i
TESIS
PREVALENSI BAKTERI
Mycobacterium bovis
DAN
Klebsiella Pneumoniae
PADA SAPI BALI YANG
DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN
MAMBAL, BADUNG DAN PESANGGARAN,
DENPASAR
I GEDE OKA DARSANA NIM 1392361002
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
TESIS
PREVALENSI BAKTERI
Mycobacterium bovis
DAN
Klebsiella Pneumoniae
PADA SAPI BALI YANG
DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN
MAMBAL, BADUNG DAN PESANGGARAN,
DENPASAR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GEDE OKA DARSANA NIM 1392361002
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 12 JANUARI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. Dr. drh. I Nyoman Dibia, M.P. NIP. 1960 0605 198702 2 001 NIP. 1964 0106 199203 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
iv
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL 12 DESEMBER 2016
Panitia penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 0255/UN14.4/HK/2016, Tanggal 7 JANUARI 2016
Ketua : Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. Anggota :
1. Dr. drh. I Nyoman Dibia, M.P.
2. Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Darmawan, M.S. 3. Dr. drh. Nengah Kerta Besung, M.Si.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : I Gede Oka Darsana
Nim : 1392361002
Program Studi : Kedokteran Hewan
Judul Tesis : Prevalensi Bakteri Mycobacterium bovis dan Klebsiella Pneumoniae Pada Sapi Bali yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Mambal, Badung dan Pesanggaran, Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sesuai Peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas anugrah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Prevalensi Bakteri Mycobacterium bovis dan Klebsiella Pneumoniae Pada Sapi Bali Yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Mambal, Badung dan Pesanggaran, Denpasar”. Tesis ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister pada program Magister Ilmu Kedokteran Hewan, Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P. selaku pemimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk selalu membimbing dan memberi banyak masukan. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada Dr. drh. I Nyoman Dibia, M.P. beserta keluarga, selaku pemimbing II, disela kesibukan beliau yang sangat padat masih menyempatkan untuk memberikan bimbingan dan wawasan sehinga memperkaya tulisan ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD) dan direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S. (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberika kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister di Universitas Udayana. Terima kasih juga kembali penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M. Kes., selaku ketua program studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan, Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa untuk dapat menuntut ilmu pada program studi yang dipimpinnya.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para penguji tesis yaitu, Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Darmawan, M.S., Dr. drh. Nengah Kerta Besung, M.Si. dan Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M. Kes., yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berguna dalam menyempurnakan tesis ini.
vii
Perikanan dan Kelautan Kabupaten denpasar atas ijin yang diberikan dalam pengambilan sampel sapi Bali yang di potong di Rumah Potong Hewan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kepala Balai Besar Veteriner (BBVet) atas ijin yang diberikan kepada penulis dalam peminjaman laboratorium untuk menunjang penelitian. Tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kepala Laboratorium Virologi BBVet beserta staff dan kepala Laboratorium Bakteri BBVet beserta staff yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas waktu dan tenaga dalam membantu pelaksanaan penelitian di laboratorium sampai selesai.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan sejawat yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, keluarga (terutama ayah, ibu dan saudara-saudara), teman-teman dan Ni Ketut Puput Septiari dalam memberikan semangat, dukungan, doa dan waktunya dalam penyusunan hingga menyelesaikan tesis ini.
Penulis sangat menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran sangat penulis butuhkan dalam penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil suatu kebijakan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar.
viii ABSTRAK
PREVALENSI BAKTERI Mycobacterium bovis DAN Klebsiella Pneumoniae PENYEBAB INFEKSI SALURAN PERNAFASAN PADA SAPI BALI YANG BERPOTENSI ZOONOSIS DI RPH (RUMAH POTONG HEWAN)
MAMBAL DAN RPH (RUMAH POTONG HEWAN) PESANGGARAN Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan bakteri
Mycobacterium bovis dan Klebsiella pneumoniae pada sapi Bali di Rumah Potong Hewan (RPH) Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi Bali yang dilakukan pada periode bulan Januari-Maret 2015. Sampel yang diuji merupakan sapi Bali yang dipotong dengan menunjukkan gejala klinis serta perubahan patologi anatomi pada organ paru-paru atau limfonodus. Untuk mendeteksi agen BTB digunakan metode PCR, sedangkan mendeteksi agen Klebsiellosis digunakan metode konvensional dengan mengkultur sampel pada media agar MacConkey, kemudian dilanjutkan pada uji pewarnaan gram, serta pada uji biokimia dan gula-gula. Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan negatif Mycobacterium bovis dan Klebsiella Pneumoniae menunjukkan hasil 0,02% (1 dari 4.513) positif.
