• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggali. Menemukan Roh. Pancasila Secara Kontekstual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Menggali. Menemukan Roh. Pancasila Secara Kontekstual"

Copied!
292
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Menggali

Menemukan Roh

Pancasila Secara Kontekstual

&

(3)

ii

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Pasal 1:

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasakan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9:

2. Pencipta atau Pengarang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan a.penerbitan Ciptaan; b.Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c.Penerjemahan Ciptaan; d.Pengadaptasan, pengaransemen, atau pentrasformasian Ciptaan; e.Pendistribusian Ciptaan atau salinan; f.Pertunjukan Ciptaan; g.Pengumuman Ciptaan; h.Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd

Menggali

Menemukan Roh

Pancasila Secara Kontekstual

Penerbit Lakeisha 2020

&

(5)

iv

Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual

Penulis:

I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd.

Hak Cipta© 2020 pada Penulis

Editor :

Andriyanto, M.Pd.

Layout : Yusuf Deni Kristanto, S.Pd.

Design Cover : Tim Lakeisha Cetak I Oktober 2020

15,5 cm × 23 cm, 281 Halaman ISBN: 978-623-6573-72-3

Diterbitkan oleh Penerbit Lakeisha (Anggota IKAPI No.181/JTE/2019)

Redaksi

Jl. Jatinom Boyolali, Srikaton, Rt.003, Rw.001, Pucangmiliran, Tulung, Klaten, Jawa Tengah

Hp. 08989880852,Email: penerbit_lakeisha@yahoo.com Website : www.penerbitlakeisha.com

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

(6)

PRAKATA

uji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkan-Nya, sehingga tulisan sederhana yang berjudul ―Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual‖ dapat diselesaikan dan berada di tangan pembaca yang budiman.

Kehadiran buku ini dimaksudkan sebagai referensi yang memudahkan mahasiswa dalam mencerna materi kuliah Pendidikan Pancasila yang penulis ampu. Karena berdasarkan pengalaman penulis selama ini, mahasiswa menemui berbagai kendala dalam memahami Pancasila. Adapun faktor utama yang ditenggarai menghambat dan mempersulit struktur kognitif mahasiswa dalam meresapi Pancasila, yaitu materinya yang kurang kontekstual dan terlampau filosofis. Dua faktor tersebut tanpa disadari telah mengaburkan pandangan obyektif mahasiswa terhadap kelebihan Pancasila dibanding ideologi lainnya. Hal itu berimplikasi negatif pada persepsi mahasiswa, yang merasa tidak memperoleh manfaat apapun setelah mempelajari Pancasila. Parahnya lagi, mahasiswa keliru menginternalisasikan Pancasila dalam kepribadiannya.

Pemahaman yang keliru tentunya mengantarkan mahasiswa pada aras implementasi dan aktualisasi Pancasila yang gagal pula. Pada tataran praktisnya, Pancasila tidak termaknai dengan baik dalam kehidupan mahasiswa. Kegagalan mahasiswa dalam meng- integrasikan Pancasila dengan pola pikir, sikap, dan perilakunya menandakan telah terjadinya pergeseran orientasi yang mengarah pada kemunduran peradaban bangsa Indonesia. Tidak dapat dibayangkan betapa mengerikannya kondisi Indonesia, bila

(7)

vi

Pancasila yang notabene ideologi bangsa tidak mengakar kuat sebagai fondasi intelektual generasi penerusnya.

Sebagai langkah antisipatif menghadapi problematika futuristik tersebut, penulis berusaha menuangkan pemikiran ideologis dalam bentuk buku kecil yang sangat sederhana ini.

Penggalian dan penemuan roh Pancasila dalam buku ini dilakukan dengan mengedepankan/mengetengahkan kondisi bangsa Indonesia yang secara sosiologis dan kontekstual begitu majemuk.

Mahasiswa harus menginsapi, bahwa kemajemukan bangsa Indonesia merupakan kerangka berpikir the founding father dalam menggali, merumuskan, dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Guna memperkuat dalil argumentasi tersebut, penulis berupaya menggali dan menemukan roh Pancasila dengan menggunakan metode historis-empiris sebagai pisau analisisnya.

Konflik ideologis yang mengiringi dan mewarnai perumusan Pancasila menjadi starting point bagi penulis dalam menggali dan menemukan roh Pancasila. Mengingat selama ini, pembahasan Pancasila hanya berkutat secara filosofis tanpa mempertimbangkan adanya konflik ideologis sebagai variabel kontekstual yang mendampingi perumusannya. Mengawali pembahasan, penulis mencoba menelusuri jejak perumusan Pancasila, terutama dari sisi perdebatan ideologis dalam sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. Dengan mengikuti metode the founding father dalam menggali, merumuskan, dan menetapkan dasar negara, penulis pun dapat menarik sebuah kesimpulan logis tentang apa yang disebut dengan roh Pancasila. Untuk membuktikan akuratnya metode penggalian dan penemuan roh Pancasila dalam buku ini, penulis berusaha menghadirkan, menafsirkan, dan menarasikan fakta-fakta historis dari perjalanan singkat Pancasila pasca ditetapkan sebagai dasar negara dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945.

Dalam Bab 1 buku ini, penulis berupaya menyajikan pendahuluan yang di dalamnya memuat pembahasan mengenai latar belakang tentang pentingnya mencari alasan rasional mengapa

(8)

Pancasila masih bertahan hingga kini di Indonesia. Di samping itu, juga dibahas sepintas lalu sejarah penjajahan di Indonesia.

Bagaimana kondisi bangsa Indonesia di bawah cengkeraman penjajah menjadi persoalan hangat dalam tulisan ini. Di dalamnya disinggung pula upaya bangsa Indonesia untuk membebaskan dirinya dari rantai belenggu penjajah, termasuk dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI). Secara historis, dua badan itu memiliki kedudukan penting dalam menggali, merumuskan, dan mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka. Pada Bab II buku ini, yang berjudul perjalanan singkat Pancasila, di dalamnya menyinggung tentang petualangan ideologis bangsa Indonesia setelah ditetapkannya Pancasila dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Beberapa kisah ideologis bangsa Indonesia tertuang dalam perdebatan sengit persidangan Konstituante, Pemberontakan G 30S/PKI, Pancasila di era Orde Baru, Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pencabutan Ketetapan MPR No. II Tahun 1978, dan Hizbut Tarhrir Indonesia juga menjadi bagian pembahasan di dalamnya.

Sedangkan untuk Bab III buku ini, yang berjudul Pancasila secara kontekstual, penulis berupaya memaparkan hasil penggalian dan penemuan roh Pancasila, yang tidak lain adalah unsur-unsur yang ikut mengkonstruksi atau membentuk Pancasila seperti permasalahan, Ide/pemikiran, gagasan, penerimaan, kesepakatan, kebenaran, dan kedamaian.

Banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik secara moril maupun materil dalam merampungkan tulisan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr. Ir. I Gede Sedana, M.Sc., MMA selaku Rektor Universitas Dwijendra yang selalu memotivasi kami untuk selalu produktif menghasilkan karya ilmiah. Di samping itu, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs. I Made Kartika, M.Si

(9)

viii

selaku Dekan FKIP Universitas Dwijendra yang senantiasa mendorong penulis untuk mempublikasikan tulisan ini. Rasa terima kasih yang mendalam penulis berikan kepada rekan-rekan dosen yang selama ini telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi informasi dan berdiskusi terkait Pancasila. Akhir kata ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Ni Wayan Suarniti, SS., M.Hum terkasih yang selalu setia menemani dan memberi motivasi, bahkan mendukung secara materiil, sehingga tulisan ini dapat diterbitkan.

