narkoba Bandar/Pengedar TRA : Human Trafficking
NKP : Narkoba Pengguna PCU : Pencucian Uang
TER : Teroris GNS : Genosida
Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan pada periode Agustus 2018, tercatat sebanyak 355 dari 373 napi (95,17%) yang terlibat dalam kasus narkotika.
Adapun rinciannya, sebanyak 330 napi sebagai bandar atau pengedar (kurir) narkoba dan 25 napi sebagai pengguna narkoba. Artinya mayoritas perempuan yang terkait dengan kasus narkotika bekerja sebagai bandar atau pengedar (kurir) ketika berada di lingkungan masyarakat. Carol Smart (dalam Sihite, 2007) menilai
bahwa untuk memahami kriminalitas perempuan harus mempertimbangkan perubahan dalam tingkah laku kriminal perempuan yang dihasilkan emansipasi perempuan. Hal itu ditandai dengan perubahan dan semakin bervariasinya jenis kejahatan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan semakin berpeluang terlibat tindak kejahatan yang awalnya lazim dilakukan oleh laki-laki, misalnya keterlibatan perempuan dalam bisnis dan perdagangan narkoba.
Pada umumnya, tindakan atau perilaku yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang pasti memiliki motif dan tujuan tertentu. Sama halnya dengan kaum perempuan yang terlibat dalam kasus peredaran narkotika yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tanjung Gusta, Medan, tentu mereka memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda satu sama lain, seperti bisa saja karena dorongan dari pihak lain atau hal-hal lain yang akhirnya memaksa ia untuk melakukan tindakan menyimpang tersebut. Hal inilah yang menjadi perhatian dan ketertarikan bagi penulis untuk mencari tahu dan menelusuri lebih mendalam mengenai motif dan tujuan dari narapidana wanita kasus narkotika. Penulis melihat pentingnya penelitian ini dilakukan agar masyarakat dapat menyadari dan memahami bahwa setiap tindakan yang dilakukan khususnya dalam hal ini kasus peredaran narkotika memiliki motif dan tujuan tertentu yang melatarbelakangi pelakunya melakukan tindakan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.
1. Apa motif dan tujuan narapidana wanita melakukan peredaran kasus narkotika?
2. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi narapidana wanita sehingga terlibat dalam kasus narkotika?
3. Bagaimana isu stereotip yang dialami oleh narapidana perempuan?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut.
1. Ingin mengetahui motif dan tujuan narapidana melakukan peredaran kasus narkotika.
2. Ingin mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi narapidana wanita sehingga terlibat dalam kasus narkotika.
3. Ingin mengetahui tentang isu stereotip yang dialami oleh narapidana perempuan.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat dijadikan sebagai referensi dalam pembuatan karya ilmiah atau penelitian bagi mahasiswa/i sosiologi, serta dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan sosial.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan khususnya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan dalam hal menjadi bahan pertimbangan pada saat pengambilan
kebijakan pembinaan narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan gambaran secara langsung mengenai motif dan tujuan keterlibatan narapidana wanita dalam peredaran kasus narkotika.
1.5 Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi abstrak mengenai gejala atau realita atau suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Suyanto & Sutinah, 2005). Tujuannya untuk merumuskan istilah-istilah yang digunakan secara mendasar agar adanya suatu persamaan persepsi dan untuk menghindari perbedaan-perbedaan dalam pengertian. Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) atau yang dahulu lebih dikenal penjara adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan dan pembimbingan (resosialisasi) bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan pasca putusan peradilan sebelum narapidana dikembalikan ke dalam masyarakat.
Narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan adalah orang yang sedang menjalani masa hukuman hilang kemerdekaan karena tindak pidana dan dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Cahyo, 2015). Dalam konteks penelitian ini, Lembaga Pemasyarakatan yang menjadi objek penelitian ialah lembaga pemasyarakatan yang khusus menangani masalah perempuan, yaitu di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan.
2. Perempuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perempuan diartikan sebagai orang (manusia) yang memiliki alat reproduksi yaitu vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Perempuan memiliki sifat dasar yang melekat dalam dirinya yang dikontruksikan secara sosial dan budaya dalam masyarakat, seperti sifat lembut, penyayang, memiliki empati yang tinggi dan jarang melakukan tindak kejahatan. Menurut Hurwitz (dalam Sumarauw, 2013) adapun penyebab angka rata-rata kejahatan bagi wanita lebih rendah dari pada laki-laki disebabkan karena beberapa hal antara lain.