Dari penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa agen penyebab BTB pada sapi Bali tidak terdeteksi di RPH Mambal, Badung maupun RPH Pesanggaran, Denpasar. Sedangkan, agen penyebab Klebsiellosis pada sapi Bali dapat dideteksi di RPH Mambal, Badung provinsi Bali. Dari hasil ini dapat disarankan untuk melakukan surveilans sindromik oleh lembaga terkait dalam rangka mengefektifkan sistem kewaspadaan dini penyakit hewan menular. Kewaspadaan terhadap ancaman bahaya zoonosis Klebsiellosis perlu ditingkatkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
ix ABSTRACT
PREVALENCE BACTERIA Mycobacterium bovis AND Klebsiella
Pneumoniae CAUSE INFECTION RESPIRATORY TRACT IN BALI
CATTLE POTENTIALLY ZOONOSIS AT ABATTOIR MAMBAL AND ABATTOIR PESANGGARAN
This objective of this study was to detect the existence of Mycobacterium bovis and Klebsiella pneumoniae in Bali cattle at Pesanggaran Abattoir, Denpasar and Mambal Abattoir, Badung Bali province which held in January – March 2015 period. The samples were tested is slaughtered Bali cattle that shows clinical symptoms and shows anatomically pathologic change in the lungs or limfonodus. To detect agent BTB were used PCR method, and to detect Klebsiellosis were used conventional method with culturing sample on MacConkey media, and then continue with gram colouring test, biochemical and sugar test. The result of this study showed that Mycobacterium bovis were confirmed as negative, and
Klebsiella Pneumoniae were 0,02% (1 out of 4.513) positive.
The conclusion in this study was clearly shown that the cause agent of BTB in Bali Cattle was not detected in Mambal Abattoir, Badung and Pesanggaran Abattoir, Denpasar. And the cause agent of Klebsiellosis on Bali Cattle is only detected in Mambal Abattoir, Badung Bali province. The suggestion is to do syndromic surveilance by related institutions to create an early awareness towards animal infection diseases. And it is important to be aware about the dangerous of Klebsiellosis zoonosis and intensify the awareness that held by government and society.
x
RINGKASAN
Sapi Bali merupakan komoditi unggulan bidang peternakan di Bali. Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang mempunyai beberapa keunggulan, seperti daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk dan terhadap mutu pakan yang rendah. Namun, sapi Bali memiliki kerentanan terhadap beberapa penyakit, seperti penyakit pada saluran pernafasan yang diakibatkan oleh bakteri Mycobacterium bovis penyebab Bovine tuberculosis (BTB) dan Klebsiella pneumoniae penyebab Klebsiellosis. Kedua penyakit tersebut telah dilaporkan menyebabkan kerugian ekonomi pada ternak sapi dan sebagai penyakit zoonosis sehingga menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Pengambilan sampel dilakukan pada Rumah Potong Hewan (RPH), karena pemotongan sapi dominan dilakukan di RPH terutama Pesanggaran Denpasar dan RPH Mambal yang berasal dari berbagai Kabupaten/Kota di Bali. Kondisi tersebut tentunya meningkatkan peluang terdeteksinya infeksi BTB dan Klebsiellosis di Bali.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan bakteri
xi
proses diagnostik menjadi relatif tidak rumit, sedangkan pengujian bakteri penyebab Klebsiellosis dengan metode konvensional dikarenakan biaya yang lebih murah dan tidak memerlukan waktu lama seperti halnya pada BTB yang membutuhkan waktu inkubasi minimum selama 10 – 12 minggu pada suhu 37ºC.
Hasil pengujian PCR pada penelitian ini menunjukkan negatif
Mycobacterium bovis. Sementara itu, deteksi Klebsiella pneumoniae dengan mengkultur sampel pada media agar MacConkey, kemudian dilanjutkan pada uji pewarnaan gram, serta pada uji biokimia dan gula-gula menunjukkan hasil 0,02% (1 dari 4.513) positif Klebsiella pneumoniae.
xii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
xiii
2.7 Metode diagnostik untuk memeriksa adanya
Mycobacterium bovis ... 15
2.7.1 Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 15
2.7.1.1. Denaturasi ... 16
2.7.1.2. Penempelan (Annealing) ... 17
2.7.1.3. Pemanjangan (Ektension) ... 17
2.8 Etiologi Klebsiella pneumoniae ... 18
2.9 Prevalensi Global Klebsiella pneumoniae ... 20
2.10Hewan Rentan Klebsiella pneumoniae ... 21
2.11Pathogenesis Klebsiella pneumoniae ... 21
2.12Gejala Klinis Klebsiella pneumoniae ... 24
2.13Perubahan patologi anatomi Klebsiella pneumoniae ... 25
2.14Metode diagnostik untuk memeriksa adanya Klebsiella pneumoniae ... 25
2.15Faktor Penyebaran Mycobacterium bovis dan Klebsiella pneumoniae ... 27
xiv
4.8.1 Mengkultur bakteri pada Media MacConkey ... 38
4.8.2 Pewarnaan Gram ... 38
4.8.3 Uji Katalase ... 39
4.8.4 Pengujian pada Media TSIA, SIM, Simmon Citrat dan MRVP ... 39
4.8.5 Uji Oksidase ... 41
4.8.6 Uji Gula-gula ... 41
4.8.7 Uji Hidrolisis Urea ... 41
