No. Reg. 204100000039323
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DALAM PEMBELAJARAN SD/MI
Teori dan Aplikasi di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI)
LAPORAN SEMENTARA
PENERBITAN BUKU AJAR
Ade Suhendra, S.Pd.I., M.Pd.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN 2021
BAB I PENDAHULUAN
Perbincangan seputar kurikulum selalu menjadi kajian menarik, terutama bagi kalangan pakar pendidikan, guru, dosen, pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, dan para stakeholder lainnya, mulai dari perbincangan-perbincangan sederhana hingga seminar-seminar ilmiah, diklat, diskusi terbuka, maupun forum- forum diskusi lainnya. Perbincangan ini terutama dilatarbelakangi oleh fenomena- fenomena negatif masyarakat seperti tawuran antar pelajar, darurat narkoba, minum minuman keras, maraknya kasus pembunuhan hingga mutilasi, seks bebas, kasus korupsi yang kian masif, begal, penculikan dan perampokan, dsb. Berbagai fenomena negatif ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari tugas dan tanggungjawab pendidikan, dan bahkan menjadi salah satu indikator utama kegagalan pendidikan.
Kegagalan pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan kegagalan kurikulum yang memiliki fungsi strategis sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan.
Perbincangan ini juga meliputi proses pengembangan dan perubahan kurikulum serta pro dan kontra yang terkait dengannya. Kurikulum harus selalu disesuaikan dengan perkembangan yang ada, namun di sisi lain pada kenyataannya banyak kalangan melihat pengembangan ataupun perubahan kurikulum ternyata belum cukup kontributif dalam memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di negara ini.
Selain itu, oleh karena proses pengembangan kurikulum terjadi hampir pada setiap periode jabatan kementerian, sehingga munculnya adagium di kalangan masyarakat umum “setiap ganti menteri, kurikulum pun berganti” sulit dihindarkan. Hal ini belum termasuk besarnya dana yang dibutuhkan dalam setiap pergantian atau pengembangan kurikulum, mulai dari tahap perencanaan, pengembangan, kajian, penetapan, uji publik, sosialisasi, hingga penyediaan buku pedoman dan bahan ajar lainnya. Dengan demikian, begitu banyaknya kepentingan dalam upaya perubahan dan pengembangan kurikulum ini sehingga
berpotensi memburamkan sisi idealitas dari proses pengembangan kurikulum tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Anies Baswedan1 mengungkapkan bahwa permasalahan utama pendidikan yang harus dibenahi saat ini adalah guru, bukan pada kurikulum.
Sehinggga meskipun kurikulum hingga saat ini terus mengalami perubahan, pendidikan tetap mengalami masalah yang sama yaitu guru. Guru berposisi sebagai eksekutor kurikulum di lapangan, sehingga selain mengembangkan kurikulum, peningkatan kualitas guru juga mutlak dilakukan.
Lebih lanjut, Mulyasa2 mengungkapkan bahwa sebagaimana dalam bidang pertambangan dan perekonomian di mana pemerintah terus-menerus melakukan perubahan harga bahan bakar minyak (BBM), maka dalam bidang pendidikan, pemerintah juga terus melakukan gonta-ganti kurikulum dengan alasan untuk melakukan perbaikan, tetapi pelaksanaannya seringkali tersesat atau salah jalan, sehingga sulit untuk sampai tepat pada tujuan.
Meskipun kurikulum bukanlah satu-satunya aspek penentu keberhasilan pendidikan, tetapi kurikulum tetap memiliki peran penting di samping beberapa aspek lainnya seperti guru, sarana dan prasarana, dsb. Sebagaimana ditegaskan Muhaimin3 bahwa pembaharuan pendidikan hendaknya diikuti dengan perubahan kurikulum, dan keduanya akan berjalan secara beriringan. Demikian pentingnya peran kurikulum, sehingga setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan hampir pasti menempatkan perbaikan kurikulum menjadi salah satu aspek prioritas.
Akhirnya, penulis berharap buku sederhana ini setidaknya menambah perbendaharaan rujukan bagi para pembaca berkaitan dengan kurikulum dan pembelajaran di samping begitu banyak buku-buku yang berkenaan lainnya yang telah lebih dulu hadir di hadapan pembaca. Dengan segala kekurangan dan
1 SekolahDasar.Net/ Portal Informasi Pendidikan Sekolah Dasar.
http://www.sekolahdasar.net/2015/03/anies-masalah-ada-pada-guru-bukan-kurikulum. html.
Diakses pada hari Minggu, Tanggal 10 Januari 2016, pukul 20.15 WIB.
2 E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 1.
3 Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2010, hlm. 121-122.
kelemahannya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan revisi buku ini untuk menjadi lebih baik ke depannya. Penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari kata cukup untuk mengurai seputar kurikulum dan pembelajaran di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) secara mendalam, sehingga kontribusi semua pembaca sangat penulis harapkan.
BAB II
HAKIKAT KURIKULUM
A. Pengertian Kurikulum
Sebelum mengkaji pengertian kurikulum, perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan antara pengertian, konsepsi, dan definisi. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran dalam penggunaan istilah- istilah tersebut. Konsepsi secara bahasa meliputi pengertian, pendapat (pemahaman), rancangan (cita-cita) yang ada dalam pikiran. Konsepsi pada dasarnya masih bersifat umum meliputi pengertian, pendapat dan pemahaman.
Sedangkan pengertian merupakan bagian dari konsepsi. Perbedaan dalam konsepsi akan menyebabkan perbedaan dalam pengertian. Adapun Definisi diartikan sebagai kata, frasa, atau kalimat yang mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses, atau aktivitas; batasan (arti);
rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau studi.4
Berdasarkan penjelasan beberapa istilah di atas, dapat dipahami bahwa dalam pembahasan berikutnya bisa saja ditemukan adanya perbedaan istilah yang digunakan, tergantung keluasan cakupan istilah yang dimaksudkan.
Untuk menemukan pengertian kurikulum yang baku dan bisa diterima oleh semua pihak, bukanlah tugas yang mudah (untuk tidak mengatakan mustahil). Hal ini selain disebabkan oleh perbedaan penafsiran para ahli pendidikan terkait dengan konsepsi kurikulum, juga dipengaruhi oleh konteks perkembangannya.
Sebagaimana diungkapkan Murray Print dalam Ansyar5 bahwa para pendidik, praktisi, profesional, pakar, dan peneliti pendidikan tidak sepenuhnya sepakat
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 303 dan 725.
5 Mohamad Ansyar, Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain & Pengembangan, Jakarta, Kencana, 2015, hlm. 22.
tentang pengertian kurikulum, sehingga tidak ada satu pengertian pun yang dapat disepakati secara universal.
Dengan kata lain, perdebatan seputar pengertian kurikulum tidak akan pernah selesai. Untuk memudahkan kita dalam memahami istilah kurikulum, akan lebih baik jika kita memulainya dengan meninjau terlebih dahulu konteks sejarah konsepsi kurikulum.
Pengertian kurikulum memang senantiasa akan terus berkembang dan mengalami perubahan. Para ahli pendidikan pun cenderung memaknai kurikulum secara lebih luas daripada sebelumnya. Perkembangan dan perubahan ini antara lain disebabkan: Pertama, sifat manusia yang tidak akan pernah puas dengan hasil pendidikan, sehingga ingin selalu memperbaikinya dan menyempurnakannya.