Semoga buku referensi Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual ini bermanfaat bagi mahasiswa dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya untuk mengembangkan Pendidikan Pancasila di Indonesia. Penulis menyadari, bahwa buku ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk kesempurnaan buku ini dimasa mendatang, saran dan masukan yang konstruktif dari pembaca budiman sangat diharapkan. Terima kasih.

Denpasar, September 2020

I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd

(10)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Sejarah Penjajahan Di Indonesia ... 11

C. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ... 18

D. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ... 29

BAB II PERJALANAN SINGKAT PANCASILA ... 39

A. Persidangan Konstituante. ... 39

B. Pemberontakan G 30/S PKI ... 51

C. Pancasila Di Era Orde Baru ... 70

D. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ... 99

E. Pencabutan Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 ... 115

F. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ... 122

BAB III PANCASILA SECARA KONTEKSTUAL ... 137

A. Permasalahan ... 143

B. Ide/Pemikiran ... 153

C. Gagasan ... 165

D. Penerimaan ... 178

E. Kesepakatan ... 191

(11)

x

F. Kebenaran. ... 201

G. Kedamaian ... 212

DAFTAR PUSTAKA ... 239

BIODATA PENULIS ... 280

(12)

B AB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah sekian lama tenggelam, pasca reformasi 21 Mei 1998 bergulir, diskursus seputar Pancasila kembali mengemuka1 dan meramaikan wacana publik di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Tidak sedikit gagasan ideologis yang dilemparkan ke masyarakat mengarah pada upaya menggugat hakikat fungsionalisme Pancasila. Belum tercapainya cita-cita dan tujuan negara, telah menjadi dalih manipulatif segelintir orang untuk kembali menyinggung dan mempersoalkan relevansi Pancasila bagi bangsa Indonesia.2 Singkat cerita peran strategis Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara mulai diragukan,3 dan dikerdilkan. Tidak mengherankan bila eksistensi Pancasila mulai terancam di era reformasi.4 Berbagai narasi kontraproduktif secara terstruktur, sistematis, dan masif mulai dirancang, disebarkan, dan dipropagandakan dengan tujuan mendemoralisasi dan mendelegitimasi Pancasila dari hati rakyat

1 Muhammad Aziz Hakim, “Repositioning Pancasila Dalam Pergulatan Ideologi-Ideologi Gerakan di Indonesia Pasca-Reformasi”, Kontemplasi, Vol. 4 No. 1 (Agustus, 2016), hlm. 132.

2 Bandingkan dengan tulisan Wildan Sena Utama, “Ulasan Buku Pancasila: Sebuah Monumen atau Leitstar Dinamis”, Lembaran Sejarah, Vol. 11 No. 1 (April, 2014), hlm. 101.

3 Bandingkan dengan tulisan Anas Saidi, “Relasi Pancasila, Agama, Dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi”, Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 11 No. 1 (Tahun 2009), hlm. 28.

4 Natal Kristiano, “Penguatan Ideologi DI Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Semarang”, Harmoni, Vol. 2 No. 2 (2017).

(13)

2 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

Indonesia. Tudingan sinis membabi buta atas gagalnya capaian kehidupan bernegara selalu saja ditujukan dan dialamatkan langsung kepada Pancasila. Pancasila terus-menerus dijerat dan dijegal, serta dijadikan kambing hitam5 oleh berbagai pihak atas kompleksitas persoalan yang tengah menghimpit Indonesia.

Pancasila dianggap sebagai penghambat kemajuan Indonesia dalam usaha menggapai tujuan yang dicita-citakannya. Bahkan lebih ekstrim lagi ada yang menuduh tanpa dasar, bahwa Pancasila inilah yang mengantar (Indonesia) ke kemerosotan dan krisis multidimensional.6 Pancasila dinilai sebagai ideologi usang yang terbukti gagal total dalam menyediakan jaminan apapun bagi kehidupan rakyat Indonesia, baik urusan didunia maupun diakherat.

Pancasila disebut sebagai ideologi kufur yang harus ditolak karena keburukan Pancasila di dalam dirinya sendiri.7

Dengan bermodalkan keyakinan itu, sekelompok orang yang sejak awal memang menolak Pancasila berupaya keras menyuarakan dan menggaungkan penggantian ideologi tersebut.

Tanpa keraguan sedikit pun, kelompok anti Pancasila ini berani secara terbuka menyebarkan gagasan dan pahamnya di depan publik. Ide khilafah menjadi santer diisukan sebagai upaya yang dianggap dapat menggantikan dasar negara dan model berbangsa.8 Sebut saja Organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang secara yuridis telah dicabut status badan hukumnya (dibubarkan) oleh Presiden melalui Menhumkam, karena pahamnya dinilai

5 Lihat Taniredja dkk, Paradigma Terbaru Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa (Bandung: Alfabeta, 2017), hlm. 4.

6 Soeprapto, “Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara”. Jurnal Ketahanan Nasional, X (2), (Agustus, 2005), hlm. 17.

7 Syaiful Arif, “Kontradiksi Pandangan HTI Atas Pancasila”, Jurnal Keamanan Nasional, Vol. II No. 1 (2006),hlm. 22.

8 Baidhowi, “Khilafah Dalam Konteks Negara Pancasila”, Seminar Hukum Nasional, Vol. 2 No. 1 (2016), hlm. 499.

(14)

berseberangan dan bertolak belakang dengan Pancasila.9 HTI yang notabene hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang bermodalkan doktrin ideologi kanannya berusaha mengusik, merongrong, dan mengubah, serta menggusur Pancasila10 dengan sistem dan ideologi khilafah.11 Strategi HTI untuk menggerogoti dan mendegradasi legitimasi Pancasila adalah dengan mencuci atau meracuni pikiran rakyat Indonesia melalui dalil agama yang dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga tampak berseberangan dengan kontekstualitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultur ini. Beragam kelemahan dan kekeliruan pemerintah dalam mengurus negara menjadi alat propaganda yang efektif dan senjata pamungkas (ultimatum remidium) yang ampuh bagi HTI untuk mereduksi kepercayaan rakyat Indonesia mengenai kesaktian Pancasila. Adapun desain klasik HTI yang dilancarkan untuk memuluskan niat buruknya terhadap Pancasila ialah dengan me- nampung, mengolah, dan memodifikasi segala bentuk kekecewaan/

ketidakpuasan rakyat Indonesia kemudian mempertautkannya dengan keberadaan dasar negara tersebut. Tidak ketinggalan pula, kemunduran sistem politik demokrasi Indonesia pun selalu ditali temalikan dengan Pancasila.

Tetapi apakah masuk diakal segala tuduhan negatif yang diarahkan kepada Pancasila oleh kelompok-kelompok yang memang sejak semula sangat tidak mengharapkan keberadaannya.

9 Pencabutan status badan hukum itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Pencabutan dilakukan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

10 Torkis Lubis, https://jurnalintelijen.net/2018/05/16/tantangan- implementasi-pancasila/ (Kamis, 17 Oktober 2019, 16:42).

11 Komarudin Hidayat, Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, Jurnal Sosioteknologi, Vol. 14 No. 2 (Agustus, 2014), hlm. 201.