(1) Wanita secara fisik kurang kuat, ada kelainan-kelainan psikis yang khas.
(2) Terlindung oleh lingkungan karena tempat bekerja, di rumah, wanita kurang minum-minuman keras.
Namun bagaimana ketika ternyata terdapat sebagian besar perempuan melakukan kegiatan yang menyimpang di masyarakat, salah satunya kegiatan peredaran narkotika. Dalam konteks penelitian ini, perempuan yang dimaksud adalah perempuan yang menjadi narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan terkait dengan kasus peredaran narkotika.
3. Perilaku Menyimpang
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan dan atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Robert K. Merton (dalam Johnson, 1990) dalam teori
anominya, juga memberikan pandangan bahwa anomi dan perilaku menyimpang dalam masyarakat merupakan hasil dari ketegangan-ketegangan tertentu dalam struktur sosial. Khususnya ada ketidaksesuaian untuk kelompok-kelompok populasi tertentu antara tujuan-tujuan keberhasilan materiil dan okupasional yang ditekankan oleh kebudayaan, dan alat institusional yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan ini. Ketika beberapa dari kelompok itu tidak berhasil memperoleh alat-alat untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara yang diterima oleh kebudayaan, maka terjadilah ketidaksesuaian yang hasilnya berupa anomi dan pelbagai bentuk perilaku menyimpang. Menurut Kornblum (dalam Sunarto, 2004) di samping penyimpangan (deviance) dan penyimpang (deviant), dijumpai pula institusi menyimpang (deviant institution). Contohnya antara lain, kejahatan terorganisasi (organized crime). Kejahatan ini seperti, komplotan pencuri kendaraan bermotor, arisan seks, sindikat bordil, sindikat peredaran narkotika, dan sindikat pemalsu paspor. Dalam konteks penelitian ini, yang akan diteliti ialah salah satu bentuk perilaku menyimpang yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni mengenai kasus peredaran narkotika. Kasus peredaran narkotika pada saat sekarang telah merajalela di kehidupan masyarakat dan telah dinyatakan sebagai extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa. Selain kasus narkotika, ada kejahatan lain yang tergolong di dalamnya, yaitu kasus teroris dan kasus korupsi.
Namun dalam hal ini, yang menjadi fokus penelitian ialah kasus peredaran narkotika di masyarakat.
4. Stereotip
Menurut Narwoko dan Suyanto (2009) stereotip adalah pelabelan terhadap pihak atau kelompok tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan
menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan ini biasanya cenderung bersifat negatif dan merendahkan orang lain, khususnya kaum perempuan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Stereotip bisa dikemas dalam bentuk prasangka dan diskriminasi. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang dihasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya. Dalam konteks penelitian ini, stereotip yang dimaksud ialah pelabelan yang melekat pada perempuan yang berprofesi sebagai pengedar atau kurir narkoba, dimana tindakan ini dahulunya jarang dilakukan oleh kaum perempuan.
5. Narkoba
Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan obat atau bahan berbahaya (yang dikenal dengan istilah psikotropika). Dalam hal ini, pengertian narkoba adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk bahan atau obat yang masuk kategori berbahaya atau dilarang untuk digunakan, diproduksi, dipasok, diperjualbelikan, diedarkan, dan sebagainya di luar ketentuan hukum. Namun, dalam konteks penelitian ini, perempuan menyimpang dari aturan yang berlaku karena telah melakukan peredaran narkoba di masyarakat. Sebagai sanksi atau hukuman yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, siapa yang memperjualbelikan, mengedarkan akan dijerat dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukuman penjara. Maka dari itu, yang menjadi fokus dalam penelitian ini ialah mengenai kasus peredaran narkotika yang dilakukan di masyarakat oleh kaum perempuan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perempuan
Pengertian perempuan secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti
“tuan”, yaitu orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar.
Namun menurut Zaitunah Subhan (2004:19) kata perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari perempuan ke wanita. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sansekerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau merupakan objek seks.