Mustahil suatu kurikulum dapat disusun dengan baik dan relevan dengan semua perkembangan zaman. Kurikulum akan baik dan relevan dalam kondisi dan waktu tertentu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan memicu perubahan dalam masyarakat, sehingga turut mempengaruhi konsepsi kurikulum tersebut.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mempengaruhi hakikat dan perkembangan peserta didik, cara belajar, dan ilmu psikologi yang tentunya akan mempengaruhi konsepsi suatu kurikulum. Dengan demikian, semakin pesatnya perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, akan semakin memerlukan penyesuaian dan pengembangan dalam konsepsi kurikulum.6
Menurut Sanjaya7, istilah kurikulum mulai digunakan sejak zaman Yunani Kuno dalam bidang olahraga. Istilah ini berasal dari kata curir dan curere, yang pada waktu itu diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari, lintasan pacu atau tempat berlari mulai dari start sampai finish. Sementara itu, menurut Ansyar8 istilah kurikulum muncul pertama kalinya di Skotlandia sekitar tahun 1829, dan secara resmi baru digunakan hampir satu abad kemudian di Amerika Serikat.
6 S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta, Bumi Aksara, 2014, hlm. 3.
7 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP), Jakarta, Kencana, 2013, hlm. 3.
8 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 24.
Lebih lanjut, Nasution9 mengungkapkan bahwa istilah kurikulum mulai dikenal dalam dunia pendidikan kurang lebih satu abad yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan belum ditemukannya istilah kurikulum dalam kamus Webster tahun 1812, dan baru muncul untuk pertama kalinya dalam kamus pada tahun 1856. Makna kurikulum ketika itu adalah “1. a race course; a place for running; a chariot. 2. A course in general; aplied particularly to the course of study in a university” (Suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, seperti kereta pacu pada zaman dahulu, suatu alat yang membawa seseorang dari start sampai finish, sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa sejarah awal penggunaan istilah kurikulum berasal dari zaman Yunani Kuno yang kala itu diartikan sebagai lintasan pacu kuda atau jarak tempuh dalam olahraga lari.
Namun, istilah ini baru dikenal secara populer pada awal abad ke-19, dan baru secara resmi digunakan satu abad kemudian yaitu pada awal abad ke-20. Sejak saat itu, konsepsi kurikulum terus mengalami perkembangan hingga saat ini.
Tilaar10 mendeskripsikan kurikulum sebagai suatu arena pacuan, di dalamnya terdapat beberapa unsur yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: (a) lapangan pacuan, (b) kuda yang akan dipacu, (c) joki yang mengendarai kuda, dan (d) jarak yang ditempuh oleh kuda.
Unsur-unsur di atas akan menentukan tercapai atau tidaknya tujuan yang diinginkan. Sebuah pertandingan akan ditentukan oleh arena pacuan, seperti arena yang kurang memadai, berlobang-lobang, rumputnya terlalu tebal akan menyebabkan pertandingan gagal, atau juga dipengaruhi oleh kesehatan serta kemampuan kuda pacunya, dan yang paling menentukan akhirnya adalah joki yang mengendarai dan mengarahkan kuda pacu tersebut. Sebaik apapun arena pacuan dan keadaan fisik kuda pacu, apabila joki yang mengendarainya terlalu gemuk atau kurang menguasai strategi yang tepat dalam mengalahkan lawannya, maka kuda pacu tidak akan mencapai sasaran secara tepat. Dengan demikian,
9 S. Nasution, Asas-Asas..., hlm. 1-2.
10 H. A. R. Tilaar, Pedagogik Teoretis untuk Indonesia, Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, 2015, hlm. 154.
kurikulum pada hakikatnya memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan antara satu sama lain untuk mencapai tujuan dari kurikulum tersebut.
Zais dalam Ansyar11 menambahkan bahwa kurikulum merupakan suatu
“arena pertandingan” atau tempat di mana peserta didik “bertanding” untuk menguasai suatu keahlian, sehingga mampu mencapai “garis finish” atau titik akhir yang ditandai dengan pemberian diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan lainnya.
Dalam kamus Webster tahun 1955, kurikulum diartikan sebagai berikut:
1. A course especially a specified fixed course of study, as in a school or college, as one leading to a degree (Sejumlah mata pelajaran di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkatan tertentu),
2. The whole body of courses offered in an educational institution, or department there-of, the usual sense” (Keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan).12
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kurikulum pada awalnya dimaknai sebagai suatu lintasan yang harus ditempuh oleh seorang pelari ataupun kuda pacu dimulai dari start (posisi awal) hingga finish (posisi akhir) yang menjadi target atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, kurikulum berkaitan erat dengan tujuan (goal) dan cara untuk mencapai atau meraih tujuan tersebut (How to get the goal). Sehingga dalam konteks pendidikan, secara sederhana kurikulum dapat dimaknai sebagai perencanaan dan penetapan tujuan pendidikan serta tata cara pelaksanaan secara sistematis untuk mencapai atau meraih tujuan pendidikan sebagaimana ditetapkan sebelumnya yang ditandai dengan pemberian sertifikat, ijazah diploma, atau gelar kesarjanaan lainnya.
Berdasarkan perkembangan konteks konsepsi kurikulum tersebut, Hamalik13 secara lebih terperinci kemudian membagi pengertian kurikulum menjadi dua bagian, yaitu menurut pandangan lama dan pandangan baru.
11 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 25.
12 S. Nasution, Asas-Asas..., hlm. 2.
Berdasarkan pandangan lama (tradisional), kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk memperoleh ijazah. Pengertian kurikulum ini berimplikasi pada sejumlah indikator sebagai berikut:
1. Terdiri dari sejumlah mata pelajaran, yaitu sejumlah informasi atau pengetahuan dimana penyampaian mata pelajaran pada peserta didik akan membentuk mereka menjadi manusia yang memiliki kecerdasan berpikir;
2. Mata pelajaran menggambarkan kebudayaan masa lampau yang akan diwariskan kepada peserta didik;
3. Tujuan mempelajari mata pelajaran adalah untuk memperoleh ijazah;
4. Adanya keharusan bagi setiap peserta didik untuk mempelajari mata pelajaran yang sama, sehingga faktor minat dan kebutuhan peserta didik kurang atau bahkan tidak dipertimbangkan dalam proses penyusunan kurikulum;
5. Sistem penyampaian yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan (imposisi), sehingga dalam kegiatan belajar guru bersikap lebih aktif, sedangkan peserta didik hanya bersifat pasif.
Sedangkan menurut pandangan baru (modern), sebagaimana diungkapkan oleh Romine (1954) bahwa “Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not” (Kurikulum dapat dipahami sebagai cakupan seluruh mata pelajaran secara terstruktur, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki peserta didik di bawah tanggungjawab sekolah, baik di dalam maupun di luar kelas).
Pengertian kurikulum ini berimplikasi pada sejumlah indikator sebagai berikut:
13 Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2009, hlm. 3-5.