(15)

4 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

Sebab pada hakekatnya tidak ada yang salah dengan Pancasila.12 Karena tidak adil rasanya bilamana setiap musibah yang menimpa negeri ini selalu saja dikait-kaitkan dengan Pancasila. Terlebih lagi, bahwa Pancasila sebagai dasar negara tentunya mengandung keistimewaan tersendiri bila disandingkan dan dikomparasikan dengan ideologi lainnya. Terbukti Pancasila hingga detik ini masih tetap berdiri tegak dan kokoh sebagai landasan fundamental bangsa Indonesia. Apalagi jika dikalkulasikan kembali sejak disahkan pada 18 Agustus 1945, maka Pancasila sudah lebih dari tujuh dasa warsa menjadi pijakan ideologis bagi kehidupan rakyat Indonesia.13 Seandainya Pancasila tidak memiliki kelebihan atau keunggulan tersendiri bagi bangsa Indonesia, mustahil ideologi tersebut mendapat tempat di hati para pemimpin bangsa ini,14 sehingga akhirnya dipilih dan ditetapkan sebagai dasar negara. Lebih-lebih perjuangan para pendiri bangsa dalam membidani kelahiran Pancasila bukanlah perkara yang mudah. Pancasila mampu menjadi dasar falsafah negara yang kokoh seperti sekarang ini, karena telah dimatangkan melalui perdebatan ideologis yang begitu sengit diantara tokoh bangsa Indonesia. Para pendahulu negara (the founding people) harus rela bersitegang dan menguras energinya hanya demi memperjuangkan atau memenangkan Pancasila supaya bisa berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal ketika itu masih tersedia alternatif ideologi berbeda selain Pancasila yang bisa saja dipilih dan digunakan pendiri bangsa sebagai fondasi bagi

12 Ujianto Singgih Prayitno, “Pancasila Dan Perubahan Sosial: Perspektif Individu Dan Struktur Dalam Dinamika Interaksi Sosial”, Aspirasi, Vol. 5 No. 2 (Desember, 2014), hlm. 107.

13 I Gusti Ngurah Santika dkk, “Membangun Kesadaran Integratif Bangsa Indonesia Melalui Refleksi Perjalanan Historis Pancasila Dalam Perspektif Konflik Ideologis”, JED (Jurnal Etika Demokrasi) PPKn, Vo. 4 No. 2 (Juni, 2009), hlm. 90.

14 Rachman Arief dkk,” Wacana Pancasila Dalam Era Reformasi (Studi Kebudayaan Terhadap Pasang Surut Wacana Pancasila Dalam Kontestasi Kehidupan Sosial dan Politik) “, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 1 No. 2 (Desember, 2012), hlm. 21.

(16)

Indonesia merdeka. Namun demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa, Pancasila sebagai hasil pergulatan pemikiran ideologis the founding people akhirnya bisa diterima, disepakati, dan disahkan PPKI sebagai landasan negara Indonesia. Oleh karena itu, dijadikannya lima poin Pancasila sebagai landasan bernegara bukan tanpa alasan.15

Dengan demikian Pancasila yang disepakati oleh the founding people sebagai dasar negara Indonesia jelaslah bukan ideologi sembarangan. Terlebih lagi, karena secara historis setiap kali ada upaya dari kelompok-kelompok tertentu yang ingin menyenggol, menyingkirkan, dan menghapuskan Pancasila, selalu saja dihadapkan pada kegagalan. Pancasila terbukti sanggup bertahan dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang berusaha mempersoalkan dan mengganggu eksistensinya.16 Meskipun gelombang konflik yang hendak menghempaskan Pancasila bukan hanya datang dari jalur konstitusional semata. Sebab ditinjau dari perspektif historis- empiris upaya paksa pendongkelan Pancasila juga dilancarkan dengan jalan inkonstitusional yaitu mengangkat senjata atau subversif (pemberontakan). Persidangan Konstituante dan Perubahan UUD 1945 merupakan dua contoh dari puncak ujian konstitusional yang berhasil dijawab dan dilalui Pancasila dengan penuh ketegangan politik. Belum lagi munculnya gerakan NII/TII dan pecahnya tragedi berdarah nasional G 30 S/PKI yang dikenal luas sebagai perjuangan ekstra konstitusional untuk menjatuhkan wibawa pemerintah Indonesia, sekaligus juga mengganti Pancasila

15 Meinarno, Eko A dan Sri Fatmawati Mashoedi, “Pembuktian Kekuatan Hubungan Antara Nilai-Nilai Pancasila Dengan Kewarganegaraan”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 1 No. 1 (Juni, 2016), hlm. 13.

16 Bandingkan dengan tulisan Ida Bagus Brata dan Ida Bagus Nyoman Wartha, “Lahirnya Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa”, Jurnal Santiaji Pendidikan, Vol. 7 No. 1 (Januari, 2017), hlm. 121.

(17)

6 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

dengan ideologi lainnya.17 Perlu dipahami bersama, bahwa kekalahan kelompok perongrong Pancasila ialah karena perjuangannya tidak pernah mendapatkan restu dan dukungan penuh dari seluruh rakyat Indonesia. Sebab setiap ada gerakan yang berusaha menjungkirbalikan Pancasila selalu saja berhadap- hadapan dan berbenturan langsung dengan penjaganya, yaitu rakyat Indonesia. Sangat wajar bila kelompok anti Pancasila tersebut tidak pernah berhasil dalam memuluskan niat buruknya. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari "subjek atau pendukung dari isi sila-sila Pancasila adalah manusia Indonesia, sebagai manusia18, yang secara politik dapat disebut rakyat. Pengalaman sejarah membuktikan, bahwa gelombang dukungan rakyat Indonesia terhadap Pancasila datang berduyun-duyun tanpa syarat dan tidak mungkin bisa dibendung lagi oleh kekuatan apapun. Rakyat Indonesia tidak segan-segan mengorbankan jiwa dan raganya hanya demi menjaga, membela, dan mempertahankan Pancasila dari ulah jahat sekelompok orang yang ingin memaksakan kemauannya untuk mengganti ideologi tersebut. Dengan demikian, bangsa Indonesia dalam hal ini merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila.19

Dengan mencermati pemaparan di atas jelas sekali, bahwa Pancasila memiliki kelebihan bila dikomparasikan dengan ideologi lainnya. Sayangnya hingga saat ini belum ada kajian ilmiah yang kontekstual untuk bisa menyingkap dan mengungkap rahasia dibalik keunggulan Pancasila. Kajian ilmiah yang dilakukan selama ini belumlah mampu menyelami dan menyentuh ranah terdalam

17 Lihat , Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Glossarium Sekitar Pancasila, (Surabaya:Usaha Nasional, 1981), hlm. 77.

18 Ali Mudhofir, “Pancasila Sebagai Sistem Filsafat”, https://

jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31636/19170 (Kamis, 17 Oktober 2019, 14;26).

19 Kaelan, “Kesatuan Sila-Sila Pancasila”, https://journal.ugm.ac.id/

wisdom/article/view/31640/19174 (Kamis, 17 Oktober 2019, 15;02).

(18)

dari Pancasila. Otomatis rasionalisasi atas eksistensi Pancasila mengapa sampai sekarang terus bertahan sebagai dasar negara Indonesia masih tetap menjadi mitos belaka yang tidak akan pernah terungkap kebenarannya. Selama itu, bermunculan beragam persoalan filosofis tentang keberadaan Pancasila yang seharusnya dicarikan jawaban logis dan kritis oleh bangsa Indonesia ke depannya. Karena apabila bangsa ini gagal dalam menghadirkan dan mengetengahkan rasionalitas tentang vitalnya Pancasila bagi eksistensinya, maka jangan kaget bila masih banyak warganya sendiri yang meragukan kesaktian ideologinya. Terbukti dengan sikap atau perilaku antipati terhadap Pancasila belakangan ini semakin menyeruak, tumbuh subur, dan berkembang luas, merasuki segala lapisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bukan hanya masyarakat sipil, penolakan terhadap Pancasila justru merebak dan menjamur dikalangan Aparatur Sipil Negara. Fenomena ideologis tersebut tidak mungkin dapat dipisah- kan dengan kegagalan bangsa Indonesia dalam menyuguhkan dan menyajikan alasan rasional Pancasila mengapa ditetapkan oleh the founding people sebagai dasar negara. Bahkan sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang belum benar-benar memahami kenapa Pancasila selalu berhasil keluar dari berbagai terjangan konflik ideologis yang hendak menghapuskannya.