Dalam kajian sosiologis, perempuan memiliki defenisi yang berbeda, baik dalam konsep sex (jenis kelamin) maupun gender. Kata sex berasal dari bahasa Inggris sex, berarti jenis kelamin (Jhon M. Echols dan Hasan Shadily,1983). Seks disebut juga jenis kelamin, merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Jika didefinisikan secara seks laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma. Sedangkan secara seks, perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (Sugihastuti & Sastriyani, 2007) Hal tersebut adalah ketentuan biologis yang secara permanen tidak berubah dan sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).
Selain daripada konsep seks (jenis kelamin), terdapat konsep Gender.
Gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan (Faisol, 2011). Gender adalah peran dan kedudukan seseorang yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan budaya karena seseorang lahir sebagai perempuan, dan karena seseorang lahir sebagai laki-laki. Jadi bayi yang baru lahir dengan seks tertentu itu dikonstruksikan, diberi pemahaman oleh masyarakat bahwa laki-laki itu akan menjadi kepala keluarga. Dia akan menjadi pencari nafkah, menjadi orang yang menentukan. Bagi perempuan sebaliknya. Dia akan diberi pemahaman oleh budaya dan masyarakat sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, sebagai orang yang dilindungi, dan sebagainya. Maka dari itu, peran gender dan kedudukan gender itu tidak universal, karena dia non kodrati, non biologis, dan berasal dari konstruksi sosial dan budaya (Sodik, 2004).
2.2 Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) atau yang dahulu lebih dikenal dengan istilah penjara adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana dan hilang kemerdekaan di LAPAS.
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Dalam Lembaga Pemasyarakatan, terdapat sistem pemasyarakatan yang diatur melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 pasal 2 yang menyatakan
bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 pasal 5, sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Pengayoman
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan c. Pendidikan
d. Pembimbingan
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang- orang tertentu.
Adapun fungsi dari adanya sistem pemasyarakatan tertera di dalam UU No.
12 Tahun 1995 pasal 3 yang menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
2.3 Stereotip
Kata stereotip berasal dari gabungan dua kata Yunani, yaitu stereos yang berarti padat-kaku dan typos yang bermakna model (Schneider, 2004). Menurut Sherif & Sherif (Sobur, 2009) stereotip adalah kesepakatan di antara anggota- anggota kelompok terhadap gambaran tentang kelompok lain berikut anggota- anggotanya. Kecenderungan dari seseorang atau kelompok untuk menampilkan gambar atau gagasan yang keliru (false idea). Dalam buku Trisakti Handayani &
Sugiarti (2008), dikatakan bahwa secara umum stereotip merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, dan biasanya pelabelan ini selalu berakibat ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Akibat adanya stereotip (pelabelan) ini banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah menjadi kodrat.
Adapun menurut A. Samovar & E. Porter (Mulyana, 2000) stereotip adalah persepsi atau kepercayaan yang dianut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif dan merendahkan orang lain.
Berbicara mengenai keyakinan, Myers (Hanurawan & Diponegoro, 2005) juga memberikan pendapatnya mengenai stereotip yaitu suatu bentuk keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu kelompok tentang atribut personal yang ada pada kelompok tertentu.
Menurut Johnson & Johnson (Saguni, 2014), stereotip dilestarikan dan dikukuhkan dalam empat cara :
1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagai tipikal sama.
3. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang- orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain.
2.4 Teori Tindakan Sosial
Aspek pemikiran Max Weber yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial (Johnson, 1988). Dalam memperkenalkan konsep pendekatan verstehen untuk memahami makna tindakan seseorang, berasumsi bahwa seseorang dalam bertindak tidak hanya sekedar melaksanakannya tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berfikir dan perilaku orang lain. Konsep pendekatan ini lebih mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive. Menurut Weber, istilah ini tidak hanya sekedar introspeksi yang
subyektif, tetapi sebaliknya, yang diminta adalah empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu.
Adapun yang merupakan ciri-ciri dari tindakan sosial yaitu sebagai berikut : 1. Jika tindakan manusia itu menurutaktornya mengandung makna
subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata 2. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya.
3. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak manapun
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Teori tindakan sosial Max Weber berorientasi pada motif dan tujuan pelaku.