4.9 Prosedur Penelitian Mycobacterium bovis ... 42
4.9.1. Ektraksi ... 42
5.2 Hasil Pengujian Laboratorium ... 47
5.2.1 Hasil Pengujian Mycobacterium bovis ... 47
5.2.2 Hasil Pengujian Klebsiella Pneumoniae ... 48
5.3 Prevalensi bakteri Klebsiella pneumonia dan Mycobacterium bovis ... 51
xv
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 60
7.1 Simpulan ... 60
7.2 Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri TB ... 9 Tabel 2.2. Klebsiella pneumonia dengan tes biokimia dan gula-gula ... 27 Tabel 5.1. Data Gejala Klinis yang Timbul Pada Sapi Bali Yang
Dicurigai Mengarah ke Penyakit Btb dan Klebsiellosis ... 44 Tabel 5.2. Hasil uji Klebsiella pneumonia dengan tes biokimia
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Limfonodus sapi yang terinfeksi tuberkulosis (kiri),
Limfonodus sapi normal (kanan) ... 14 Gambar 2.2. Lesi tuberkulosis pada paru sapi dara umur 2 tahun ... 15 Gambar 2.3. Untai DNA mengalami denaturasi ... 16 Gambar 2.4. Penempelan primer dengan untai DNA yang telah
terdenaturasi ... 17 Gambar 2.5. Perpanjangan DNA ... 17 Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 33 Gambar 5.1. Foto sapi Bali yang menunjukkan gejala klinis
sampel A (RPH Mambal) ... 45 Gambar 5.2. Foto sapi Bali yang menunjukkan gejala klinis
sampel B (RPH Mambal) ... 45 Gambar 5.3. Patologi anatomi organ paru-paru sapi Bali
sampel A (RPH Mambal) ... 46 Gambar 5.4. Patologi anatomi organ paru-paru sapi Bali
sampel A (RPH Mambal) ... 46 Gambar 5.5. Hasil pemeriksaan Mycobacterium bovis dengan
metode PCR terhadap paru-paru sampel A (nomor 1)
dan sampel B (nomor 2) ... 47 Gambar 5.6. Hasil kultur bakteri terhadap paru-paru
sampel A (nomor 1) Klebsiella pneumoniae dan
sampel B (nomor 2) Escherichia coli ... 48 Gambar 5.7. Hasil pewarnaan bakteri Klebsiella pneumoniae
xviii
Gambar 6.1. Perbandingan kondisi paru-paru yang mengalami lobarpneumoni disertai adanya
pus (nanah). “gambar kiri” laporan kasus Retnowati dan Nugroho (2015), “gambar kanan” sampel A sapi Bali
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Jumlah sapi yang diperiksa di RPH Pesanggaran,
Kota Denpasar dan RPH Mambal, Kota Badung
yang disembelih menurut waktu pengamatan ... 65
Lampiran 2. Gambar uji Klebsiella pneumonia dengan tes biokimia dan gula-gula terhadap paru-paru sampel A ... 71
Lampiran 3. Langkah Ekstraksi ... 73
Lampiran 4. Langkah Pengenceran Primer ... 74
Lampiran 5. Langkah Master Mix ... 77
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sapi Bali sampai saat ini masih merupakan komoditi unggulan bidang
peternakan di Bali (Mahaputra et al., 2009). Bali merupakan wilayah penghasil
ternak sapi yang sangat potensial, berdasarkan Badan Pusat Statistik (2013),
populasi sapi Bali dan kerbau di provinsi Bali tercatat sebanyak 478.706 ekor.
Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan
yang buruk dan terhadap mutu pakan yang rendah. Namun, sapi Bali juga
diketahui rentan terhadap beberapa penyakit. Salah satunya adalah penyakit pada
saluran pernafasan yang diakibatkan oleh bakteri, seperti Septicemia epizootica
(SE) yang dikenal juga dengan penyakit ngorok, Bovine tuberculosis (BTB),
Klebsiellosis dan bisa juga akibat dari bakteri saluran pencernaan seperti golongan
bakteri Enterobacteriaceae sp., (Retnowati dan Nugroho, 2015). Diantara
penyakit pada saluran pernafasan tersebut di atas, Bovine tuberculosis (BTB)
merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yang sangat mengancam kesehatan
masyarakat. Selain BTB, Klebsiellosis yang memiliki gejala klinis hampir mirip
dengan BTB, juga diketahui sebagai penyakit zoonosis sehingga menjadi ancaman
bagi kesehatan masyarakat (Allen et al., 2013). Menurut Tarmudji dan Supar
2
zoonosis, penyakit BTB dan Klebsiellosis juga menyebabkan kerugian ekonomi
pada ternak sapi. Hingga saat ini, laporan kasus BTB dan Klebsiellosis pada sapi
Bali juga masih sangat jarang dilaporkan.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada manusia yang
terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV). Epidemi infeksi HIV di
negara-negara berkembang, khususnya negara-negara-negara-negara di mana infeksi tuberkulosis
diidentifikasi pada hewan sehingga kondisi tersebut mendukung terjadinya
transmisi zoonosis (Cosivi et al., 1998). Tuberkulosis juga merupakan ancaman
global dengan 1,4 juta kematian per tahun akibat dari infeksi pernafasan. Sebagian
besar pasien yang terinfeksi tuberkulosis mengalami infeksi pernapasan yang laten
(Allen et al., 2013). Bovine tuberculosis (BTB) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium bovis. Penyakit ini dikatakan
sebagai penyakit menahun (kronik) pada sapi, sehingga gejala klinisnya baru
muncul jika sudah parah, tetapi adakalanya penyakit ini berjalan akut dan
progresif, terutama pada hewan muda (Poeloengan et al., 2014).
Klebsiellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus
Klebsiella (Cherviakova, 2010). Salah satu spesiesnya ialah Klebsiella
pneumoniae yang pertama kali ditemukan oleh Carl Friedlander pada tahun 1882
(Rahmawati, 2009). Klebsiella pneumoniae merupakan patogen oportunistik pada
manusia serta hewan (Younan et al., 2013). Pada manusia, Klebsiella sp.
mengakibatkan infeksi nosokomial serta mampu mengakibatkan pneumonia parah
yang ditandai dengan peradangan paru-paru yang luas, perdarahan dan
3
bakteremia dan sepsis. Pada hewan, Klebsiella sp. mengakibatkan sepsis, infeksi
saluran kemih, infeksi saluran pernafasan dan mastitis (Chander et al., 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra et al., (2013) tentang
seroprevalensi BTB di kabupaten Bangli provinsi Bali dengan metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), menunjukkan bahwa seroprevalensi BTB
sebesar 2,22%. Deteksi awal adanya titer antibodi terhadap tuberkulosis
merupakan suatu indikator terhadap ancaman tuberkulosis baik pada manusia
maupun hewan khususnya sapi (Allan, 2008). penelitian lain menyebutkan bahwa,
kejadian Klebsiellosis ditemukan pada sampel paru-paru sapi yang mengalami
pneumoni yang berasal dari tempat pemotongan hewan di kota Gorontalo
(Retnowati dan Nugroho, 2015). Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa
kedua jenis penyakit tersebut ditemukan juga di Bali.
Pemotongan sapi dominan dilakukan di RPH Pesanggaran Denpasar dan
RPH Mambal yang berasal dari berbagai Kabupaten/Kota di Bali. Kondisi
tersebut tentunya meningkatkan peluang terlacaknya infeksi BTB dan
Klebsiellosis di RPH Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung.
Berdasarkan kenyataan di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian terhadap
prevalensi dari bakteri Mycobacterium bovis dan Klebsiella pneumoniae pada sapi
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dibuat suatu rumusan
masalah yaitu :
1. Berapakah prevalensi bakteri Mycobacterium bovis dan Klebsiella
pneumoniae pada sapi Bali yang dipotong di RPH Pesanggaran,
Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi Bali?
2. Bagaimanakah cara mendeteksi bakteri Mycobacterium bovis dan
Klebsiella pneumoniae pada sapi Bali yang dipotong di RPH
Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dari bakteri
Mycobacterium bovis penyebab Bovine tuberculosis dan Klebsiella pneumoniae
penyebab Klebsiellosis pada sapi Bali yang dipotong di RPH Pesanggaran,
5
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi ilmiah
tentang kejadian Bovine tuberculosis yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis
dan Klebsiellosis yang disebabkan Klebsiella pneumoniae pada sapi Bali yang
dipotong di RPH Pesanggaran, Denpasar dan RPH Mambal, Badung provinsi
Bali, sehingga pada akhirnya dapat membantu pemerintah dalam menerapkan
sistem kewaspadaan dini penyakit hewan menular dalam bidang keamanan
pangan asal hewan, yakni : pendeteksian yang lebih awal, pelaporan yang cepat
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Etiologi Mycobacterium bovis
Mycobacterium bovis penyebab BTB adalah anggota dari Mycobacterium tuberculosis kompleks. Kelompok yang juga termasuk didalamnya ialah :
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum dan Mycobacterium microti. Mycobacterium bovis merupakan agen penyebab tuberkulosis pada sapi sedangkan Mycobacterium tuberculosis pada manusia (Qamar dan Azhar, 2013).
Secara morfologik, Mycobacterium sp. berbentuk batang (Poeloengan et al., 2014) dan memiliki panjang 2-4 µm dan lebar 0,2-0,5 µm sertabersifat aerob obligat, parasit intraselular fakultatif, terutama pada makrofag dan memiliki waktu regenerasi yang lambat yakni 15-20 jam (Todar, 2012). Peneliti sebelumnya membuktikan bahwa bakteri Mycobacterium sp. merupakan bakteri Gram positif dan bersifat tahan asam. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) sehingga dengan pewarnaan Ziechl Nielsen berwarna merah (Poeloengan
et al., 2014). Bakteri ini kadang-kadang berbentuk filamen atau menyerupai miselium, tidak bergerak aktif (non motil), tidak membentuk spora, pertumbuhan
7
berbeda diantara prokariot lainnya dan merupakan faktor penentu virulensinya. Dinding selnya memiliki peptidoglikan, tetapi lebih dari 60% komponen dinding selnya adalah lipid. Fraksi lipid dinding sel Mycobacterium sp. terdiri dari 3 komponen yaitu asam mikolat, cord factor dan wax-D (Todar, 2012).
Asam mikolat merupakan molekul hidrofob kuat yang membentuk lapisan lipid mengelilingi organisme dan berperan dalam permeabilitas permukaan sel. Asam ini juga berfungsi mempertahankan mikobakterium dari serangan lisozim, serta melindungi mikobakterium ekstrasel (Todar, 2012).