Sebenarnya terdapat beragam justifikasi ideologis yang coba dikonstruksi bangsa Indonesia untuk memperkuat dan memperkokoh kelestarian Pancasila. Kesepakatan atau konsensus the founding people merupakan landasan rasional yang santer terdengar mengapa Pancasila tidak boleh diubah.20 Meskipun dapat diterima dari perspektif historis, tetapi argumentasi tersebut masih kurang meyakinkan bila dikaji dari sudut pandang futuristik ataupun masa depan bangsa Indonesia. Adapun kekhawatiran

20 A. Aco Agus, “Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka Di Era Reformasi”, Jurnal office, Vol. 2 No. 2 (2016) hlm. 236.

(19)

8 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

mendasar tentang lemahnya pijakan berpikir tersebut adalah rendahnya rasa memiliki (sense of belonging) Pancasila, terutama generasi penerus bangsa. Karena Pancasila hanya dianggap sebagai kesepakatan atau konsensus segelintir orang di masa lalu, yang bisa jadi sama sekali tidak lagi mewakili kehendaknya di masa mendatang. Apalagi rakyat Indonesia tidak seluruhnya terlibat secara langsung dalam proses penggalian, perumusan, dan perdebatan, serta pengesahan Pancasila. Jadi secara moral bisa saja seseorang mengelak, menampikan, dan merasa tidak terikat lagi dengan apa yang sudah dikompromikan atau disepakati the founding people sebagai dasar negara Indonesia. Pendek kata, bahwa dengan gampangnya orang-orang munafik seperti ini menepis, menghindar, dan menolak hasil konsensus pendiri bangsa yang melahirkan Pancasila. Dengan begitu, jawaban logis analitis terkait legitimasi keberlangsungan Pancasila bagi bangsa Indonesia yang digantungkan pada konsensus the founding people merupakan kekeliruan kolektif yang bersifat fatal. Karena dengan meng- gantungkan kelestarian Pancasila pada kesepakatan the founding people tanpa disadari bangsa Indonesia telah menampikan dan mengesampingkan kesaktian ideologinya sendiri. Sebab yang lebih ditonjolkan dari Pancasila adalah the founding people sebagai penggali, penggagas, dan peramu, serta penciptanya. Jadi jangan kaget bila setelah Pancasila diwariskan kepada generasi penerus bangsa ini, ternyata ada pihak-pihak yang merasa tidak puas, kemudian kembali mempersoalkan dan menggugat kedudukannya.

Oleh karena itu, sudah semestinya yang ditampilkan dan ditonjolkan kehadapan publik ialah kandungan istimewa Pancasila sebagai produk ideologis pendiri bangsa yang secara kontekstual tidak dimiliki ideologi manapun di dunia ini.

Berlainan dengan alasan di atas, bahwa sebagian rakyat menilai kebertahanan Pancasila di Indonesia, karena fungsinya

(20)

sebagai pemersatu atau pengikat bangsa.21 Tidak mengherankan bila banyak yang berargumentasi tanpa Pancasila Indonesia tidak akan ada.22 Logika ini pun seakan-akan menjadi sebuah kebenaran yang tidak bisa digangggu gugat pada masa Orde Baru. Padahal menurut penulis, preposisi tersebut belumlah memuaskan dan kurang mampu memberikan sandaran berpikir logis menyangkut eksistensi Pancasila. Karena bila alasan tersebut dihadapkan dan didalami kembali dengan pertanyaan filosofis lainnya, maka lahirlah persoalan baru yang membutuhkan jawaban lebih kritis lagi. Misalnya hingga saat ini belum pernah terdengar uraian penjelasan yang lebih progresif dan revolusioner mengenai rasionalitas mengapa Pancasila mampu mengintegrasikan berbagai bangsa dalam arti sosiologis menjadi bangsa dalam arti politis, padahal secara kontekstual bangsa Indonesia sangat beraneka- ragam. Seandainya pun disanggah dengan pemikiran sederhana lainnya, bahwa keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur ini, karena nilai- nilainya bisa diterima dan disepakati, maka seketika muncul pertanyaan fundamental yang membutuhkan jawaban baru lagi.

Misalnya mengapa Pancasila yang dirumuskan pendiri bangsa bisa diterima dan disepakati secara kolektif oleh seluruh rakyat Indonesia. Jadi kebenaran rasionalitas atas eksistensi Pancasila pada gilirannya terus-menerus diuji validitasnya, sehingga melahirkan permasalahan baru yang harus dicarikan solusinya secara kontekstual. Dengan metode seperti itu diharapkan mampu menemukan keampuhan Pancasila bila dibandingkan ideologi

21 Hafidh Asrom, ”Pancasila, Kearifan Lokal, Dan Pembangunan Daerah”, Jurnal Filsafat, Vol.17, No. 2, (Agustus, 2007), hlm. 212.

22 Chairiyah, “Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Pendidikan Karakter”, Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, Vol. 1 No. 1 (September, 2014), hlm. 57.

(21)

10 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

lainnya. Hanya dengan cara itulah bisa dirasakan relevansinya...23 bagi Indonesia. Karena tanpa itu, berbagai pembenaran yang sengaja proyeksikan/diinjeksikan terhadap Pancasila akan sangat mudah dibantah dan disanggah oleh orang yang tidak sepaham dengannya.

Argumentasi lainnya yang juga bermaksud memperkokoh pijakan legitimasi atas eksistensi Pancasila coba dilakukan melalui sudut pandang fungsionalismenya bagi Indonesia. Dalam Pancasila telah tersusun satu pola yang dapat mewadahi semua persoalan kehidupan.24 Sudah sewajarnya bila Pancasila dinilai oleh bangsa Indonesia sebagai rujukan normatif dalam pemecahan problematika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sesungguh- nya tidak ada yang keliru dengan penempatan atau peletakan Pancasila sebagai acuan pemecahan permasalahan bangsa Indonesia.25 Tetapi sayangnya, sampai saat ini belum ada yang berhasil mengoperasionalkan penjelasan mengapa Pancasila dikatakan sebagai resolusi atas berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena hingga kini belum ada penjelasan lebih rinci yang benar-benar mampu membuka cakrawala berpikir kita secara terang benderang mengenai peran detail Pancasila dalam pemecahan persoalan kehidupan berbangsa. Sebab se- panjang diakuinya Pancasila sebagai rujukan normatif pemecahan permasalahan bangsa, sampai saat ini belum juga ada penjelasan yang mampu mendeskripsikan bagaimana operasionalisasinya dalam konteks mengurai problematika. Oleh sebab itu, Pancasila

23 Purwo Santoso, “Terkelupasnya Pancasila dari Praktek Pemerintahan:

Refleksi Dan Agenda Aksi”, Jurnal Ketahanan Nasional, XII No. 2 (Agustus, 2007).

24 Budisutrisna, “Teori Kebenaran Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu”, Jurnal Filsafat, Vol. 39 No. 1 (April, 2006), hlm. 65.