Dengan menggunakan teori ini kita dapat memahami perilaku setiap individu maupun kelompok bahwa masing-masing memiliki motif dan tujuan yang berbeda terhadap sebuah tindakan yang dilakukan. Teori ini bisa digunakan untuk memahami tipe-tipe perilaku tindakan setiap individu maupun kelompok. Dengan memahami perilaku setiap individu maupun kelompok, sama halnya kita telah menghargai dan memahami alasan-alasan mereka dalam melakukan suatu tindakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Weber, cara terbaik untuk memahami berbagai kelompok adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang
menjadi ciri khasnya. Sehingga kita dapat memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut bertindak (Muhlis & Norkholis, 2016).
Adapun penjabaran mengenai keempat klasifikasi tipe tindakan menurut Doyle Paul Johson (1988), yaitu sebagai berikut.
1. Tindakan Rasionalitas Instrumental (Zwerk Rational)
Tipe tindakan ini memiliki tingkat rasionalitas yang paling tinggi, meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. Individu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih.
2. Tindakan Rasionalitas Nilai (Werk Rational)
Tipe tindakan ini memiliki sifat rasionalitas yang berorientasi bahwa alat- alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai- nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal ini di mana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih.
3. Tindakan Tradisional (Traditional Action)
Tindakan ini merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional.
Kalau seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa
sebagai tindakan tradisional. Individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu sudah menjadi kebiasaan baginya.
4. Tindakan Afektif (Affectual Action)
Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Tipe tindakan ini benar- benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya.
Weber melakukan klasifikasi dari empat tipe tindakan yang dibedakan dalam konteks motif para pelakunya yaitu: Tindakan tradisional, tindakan afektif, rasionalitas instrumental dan rasionalitas nilai (Jones, 2016).
Tabel 1. 2 Klasifikasi Tipe Tindakan Sosial Weber
Tindakan tradisional “Saya melakukan ini karena saya selalu melakukannya”
Tindakan afektif “Apa boleh buat saya lakukan”
Tindakan rasionalitas nilai “Yang saya tahu hanya melakukan ini”
Tindakan rasionalitas instrumental “Tindakan ini paling efisien untuk mencapai
tujuan ini, dan inilah cara terbaik untuk mencapainya”
Selain itu, ada juga penjelasan lain mengenai keempat klasifikasi tipe tindakan sosial Weber (Muhlis & Norkholis, 2016) yaitu sebagai berikut.
Pertama, Rasionalitas Instrumental, adalah tindakan yang ditujukan pada
pencapaian tujuan-tujuan yang secara rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri oleh aktor yang bersangkutan. Kedua, Rasionalitas Nilai, yaitu tindakan rasionalitas berdasarkan nilai, yang dilakukan untuk alasan-alasan dan tujuan- tujuan yang ada kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini secara personal tanpa memperhitungkan prospek-prospek yang ada kaitannya dengan berhasil atau gagalnya tindakan tersebut. Ketiga, Tindakan Tradisional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara turun-temurun.
Keempat, Tindakan Afektif, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi-kondisi
dan orientasi-orientasi emosional si aktor.
Dari keempat klasifikasi tipe tindakan tersebut, selanjutnya akan peneliti gunakan untuk menganalisis perilaku narapidana wanita agar dapat memahami motif dan tujuan dari para pelaku kasus narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan.
2.5 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti tentang kehidupan perempuan dalam penjara yakni :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Yunitri Sumarauw (2013), yang berjudul Narapidana Perempuan dalam Penjara. Hasil penelitian menyatakan bahwa Beberapa orang informan tidak menyadari mereka telah melakukan tindak pidana berupa pelanggaran hukum. Mereka beralasan
melanggar hukum. Seperti yang terjadi pada DS, dan MR. Pengetahuan mereka terhadap hukum pun ternyata minim, bahkan mereka baru mengetahui bahwa perbuatan mereka melanggar hukum setelah polisi menangkap mereka. Hal tersebut menganjurkan pada pihak penegak hukum agar lebih giat melaksanakan sosialisasi tentang masalah- masalah hukum. Pada dasarnya sebagai manusia sudah barang tentu memperlakukan manusia yang lain layaknya manusia, tidak terkecuali terhadap narapidana atau pun mantan narapidana. Sebagai perwujudannya bukan manusianya yang dihukum akan tetapi perbuatannya yang dihukum. Narapidana atau mantan narapidana juga mempunyai hak-hak yang layak sesuai dengan perikemanusiaan sesuai dengan pancasila yang tercantum pada sila kedua. Pembinaan pihak lapas menjadi hal yang utama sebagai perwujudan para narapidana dalam “membayar” kesalahan atau pelanggaran hukum yang mereka lakukan.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti PN Sihombing (2015), mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang berjudul Perempuan di Lembaga Pemasyarakatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ideal Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan narapidana dimana dalam proses pembinaan narapidana telah diatur oleh undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan hakim. Proses pembinaan narapidana dilakukan pihak-pihak yang berperan penting seperti instansi
penegak hukum (polisi, jaksa), instansi pendukung ( Depkes, Depnaker, Depag, Depdinas) dan, pihak swasta (LSM). Fakta aktual menunjukkan, Lembaga Pemasayarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana memiliki aturan sendiri dalam melakukan proses pembinaan.