Cord factor bersifat toksik terhadap sel mamalia dan merupakan inhibitor migrasi leukosit polimorfonuklear ( Polymorphonuclear Leukocyte,
PMNL). Cord factor umumnya dihasilkan oleh galur Mycobacterium tuberculosis
yang virulen. Konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel ini menyebabkan
8
2.2. Prevalensi Global Mycobacterium bovis
9
2.3. Hewan Rentan Mycobacterium bovis
Sapi merupakan inang sejati Mycobacterium bovis. Selain sapi, ternak kambing dan babi juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan sejumlah hewan lain seperti kerbau, onta, rusa, kuda, bison dan berbagai satwa liar baik yang hidup di alam bebas maupun yang hidup terkurung di kebun binatang maupun hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, semuanya dapat terserang tuberkulosis. Possum (trichosurus vulpecula) di Selandia Baru dan badgers (meles meles) di Inggris merupakan satwa liar setempat yang diketahui berpotensi besar dalam penyebaran tuberkulosis baik bagi kawanan sapi di Inggris maupun bagi kawanan sapi dan domba di Selandia Baru. Diperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat tuberkulosis adalah kehilangan 10-25% dari efisiensi produksi di luar kematian hewan (OIE, 2009).
Adapun kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri Tuberkulosis adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Kerentanan spesies hewan terhadap tipe bakteri tuberkulosis. Sumber: Poeloengan et al., 2014.
Spesies hewan Bovine tuberculosis Human tuberculosis
10
2.4. Patogenesis Mycobacterium bovis
Patogenesis BTB terdiri dari dua tahapan yaitu : masa infeksi primer dan masa reinfeksi. Pada masa infeksi primer terjadi perubahan yang ditimbulkan oleh
Mycobacterium sp. pada organ tubuh dan kelenjarnya, yang disebut “komplek
primer”. Infeksi yang terjadi pada organ-organ yang termasuk dalam komplek
primer ini dapat sembuh. Namun, jika tidak sembuh, hal ini kemungkinan disebabkan karena bakteri bersifat sangat virulen, dan resistensi individu hospes yang rendah. Komplek primer dapat menimbulkan metastasis yang secara cepat dapat membunuh hewan (Tarmudji dan Supar, 2008).
11
immunologis menunjukkan bahwa bakteri tersebut akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding disekeliling bakteri itu oleh sel paru-paru. Mekanisme pembentukan dinding tersebut membuat jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut, dan bakteri Mycobacterium sp. akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel (Megawati, 2013).
Perkembangan infeksi Mycobacterium sp. menjadi tuberkulosis aktif dalam inang dapat dibagi dalam 5 tahap, yaitu dimulai dengan inhalasi droplet. Paru merupakan jalan utama masuknya Mycobacterium sp. melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus serta alveoli (Todar, 2012)
Tahap kedua dimulai 7-21 hari setelah terinfeksi, Mycobacterium sp.
memperbanyak diri dalam makrofag yang tidak aktif, sampai makrofag tersebut pecah. Kemudian makrofag lain yang aktif mulai muncul dari sistem darah tepi dan memfagositosis Mycobacterium sp., tetapi akhirnya makrofag ini juga kembali tidak aktif sehingga tidak dapat memusnahkan Mycobacterium sp.
(Todar, 2012)
Pada tahap ketiga terbentuk respon imun selular. Limfosit khususnya sel T, mengenali antigen dengan bantuan molekul Major Histocompability Complex
(MHC) selanjutnya akan terjadi aktivasi sel T dan pembebasan sitokin yaitu interferon gamma (IFN γ). Pembebasan IFN γ akan mengaktifasi makrofag dan
12
memperbanyak diri dalam keadaan tuberkuli, karena pH sangat rendah dan jumlah oksigen terbatas. Mycobacterium sp. dapat tahan dalam keadaan tuberkuli selama periode waktu tertentu (Todar, 2012).
Pada tahap keempat terjadi pertumbuhan tuberkuli. Walaupun banyak terdapat makrofag aktif disekitar tuberkuli, juga banyak terdapat makrofag yang tidak atau kurang aktif. Mycobacterium sp. menggunakan makrofag tidak atau kurang aktif ini untuk bereplikasi sehingga tuberkuli dapat tumbuh dan menyerang bronkhus menyebabkan infeksi Mycobacterium sp. dapat menyebar ke bagian lain paru-paru. Tuberkuli juga dapat menyerang arteri atau pembuluh darah lainnya dan menyebabkan tuberkulosis ekstra-paru (Todar, 2012). Lesi juga ditemukan pada hati, granuloma paru-paru, limpa dan limfonodus (mandibular, parotid, retro-pharyngeal, mediastinal, tracheobronchial dan tonsil) (Tarmudji dan Supar, 2008).
13
2.5. Gejala Klinis Mycobacterium bovis
Menurut Tarmudji dan Supar (2008), gejala klinik Mycobacterium bovis
dapat dibedakan menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gejala klinik tidak selalu spesifik, terutama pada kasus baru, sehingga menyulitkan diagnosisnya. Penyakit tuberkulosis berkembang secara lambat, mulai bulanan sampai tahunan. Sapi yang sudah terinfeksi mikobakterial pada stadium awal tidak menunjukkan gejala klinis. Namun pada stadium lanjut, sapi menunjukkan gejala umum yakni : temperatur tubuh fluktuatif, anoreksia dan kehilangan bobot hidup, pembengkakan limfonodus, batuk-batuk sampai sesak nafas dan frekuensi respirasi bertambah (bila tuberkulosis paru-paru) dan indurasi atau pengerasan puting susu.