25 Cholisin. 2011. “Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Relevansinya Dengan Kondisi Saat Ini”. Makalah Disampaikan Pada Kegiatan Workshop Pengembangan Bahan Ajar PKn dan Penyusunan Dokumen II KTSP MGMP SMP Kabupaten Kulon Progo Semester Gasal 2011/2012, 28 September.

(22)

perlu ditafsir kembali dan ditemukan aktualitasnya.26 Mengingat kegagalan dalam membubuhkan landasan fungsionalisme Pancasila, malah kemungkinan dapat mengakibatkan lahirnya permasalahan baru yang melemahkan posisinya sebagai sumber utama atau rujukan normatif dalam mendestruksi akar prolematika bangsa Indonesia. Oleh karena itu, penulis hendak bermaksud mencari, menggali, dan menemukan roh sejati yang bersemayam dalam tubuh Pancasila, serta ingin mendalami alasan rasionalitas dibalik kelestarian Pancasila bagi Indonesia hingga saat ini. Atas dasar itu, judul yang diangkat dalam buku ini adalah Menggali dan Menemukan Roh Pancasila Secara Kontekstual.

B. Sejarah Penjajahan Di Indonesia

Bagi bangsa Indonesia penjajahan merupakan pengalaman pahit dan menyakitkan, karena silih berganti dijajah oleh bangsa asing27. Bila dikalkulasikan tidak kurang dari 6 negara yang pernah menjajah Indonesia, yaitu Portugis (1512-1595), Spanyol (1521- 1692), Belanda (1602-1942), Perancis (1808-1811), Inggris (1811- 1816), dan Jepang (1942-1945).28 Berkaitan dengan tulisan dalam buku ini, kisah penjajahan yang disinggung ialah pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Apabila dihitung kembali, lamanya durasi bangsa Indonesia berada di bawah kolonialisme bangsa asing, khususnya Belanda kurang lebih 350 tahun. Secara

26 Otto Gusti Madung, “Pancasila Dalam Diskursus Liberalisme Versus Komunitarisme”, Khazanah, Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 13, No. 2, (Desember, 2015), hlm. 233.

27 Ishak, Muhammad, “Sistem Penjajahan Jepang Di Indonesia”, Jurnal Inovasi, Vol. 9 No. 1 (Maret, 2012), hlm. 1

28 Ari, https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/negara-yang-pernah- menjajah-indonesia, (Sabtu 23 November 2019, 08:49). Lihat juga Iqbal, https://insanpelajar.com/6-negara-yang-pernah-menjajah-indonesia/, (Sabtu 23 Nopember 2019, 09:20). Rita, https://palingseru.com/103921/ini-dia-6-negara- yang-pernah-menjajah-indonesia-kamu-mau-tahu, (Senin 25 November 2019, 10:11).

(23)

12 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

historis bangsa Indonesia tanpa mengenal lelah dan pantang menyerah terus-menerus mengobarkan semangat perjuangannya untuk mengusir penjajah Belanda. Kolonialisme Belanda yang tidak manusiawi dalam kurun waktu tersebut telah membuat bangsa ini hidup penuh keperihatinan dan penderitaan. Selama itu pula keinginan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan terus berkobar.29 Setelah sekian lama bangsa Indonesia berjuang, peluang untuk lepas dari cengkeraman Belanda pun mulai terbuka lebar. Diawali pada tanggal 7 Desember 1941 Jepang membom Pear Horbour salah satu pangkalan penting Amerika Serikat di Lautan Pasifik, yang memicu meletusnya perang pasifik.30 Dengan diserangnya Pearl Harbour oleh Angkatan Udara Jepang, maka sejak tanggal 8 Desember 1941 terjadi peperangan antara Jepang dengan Amerika Serikat serta Sekutunya. Jepang menggabungkan diri dalam front Jerman di bawah pimpinan Hitler, dan Italia di bawah pimpinan Musolini yang bertempur melawan negara-negara Eropa yang ditopang Amerika Serikat dan Rusia.31 Dalam waktu yang relatif singkat telah jatuh jajahan Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda. Pada 8 Maret 1942 Angkatan Perang Kerajaan Belanda yang berada di Hindia Belanda menyerah tanpa syarat

29 Prima Roza dkk, Pancasila Sebagai Ideologi Dan Dasar Negara, https://books.google.co.id/books?id=CRlIDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=

Pancasila&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwievbKM5I7mAhWXbisKHUU7DpYQ6AEIM TAB#v=onepage&q=Pancasila&f=false, (29 November 2019, 14;45).

30 Brata, Ida Bagus dan Ida Bagus Nyoman Wartha, op. cit., hlm. 125.

Berbeda dengan tanggal di atas, maka dalam buku lain ditemukan penjelasan mengenai tanggal penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour terjadi pada 8 Desember 1941 lihat Sartono Kartodihardjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia (IV), Jaman Jepang Dan Jaman Republik Indonesia (Jakarta:Depdikbud, 1975) hlm. 1.

31 Achmad Fauzi dkk, Pancasila Ditinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional, dan Segi Filosofis, (Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, 1983), hlm. 42.

(24)

kepada Jepang.32 Belanda menyerah kepada Jepang diumumkan melalui radio NIROM (Nederlands Indisch Radio Omroep) pada hari Senin pukul 07.45, tanggal 8 Maret 1942 dengan disertai penandatanganan piagam penyerahan tanpa syarat yang diwakili oleh Jenderal H. Ter Poorten dan Jenderal Hitosi Imamura di Kalijati, sejak itu Indonesia resmi berada dibawah kekuasaan Kerajaan Jepang.33 Pesan radio terakhir dari kawasan yang dikuasai Belanda berbunyi: Kami mengundurkan diri. Selamat tinggal, sampai jumpa kelak disaat-saat yang lebih menyenangkan.34

Setelah beberapa saat lepas dari genggaman Belanda, bangsa Indonesia justru dihadapkan pada penjajahan yang perlakuannya jauh lebih menindas daripada penjajah sebelumnya, yaitu masa penjajahan Jepang yang berlangsung selama 3,5 tahun.35 Setelah Jepang benar-benar berkuasa atas bangsa Indonesia, yang diperoleh bukannya kemerdekaan, melainkan kesengsaraan dan kemelaratan, serta penderitaan lahir batin. Pengalaman buruk tersebut tentunya masih terngiyang-ngiyang dalam pikiran, sehingga sangat sulit dihapuskan atau dibenamkan dari memori kolektif bangsa Indonesia. Secara historis-empiris perlakuan Jepang nyatanya tidak lebih baik dari Belanda ketika menguasai bangsa Indonesia. Semua kegiatan kaum pergerakan dilarang.

Organisasi politik dilarang, kecuali badan-badan propaganda untuk

32 Soemantri, Sri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Bandung:

Alumni, 1979), hlm. 4.

33 Robby Chairil, Soekarno Dan Perjuangan Dalam Mewujudkan Kemerdekaan RI (1942-1945), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (tidak diterbitkan), hlm. 38.

34 Tahija, Julius. Melintas Cakrawala: Kisah Sukses Pengusaha Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 38.

35 Nugraha, Adhi Wahyu dan Cahyo Budi Utomo, “Peristiwa 03 Oktober 1945 Di Kota Pekalongan (Analisis Dampak Sosial dan Dampak Politik)”, Journal of Indonesian History, Vol.7 No.1 (2018), hlm. 83.