Berkoeksistensinya antara hukum negara yang jelas mengatur proses pembinaan dan juga hukum yang dilahirkan sendiri pada saat proses pembinaan menjadi saling mengisi diantara hukum yang ada.
Konsekuensi dari hadirnya aturan hukum lain dalam prose pembinaan narapidana menimbulkan harmonisasi ketika hukum yang dimaknai dan direspon tersebut dalam interaksi proses pembinaan narapidana perempuan.
Pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan sebenarnya sudah dapat dikatakan berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Dapat dilihat dari tahapan dan bagaimana wujud pembinaan yang diberikan, seperti pelaksanaan ibadah, bimbingan rohani dan jasmani, pendidikan umum dan keterampilan, pelayanan kesehatan dan makanan, mendapatkan bahan bacaan dan siaran media serta kesempatan untuk menyampaikan keluhan. Walaupun masih ada wujud pembinaan yang dirasakan masih kurang sempurna, hal tersebut masih dapat dimaklumi, dikarenakan penghuni Lapas melebihi kapasitas dan tidak sebanding dengan jumlah petugas. Sehingga pembinaan tidak sama rata bagi semua narapidana.
Kurang maksimalnya komponen yang seharusnya dapat mendukung sistem pembinaan akan mengakibatkan tujuan pembinaan tidak tercapai
dengan baik. Komponen tersebut antara lain kurang profesional petugas dalam menjalankan tugas pembinaan, kurang pedulinya keluarga, begitu juga masyarakat luas akan program dan kebutuhan narapidana, kurangnya kesadaran narapidana itu sendiri dan juga dukungan prasarana.
Pembinaan yang telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan semaksimal mungkin pada kenyataannya belum membawa hasil yang cukup memuaskan, karena masih terdapatnya Narapidana yang setelah bebas menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan dan kembali ke masyarakat, masih melakukan tindakan pengulangan terhadap tindak pidana (residivis). Sehingga tidak menjamin keberhasilan dari program pembinaan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang merupakan salah satu cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan oleh suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah (Sugiyono, 2015). Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan dapat memperoleh data dan informasi dari apa yang diamati. Pendekatan deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan, meringkaskan, berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya untuk menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi atau fenomena tertentu (Bungin, 2007).
Metode penelitian ini merupakan cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman terhadap suatu permasalahan. Metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif ini diharapkan dapat menggambarkan (mendeskripsikan) secara tepat kehidupan para narapidana wanita kasus narkotika pasca ditetapkan sebagai terpidana.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan yang berada di Jalan Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Helvetia Tengah, Medan Helvetia, Kota Medan, Sumatera Utara. Adapun alasan peneliti dalam memiliki lokasi penelitian ini didasarkan pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan adalah satu-satunya lembaga pemasyarakatan wanita di Sumatera Utara. Lembaga Pemasyarakatan ini juga memiliki narapidana wanita dengan kasus narkotika yang cukup besar di Sumatera Utara.
3.3 Unit Analisis dan Informan
3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek dari keseluruhan unsur yang terdapat di dalamnya yang menjadi fokus dalam penelitian (Bungin, 2007). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah narapidana (warga binaan) yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan.
3.3.2 Informan
Menurut Moleong (2006), Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive, dimana hanya orang-orang atau pihak-pihak tertentu saja yang akan dijadikan tujuan peneliti sebagai sumber informasi.
Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis informan, yaitu informan kunci dan informan tambahan. Penentuan informan didasarkan pada karakteristik sebagai berikut :
1. Narapidana wanita kasus narkotika, baik residivis maupun tahanan 2. Narapidana yang dahulunya bekerja sebagai kurir/pengedar narkoba 3. Narapidana yang telah ditahan lebih kurang 1 tahun atau lebih 4. Narapidana yang berusia 20 - 45 tahun
5. Narapidana yang berstatus kawin/janda.
Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini ialah narapidana wanita kasus narkotika yang merupakan residivis dengan tindak kasus yang sama. Residivis dipilih dengan alasan agar peneliti mengetahui lebih mendalam isu stereotip yang dialami oleh perempuan. Sedangkan informan tambahan ialah narapidana wanita kasus narkotika yang sedang menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Tanjung Gusta, Medan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Data primer merupakan bahan mentah yang menjadi inti bagi pengembangan kegiatan penelitian yang sedang berlangsung. Data primer diperoleh langsung dari tatap muka dan wawancara dengan informan serta pengamatan selama di lapangan. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara :
1. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan seharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utama selain panca indera lainnya seperti telinga, hidung, mulut, dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatan melalui hasil kerja panca indera serta dibantu dengan panca indera lainnya (Bungin, 2007). Dalam hal ini penelitian dapat melihat secara langsung bagaimana kondisi kehidupan narapidana pasca ditetapkan sebagai terpidana dengan kasus narkotika.
2. Wawancara Mendalam
Wawancara merupakan proses menggali informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini, metode wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya (Moleong, 2006). Adapun wawancara mendalam akan dilakukan dengan informan yang telah sesuai dengan kriteria informan dalam penelitian ini agar dapat menggali secara lebih detail dan lebih mendalam tentang kehidupan narapidana pasca ditetapkan sebagai narapidana dan motif yang melatarbelakangi mereka terlibat dalam peredaran kasus narkotika.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menganalisis dokumen-dokumen baik dokumen tertulis, gambar, maupun elektronik. Dokumen-dokumen yang dihimpun dipilih sesuai dengan
tujuan dan fokus masalah. Metode dokumentasi digunakan untuk mendukung hasil wawancara dan observasi yang dilakukan.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data kedua setelah data primer, dengan kata lain data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data sekunder dapat diperoleh dari sumber yang berada di luar lapangan seperti buku-buku, tulisan ilmiah, laporan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Selain bahan bacaan cetak, media elektronik dan sumber online juga membantu dalam penelitian ini untuk menemukan teori dan penunjang terkait dengan masalah yang dikaji.
3.5 Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan suatu tahap pengkajian data yang mencakup perilaku objek, hasil wawancara, temuan di lapangan yang teridentifikasi dan bahan-bahan kepustakaan yang telah dikumpulkan. Interpretasi data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Setelah itu data yang diperoleh dipelajari dan ditelaah kembali untuk mencari jawaban dari pertanyaan rumusan masalah sehingga terbentuk solusi. Kemudian data yang sudah lengkap, direduksi dengan cara abstraksi.
Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci merujuk pada inti temuan data sehingga tetap pada fokus penelitian. Setelah itu, data tersebut disusun dan dikategorisasikan serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai metode penelitian yang telah ditetapkan.
3.6 Jadwal Kegiatan
No. Kegiatan Bulan
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun 1. Pra
Penelitian 2. Penyusunan
Proposal 3. Bimbingan
Proposal 4. Seminar
Proposal 5. Revisi
Proposal 6. Pengumpulan
Data 7. Penulisan
Hasil Laporan 8. Bimbingan
Skripsi 9. Seminar
Hasil 10. Revisi
Skripsi 11. Meja Hijau
3.7 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup keterbatasan dokumentasi penelitian, dimana dalam proses penelitian berlangsung, pihak petugas Lapas tidak mengizinkan adanya dokumentasi berupa handphone, perekam suara, atau alat elektronik lainnya ketika melakukan wawancara pada informan. Karena hal tersebut sudah menjadi larangan dan peraturan yang berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap pengunjung Lapas. Selain itu, keterbatasan waktu yang dimiliki oleh informan juga menjadi hambatan bagi peneliti karena harus melakukan wawancara secara cepat dan to the point. Mengingat peneliti hanya dapat
melakukan wawancara pada saat narapidana sedang bebas dari ruang penahanan atau blok.
