PENDEKATAN DAN MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
C. Model-model Pengembangan Kurikulum
Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan-kelebihannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan86.
85 Zainal Arifin. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya. 2011, hlm. 113-126.
86 Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2010, hlm. 161.
Sukmadinata87 menyebutkan terdapat delapan model pengembangan kurikulum sebagai berikut.
1. Model Administratif (The Administrative/Line Staff Model)
Dinamakan model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan berasal dari para administrator atau staf pendidikan dan menggunakan prosedur sebagaimana dalam proses administrasi. Para administrator pendidikan membentuk suatu komisi atau tim pengarah dalam pengembangan kurikulum yang beranggotakan pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum.
Setelah hal-hal mendasar ini terumuskan dan dikaji dengan seksama, kemudian administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja pelaksanaan pengembangan kurikulum. Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas untuk menyusun kurikulum yang sesungguhnya dan lebih operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah yaitu merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun (sequence) bahan pembelajaran, memilih strategi dan evaluasi pembelajaran, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum tersebut selesai, kemudian hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli yang berwewenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator pendidikan memberi tugas untuk menetapkan berlakunya kurikulum tersebut dengan menginstruksikan kepada sekolah-sekolah untuk melaksanakan (mengimplementasikan) kurikulum tersebut.
87 Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya. 2010, hlm. 161-1170.
Karena sifat atau alur dari model ini datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian disebut juga model “top down” atau “line staff”. Pengembangan kurikulum model ini tidak selalu bisa segera dijalankan atau diimplementasikan oleh sekolah, sebab harus didukung dengan kesiapan dari pelaksanaannya, terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau bahkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan baik melalui penataran-penataran, pelatihan-pelatihan, seminar-seminar, dsb.
Pada tahap pelaksanaannya, model pengembangan kurikulum ini memerlukan adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta bimbingan terutama dari pihak administrator. Setelah berjalan beberapa waktu juga perlu dilakukan evaluasi untuk menilai validitas komponen-komponennya, prosedur pelaksanaan maupun keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari tingkat pusat atau daerah, sedangkan penilaian tingkat sekolah dapat dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah, maupun sekolah.
2. Model dari Bawah (The Grass Roots Model)
Model pengembangan kurikulum ini merupakan lawan dari model administratif yaitu inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum bukan datang dari atas tetapi dari bawah yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum administratif digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi.
Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots, seorang/sekelompok/keseluruhan guru pada suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum ataupun seluruh komponen kurikulum. Model grass roots akan lebih baik digunakan apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pembelajarannya di kelas. Guru yang paling tahu kebutuhan kelasnya, dan gurulah yang paling kompeten dalam menyusun kurikulum untuk kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model grass roots memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3. Model Sistem Beauchamp (Beauchamp’s System Model)
Model pengembangan kurikulum ini dikembangkan oleh seorang ahli kurikulum yang bernama Beauchamp. Beauchamp mengemukakan lima hal dalam pengembangan suatu kurikulum.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi ataupun seluruh negara. Penetapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum serta tujuan pengembangan kurikulum.
Kedua, menetapkan personalia yaitu siapa-siapa yang ikut serta terlibat dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, (2) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, (3) para profesional dalam sistem pendidikan, (4) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Dalam hal ini, Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap pengembangan kurikulum, dibanding dengan tokoh-tokoh lain seperti para penulis dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, pengusaha serta industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayahnya. Untuk tingkat provinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru, sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah sangat melibatkan guru.
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan lebih khusus, memilih isi dan pengalaman pembelajaran, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum Beauchamp membagi kegiatan ini menjadi lima langkah yaitu: (1) membentuk tim pengembang kurikulum, (2) mengadakan penilaian dan/atau penelitian terhadap kurikulum yang ada atau yang sedang dilaksanakan, (3) mengadakan studi penjajakan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum yang baru, (4) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum yang baru, (5) penyusunan dan penulisan kurikulum yang baru.
Keempat, implementasi (pelaksanaan) kurikulum. Langkah ini merupakan upaya untuk mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang baru dan tugas ini tentunya bukanlah tugas yang sederhana, sebab membutuhkan persiapan matang secara menyeluruh, mulai dari kesiapan guru-guru, peserta didik, fasilitas (sarana dan prasarana), bahan maupun biaya, hingga kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Kelima, sebagai langkah terakhir ialah evaluasi kurikulum. Di mana langkah ini minimal mencakup empat hal yaitu: (1) evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain kurikulum, (3) evaluasi hasil belajar, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. Data yang diperoleh dari hasil kegiatan ini digunakan untuk penyempurnaan sistem dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip pelaksanaannya, sebagai tindak lanjut (follow up) dari proses evaluasi itu sendiri dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengembangan kurikulum berikutnya.
4. Model Demonstrasi (The Demonstration Model)
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah (down-top). Model ini diprakarsai oleh antar sekelompok guru, atau antar sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya berskala kecil, hanya
mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi yaitu: Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek ini bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi pendidikan yang berwewenang seperti direktorat pendidikan, pusat pengembangan kurikulum, kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya. Penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas.