(25)

14 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

membantu Jepang.36 Masa pendudukan Jepang di Indonesia dianggap sebagai masa yang memperihatinkan, yang ditandai dengan adanya Romusha dan kelaparan, kekurangan pakaian, serta pemaksaan dalam berbagai kegiatan perang.37 Di samping itu, kerap kali terjadi kekerasan yang semena-mena terhadap rakyat Indonesia.38 Artinya tidak berbeda jauh dengan penjajah lainnya, bahwa maksud dan tujuan kedatangan Jepang ke Indonesia adalah untuk mengksploitasi kekayaan daerah yang dijajah.39 Hal tersebut selaras dengan keinginan utama dari penjajah adalah memeras keuntungan dari suatu bangsa yang lebih rendah tingkat kemajuannya.40 Adapun muara dari kolonialisme Jepang adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana- rencananya bagi dominasi ekonomi Asia Timur dan Tenggara.41 Bila disegarkan kembali ingatan kita ke belakang, bahwa mula- mula kedatangan tentara Jepang disambut dengan perasaan gembira oleh seluruh bangsa Indonesia, karena kepandaian mereka dalam

36 Darji Darmodihardjo, Pancasila Dalam Beberapa Perspektif, (Jakarta:

Aries Lima, 1982), hlm. 29.

37 Yasmis, “Jepang dan Perjuangan Indonesia”, Jurnal Sejarah Lontar, Vol.

4 No. 2 (Juli-Desember, 2007), hlm. 24.

38 Agus Susilo, “Sejarah Perjuangan Jenderal Soedirman Dalam Mempertahankan Indonesia (1945-1950)”, Jurnal Historia, Vol. 6 No. 1 (2018), hlm. 58.

39 Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hlm. 5. Lihat juga Hutagalung Batara R. Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Kaledeoskop Sejarah Memperjuangkan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2010) hlm. 40.

40 Soekarno, Indonesia Menggugat, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm.

25.

41 Merle Calvin Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia 1200-2008, https://books.google.co.id/books?id=uk-

Edtbm6kC&printsec=frontcover&dq=pERKEMBANGAN+PARTAI+POLITIK+KOMU NIS&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjUzImPu5bmAhXYfH0KHdoMC0gQ6AEIKTAA#v=

onepage&q&f=false, (02 Desember 2019, 16;00)

(26)

berpropaganda seperti ―Asia untuk bangsa Asia‖, ―Nippon Indonesia sama-sama‖, sehingga bangsa Indonesia mengira ke- datangan akan membebaskan dari penjajahan.42 Apalagi pada awal mulanya sikap Jepang sangat bersahabat, dengan menyampaikan janji-janji, dan berbagai macam propaganda emas, antara lain, dalam waktu yang sangat singkat Jepang akan membebaskan rakyat terjajah di Indonesia, bebas, dan lepas dari cengkeraman bangsa Barat.43 Adapun beberapa strategi politik Jepang untuk meraup dan mendulang simpati rakyat Indonesia agar mendukung tindakan kolonialismenya, terutama dalam memenangkan peperangan Asia Timur Raya, yaitu.

a. Jepang mempropagandakan, bahwa kedatangannya untuk menolong bangsa-bangsa terjajah dan menyelenggarakan kemakmuran bersama dalam Asia Raya.

b. Pemimpin Indonesia yang dibuang dan ditawan Belanda dibebaskan.

c. Kedatangan Jepang disambut dengan pengibaran bendera merah putih di samping bendera Jepang dan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya (karena dikira akan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan sesuai dengan ramalan Jaya Baya. Tetapi ternyata rakyat Indonesia tertipu, karena kemudian segera keluar larangan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya44

Pada waktu berkecamuk Perang Pasifik, Jepang berkuasa atas sebagian besar daerah-daerah di Asia Timur dan Tenggara,

42 Taniredja dkk, Paradigma Terbaru...” hlm. 17.

43 Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila; Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa Dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, https://books.google.co.id/books?id=Ad9JgBHwwg0C&printsec=frontcover&dq

=Pancasila&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwievbKM5I7mAhWXbisKHUU7DpYQ6AEIT DAF#v=onepage&q=Pancasila&f=false, (29 November 2019, 15; 40).

44 Rindjin, I Ketut. Pendidikan Pancasila (Singaraja: Undiksha, 2009), hlm. 42-43.

(27)

16 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

termasuk Indonesia, oleh karena angkatan perangnya.45 Tetapi menjelang akhir tahun 1944 itu bala tentara Jepang menderita kekalahan terus-menerus terhadap serangan-serangan pihak tentara Sekutu.46 Memasuki tahun 1945 tentara Jepang dalam peperangan di Asia Tenggara mengalami kekalahan-kekalahan dan semakin terdesak oleh negara-negara Sekutu di Pasifik.47 Sekutu menyerang pertahanan Jepang di Pasifik dan hampir seluruh medan perang tersebut dimenangkan oleh Sekutu.48 Sidang Parlemen Jepang atau Teikoku Ginkai di Tokyo pada 7 September 1944 berlangsung dalam suasana yang kurang kondusif. Dai Nippon kian terdesak oleh pasukan Sekutu akibat serentetan kekalahan di Perang Asia Timur Raya. Tindakan darurat wajib dilakukan sesegera mungkin, termasuk terkait wilayah-wilayah pendudukan Jepang, salah satunya Indonesia.49 Di tengah kondisinya yang semakin terancam dan terpojok oleh Sekutu, Jepang pun mengumbar janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pada 7 September 1944 Jepang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia nanti pada 24 Agustus 1945.50 The Japanese Empire (hereby) announce the future

45 Noer, Deliar, Pengantar Ke Pemikiran Politik , (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 10.

46 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), hlm. 84.

47 Saifudin, “Lahirnya UUD 1945: Suatu Tinjauan Historis Penyusunan Dan Penetapan UUD 1945”, Unisia, No. 49/XXVI/III/2003, hlm. 296.

48 Wulan Sondarika, “Peranan Wanita Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Masa Pendudukan Jepang”, Jurnal HISTORIA, Vol. 5, No. 2 (Tahun 2017), hlm. 208.

49 Iswara N Aditya, https://tirto.id/sejarah-hari-lahir-pancasila-peran- bpupki-dan-ppki-cpMp (Jum’at 18 Oktober 2019, 07;14).

50 Soehino, Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 4.

(28)

independenci of all Indonesia people51 Janji ini diucapkan Perdana Menteri Jepang Kuniako Koiso, yang diumumkan di depan upacara istimewa ―The Imperial Diet‖ pada tanggal 7 September 1944.52 Janji kemerdekaan Perdana Menteri Koiso diyakini sebagai langkah strategis untuk mempertahankan pengaruh Jepang terhadap Indonesia.53 Singkat cerita, bahwa janji ini adalah bagian dari strategi Jepang untuk menarik simpati bangsa Indonesia, agar membantunya melawan sekutu untuk membela Jepang.54 Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama melalui BPUPK55 kemudian disusul dengan pendirian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).56 AB Kusuma memandang rancangan tersebut sebagai upaya Jepang untuk menghambat kemerdekaan Indonesia, sebab BPUPK hanya untuk ―menyelidiki‖ bahan-bahan persiapan kemerdekaan, sedang- kan penyusunan UUD akan dilakukan PPKI.57

51 Anshari, H. Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Dan Sejarah Konsesnsus Nasional Antara Nasionalis Islami da Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945-1959, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 15. Lihat juga Sartono Kartodihardjo dkk, “Sejarah Nasional...” hlm. 15.

52 Riski Febria Nurita, “Dinamika Perkembangan Konstitusi Di Indonesia”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.6, No.2 Desember 2015, hlm. 208.