Keterbatasan penelitian juga terjadi pada saat pemilihan informan penelitian. Karena tidak semua narapidana wanita kasus narkotika, khususnya pengedar narkoba bersedia untuk diwawancarai oleh peneliti. Selain hal tersebut, masalah-masalah yang dihadapi pada saat wawancara berlangsung masih dapat ditangani oleh peneliti dan tidak menjadi masalah yang terlalu sulit untuk dilakukan.
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1 Deskriptif Sejarah dan Profil Lembaga Pemasyarakatan
4.1.1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
Sebelum menganut sistem pemasyarakatan, di Indonesia dianut sistem pemidanaan yang dikenal dengan sistem kepenjaraan atau pidana pencabutan kemerdekaan. Sistem penjara ini memandang bahwa hukuman merupakan isolasi terhadap penjahat untuk melindungi masyarakat, lebih mengutamakan pembalasan atau memuaskan dendam masyarakat terhadap si penjahat, dan sama sekali tidak ada unsur pembinaan terhadap si pelaku kejahatan tersebut. Pencabutan kemerdekaan merupakan jenis pidana yang memegang peran penting selama beberapa abad terakhir ini yang lazim disebut pidana penjara.
Di Indonesia sistem pemenjaraan baru dikenal pada zaman penjajahan.
Pada zaman VOC pun belum dikenal penjara seperti sekarang, yang ada ialah rumah tahanan yang diperuntukkan bagi wanita tunasusila, pengangguran, gelandangan, pemabuk dan sebagainya. Diberikan pula pekerjaan dan pendidikan agama. Tetapi hanya ada di Batavia, terkenal dengan Spinhuis dan Rasphuis.
(Andi Hamzah, 1993:109).
Pola pembinaan narapidana mengalami pembaharuan sejak dikenal gagasan pemasyarakatan yang dikemukakan oleh DR. Sahardjo, S.H. pada pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963 dengan pidatonya “Pohon Beringin
Pengayoman”. Ia menggambarkan sebuah Pohon Beringin untuk melambangkan tugas hukum memberi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa tercipta dan terpelihara. Dalam pidatonya beliau memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut :
a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.
b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan. (Sahardjo dalam Muladi, 1992:73).
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang dimaksud pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pemidanaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Gagasan pemasyarakatan pada hakekatnya bersumber pada falsafah pembinaan narapidana yang dikemukakan oleh DR. Sahardjo, S.H. bahwa :
”…narapidana bukanlah orang hukuman melainkan orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan melalui bimbingan.” (Sahardjo dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, 1995:38).
Gagasan tentang pemasyarakatan ini mencapai puncaknya pada tanggal 27 April 1964 melalui Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang,
didahului oleh amanat Presiden Republik Indonesia, yang dibacakan oleh Astrawinata, S.H. yang menggantikan kedudukan Almarhum DR. Sahardjo, S.H.
sebagai Menteri Kehakiman. Istilah Kepenjaraan diganti dengan Pemasyarakatan, saat bersejarah itu akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pemasyarakatan (Simon &
Sunaryo, 2011). Konferensi tersebut berhasil merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana. Kesepuluh prinsip pemasyarakatan yang disepakati sebagai pedoman pembinaan terhadap narapidana di Indonesia tersebut, yaitu:
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat dari pada sebelum dijatuhi hukuman pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu, juga tidak diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja.
Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem Pemasyarakatan.
Perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1964 pembinaan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan mengalami perubahan secara mendasar, yaitu dari sistem pemenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem Pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 adalah tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Adapun yang menjadi hak-hak bagi narapidana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi :
1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya 2) Mendapatkan perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani 3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak
5) Menyampaikan keluhan
6) Mendapatkan bahan bacaan dan mengkuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
8) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya
9) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
11) Mendapatkan pembebasan bersyarat 12) Mendapatkan cuti menjelang bebas dan
13) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa hak narapidana yang dalam pemenuhannya melahirkan negosiasi dan memunculkan tatanan yang dinegosiasikan di antaranya: hak untuk mendapatkan makanan yang layak dan hak menyampaikan keluhan, hak mendapatkan remisi, Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), PB (Pembebasan Bersyarat), dan Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Selain perubahan sistem, perubahan yang terjadi juga mencakup perubahan institusi yang digunakan dalam pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Berdasarkan surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G 8/506/ tanggal 17 Juni 1964, Rumah Penjara dan Rumah Pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Dengan adanya sistem pemasyarakatan, tujuan pidana penjara tidak hanya lagi sekedar penjeraan
tetapi juga merupakan usaha rehabilitasi dan resosialisasi Warga Binaan Pemasyarakatan. Warga Binaan Pemasyarakatan diayomi melalui pembinaan, bimbingan dan diberi keterampilan sebagai bekal hidup agar dapat menjadi warga yang berguna dalam masyarakat (Prihartanti, 2006).