Kedua, beberapa orang guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang sedang dilaksanakan, kemudian mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan teradap kurikulum tersebut. Mereka mencoba menggunakan hal-hal lain yang berbeda dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan ditemukannya kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk kemudian digunakan di daerah yang lebih luas.
Terdapat beberapa kelebihan dari pengembangan kurikulum model demonstrasi ini: pertama, karena kurikulum ini disusun dan dilaksanakan dalam situasi tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan suatu kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih praktis. Kedua, perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, akan lebih diterima oleh administrator dibandingkan dengan perubahan dan penyempurnaan yang menyeluruh. Ketiga, pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi dapat mengatasi hambatan yang sering dialami yaitu dokumentasi kurikulum bagus tetapi minim pelaksanaan.
Keempat, model ini sifatnya grass roots menempatkan guru sebagai
pengambil inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru.
5. Model Arah Terbalik Taba (Taba’s Inverted Model)
Model arah terbalik ini didasari oleh kritik Hilda Taba terhadap model pengembangan kurikulum tradisional yang dilakukan secara deduktif, dengan urutan yaitu: (1) penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar, (2) merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen tertentu, (3) menyusun unit-unit kurikulum yang sejalan dengan desain menyeluruh, (4) melaksanakan kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat bahwa model deduktif ini kurang cocok untuk dilaksanakan, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi-inovasi di lapangan.
Taba menawarkan model pengembangan kurikulum yang bersifat induktif, yang merupakan inversi (arah terbalik) dari model tradisional.
Ada lima langkah dalam model pengembangan kurikulum Taba ini yaitu: pertama, mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Dalam unit eksperimen ini diadakan studi secara seksama tentang hubungan teori dan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, melalui pelaksanaan eksperimen di dalam kelas yang menghasilkan data-data untuk menguji landasan teori yang digunakan. Ada delapan langkah dalam kegiatan unit eksperimen ini, yaitu:
1) Mendiagnosis kebutuhan
2) Merumuskan tujuan-tujuan khusus 3) Memilih isi
4) Mengorganisasi isi
5) Memilih pengalaman belajar
6) Mengorganisasi pengalaman belajar 7) Mengevaluasi
8) Melihat urutan (sequens) dan keseimbangan
Kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji kembali
di kelas-kelas atau tempat lain untuk mengetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data untuk proses penyempurnaan selanjutnya.
Ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Setelah melewati langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut selanjutnya digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan, serta mengadakan kegiatan konsolidasi yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
6. Model Relasional Interpersonal Roger (Roger’s Interpersonal Relational Model)
Menurut Rogers, manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing). Manusia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang, tetapi karena adanya hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru bukan berfungsi sebagai pemberi informasi apalagi penentu perkembangan peserta didik, akan tetapi sebagai pendorong dan pelancar perkembangan peserta didik.
Model pengembangan kurikulum Rogers ini berbeda dengan model-model lainnya. Seperti misalnya, tidak adanya suatu perencanaan kurikulum, yang ada ialah serangkaian kegiatan kelompok. Demikianlah ciri khas Carl Rogers sebagai seorang Eksistensialis Humanis, yang tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan interaksi.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model relasional interpersonal Rogers ini, yaitu: Pertama, pemilihan target dari sistem pendidikan. Kriteria utama dalam penentuan target ini adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok secara intensif. Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana rileks dan tidak formal. Kedua, partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka rela, lama kegiatan
kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi juga dapat kurang dari satu minggu.
Ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh peserta didik ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator dari luar. Keempat, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Lama kegiatan kelompok ini dapat selama tiga jam setiap sore selama seminggu atau 24 jam secara berkelanjutkan (continue).
Kegiatan ini bertujuan untuk menjalin keakraban hubungan sesama orang tua dan antara peserta didik dan guru.
7. Model Penelitian Tindakan Sistematik (The Systematic Action Research Model)
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan dampak dari perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, peserta didik, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut, model ini menekankan pada tiga hal yaitu: hubungan manusiawi, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional.
Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan dan pandangan warga masyarakat, orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, peserta didik, guru, dan lain-lain tentang bagaimana pendidikan, bagaimana peserta didik belajar, serta bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pembelajaran. Penyusunan kurikulum ini biasanya dilakukan melalui prosedur penelitian tindakan (action research).
Berikut beberapa langkah pengembangan kurikulum dengan model ini:
Pertama, mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut, serta menyusun rencana yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah-masalah tersebut.
Kedua, mengimplementasikan keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan
fakta-fakta di lapangan. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi: 1) menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, 2) sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi, 3) sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, 4) sebagai bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut.
8. Model Teknik Darurat (Emerging Technical Model)
Perkembangan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum, yang kemudian menimbulkan kecenderungan-kecenderungan baru, antara lain:
The Behavioral Analysis Model, menekankan pada penguasaan perilaku atau kemampuan tertentu yaitu suatu perilaku yang sederhana dan tersusun secara hierarkis. Peserta didik mempelajari perilaku-perilaku tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks.
The System Analysis Model, berasal dari gerakan efisiensi dalam bisnis. Langkah pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai peserta didik. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran tersebut. Langkah ketiga ialah mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat ialah membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
The Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, dimana tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Peserta didik dan guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai peserta didik, kemudian disimpan dalam komputer.
BAB VI