1. Penafsiran tentang kurikulum bersifat luas karena kurikulum bukan hanya terdiri atas mata pelajaran (course), tetapi juga meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah;
2. Tidak ada pemisahan antara intra dan ekstrakurikuler, sehingga berbagai kegiatan di luar kelas (ekstrakurikuler) sudah tercakup dalam pengertian kurikulum;
3. Pelaksanaan kurikulum tidak hanya dibatasi pada keempat dinding kelas saja, melainkan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar kelas, disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai;
4. Sistem penyampaian yang digunakan guru disesuaikan dengan kegiatan atau pengalaman yang akan disampaikan. Oleh karena itu, guru harus mengadakan berbagai kegiatan pembelajaran yang bervariasi, sesuai dengan kondisi peserta didik;
5. Tujuan pendidikan bukanlah untuk menyampaikan mata pelajaran (courses) atau bidang pengetahuan yang tersusun (subject), melainkan pembentukan pribadi peserta didik dan belajar cara hidup di dalam masyarakat.
Lebih lanjut, Print dalam Sanjaya14 mengungkapkan bahwa kurikulum meliputi:
1. Planned learning experiences (perencanaan pengalaman pembelajaran);
2. Offered within an aducational institutional/program (program sebuah lembaga pendidikan);
3. Presented as a document (yang diwujudkan dalam sebuah dokumen);
4. Includes experiences resulting from implementing that document (meliputi pengalaman hasil dari implementasi dokumen tersebut).
Berdasarkan pendapat Print di atas, kurikulum dapat diartikan sebagai serangkaian perencanaan pembelajaran sebagai sebuah program suatu lembaga pendidikan yang berbentuk dokumen beserta pengalaman implementasi dokumen tersebut.
14 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 3-4.
Sanjaya15 mengungkapkan bahwa kurikulum pada dasarnya memiliki tiga dimensi pengertian yang merupakan hasil dari perkembangan makna kurikulum tersebut yaitu kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman pembelajaran dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran.
Pertama, kurikulum sebagai mata pelajaran berkaitan erat dengan usaha untuk memperoleh ijazah, yang pada dasarnya menggambarkan sekumpulan kemampuan (kompetensi). Dengan kata lain, apabila peserta didik berhasil mendapatkan ijazah berarti ia telah memiliki kemampuan dalam menguasai berbagai mata pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampuan tersebut tercermin dalam nilai setiap mata pelajaran yang terkandung dalam ijazah tersebut. Sedangkan peserta didik yang belum memiliki kemampuan atau belum memperoleh nilai sesuai standar tertentu tidak akan mendapatkan ijazah, walaupun peserta didik tersebut telah mempelajari kurikulum tersebut.
Dengan demikian, kurikulum berdasarkan pandangan ini berpusat pada isi atau materi pelajaran (content or subject oriented). Proses pembelajaran di sekolah yang menggunakan konsep kurikulum ini menjadikan penguasaan isi pelajaran sebagai sasaran akhir proses pendidikan. Untuk mengetahui apakah peserta didik telah menguasai materi pelajaran atau belum, biasanya dilaksanakan evaluasi hasil belajar.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat secara langsung turut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai suatu institusi pendidikan.
Sekolah tidak saja dituntut untuk dapat membekali peserta didik berbagai macam ilmu pengetahuan yang berkembang dengan sangat cepat, namun juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan agar peserta didik dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan (ekspektasi) dunia pekerjaan. Oleh karena itu, tuntutan-tuntutan yang dibebankan masyarakat tersebut tentunya berakibat pada pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak
15 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm.4.
lagi dianggap hanya sebagai mata pelajaran, akan tetapi juga sebagai pengalaman belajar peserta didik.
Berdasarkan pandangan ini, kurikulum merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di dalam maupun di luar sekolah di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Misalnya, kegiatan peserta didik mengerjakan tugas sekolah, tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara dan lain sebagainya, merupakan bagian dari kurikulum, karena aktivitas tersebut merupakan tugas yang diberikan guru untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana diprogramkan sekolah. Sedangkan tugas-tugas lain seperti membantu orang tua bekerja di ladang, atau memasak dan lain sebagainya, walaupun pekerjaan tersebut bermanfaat untuk kehidupan peserta didik, bukan termasuk bagian dari kurikulum karena pekerjaan dan aktivitas tersebut di luar tanggung jawab guru.
Selain itu, pergeseran makna kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman juga dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dan pandangan- pandangan baru khususnya dalam ilmu psikologi yang menganggap bahwa belajar itu bukan hanya mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan tingkah laku peserta didik. Dengan demikian, peserta didik dikatakan telah belajar manakala telah mengalami perubahan tingkah laku. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekadar menumpuk sejumlah mata pelajaran. Inilah yang melatarbelakangi munculnya perkembangan pengertian kurikulum sebagaimana pada bentuk pengertian yang ketiga.
Ketiga, segala bentuk perilaku peserta didik merupakan hasil dari pengalamannya yang tidak mungkin dapat dikontrol oleh guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas, sehingga mengakibatkan makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional. Kritik terhadap konsep tersebut memunculkan konsep yang menganggap kurikulum sebagai suatu perencanaan program pembelajaran (learning plan program).
Pengertian kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran di antaranya diungkapkan oleh Hilda Taba dalam Sanjaya16: “A curriculum is a plan for learning: therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum"
(Kurikulum adalah perencanaan pembelajaran: yang terkait dengan proses pembelajaran dan perkembangan individu termasuk dalam bentuk kurikulum).
Kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran juga sejalan dengan rumusan kurikulum dalam UU No. 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional17 yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan undang-undang tersebut, kurikulum memiliki dua aspek, pertama, sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses pembelajaran dan pengaturan isi (conten organization), kedua, cara pelaksanaan (method of implementation). Keduanya digunakan sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.18
Jika pada awalnya kurikulum diartikan sebagai lintasan pacu atau arena lari mulai dari start hingga finish (istilah yang pada awalnya tidak berkaitan dengan pendidikan). Lalu kemudian istilah kurikulum digunakan dalam pendidikan, yang dimaknai sebagai jalan yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kurikulum pada suatu periode dimaknai sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik untuk menperoleh suatu ijazah tertentu. Lalu kemudian terus mengalami perkembangan menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas untuk mencapai tujuan pendidikan.
Pada akhirnya, kurikulum tidak lagi sekedar perencanaan dalam mencapai tujuan
16 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 8.
17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 5.
18 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 8.
pendidikan, namun juga meliputi hal-hal yang tidak terencana tetapi menunjang keberhasilan pendidikan.
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan di awal bahwa upaya mendefenisikan kurikulum bukanlah tugas yang mudah, apalagi jika tidak memulainya dari konteks sejarah perkembangan penggunaan istilah tersebut.
Namun, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengertian kurikulum mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat.
B. Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia. Pendidikan berhubungan langsung dengan keberadaan (eksistensi) manusia itu sendiri. Pendidikan sudah ada sejak manusia itu ada, meskipun ilmu pendidikan baru ada kemudian jauh setelahnya. Pada awalnya, tugas pendidikan merupakan tugas dan tanggungjawab penuh keluarga. Keluarga menjadi satu- satunya institusi atau lembaga yang berkewajiban untuk mendidik anaknya pada saat itu. Keluarga merupakan penanggungjawab pertama dan utama dalam melaksanakan tugas pendidikan bagi anaknya. Kurikulum yang digunakan ialah untuk mewariskan nilai-nilai (budaya) sebagai bekal bagi anak untuk kehidupannya kelak. Karena ilmu pengetahuan pada waktu itu masih terbatas pada nilai atau budaya saat itu, maka orang tua relatif masih menguasai ilmu yang akan diajarkan kepada anaknya. Pada tahap ini proses pendidikan belum dilaksanakan secara terencana dan sistematis. Akan tetapi, disesuaikan dengan kondisi serta cara orang tua dalam melaksanakan tugas pendidikan tersebut.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan kompleksitas kehidupan manusia, orang tua kemudian mulai membutuhkan bantuan dari pihak luar untuk membantu tugas pendidikan tersebut. Inilah yang melatarbelakangi munculnya sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang berfungsi untuk membantu tugas dan peran orang tua. Dalam hal ini, guru berposisi sebagai orang yang menguasai ilmu pengetahuan, sementara anak menjadi penerima ilmu
pengetahuan yang diajarkan oleh guru. Pada tahap ini pendidikan mulai dilaksanakan secara terencana dan sistematis, di mana sekolah telah mempersiapkan kurikulum sebagai pedoman dalam melaksanakan pendidikan, dan guru bertugas untuk mengimplementasikan kurikulum tersebut. Pada tahap ini, perlu digarisbawahi bahwa sekolah berfungsi untuk membantu orang tua dalam melaksanakan tugas mendidik anak, bukan menjadi penanggungjawab penuh untuk seluruh tugas pendidikan anak.
Pada perkembangan selanjutnya, di mana laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat termasuk teknologi informasi, guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar. Fungsi belajar pun beralih dari hanya sekedar mewariskan budaya masa lalu menjadi untuk merekonstruksi budaya tersebut berdasarkan karakteristik peserta didik. Kedudukan kurikulum dalam proses ini kian penting, tidak lagi hanya sekedar menjadi pedoman mata pelajaran, tetapi juga menjadi pedoman dalam membelajarkan peserta didik melalui penyiapan kondisi pembelajaran yang membelajarkan.
Terkait dengan hal ini, Kelly dalam Ansyar19 mengungkapkan bahwa pada masyarakat modern, kurikulum pendidikan pada semua jenjang harus sampai pada upaya pengembangan pengalaman peserta didik terkait dengan peningkatan kebebasan dan kemandirian berpikir, pemberdayaan sosial dan politik, menghargai kebebasan orang lain, menerima berbagai pendapat, pengayaan kehidupan individu dalam masyarakat, berbagai kelas sosial, ras, dan kepercayaan (agama).
Hal ini tentu berimplikasi pada munculnya paradigma baru dalam pendidikan, di mana sebelumnya peserta didik berperan sebagai objek penerima pasif (teaching) menjadi subjek aktif (learning). Ini merupakan perkembangan dari hakikat pendidikan sebelumnya, dari pendidikan sebagai transmisi budaya (cultural transmission) menjadi pendidikan yang memberdayakan (to empower) potensi individual peserta didik melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, kurikulum didesain secara sistematis dan ilmiah dalam suatu konteks dinamika
19 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 4.
masyarakat, dengan menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kajian psikologi pendidikan, dan teori belajar sebagai fondasi kurikulum.20
Dengan demikian, Null dalam Ansyar21 mengungkapkan bahwa ketika berbicara pendidikan, maka harus berbicara kurikulum, karena kurikulum merupakan jantungnya pendidikan (the heart of education) yang memuat segala yang terkait dengan apa yang akan dibelajarkan oleh guru dengan peserta didik.
Menurut Yamin22, terdapat sejumlah dasar pemikiran yang harus dijadikan sebagai pertimbangan agar kurikulum dapat berperan sentral dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu:
1. Kurikulum hendaknya dirancang secara sistematis, rapi, cerdas, dan akurat sehingga melahirkan relasi yang erat antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.
2. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan kontekstual dengan kebutuhan tingkat pendidikan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum harus memiliki ruang untuk mengubah atau mengembangkan metode maupun muatannya, selama tidak menyimpang dari tujuan dan kepentingan yang telah disepakati bersama.
3. Kurikulum hendaknya disusun oleh para guru dan sejumlah elemen penting lainnya secara bersama-sama dengan mengutamakan kepentingan bersama, tujuan pendidikan di tingkat daerah dan berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional. Sehingga terjalin sinergitas dan harmonisasi antara tujuan lokal dan nasional.
4. Kurikulum hendaknya mencakup segala pengalaman peserta didik di bawah bimbingan sekolah. Kurikulum tidak hanya mencakup mata pelajaran yang diberikan di kelas, namun juga meliputi segala kegiatan yang mengandung unsur pendidikan, seperti pramuka, teater, perkumpulan sekolah, segala jenis rekreasi, hobi, olahraga, dsb. Kegiatan demikian
20 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 5 & 13.
21 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 16.
22 Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan: Panduan Menciptakan Manajemen Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum dan Inspiratif, Jogjakarta, DIVA Press, 2010, hlm. 18-20.
harus dilakukan di bawah arahan dan bimbingan para guru sebagai salah satu komponen penting dalam dunia pendidikan.
5. Kurikulum hendaknya berpusat pada persoalan-persoalan sosial dan pribadi yang bermakna bagi peserta didik di dalam kehidupan sehari-hari.
Sekolah memiliki tanggungjawab untuk membantu anak untuk mampu berhadapan dengan situasi-situasi dalam kehidupannya dengan berfikir secara dewasa dan matang.
6. Kurikulum harus diselenggarakan sebagai sarana untuk mencapai cita-cita nasional yang berlandaskan falsafah negara. Sekolah bertanggungjawab dalam membentuk masyarakat Indonesia yang bersatu dan sanggup menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan, serta memberikan kesempatan dalam mengaktualisasikan diri untuk bersikap toleran dengan peserta didik lainnya yang berbeda agama, suku, budaya, dsb.
7. Kurikulum harus memberikan pengalaman yang lebih luas dan bermakna kepada peserta didik dan tidak sekedar bersifat tekstual.
8. Kurikulum harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga anak-anak bisa mempelajari teknik belajar, cara kerja efektif, dan memecahkan masalah (problem solving).
9. Kurikulum hendaknya membuka kesempatan kepada setiap peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakatnya masing-masing.
Berdasarkan beberapa poin di atas, kurikulum diharapkan memiliki kedudukan penting dalam penyelenggaraan pendidikan yaitu mampu mengantarkan peserta didik untuk memiliki bekal yang cukup dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya untuk memenuhi harapan (ekspektasi) dunia pekerjaan yang akan dihadapinya.
C. Peran dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum baik sebagai dokumen maupun sebagai implementasi/pelaksanaan dokumen memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam proses penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Kurikulum dapat diibaratkan seperti kompas yang akan menunjukkan arah pelaksanaan proses pendidikan. Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, kurikulum setidaknya memiliki tiga peran penting, yaitu23:
1. Peran Konservatif
Peran konservatif kurikulum merupakan upaya untuk melestarikan berbagai nilai budaya warisan masa lalu. Kurikulum berhubungan langsung dengan era globalisasi sebagai implikasi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menyebabkan semakin mudahnya budaya asing mempengaruhi dan menggerogoti budaya lokal. Dalam hal ini, kurikulum melalui peran konservatif-nya berperan penting untuk menangkal berbagai pengaruh budaya luar yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga mampu memelihara keajegan (kemurnian) identitas masyarakat dengan baik.
2. Peran Kreatif
Selain berperan penting dalam melestarikan nilai-nilai budaya warisan masa lalu, sekolah juga bertanggungjawab untuk mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Sebab, masyarakat pada kenyataannya bersifat dinamis yang tentunya terus mengalami perkembangan dan perubahan.