Pada sapi penderita tuberkulosis, bila bakteri Mycobacterium bovis sudah menyerang otak, akan mengalami gejala syaraf (inkoordinasi, terhuyung-huyung) dan tingkah lakunya abnormal sebagai akibat adanya meningo ensefalitis tuberkulosa pada sapi Holstein yang berumur 4 tahun (Tarmudji dan Supar, 2008).
2.6. Perubahan patologi anatomi Mycobacterium bovis
Tarmudji dan Supar (2008), melaporkan bahwa lesi Mycobacterium bovis
14
ditandai dengan nekrosis yang meluas. Pada pemeriksaan post mortem dari sapi penderita tuberkulosis, terlihat lesi granuloma (di mana bakteri dilokalisir) yang berbentuk bulat, berdiameter 1 – 3 sentimeter, berwarna kuning atau abu-abu dan konsistensinya keras. Pada bidang sayatan granuloma mengandung masa kering kekuningan, perkejuan atau masa nekrotik mengandung reruntuhan sel-sel mati. Diperkirakan 90% lesi tuberkulosis pada sapi melibatkan limfonodus pada sistem pernafasan (Gambar 2.1.). Namun lesi dapat juga ditemukan pada rongga thorax, kepala, mesenterika dan sekitar separuh lesi paru-paru terdapat dalam bagian lobus distal diafragma (Tarmudji dan Supar, 2008). Pada paru-paru, seringkali terjadi abses miliari karena bronkho pneumonia supurativa dan terdapat nanah yang berwarna krem sampai oranye, konsistensinya bervariasi dari cairan kental menjadi perkejuan, yang biasanya diselaputi oleh jaringan kapsular yang tebal (Gambar 2.2.). Nodul-nodul kecil nampak pada pleura dan peritoneum (Tarmudji dan Supar, 2008). Pada penyebaran kasus, terdapat granuloma kecil-kecil lebih dari satu ditemukan pada sejumlah organ misalnya pada paru-paru, limpa, hati dan rongga tubuh (CFSPH, 2005).
15
Gambar 2.2. Lesi tuberkulosis pada paru sapi dara umur 2 tahun. Sumber : (Tarmudji dan Supar, 2008)
2.7. Metode diagnostik untuk memeriksa adanya Mycobacterium bovis Mendeteksi Mycobacterium bovis diperlukan beberapa metode diagnostik untuk medeteksi keberadaan bakteri tersebut. Salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah Polymerase Chain Reaction (PCR).
2.7.1. Polymerase Chain Reaction (PCR)
16
DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan dan berasal dari patogen yang terdapat dalam spesimen klinik. Enzim DNA polimerase merupakan enzim termostabil Taq dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’ primer ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi polimerase (Yusuf, 2010).
Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: denaturasi awal, denaturasi,
annealing, ekstensi dan ekstensi akhir. Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA (Handoyo dan Rudiretna, 2001).
2.7.1.1. Denaturasi
Pada tahap ini molekul DNA dipanaskan sampai suhu 950C yang menyebabkan terjadinya pemisahan untai ganda DNA menjadi untai DNA tunggal. Untai DNA tunggal inilah yang menjadi cetakan bagi untai DNA baru yang akan dibuat (Kusuma, 2010).
17
2.7.1.2. Penempelan (Annealing)
Enzim Taq polimerase dapat memulai pembentukan suatu untai DNA baru jika ada seuntai DNA berukuran pendek (DNA yang mempunyai panjang sekitar 10 sampai 30 pasang basa) yang menempel pada untai DNA target yang telah terpisah. DNA yang pendek ini disebut primer. Agar suatu primer dapat menempel dengan tepat pada target, diperlukan suhu yang rendah sekitar 550C selama 30-60 detik (Kusuma, 2010).
Gambar 2.4. Penempelan primer dengan untai DNA yang telah terdenaturasi. Sumber : Kusuma (2010).
2.7.1.3. Pemanjangan (Ektension)
Pemanjangan (Ektension) merupakan langkah setelah primer menempel pada untai DNA target, enzim DNA polimerase akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari komponen primer, DNA cetakan dan nukleotida (Kusuma, 2010).
18
Deteksi kuman BTB dengan teknik PCR mempunyai sensitivitas yang amat tinggi. PCR merupakan cara amplifikasi DNA, dalam hal ini DNA
Mycobacterium sp., secara in vitro. Proses ini memerlukan DNA cetakan (template) untai ganda yang mengandung DNA target, enzim DNA polymerase, nukleotida trifosfat, dan sepasang primer. Pemeriksaan Mycobacterium sp. dengan teknik PCR cukup baik bila dibandingkan dengan kultur bakteri BTB. Pemeriksaan Mycobacterium sp. dengan teknik PCR mempunyai keunggulan, yaitu waktu pemeriksaannya relative singkat, yaitu hanya 24 jam saja, sedangkan pemeriksaan kultur bakteri Mycobacterium sp. membutuhkan waktu 8 – 12 minggu (Jasaputra et al., 2005).