53 I Wayan Pardi, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945: Diskursus Pembukaan UUD 1945 Dalam Perspektif Sejarah, Historia: Jurnal Pendidik dan Penulis Sejarah, Vol. II No. 2 (April, 2019).

54 Tin Amalia Putri, “Demokrasi Dalam Pardoks: Islam, Pancasila, Dan Negara“, Jurnal TAPIs, Vol.14, No. 01, (Januari –Juni, 2017) , hlm. 93.

55 Lembaga yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia adalah Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanpa ada imbuhan Indonesia di belakangnya. Tetapi sudah menjadi penerimaan dan kesepakatan bersama, bahwa penambahan kata Indonesia pada BPUPK tidak menjadi persoalan prinsipil yang perlu diperdebatkan ke depannya.

56 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historis, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 9.

57 AB Kusuma, gagasan hukum, https://gagasanhukum.wordpress.com/tag/ab- kusuma/, (Sabtu 23 November 2019, 16:44).

(29)

18 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

C. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Setelah sekian lama bercokol, posisi Jepang mulai terdesak dalam peperangan Asia Timur Raya. Jepang pun menjanjikan, bahwa akan memerdekakan Indonesia suatu hari nanti. Realisasi janji tersebut ditandai dengan dibentuknya Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai pada tanggal 29 April 1945.58 Sebagai tindak lanjut dari janji tersebut, maka Panglima Tentara Jepang di Jawa, pada tanggal 1 Maret 1945 menjanjikan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).59 Ketika itu, Jepang terdesak oleh serangan tentara Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat, pemerintah Jepang di Jawa mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).60 BPUPKI dibentuk oleh pemerintah penjajahan Jepang di Indonesia pada 29 April 1945.61 BPUPKI dibentuk bertepatan dengan hari ulang tahun Tenno Heika (Tentyosetu).62 BPUPKI bagi para pemimpin perjuangan yang duduk didalamnya diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.63 Badan ini mempunyai tugas untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berkenaan

58 Aris Hardinanto, “Autentisitas Sumber Sejarah Pancasila Dalam Masa Sidang Pertama Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Tanggal 29 Mei-1 Juni 1945”, Vol. 3, No. 1, (2015) hlm. 44.

59 Saffiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila, Proklamasi & Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 5.

60 Samho, Bartolomeus dan Rudi Setiawan. 2015. “Mengartikulasi Pancasila Menjadi Spiritualitas Kehidupan Bangsa Indonesia Yang Majemuk:

Sebuah Kajian Fiosofis”, Tulisan tidak diterbitkan (Bandung: Lembaga Tulisan dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan).

61 Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 14.

62 Robby Chairil, “Soekarno Dan...”, hlm. 56.

63 Abel Herdi Deswan Putra, Relasi Islam dan Pancasila Dalam Pemikiran Habib Muhammad Rizieq Bin Husein Syihab, Fakultas Syariah Dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, 2017, hlm. 20.

(30)

dengan segi-segi politik ekonomi, dan tata pemerintahan yang dibutuhkan dalam rangka pembentukan negara Indonesia merdeka.64 Pembentukan BPUPKI merupakan langkah konkret pertama bagi terpenuhinya janji Koiso tentang ―Kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari‖.65 Pembentukan BPUPKI pada tanggal 29 April 194566 tidak terlepas dari usaha Jepang untuk merealisasikan janjinya itu. Tanggal 28 Mei 1945 badan tersebut dilantik.67 Badan ini diketuai oleh DR. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945.68 Adapun jumlah anggota BPUPKI yang dilantik pada waktu itu adalah 60 orang.69 60 orang anggota tersebut belum termasuk Ketua dan Ketua Muda.70 Adapun keanggotaannya dibagi menjadi lima golongan: golongan pergerakan, Islam, birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, walikota),

64 Armaidy Armawi, “Kajian Filosofis-Historis Hubungan Negara Dan Agama”, Paramita, Vol. 23 No. 1 (Januari, 2013), hlm. 19.

65 Kansil dan Christine S.T Kansil, Modul Pancasila dan Kewarganegaraan (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), hlm. 4.

66 C,S.T. Kansil dan Cristiane, Kansil, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm. 18.

67 Safiyudin Satrawijaya, Sekitar Pancasila..., hlm. 8.

68 Direktorat Jenderal Kelembagaan dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti. 2006. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:

Direktorat Jenderal Kelembagaan dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti. Lihat juga Darji Darmodihardjo, Pancasila Dalam..., hlm. 31., Nugroho Notosusanto, Proses PerumusanPancasila Dasar Negara, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), hlm. 20.

69 Ketut Rindjin, Pendidikan Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Dan Dasar Negara Republik Indonesia (Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2009), hlm. 43. Berdasarkan keterangan dalam buku ini, belum ada kesepakatan mengenai berapa jumlah anggota BPUPKI.

70 Achmad Fauzi dkk, Pancasila Ditinjau..., hlm. 45., lihat juga Darji Darmodihardjo, Pancasila Dalam..., hlm. 31.

(31)

20 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

peranakan Tionghoa, Arab, dan Belanda.71 Apabila Dipandang dari aspek legitimasi secara sederhana keseluruhan anggota BPUPKI dapat dikatakan mewakili masyarakat atau penduduk Indonesia ketika itu.72

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa BPUPKI adalah badan yang akan mempersiapkan dan merumuskan segala hal yang mendasar bagi berdirinya suatu negara dan bangsa merdeka.73 BPUPKI mengadakan dua kali masa sidang, yaitu: masa sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 dan masa sidang kedua tanggal 10 hingga 17 Juli 1945.74 BPUPK bersidang di hari pertama dengan agenda pembahasan dasar negara.75 Dalam pertemuan-pertemuan badan ini selama dua minggu pertama terjadi polarisasi dua faksi, yaitu yang ingin menjadikan negara Indonesia merdeka berdasar Islam, dan kelompok lain yang menghendaki dasar negara Pancasila.76 Sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diawali dengan pernyataan Ketuanya DR. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, yang mempertanyakan dasar didirikannya negara Indonesia yang merdeka77

71 Wildan Sena Utama, Ulasan Buku..., hlm. 102.

72 Manus MPB, dkk, Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1993), hlm. 4.

73 Soebaryo Mangunwidodo, DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat:

Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952, (Jakarta: PT Gramedia, 1994), hlm. 92.

74 Mohammad Noor Syam, Pancasila Yuridis Kenegaraan, (Yogyakarta:

Liberty, 1987), hlm. 14., lihat juga Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila..., hlm. 8., D. Djamal, Pokok-Pokok..., hlm.32.

75Susanto Polamolo, “Gelap Terang Pancasila: Otokritik Atas Teks Sejarah Yang Melenceng”, Jurnal Konstitusi, Vol. 15 No. 2 (Juni, 2018) , hlm. 399.

76 Muhamad Isyam, “Ki Bagus Hadikusumo Dan Problem Relasi Agama – Negara, Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol. 13 No. 2 (2011), hlm. 4

77 Sartika Intaning Pradhani, “Konsepsi Manusia Indonesia Dalam Perspektif Ideologi Hukum Indonesia”, Mimbar Hukum, Vol. 30 No. 1 (Februari, 2018), hlm. 50.