Kurikulum dalam hal ini memiliki peran kreatif dan mengandung hal- hal baru yang dapat membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis. Manakala kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru, maka pendidikan akan berada dalam posisi tertinggal, terbelakang, kurang bermakna, dan tidak relevan dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.
3. Peran Kritis dan Evaluatif
Kurikulum juga berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya yang perlu dipertahankan, dan nilai atau budaya baru yang dibutuhkan peserta
23 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 10-12.
didik. Dalam hal inilah peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan.
Kurikulum harus berperan dalam menyeleksi secara kritis dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan peserta didik.
Dalam peran evaluatif dan kritis, kurikulum juga berperan untuk melakukan penilaian secara kritis terhadap nilai dan budaya baru yang datang akibat perkembangan zaman serta menyesuaikannya serta mengkomunikasikannya dengan warisan budaya lokal. Jika nilai dan budaya baru tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan warisan budaya lokal, barulah nilai dan budaya tersebut dapat diterapkan dan dilaksanakan di dalam masyarakat. Sebaliknya jika bertentangan, maka nilai dan budaya tersebut perlu dihindarkan atau bahkan dihilangkan.
Selain memiliki peran yang strategis sebagaimana diungkapkan di atas, kurikulum juga harus berfungsi secara maksimal dalam penyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Berikut beberapa fungsi kurikulum dalam pendidikan24:
1. Fungsi Kurikulum sebagai Alat untuk Mencapai Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan merupakan sasaran akhir yang harus dicapai setelah pelaksanaan proses pendidikan. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat paling bawah yaitu tingkat pembelajaran, jenjang lembaga, sampai pada jenjang negara yang dikenal dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, kurikulum merupakan alat atau jembatan bagi guru dan lembaga pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, sebelum menyusun kurikulum harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pendidikan, sebab: (a) tujuan berfungsi menentukan arah dan corak kegiatan pendidikan, (b) tujuan akan menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan pendidikan, dan (c) tujuan menjadi pegangan dari setiap usaha dan tindakan dari para pelaksana pendidikan.
24 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori & Praktik, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011, hlm. 228-233. Lihat juga dalam Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2011, hlm. 4-7.
2. Fungsi Kurikulum bagi Pendidik/Guru
Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Kurikulum dalam hal ini berfungsi sebagai pedoman dalam menyusun dan mengorganisasi pengalaman belajar bagi para peserta didik serta pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan peserta didik dalam menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan. Keberadaan kurikulum sebagai pedoman akan membuat tugas pendidik menjadi lebih terarah dan terorganisir, serta terhindar dari usaha- usaha yang bersifat insidental (tidak terencana) dan spekulatif (perkiraan/taksiran).
Dengan adanya kurikulum, guru juga akan terbantu dalam upaya pemilihan metode pembelajaran yang digunakan sesuai dengan karakter peserta didik, sehingga pembelajaran tidak selamanya berbentuk klasikal, tetapi disesuaikan dengan tingkat perkembangan individu/kelompok peserta didik.
3. Fungsi Kurikulum bagi Kepala Sekolah
Kepala sekolah berperan sebagai administrator, supervisor, dan dinamisator bagi semua warga sekolah/madrasah yang dipimpinnya. Dalam hal ini, kurikulum bagi kepala sekolah memiliki fungsi penting, yaitu:
a. Sebagai pedoman dalam pelaksanaan fungsi supervisi pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian pembelajaran.
b. Sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi untuk memberikan bantuan kepada guru dalam memperbaiki proses pembelajaran.
c. Sebagai seorang administrator yang menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk pengembangan kurikulum pada masa mendatang.
d. Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap proses pembelajaran
4. Fungsi Kurikulum bagi Orangtua/Wali Peserta Didik
Fungsi kurikulum bagi orangtua/wali peserta didik yaitu sebagai bentuk partisipasi orangtua/wali untuk membantu sekolah dalam melaksanakan tugas pendidikan. Dengan adanya kurikulum, orang tua/wali ikut serta dalam membantu keberhasilan pendidikan. Bantuan tersebut dapat berupa konsultasi
langsung dengan sekolah/guru mengenai permasalahan-permasalahan yang dialami peserta didik. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, maka para orang tua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan oleh anak-anak mereka. Dengan demikian, akan ada jalinan kerja sama yang sinergis antara guru dengan orang tua untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
5. Fungsi Kurikulum bagi Sekolah Tingkat di Atasnya
Selain bermanfaat bagi sekolah yang bersangkutan, kurikulum juga bermanfaat bagi lembaga pendidikan di atasnya, antara lain: (a) sebagai upaya pemeliharaan prinsip kesinambungan, sehingga sekolah yang berada pada tingkat di atasnya akan menjaga agar tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih pengalaman belajar yang akan diberikan dengan pengalaman belajar yang sudah dikuasai oleh peserta didik; (b) pemeliharaan prinsip relevansi, artinya pengalaman belajar yang akan diberikan pada tingkat di atasnya akan relevan dengan apa yang sudah dialami peserta didik pada tingkat sebelumnya;
(c) sebagai pedoman penyediaan tenaga guru dalam lembaga pendidikan keguruan.
Dengan mengetahui kurikulum sebuah lembaga pendidikan, maka lembaga pendidikan keguruan yang bertugas menyiapkan tenaga guru akan dapat mengantisipasi kebutuhan para calon guru, sehingga dilakukan kajian tentang jenis tugas dan kompetensi yang seharusnya dimiliki kelak ketika menjadi guru. Hal ini akan membantu lembaga pendidikan guru dalam melakukan revisi-revisi dan penyesuaian kurikulum.
6. Fungsi Kurikulum bagi Masyarakat dan Pemakai Lulusan Sekolah Dengan mengetahui kurikulum suatu sekolah, masyarakat sebagai pemakai lulusan dapat melaksanakan sekurang-kurangnya dua macam, yaitu:
a. Berkontribusi untuk memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama yang baik dengan pihak orang tua dan masyarakat.
b. Memberikan kritik dan saran yang konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
D. Kurikulum dan Pembelajaran
Kurikulum memiliki dua komponen utama yaitu kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi (pelaksanaan). Kurikulum sebagai dokumen berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran.
Sedangkan kurikulum sebagai implementasi berupa tata cara dalam mengimplementasikan dokumen kurikulum tersebut dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, antara kurikulum dengan pembelajaran merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Inti dari kurikulum terletak pada pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga setiap terjadi perubahan atau pengembangan kurikulum maka proses implementasinya ialah perbaikan ataupun pengembangan kualitas proses pembelajaran.
Secara lebih sederhananya, kurikulum harus memuat sampai pada tahapan-tahapan pelaksanaannya pada proses pembelajaran. Demikian juga dengan pelaksanaan proses pembelajaran seharusnya berlandaskan pada dokumen kurikulum yang ada. Keterkaitan kurikulum dengan pembelajaran bisa diibaratkan seperti keberadaan Standart Operasional Prosedure (SOP) sebagai pedoman aturan standar minimal dalam suatu pekerjaan profesional.
Terkait dengan keterhubungan antara kurikulum dan pembelajaran ini, Sukmadinata25 menegaskan bahwa dalam setiap uraian tentang model-model konsep kurikulum, terutama dalam hal desain kurikulum yang beragam tidak bisa dilepaskan dari persoalan isi dan proses pembelajaran yang selalu menjadi tema dan titik tolak kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum merupakan pedoman pembelajaran, sedangkan proses pembelajaran harus berlandaskan pada dokumen kurikulum. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dilaksanakan secara
25 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 126.
terencana dan sistematis, tidak bisa dilaksanakan berdasarkan tindakan yang tidak terencana (insidental).
