• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI KURIKULUM 2013 BERBASIS KOMPETENSI DAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MI/SD

A. Konsep Belajar

Ausbel dalam Dahar (1988: 134) mengklasifikasikan belajar menjadi dua dimensi yaitu: dimensi pertama berhubungan dengan bagaimana cara menyajikan informasi atau materi pelajaran pada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua berhubungan dengan bagaimana peserta didik dapat mengaitkan atau menghubungkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang sudah ada. Yang dimaksud dengan struktur kognitif adalah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh peserta didik.

Pada tingkatan pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada peserta didik baik melalui proses belajar penerimaan, yang menyajikan informasi tersebut dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Sedangkan pada tingkatan kedua, peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi tersebut dengan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya. Proses inilah yang disebut dengan belajar bermakna. Akan tetapi, peserta didik juga dapat mencoba untuk menghafal informasi baru dengan tanpa menghubungkannya dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, hal inilah yang disebut dengan belajar hafalan.

Jika ditinjau dari sisi psikologi, belajar dapat dimaknai sebagai perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari adanya pengalaman. Dalam hal ini, tidak termasuk perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh kerusakan atau cacat fisik, penyakit, obat-obatan, atau perubahan karena proses pematangan (Sobur, 2011: 218).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa belajar memang terkait dengan adanya perubahan, seperti misalnya: perubahan dari yang semula tidak bisa membaca menjadi bisa membaca, dari yang semula memiliki sikap

malas (kurang bergairah) dalam belajar menjadi bersemangat (enjoy) dalam belajar, dan lain sebagainya. Dengan demikian, belajar pada dasarnya merubah/mengubah seseorang dari yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, dari yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, dari yang awalanya sulit menjadi mudah, dsb.

Aset terpenting yang semestinya ditanamkan bagi anak ialah kecintaan untuk belajar (De Porter, 2011: 5). Kecintaan untuk belajar menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut, sebab jika sesuatu sudah dimulai dari kecintaan maka aktivitas tersebut akan terasa nikmat untuk dilakukan. Tingkatan aktivitas yang dimulai dengan cinta, lebih tinggi daripada aktivitas yang dimulai dengan kebutuhan. Aktivitas yang dimulai dari kebutuhan dimulai dari kebutuhan-kebutuhan kita, sehingga erat kaitannya dengan pengetahuan kita tentang hal-hal apa saja yang kita butuhkan. Antara keduanya berasal dari dua aliran filsafat yang berbeda yaitu idealisme dan pragmatisme. Idealisme erat kaitannya dengan aliran filsafat yang berawal dari hal-hal yang bersifat ideal (idiil), sedangkan pragmatisme aliran yang berawal dari adanya manfaat dan kegunaan dari suatu aktivitas tersebut.

Jika dikaitkan dengan kondisi sekolah sekarang yang lebih berorientasi pada hasil pragmatis belaka. Mencapai nilai yang tinggi menjadi tujuan utama, meskipun dilakukan dengan cara-cara yang juga bersifat pragmatis seperti mencontek, curang, membuat kopekan, dan lain sebagainya. Bahkan dengan cara yang dianggap benar sekalipun, seperti misalnya belajar dengan sistem kebut semalam menjelang hari ujian.

Kita perlu mencari tahu secara pasti apa yang menjadi faktor penyebab peserta didik kita mulai kehilangan gairah untuk belajar. Apakah kini belajar sudah menjadi aktivitas yang membosankan bagi anak? Jika ya, apa faktor penyebabnya? Mengapa anak kita kini mulai lebih berorientasi pada hasil yang diperoleh ketimbang menikmati proses pembelajaran tersebut? Apa yang menyebabkan mereka tertekan untuk memperoleh nilai yang tinggi, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara, yang

justru akan mengaburkan makna belajar itu sendiri. Apakah belajar itu hanya terbatas pada bagaimana memperoleh nilai yang tinggi?

Sekolah yang berhasil pada hakikatnya tidak hanya dilihat dari tinggi nilai-nilai yang diperoleh siswa atau banyaknya lulusan yang diterima di sekolah-sekolah favorit, banyaknya prestasi yang diperoleh, namun yang jauh lebih penting ialah bagaimana para peserta didik memiliki sikap cinta belajar. Karena belajar sesungguhnya tidak hanya dilakukan di kelas, juga tidak hanya dilakukan menjelang ujian, belajar juga tidak hanya harus berkaitan dengan materi pelajaran di sekolah. Jika indikator sekolah unggul hanya berpatokan pada hal-hal tersebut, maka nilai pendidikan yang sebenarnya akan terabaikan dan digantikan dengan nilai pragmatis yang akan membahayakan masa depan pendidikan itu sendiri.

Sekolah sesungguhnya merupakan sarana untuk menanamkan sikap kecintaan untuk belajar bagi anak. Jika yang terjadi justru sebaliknya yaitu sekolah memburamkan sikap kecintaan untuk belajar, atau dengan kata lain belajar hanya dilakukan secara terpaksa pada saat-saat tertentu, maka suatu saat orang akan meninggalkan yang namanya sekolah (Bach, 2011)

Salah satu prinsip hidup yang sangat penting diinternalisasikan dalam jiwa peserta didik ialah mengutamakan memandang segala sesuatu dengan kacamata positif. Prinsip yang sama seharusnya dipegang teguh oleh guru yaitu memandang anak didik melalui kelebihan-kelebihan atau hal-hal positif yang mereka miliki.

Berkaitan dengan hal ini, Dawna Markova (2007: 36-37) mengungkapkan bahwa pandangan atau persepsi guru terhadap anak akan mempengaruhi keberhasilan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki anak tersebut. sebagai contoh misalnya manakala anak dikeluarkan dari sekolah, maka pertanyaan apa yang ada dibenak kita? Pada umumnya, pertanyaan yang muncul ialah apa yang salah dengan anak ini? Apa yang salah dengan orangtuanya? Apa masalahnya di sekolah? Apakah kelemahan-kelemahan yang dimiliki anak ini?

Dan seterusnya.

Lalu kemudian, mari kita melihat pandangan lain berkaitan dengan anak di atas, pandangan yang jarang digunakan yaitu apakah kekuatan-kekuatan, anugerah-anugerah, dan bakat-bakat yang dimiliki anak ini? Apakah itu semua

digunakan di sekolah atau di rumah? Pernahkah ia berhasil di masa lalu?

Bagaimana ia bisa menggunakan bidang-bidang kemampuan yang dikuasainya untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapinya? Energi istimewa apakah yang mengalir dalam dirinya? Siapakah yang harus membimbing anak itu dan mendukungnya? Kondisi-kondisi apakah yang dimungkinkan bagi anak ini untuk membuat perbedaan positif bagi komunitasnya? Apakah yang anda sukai dan hargai dari anak anda? Bagaimana kita semua dapat menyuburkannya?

Bagaimana anda bisa melakukan lebih dari itu?

B. Makna Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 Berbasis Kompetensi dan