Dalam sistem pemasyarakatan, pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh para pembina, melalui tahap-tahap yaitu: administrasi/orientasi, pembinaan dan asimilasi.
1. Tahap administrasi dan orientasi, meliputi pengenalan terhadap suasana lembaga, petugas-petugas lembaga/pembina, tata tertib/disiplin, hak dan kewajiban selama berada didalam lembaga.
2. Tahap pembinaan, pada tahap ini dilakukan pengawasan dilakukan sangat ketat dengan tujuan agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peraturan-peraturan yang berlaku terutama dalam hal perilaku.
3. Tahap asimilasi, pada tahap ini mulai diperkenalkan warga binaan pemasyarakatan dengan jati diri (kecerdasan, mental dan iman) secara lebih mendalam pada masyarakat sekeliling lembaga melalui olaraga, pramuka dan lain-alinnya.
4. Tahap integrasi, bagi warga binaan pemasyarakatan yang betul-betul sadar dan berkelakuan baik berdasarkan pengamatan pemasyarakatan dapat mengusulkan cuti biasa, cuti menjelang dan pembebasan bersyarat.
Sedangkan rung lingkup pembinaan dapat dibagi dalam 2 bidang yakni:
1) Pembinaan kepribadian yang meliputi :
b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara c. Pembinaan Kemampuan Intelektual (kecerdasan) d. Pembinaan Kesadaran Hukum
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat 2) Pembinaan Kemandirian yang meliputi :
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga dan sebagainya
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masingmasing, dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakatnya itu. misalnya kemampuan dibidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan keperkumpulan seniman.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tidak hanya memperhatikan kesalahan narapidana semata, melainkan juga memperhatikan ke masa depan mereka setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
4.1.2. Tujuan dan Fungsi Sistem Pemasyarakatan
Adapun tujuan dari penyelenggaraan sistem pemasyarakatan tercantum pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 2 yang berbunyi :
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Selain itu, fungsi dari penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dapat ditemukan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 3 yang berbunyi :
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Berdasarkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang pemasyarakatan dapat diketahui bahwa tujuan dan fungsi dari sistem pemasyarakatan adalah untuk mengembalikan warga binaan menjadi warga yang baik dapat diterima kembali di dalam masyarakat.
4.1.3. Asas Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan
Asas penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dapat ditemukan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 5. Adapun penjabarannya menurut Marpaung (2017) yaitu sebagai berikut.
1. Pengayoman
Pengayoman adalah perlakuan kepada warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari pengulangan perbuatan pidana oleh warga binaan dengan cara memberikan pembekalan melalui proses
2. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan
Seluruh warga binaan di lembaga pemasyarakatan diperlakukan dan dilayani sama tanpa membeda-bedakan latar belakang orang (non diskriminasi).
3. Pendidikan dan Pembimbingan
Pelayanan dibidang ini dilandasi dengan jiwa kekeluarga, budi pekerti, pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah dan keterampilan dengan berlandaskan pancasila.
4. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Asas ini dijelaskan sebagai bentuk perlakukan kepada warga binaan yang dianggap orang yang “tersesat’’ tetapi harus diperlakukan sebagai manusia.
5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
Warga binaan hanya ditempatkan sementara waktu di lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan rehabilitas dari negara.
6. Terjamin hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
7. Adanya upaya didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan keterasingan dengan cara kunjungan, hiburan ke dalam lapas, serta berkumpul dengan sahabat maupun keluarga.
Asas-asas pembinaan tersebut pada prinsipnya mencakup 3 (tiga) pikiran pemasyarakatan yaitu sebagai tujuan, proses dan metode antara lain :