Untuk menghindari kesimpangsiuran antara kurikulum dan pembelajaran, Arifin26 mengungkapkan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar yang dilaksanakan secara terorganisir dalam bentuk tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah, sedangkan pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk membimbing peserta didik agar memperoleh pengalaman belajar. Oleh karena itu, jika kurikulum adalah programnya, maka pembelajaran adalah implementasinya. Jika kurikulum adalah konsepnya, maka pembelajaran adalah penerapannya. Jika kurikulum merupakan teorinya, maka pembelajaran merupakan praktiknya. Apa yang dapat dilihat dan dilakukan dalam pembelajaran, itulah sesungguhnya kurikulum yang nyata (real curriculum).
Kurikulum merupakan segala sesuatu yang ideal, sedangkan pembelajaran merupakan upaya untuk merealisasikannya. Sebuah kurikulum yang sudah dirancang dengan baik, tidak akan berarti jika tidak diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, antara kurikulum dengan pembelajaran mempunyai hubungan yang erat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
E. Kurikulum Ideal dan Kurikulum Aktual
Kurikulum memiliki fungsi strategis sebagai penunjuk arah dalam pelaksanaan pendidikan. Pendidikan sebagai sebuah sistem merupakan kegiatan yang memiliki beberapa komponen, salah satunya adalah tujuan (goal). Tanpa adanya tujuan, pembelajaran akan berjalan tanpa arah yang jelas. Tujuan merupakan salah satu komponen penting dari suatu aktivitas dan kegiatan. Ibarat kita ingin melakukan perjalanan, tanpa tujuan yang jelas maka hasilnya hanya akan ‘jalan-jalan’ atau bahkan ‘berputar-putar’ di sekitar tempat tersebut.
Jika kita telah menetapkan arah atau tujuan kita bepergian, maka selanjutnya kita dapat menentukan dan mempertimbangkan bagaimana caranya agar kita sampai ke tujuan tersebut dengan aman, cepat dan tepat. Misalnya, kita
26 Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Jakarta, PT Remaja Rosdakarya, 2011, hlm. 23.
akan melakukan perjalanan ke Kota Malang (Jawa Timur), jika kita menggunakan kenderaan darat akan sampai kira-kira 4 hari dalam perjalanan dari Kota Padangsidimpuan (Sumatera Utara). Kalau misalnya kita menggunakan alat transportasi udara, dari Padangsidimpuan terlebih dahulu ke lokasi penerbangan dengan jalur Aek Godang/Sibolga – Medan – Surabaya – Malang dengan total waktu kira-kira 5 jam sampai di Kota Malang atau jauh lebih cepat dibandingkan dengan jalur darat yang memakan waktu hingga 4 hari. Dengan kata lain, jika kita sudah menetapkan arah atau tujuan maka kita bisa merencanakan secara terperinci bagaimana cara agar kita sampai di tujuan yang telah kita tetapkan sebelumnya.
Oleh karena itu, sebagai suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar dan sistematis, aspek tujuan merupakan salah satu komponen penting yang harus ditentukan terlebih dahulu. Dengan berdasarkan tujuan itulah kita dapat merencanakan kegiatan pendidikan yang akan kita laksanakan untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan.
Demikian pentingnya posisi tujuan pendidikan, sehingga ketika melakukan proses evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan proses pendidikan, langkah utama yang dilakukan ialah melihat dan menganalisis apakah pelaksanaan proses pendidikan yang berlangsung mampu mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana ditetapkan sebelumnya. Jika proses pendidikan telah mampu mencapai tujuan pendidikan, maka langkah selanjutnya ialah menetapkan tujuan pendidikan selanjutnya. Namun, jika proses pendidikan belum mampu mencapai tujuan pendidikan, maka perlu dilaksanakan proses evaluasi terhadap aspek-aspek mana saja yang belum tercapai dan kendala apa yang dihadapi sehingga tujuan tersebut tidak tercapai.
Kurikulum sebagai pedoman atau penunjuk arah dalam penyelenggaraan pendidikan, yang berisikan tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam bentuk dokumen disebut dengan kurikulum ideal. Sanjaya27 mendefenisikan kurikulum ideal sebagai pedoman perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran sebagaimana tertuang dalam dokumen kurikulum. Segala yang tertuang dalam dokumen kurikulum, itulah yang dimaksud dengan kurikulum ideal, yaitu
27 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 22.
kurikulum yang diharapkan dapat dilaksanakan dan berfungsi sebagai acuan atau pedoman guru dalam proses pembelajaran. Kurikulum ini juga diistilahkan dengan kurikulum formal atau kurikulum tertulis (written curriculum).
Apakah setiap kurikulum ideal dapat dilaksanakan secara sempurna oleh guru dan sekolah? Pada kenyataannya di lapangan, tidak semua kurikulum yang tertulis tersebut dapat dilaksanakan secara sempurna, dikarenakan berbagai alasan seperti: pertama, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, kedua, kemampuan (kompetensi) para guru, ketiga, kebijakan dari setiap sekolah yang bersangkutan mulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, staf-staf tata usaha, hingga bagian kebersihan sekolah ikut serta menentukan bisa tidaknya kurikulum ideal dilaksanakan secara sempurna.28
Inilah yang dimaksud dengan kurikulum aktual, yaitu kurikulum yang sebagaimana terlaksana di sekolah yang merujuk pada kurikulum ideal. Oleh karena itu, Sanjaya29 mengartikan kurikulum aktual sebagai kurikulum nyata yang dapat dilaksanakan oleh guru sesuai dengan kondisi yang ada. Semakin jauh jarak antara kurikulum ideal dengan kurikulum aktual, semakin rendah kualitas sekolah tersebut, sebaliknya semakin dekat jarak antara kurikulum ideal dengan kurikulum aktual, maka akan semakin bagus kualitas suatu sekolah.
Dengan demikian, adakalanya dalam kurikulum aktual tidak bisa sepenuhnya dilaksanakan sebagaimana yang tertuang dalam kurikulum ideal.
Selain adanya beberapa kendala dalam pelaksanaannya, juga harus disesuaikan dengan salah satu prinsip dalam pengembangan kurikulum yaitu fleksibilitas.
Oleh karena itu, guru juga perlu menyesuaikan kurikulum ideal dengan konteks tempat pelaksanaannya, sehingga dalam hal ini guru harus memiliki ruang cukup untuk berkreasi dalam mengimplementasikan kurikulum ideal menjadi kurikulum aktual (kurikulum sebagaimana terlaksana di lapangan).
28 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 23.
29 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 24.
F. Kurikulum Tersembunyi (Hidden Curriculum)
Kurikulum secara sederhana dapat diartikan sebagai pedoman perencanaan pembelajaran dan pedoman implementasi pembelajaran. Oleh karena itu, antara pedoman perencanaan dengan pedoman implementasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Terkait dengan hal ini, apakah kurikulum hanya menyangkut hal-hal yang telah direncanakan sebelumnya? Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan ataupun aktivitas-aktivitas yang tidak direncanakan, namun memberikan dampak atau pengaruh yang signifikan terhadap peserta didik? Apakah hal tersebut tidak termasuk bagian dari kurikulum?