Teknik tes amplifikasi molekul PCR telah terbukti menjadi alternatif peneguhan diagnose yang menjanjikan bahkan untuk negara-negara berkembang. Dengan PCR, diagnosis dapat ditegakkan lebih cepat dan proses diagnostik menjadi tidak rumit, PCR dapat mengurangi keterlambatan baik dalam diagnosis dan awal pengobatan. Bergantung pada "standar emas" dan faktor metodologis lainnya, studi menunjukkan sensitivitas PCR mulai dari 77% sampai dengan 95% (Lydia et al., 2004).
2.8 Etiologi Klebsiella pneumoniae
19
sumber karbon satu-satunya dan ammonia sebagai sumber nitrogen. Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram negatif berukuran 0,3-1,5 μm × 0,6-6,0 μm yang berbentuk batang (basil). Klebsiella pneumoniae tergolong bakteri yang tidak dapat melakukan pergerakan (non motil). Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella pneumoniae dapat memfermentasikan laktosa. Pada uji dengan indol, Klebsiella pneumoniae akan menunjukkan hasil negatif. Klebsiella pneumoniae dapat mereduksi nitrat. Klebsiella pneumoniae banyak ditemukan di mulut, kulit, dan saluran usus, namun habitat alami dari Klebsiella pneumoniae adalah di tanah (Rahmawati, 2009).
20
2.9 Prevalensi Global Klebsiella pneumoniae
Klebsiellosis pada sapi yang disebabkan oleh Klebsiella pneumonia telah dilaporkan di beberapa negara di dunia. Studi yang dilakukan terhadap 68 sampel paru-paru dari kerbau dan sapi berumur 1-3 tahun yang disembelih di rumah potong hewan Assiut Governorat, Mesir menunjukkan bahwa 66 (97,06%) sampel paru-paru yang diperiksa, dapat terisolasi Klebsiella pneumoniae (3.27%) (Sayed dan Zaitoun, 2009). Di indonesia, kejadian Klebsiellosis ditemukan pada sampel paru-paru sapi yang mengalami pneumoni yang berasal dari tempat pemotongan hewan di kota Gorontalo (Retnowati dan Nugroho, 2015).
21
2.10 Hewan Rentan Klebsiella pneumoniae
Penyakit klebsiellosis yang disebabkan oleh bakteri Klebsiella pneumoniae
adalah gram negatif patogen oportunistik yang berhubungan dengan banyak infeksi pada usus hewan, mastitis dan pneumonia pada sapi, bakteremia di anak sapi, metritis di kuda, pneumonia dan infeksi saluran kemih pada anjing, dan pneumonia septicemia di anak kuda. Infeksi nosokomial yang disebabkan oleh Klebsiella pneumoniae juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada manusia (Sharma et al., 2014).
Klebsiella pneumoniae telah diisolasi dari beberapa jenis burung terutama pada fesesnya yaitu genus burung layang-layang merah (Milvus milvus), burung bangkai Mesir, skua Antartika (Catharacta spp.), Red-billed chough (Pyrrhocorax pyrrhocorax), burung nasar kalkun liar (Cathartes aura) dan peregrine falcon (Falco peregrinus) (Sharma et al., 2014).
2.11 Pathogenesis Klebsiella pneumoniae
Bakteri Klebsiella sp., memiliki komponen yang terlibat dalam mekanisme patogenik infeksi. Pada penelitian patogenisitas Klebsiella sp., ditemukan 5 faktor utama yang berperan penting, diantaranya : kapsul, fimbriae (pili), resistensi serum, lipopolisakarida, dan siderophores (Podschun dan Ullman, 1998).
22
Sifat perekat di Enterobacteriaceae umumnya dimediasi oleh pili. Pili akan membantu proses infeksi. Mikroorganisme datang sedekat mungkin pada host di permukaan mukosa dan mempertahankan kedekatan ini dengan melekat ke sel inang. Terdapat dua jenis pili yang dominan di Klebsiella sp., yaitu pili tipe 1 dan tipe 3. Pili tipe 1 : berkaitan dengan virulensi bakteri yang diduga berasal dari kemampuan bakteri untuk mengikat sel-sel epitel urogenital, pernapasan, dan saluran usus. Hal ini membuat pili tipe 1 dapat memediasi bakteri berkolonisasi pada urinogenital dan saluran pernapasan yang menyebabkan perkembang biakan bakteri akan menjadi patogen fakultatif sehingga dapat mengakibatkan penyakit disaat keadaan host melemah. Pili tipe 3, pada awalnya digambarkan sebagai organel adhesi Klebsiella sp., menghuni akar tanaman, namun pili ini kemudian ditemukan mampu mengikat berbagai sel manusia terutama pada sel endotel, epitel saluran pernapasan, dan sel-sel uroepithelial. Sejauh ini, tidak ada model hewan percobaan yang digunakan untuk mengkaji peran pili dalam infeksi. Selain itu, struktur reseptor inang yang sesuai pun tidak diketahui (Podschun dan Ullman, 1998).
23
diaktifkan bahkan tanpa adanya antibodi. Alternatif jalur ini juga dianggap sebagai sistem pertahanan awal kekebalan bawaan, yang memungkinkan inang untuk bereaksi terhadap serangan mikroorganisme bahkan sebelum antibodi spesifik yang terbentuk. (Podschun dan Ullman, 1998).