(32)

Dekat pada akhir bulan Mei 1945 DR. Radjiman, ketua Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang Panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat: ―Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?. Kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang. 78

Pertanyaan ini menjadi inti pidato yang diminta untuk disiapkan dan disampaikan oleh seluruh peserta dalam sidang selama 29 Mei -1 Juni 1945.79 DR. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai Ketua Badan Penyelidik meminta agar sidang Dokuritsu Junbi Choosakai) mengemukakan dasar Indonesia merdeka.80 Dengan begitu, dalam persidangan periode pertama, BPUPKI telah memulai tugasnya dengan membicarakan masalah yang sangat penting, yakni tentang dasar negara.81 Dalam sidang pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, para pendiri bangsa mengungkapkan pendapatnya tentang dasar negara Indonesia merdeka.82 Tetapi tidak semua peserta sidang menyampaikan pidato.83 Seperti yang disinggung di atas, bahwa tidak banyak yang menjawab pertanyaan tersebut, sebab umumnya mereka kuatir perdebatan akan berlarut- larut menjadi perdebatan filosofi.84 Paling tidak, tercatat pidato tiga tokoh bangsa tentang dasar negara yang terekam dengan baik

78 Aris Hardinanto, “Autentisitas Sumber...”, hlm. 51.

79 Tadjuddin Noer Effendi, “Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial Saat Ini, Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 2 No. 1 (Mei, 2013), hlm. 2.

80 Darji Darmodihardjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979), hlm. 15.

81 Saifudin, op. cit., hlm. 297

82 Armawi, op. Cit., hlm. 19.

83 Tadjuddin Noer Effendi, “Budaya Gotong..., hlm. 2.

84 Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila..., hlm. 9.

(33)

22 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

dalam persidangan BPUPKI, seperti Muhammad Yamin (29 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni 1945).

Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945) yang memperoleh kesempatan pertama untuk mengemukakan pidatonya dalam sidang BPUPKI. Adapun substansi pidato Muhammad Yamin menyangkut dasar negara, yaitu.

1. Peri Kebangsaan.

2. Peri Kemanusiaan.

3. Peri Ketuhanan.

4. Peri Kerakyatan.

5. Kesejahteraan rakyat.85

Di lampirkan pada pidatonya dalam rancangan UUD RI:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kebangsaan kesatuan bangsa Indonesia.

3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.86 Kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Soepomo menyampaikan usulan menganai dasar negara antara lain:

1. Dasar Persatuan dan Kekeluargaan 2. Dasar Ketuhanan

3. Dasar Kerakyatan/Permuyawaratan 4. Dasar Koperasi dalam Sistem Ekonomi

5. Mengenai hubungan antar bangsa, dianjurkan supaya Negara Indonesia bersifat sebagai Negara Asia Timur

85 Darji Darmodihardjo, Pancasila Suatu..., hlm. 33.

86 M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, (Jakarta: Rajawa Pers, 1987), hlm. 37.

(34)

Raya, sehingga masih tampak ada keterkaitan dengan Jepang.87

Kemudian sebagai penutup, Ir. Soekarno mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan gagasannya tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka. Dalam notulen Sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoozakai (Badan Usaha-Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum menjadi rumusan resmi, Pancasila yang dirumuskan versi Soekarno dalam Pidatonya 1 Juni 1945 adalah sebagai berikut.

1. Kebangsaan Indonesia.

2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan.

3. Mufakat atau Demokrasi.

4. Kesejahteraan Sosial.

5. Ketuhanan Yang Berkebudayaan.88

Dalam pidatonya, Soekarno menjawab permintaan Radjiman akan dasar negara Indonesia dalam kerangka dasar falsafah atau pandangan dunia (weltanschauung) dengan penjelasan yang runut, solid, dan koheren.89 Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka.90 Lima prinsip di atas itulah yang diusulkan

87 Aliza Aulia, Relasi Agama Pancasila Menurut Pemikiran K.H Wahid Hasyim Dan Relevansinya Dengan Kondisi Indonesia Saat Ini, Prodi HTN Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, 2019, hlm. 48.

88 P.J Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Tulisan Pancasila Dengan Pendekatan Historis, Filosofis, & Sosio-Yuridis Kenegaraan, https://books.google.co.id/books?id=x-

A0wy95LUQC&printsec=frontcover&dq=Pancasila&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi evbKM5I7mAhWXbisKHUU7DpYQ6AEIRDAE#v=onepage&q=Pancasila&f=false, (29 November 2019, 15;15).

89 Aditya Nurahmani dan Muhammad Robi Rismansyah, “Problematika dalam Mewujudkan Pancasila Sebagai Ideologi yang Bernilai Substantif”, Padjadjaran Law Review, Vol. 6, (Desember, 2018), hlm. 59.

90 Agustinus Wisnu Dewantara, “Pancasila Dan Multikulturalisme Indonesia”, Studia Philosophica et Theologica, Vol. 15, No. 2, (Oktober, 2015), hlm. 111

(35)

24 I Gusti Ngurah Santika, S.Pd., M.Pd M.Pd

oleh Bung Karno yang akhirnya diberi nama Pancasila. Pancasila yang diajukan Bung Karno ini mendapat dukungan penuh dari segenap pimpinan bangsa waktu itu.91 Meskipun telah ada titik terang tentang dasar negara, sayangnya dari berbagai gagasan yang muncul saat sidang BPUPKI masih menyisakan persoalan prinsipil.

Bagaimana pola hubungan antara negara dengan agama belumlah menemukan kesepakatan diantara peserta sidang BPUPKI. Artinya riak-riak perdebatan dalam sidang itu sudah mengkristal, yaitu apakah negara kita berdasar Islam atau sekuler, yaitu memisahkan agama dan negara.92 Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu, maka dimulailah pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-sidang BPUPKI.93 Dengan begitu, persoalan yang paling pelik pada waktu itu adalah pandangan antara golongan Islam dan golongan nasionalis mengenai negara yang akan didirikan. Dalam pada itu, Pancasila yang diuraikan Ir.

Soekarno sedikit tidaknya dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam. Sebelum sidang berakhir dibentuk Panitia kecil untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Persoalan komplikatif mengenai dasar negara bagi Indonesia merdeka tidak selesai sampai di sini, sebab sampai sidang BPUPKI pertama berakhir, belum juga ditemukan kesepakatan bersama. Maka untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam sidang BPUPKI, DR. Radjiman memutuskan membentuk sebuah panitia kecil. Panitia SembiIan ini dibentuk dalam rapat anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

91 D. Djamal, Pokok-Pokok Bahasan Pancasila, (Bandung: Remadja Karya, 1986), hlm. 20.

92 Muh. Syamsuddin dan Muh. Fatkhan “Dinamika Islam Pada Masa Orde Baru”, Jurnal Dakwah, Vol. XI No. 2, (Juli-Desember, 2010), hlm. 142.

93 Lia Hilyah, “Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif, (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara), Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Jinayah Siyah Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2009), hlm. 103.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang diatas maka diperlukan penelitian untuk mengetahui efektifitas pelatihan peer educator untuk meningkatan pengetahuan kelompok dasawisma

Hasil uji hipotesis menunjukkan taraf nyata α = 0,05 diperoleh P-value = 0,002 atau tolak Ho, artinya hasil belajar matematika Peserta Didik yang

(2) Untuk pertama kali setelah pembentukan BP3, pengangkatan Deputi dan Sekretaris Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diusulkan oleh Menteri yang

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan definisi konsep kinerja guru merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang dilakukan

Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi syarat evaluasi administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan :

Mahasiswa mampu menguasai konsep dan urgensi pendidikan pancasila, pancasila dalam kajian sejarah bangsa, pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, sistem falsafat,

Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan renungan yang menggugah kesadaran para pendiri negara, termasuk Soekarno ketika menggagas ide Philosophische

Dalam mata kuliah ini dibahas Pengantar Mata Kuliah, Pancasila dalam Kajian, Sejarah Bangsa Indonesia, Pancasila sebagai Dasar Negara, Pancasila sebagai Ideologi