Kurikulum merupakan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses pembelajaran di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya. Sehingga kurikulum tidak hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga seluruh peristiwa- peristiwa yang terjadi selama berada di bawah pengawasan sekolah.30
Nasution31 membagi kurikulum menjadi dua bagian yaitu kurikulum formal dan kurikulum nonformal (co-curriculum atau extra-curriculum).
Kurikulum formal meliputi: 1) tujuan pembelajaran, umum dan spesifik, 2) bahan pembelajaran yang tersusun secara sistematis, 3) strategi pembelajaran serta kegiatan-kegiatannya, 4) sistem evaluasi untuk mengetahui pencapaian tujuan pembelajaran. Sedangkan kurikulum nonformal yang berfungsi sebagai pelengkap kurikulum formal meliputi kegiatan-kegiatan yang juga terencana akan tetapi tidak berkaitan langsung dengan pelajaran akademis dan kelas tertentu, seperti pertunjukan sandiwara, pertandingan antar kelas atau antar sekolah, perkumpulan berbagai hobi, pramuka, dsb.
Menurut Nasution32, kurikulum tersembunyi (Hidden Curriculum) merupakan aturan tidak tertulis di kalangan peserta didik seperti misalnya “harus kompak terhadap guru”, dll. yang turut mempengaruhi proses pembelajaran.
30 S. Nasution, Kurikulum & Pengajaran, Jakarta, Bumi Aksara, 2012, hlm. 5.
31 S. Nasution, Kurikulum &..., hlm. 5.
32 S. Nasution, Kurikulum &..., hlm. 6.
Sesuai dengan pengistilahannya sebagai kurikulum tersembunyi atau hidden curriculum, secara sederhana dapat dimaknai sebagai bagian yang pada kenyataannya merupakan bagian dari proses pembelajaran tetapi bersifat tersembunyi (tidak direncanakan). Para ahli memiliki pendapat yang berbeda antara apakah ini merupakan bagian dari kurikulum atau tidak. Bagi yang tidak setuju hal ini sebagai bagian dari kurikulum, dasarnya adalah disebabkan hal ini tidak direncanakan sebelumnya, sementara kurikulum sifatnya haruslah terencana.
Bagi yang setuju dasarnya karena hal ini turut serta mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, meskipun tidak direncanakan sebelumnya.
Glatthorn dalam Yamin33 mengungkapkan bahwa kurikulum tidak hanya terbatas pada hal-hal yang tampak, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang disebut kurikulum tersembunyi yang juga memberikan dampak yang signifikan terhadap proses pendidikan peserta didik yang meliputi lingkungan, kultur, kebijakan sekolah, dsb. Dengan demikian, apa yang diistilahkan sebagai kurikulum implisit ini juga menjadi perangkat penting dalam melahirkan pendidikan yang mencerdaskan peserta didik.
Lebih lanjut, Ornstein & Hunkins dalam Ansyar34 mengungkapkan bahwa pembelajaran sebagai hasil interaksi antara guru, peserta didik, dan materi, seringkali tanpa disadari “dipelajari” atau “diperhatikan” oleh peserta didik, meskipun tidak direncanakan sebelumnya. Hal ini tentunya sering terabaikan dan luput dari perhatian guru. Hal inilah yang biasa diistilahkan dengan hidden curriculum, yaitu kurikulum tersembunyi yang muncul sebagai hasil sampingan (side effects) dari interaksi antar peserta didik, guru dan materi serta lingkungan belajar.
Berdasarkan pendapat di atas, kurikulum tidak hanya dimaknai sebatas aktivitas atau kegiatan yang terencana, tetapi juga mencakup hal-hal yang tidak direncanakan namun memberikan dampak atau pengaruh terhadap pencapaian tujuan dari kurikulum tersebut. Pengertian ini tentu merupakan hasil perkembangan terakhir dari kurikulum itu sendiri.
33 Moh. Yamin, Manajemen Mutu..., hlm. 27.
34 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 33.
Terkait dengan hal ini, Sanjaya35 mengungkapkan bahwa ada dua aspek yang dapat mempengaruhi perilaku sebagai hidden curriculum tersebut, yaitu aspek yang relatif tetap dan aspek yang dapat berubah. Aspek yang relatif tetap dalam hal ini adalah ideologi, keyakinan, nilai budaya masyarakat yang mempengaruhi sekolah termasuk di dalamnya menentukan budaya apa yang patut dan tidak patut diwariskan kepada generasi bangsa. Sistem sosial ini meliputi pola hubungan sosial antar sesama guru, guru dengan peserta didik, guru dengan staf sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan aspek yang dapat berubah meliputi variabel organisasi sistem sosial dan kebudayaan, meliputi bagaimana guru mengelola kelas, bagaimana pelajaran diberikan, dan bagaimana kenaikan kelas dilakukan.
Oleh karena itu, Bellack & Kiebard dalam Sanjaya36 lebih lanjut mengungkapkan bahwa hidden curriculum memiliki tiga dimensi, yaitu:
1. Dapat menunjukkan suatu hubungan sekolah yang meliputi interaksi guru, peserta didik, struktur kelas, keseluruhan pola pengaturan peserta didik sebagai mikrokosmos sistem nilai sosial.
2. Dapat menjelaskan sejumlah proses pelaksanaan di dalam atau di luar sekolah yang meliputi hal-hal yang memiliki nilai tambah, sosialisasi, pemeliharaan struktur kelas.
3. Mencakup perbedaan tingkat kesengajaan (intensionalitas) seperti tingkat yang berhubungan dengan hasil yang bersifat insidental. Bahkan hal ini kadang-kadang tidak diharapkan dari penyusunan kurikulum dalam kaitannya dengan fungsi sosial pendidikan.
Ornstein & Hunkins dalam Ansyar37 mengungkapkan bahwa kurikulum tersembunyi memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk karakter peserta didik, karena bisa berkontribusi penting terhadap perkembangan dan pembentukan kepribadian peserta didik, termasuk dalam pembentukan nilai-nilai, sikap dan persepsi peserta didik.
35 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 26.
36 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 26.
37 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 34.
Secara lebih terperinci, Glatthorn dalam Yamin38 menjelaskan tiga hal penting yang menjadi bagian integral dari hidden curriculum, yaitu:
1. Organisasi
Organisasi merupakan penugasan guru atau pendidik dan pengelompokan peserta didik dalam proses pembelajaran. Hal ini mencakup empat hal penting yaitu team teaching, promosi (kenaikan kelas), pengelompokan peserta didik berdasarkan kemampuan, dan fokus kurikulum.
Team teaching merupakan salah satu kebijakan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan terbaik sehingga guru mengajar sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Promosi berkenaan dengan pencapaian individu peserta didik (prestasi akademik dan sikap). Pengelompokan peserta didik berdasarkan kemampuan akademik dan kemampuan-kemampuan lainnya serta fokus kurikulum penting untuk diperhatikan, sebab akan mempermudah proses pembelajaran.
2. Sistem Sosial
Sistem sosial yaitu suasana sekolah yang digambarkan berdasarkan pola-pola hubungan semua komponen. Pola tersebut mencakup hubungan antara guru dan tenaga administrasi, keterlibatan kepala sekolah dalam pembelajaran, keterlibatan guru dalam proses pengambilan keputusan, hubungan yang baik antar sesama guru, kepala sekolah, hubungan guru dan peserta didik, staff tata usaha, petugas kebersihan sekolah, warga masyarakat sekitar sekolah, serta hubungan kelompok-kelompok lain yang juga mendukung dinamika pendidikan dalam sekolah. Sistem sosial ini sangat mempengaruhi keberhasilan proses penyelenggaraan pendidikan.