Molekul lipopolisakarida (LPS) terdiri dari lipid A, polisakarida inti dan rantai sisi yang disebut "O-antigen”. terdapat sembilan jenis O-antigen yang membedakan Klebsiella pneumoniae. Peran penting dari O-antigen adalah untuk melindungi Klebsiella pneumoniae dari pembunuhan dari komplemen yang dimediasi, baik yang berkapsul atau non-berkapsul. Galur O-antigen sangat sensitif terhadap aksi bakterisida dari kedua jalur yaitu komplemen alternatif dan klasik. Untuk perlindungan ini, panjang rantai O-antigen tampaknya menjadi penting. Namun demikian, O-antigen sangat efisien dalam mengaktifkan komponen awal komplemen, dan opsonisasi membuat bakteri rentan terhadap fagositosis (Brisse et al., 2006).
24
hemoglobin, feritin, hemosiderin, dan mioglobin dan ekstrasel untuk afinitas tinggi zat besi mengikat protein seperti laktoferin dan transferin. (Podschun dan Ullman, 1998).
2.12 Gejala Klinis Klebsiella pneumoniae
Bakteri Klebsiella pneumonia ini menginfeksi saluran pernapasan terutama paru-paru serta dapat mengakibatkan pneumonia, nasal mucosa atrophy dan rhinoscleroma. Selain itu dapat pula menginfeksi saluran kemih pada manusia usia lanjut dan kelenjar susu pada hewan. Gejala umum yang terlihat biasanya demam dan batuk dengan sputum berwarna merah (Janda dan Abbott, 2006).
25
2.13 Perubahan patologi anatomi Klebsiella pneumoniae
Bakteri Klebsiella pneumonia ini menginfeksi saluran pernapasan terutama paru-paru serta dapat mengakibatkan pneumonia (Janda dan Abbott, 2006). Retnowati dan Nugroho (2015), menjelaskan bahwa gangguan pada paru-paru salah satunya dapat disebabkan oleh infeksi penyakit dan akan menimbulkan manifestasi peradangan pada tiap lobusnya. Peradangan yang terjadi pada paru-paru sering disebut dengan pneumonia. Manifestasi pneumonia pada sapi dapat diakibatkan oleh virus, bakteri atau kombinasi keduanya, parasit metazoa dan agen-agen fisik/kimia lainnya. Beberapa penyakit bakteri diketahui dapat mengakibatkan perubahan patologi pada paru-paru sapi misalnya seperti penyakit ngorok sapi atau sering dikenal juga dengan Septicemia epizootica (SE), Tuberkulosis dan Klebsiellosis. Serta bisa juga akibat dari bakteri saluran pencernaan seperti golongan bakteri Enterobacteriaceae sp.
Terdapat beberapa bentuk pneumonia yang pernah dilakukan penelitian oleh Retnowati dan Nugroho (2015), yaitu : atelektasis, pneumoni intersisial, pneumoni aspirasi, edema pada lobarpneumoni dan lobarpneumoni disertai adanya pus (nanah).
26
membutuhkan waktu sampai 24 jam dan tes biokimia membutuhkan waktu sampai 48 jam (Mansour et al., 2014).
Isolasi Klebsiella pneumoniae dapat dilakukan dengan mengkultur sampel pada beberapa media agar yaitu : SCAI agar (koloni Kuning berbentuk kubah dan berlendir), EMB agar (koloni gelap tidak metalik dan Berlendir), BCP agar (koloni kuning berlendir) dan MacConkey (Sharma et al., 2014). Media agar
MacConkey dengan koloni yang ditanam terlihat koloni berwarna merah muda dengan latar belakang agak kekuningan. Koloni yang terlihat kurang lebih berbentuk kubah, berukuran 3-4 milimeter dengan aspek berlendir dan kadang-kadang lengket (Brisse et al., 2006).
27
melalui lapisan tipis peptidoglikan. Akibatnya, sel-sel muncul berwarna sampai pewarnaan counter dengan safranin, setelah itu bakteri muncul berwarna merah muda (Tiwari et al., 2009).
Menurut Cowan (1974) dan Sharma et al., (2014), untuk mengidentifikasi isolat yang dikultur maka dilakukan uji biokimia dan gula-gula disajikan seperti Tabel 2.2.
Tabel 2.2.
Klebsiella pneumonia dengan tes biokimia dan gula-gula
Uji Biokimia dan Gula-gula Hasil Pada Genus Klebsiella
Pneumonia
28
1998). Sumber utama penyebaran bakteri Klebsiella pneumonia baik terhadap manusia dan hewan adalah feses yang diikuti dengan kontak melalui bahan yang terkontaminasi (Sugoro et al., 2008). Sedangkan dari hasil kajian yang lain menunjukkan bahwa infeksi dan penularan tuberkulosis pada hewan rentan dapat melalui saluran pernafasan (Tarmudji dan Supar, 2008).
29
2.16 Konsep Epidemiologi
Epidemiologi adalah kajian penyakit dalam populasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian suatu penyakit. Menurut Sumiarto (1998), penyidikan penyakit hewan di dalam populasi berupaya menjawab empat pertanyaan dasar yaitu keberadaan penyakit dan arasnya, penyebab, strategi pengendalian, dan biaya pengendalian penyakit.