3. Budaya
Budaya merupakan dimensi sosial yang berhubungan dengan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan struktur kognitif. Berikut beberapa bagian yang terkait dengan hal ini, yaitu:
38 Moh. Yamin, Manajemen Mutu..., hlm. 28-29.
a. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami semua unsur sebagai hasil kesepakatan antara pengelola adminstrasi dan guru;
b. Pengelola administrasi mempunyai harapan yang tinggi pada guru begitu pula dengan tenaga administrasi;
c. Pengelola administrasi dan guru mempunyai harapan yang baik pada peserta didik yang diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik;
d. Pemberian hadiah pada mereka yang mencapai prestasi terbaik serta hukuman yang dilakukan secara fair dan konsisten kepada para peserta didik.
Penelitian tentang kurikulum tersembunyi oleh Print dalam Ansyar39 mengungkapkan bahwa kurikulum tersembunyi ini bisa menghasilkan pembelajaran yang bersifat positif dan juga negatif. Salah satu contoh kurikulum tersembunyi negatif ialah proses pembelajaran untuk mengajarkan cara membaca dengan baik untuk peserta didik. Metode yang tidak tepat bisa saja tanpa disadari akan menghasilkan peserta didik yang justru menjadi tidak senang membaca.
Contoh lain misalnya proses pembelajaran yang lebih fokus pada penjelasan verbal (ekspose verbal) tentang materi, yang ternyata “memaksa” peserta didik untuk menghafal materi pembelajaran dari pada memahami atau merekonstruksi materi tersebut menjadi pengetahuan baru bagi peserta didik.
Contoh kurikulum tersembunyi positif yaitu proses pembelajaran yang memotivasi peserta didik untuk mempelajari suatu pokok bahasan sebelum ia datang ke sekolah dan guru memulai pertemuan di kelas dengan memotivasi peserta didik untuk mengemukakan pendapat masing-masing peserta didik sebagai hasil yang diperolehnya dari mempelajari sendiri materi tersebut sebelum ke sekolah, sehingga ruang kelas didesain menjadi ruang untuk berdiskusi daripada penjelasan verbal (expose verbal). Strategi yang mungkin dilakukan ialah dengan menjadikan sesi pembelajaran menjadi sesi tanya-jawab tentang pokok bahasan tertentu. Metode ini mengharuskan peserta didik untuk
39 Mohamad Ansyar, Kurikulum..., hlm. 35.
memberdayakan nalarnya atas apa yang telah dipelajarinya di rumah, bukan yang diperolehnya dari guru di kelas.
G. Peran Guru dalam Implementasi Kurikulum
Guru memiliki peran penting dalam mengimplementasikan suatu dokumen kurikulum. Kurikulum memiliki dua komponen penting yaitu kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Kurikulum sebagai implementasi erat kaitannya dengan bagaimana guru mampu menjalankan tugasnya secara profesional untuk mengimplementasikan kurikulum dalam proses pembelajaran di kelas.
Majid40 menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi kurikulum sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru yang akan menerapkan dan mengaktualisasikan kurikulum tersebut dalam proses pembelajaran. Sehingga tidak jarang kegagalan implementasi kurikulum disebabkan kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan guru dalam memahami tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.
Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai pengembangan kurikulum, maka salah satu komponen yang harus dikedepankan adalah peran strategis guru di dalamnya. Sebaik dan sebagus apapun kurikulum, jika tanpa didukung dengan kualitas guru yang memadai, kurikulum tersebut tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Artinya, guru tetaplah menjadi komponen penting dalam pendidikan. Adanya berbagai media hanyalah berfungsi untuk membantu guru dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan, tidak untuk menggantikan posisi guru. Dengan demikian, semaju apapun perkembangan teknologi, peran guru tetaplah sangat dibutuhkan.
Berkaitan dengan hal ini, Walker dalam Rosyada41 menegaskan bahwa guru pada hakikatnya memiliki wewenang untuk melakukan inovasi kurikulum, kemudian mengujicobakannya di dalam kelas, kemudian mereka memiliki
40 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2005, hlm. 3-4.
41 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta, Kencana, 2013, hlm. 72.
kurikulum operasional yang kuat untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Sejalan dengan itu, Print dalam Sanjaya42 mengungkapkan bahwa peran guru dalam kaitannya dengan kurikulum meliputi: pertama, sebagai implementator (pelaksana) yaitu mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada.
Pada fase ini, peran guru dalam pengembangan kurikulum hanya sebatas menjalankan kurikulum yang telah disusun. Oleh karena guru dalam hal ini hanya sekedar pelaksana kurikulum, maka tingkat kreativitas dan motivasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu untuk melakukan berbagai pengembangan. Mengajar hanya dianggap sebagai tugas rutin atau tugas harian, ketimbang sebagai pekerjaan profesional.
Kedua, sebagai adapters (pengadaptasi) yaitu peran guru lebih dari sekedar pelaksana kurikulum, akan tetapi juga sebagai pengadaptasi (penyelaras) kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik serta kebutuhan daerah. Pada fase ini guru diberikan kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal.
Ketiga, sebagai pengembang kurikulum, dalam hal ini guru memiliki kewenangan dalam mendesain kurikulum. Guru tidak lagi hanya sekedar menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum, guru sepenuhnya dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan peserta didik.
Keempat, peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher) yang dilakukan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, efektivitas kurikulum, strategi dan model pembelajaran, termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan peserta didik untuk mencapai tujuan kurikulum.
42 Wina Sanjaya, Kurikulum dan..., hlm. 28-30.
BAB III
PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Hakikat Pengembangan Kurikulum
Sebagaimana halnya kurikulum yang terus mengalami perkembangan, pemahaman tentang pengembangan kurikulum juga terus mengalami perkembangan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seringkali dipahami sebagai perubahan kurikulum. Sehingga sulit untuk membedakan antara ‘pengembangan kurikulum’ dengan ‘perubahan kurikulum’. Tulisan ini berupaya untuk menguraikan tentang proses pengembangan kurikulum.
Polemik ini sebenarnya tidak terlepaskan dari berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan proses pengembangan kurikulum. Apakah peralihan dari kurikulum 1994 menuju kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi) merupakan proses perubahan kurikulum atau proses pengembangan kurikulum?
Demikian juga dari Kurikulum Berbasis Kompetensi menuju Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, menuju Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Berbasis Karakter, hingga akhirnya sekarang menuju Kurikulum 2013 (Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Karakter).
Terlepas apakah itu perubahan atau pengembangan, tetapi sebagian besar guru dan masyarakat terlanjur memandangnya sebagai perubahan, sehingga memunculkan ungkapan “setiap ganti menteri, ganti kurikulum” yang telah populer di kalangan masyarakat luas. Permasalahan ini sangat penting untuk dikaji, karena pandangan demikian akan menyebabkan terjadinya kebingungan bagi pendidik, peserta didik, orang tua, dan masyarakat serta berpotensi menimbulkan problematika dalam pengimplementasian kurikulum tersebut.
Belum lagi akibat kebijakan tersebut, dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan ekonomis melalui proyek yang terkait dengan proses pengembangan kurikulum mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pengimplementasian, hingga pengawasan kurikulum.